Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Tentang Syarat Dibuat Untuk Nikah

Hadits Tentang Syarat Dibuat Untuk Nikah
Suatu keharusan bagi calon pengantin pria untuk memenuhi syarat-syarat yang dibuat untuk pernikahan mereka selama dapat membawa kemeslahatan dalam kehidupan rumah tangga. Berkenaan dengan hal ini Rasulullah bersabda dalam hadits riwayat dari Uqbah ibn Amer ra berkata:

 قال رسول اللہ ﷺ: أحق الشروط أن توفوابه مااستحللتم به الفروج

”Rasulullah saw bersabda: Syarat-syarat yang paling berhak kamu penuhi ialah syarat-syarat yang kamu buat untuk menghalalkan seseorang perempuan ( Al Bukhary 54: 6; Muslim 16: 7; Al Lu'lu-u wal Marjan 2: 103 ). 

Penjelasan Hadits

Syarat-syarat yang paling berhak disempurnakan dan dipenuhi dalam pernikahan ialah syarat-syarat yang dibuat untuk dapat menarik hati seseorang perempuan untuk dikawini. 

Apabila akad nikah disertai syarat, maka syarat-syarat itu adakala termasuk syarat-syarat yang memenuhi kehendak akad, adakala syarat syarat yang berlawanan dengan akad, adakala syarat-syarat yang kembali manfaatnya kepada si perempuan atau merupakan syarat yang dilarang syara'. 

Artikel Terkait:

  1. Hadits Tentang Nikah Mut'ah
  2. Syarah Hadits Tentang Fitrah Manusia dalam Islam
  3. Pentingnya Keluarga dalam Perspektif islam
  4. Sihir Yang Berbahaya Dalam Rumah Tangga
  5. Hak Perempuan dalam Perspektif Islam
Syarat-syarat yang wajib disempurnakan dan dipenuhi ialah syarat syarat yang dilakukan untuk memenuhi maksud akad dan tidak merubah ketetapan Allah dan Rasul-Nya, seperti mensyaratkan supaya hidup rukun, memberi nafkah menurut makruf, dan seperti mensyaratkan supaya si istri tidak pergi kemana-mana tanpa izin suami.

Syarat-syarat yang tidak wajib dipenuhi walaupun akad dipandang sah, ialah syarat-syarat yang berlawanan dengan kehendak akad, seperti syarat tidak memberi nafkah, tidak disetubuhi, tidak diberi mas kawin, atau syarat supaya si suami hanya di waktu malam saja boleh bersama isteri, atau di siang hari saja. Syarat-syarat ini tidak sah, karena menghilangkan hak yang dikehendaki oleh sesuatu akad Akadnya sah.

Syarat-syarat yang kembali manfaatnya dan faedahnya kepada isteri, seperti dia mensyaratkan supaya dia tidak dibawa ke tempat lain atau jangan dimadu. Mengenai syarat-syarat ini maka para ulama berselisih pendapat. 

Ada yang berpendapat syarat-syarat ini tidak harus dipenuhi sedang nikahnya sendiri sah. Ada yang berpendapat wajib dipenuhi, jika tidak, isteri dapat memasakhkan perkawinan. Jumhur ulama mengambil paham pertama Umar, Saad, Muawiyah, Amer ibn Ash, Umar ibn Abdil Aziz, Jabir, Zaid, Thaus, Al Auza-y dan ulama Hanbaliyah mengambil pendapat kedua. Di antara dalil yang dipegang golongan kedua, ialah hadits ini, dan firman Allah:

 يأيها الذين أمنوا اوفوا بالعقود

.”Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah akad-akad mu.”( QS.5, Al Maidah: 1 ). 

Kata Ibnu Rusyd: ”Sebabnya timbul perselisihan ialah karena terjadi pertentangan antara umum dengan khusus. Umum ialah hadits Aisyah yang menerangkan bahwa Nabi bersabda dalam salah satu khutbahnya, bahwa segala syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah adalah batal, walaupun scratus syarat.

Sedangkan yang khusus ialah hadits Uqbah ibn Amir yang menerangkan bahwa Nabi bersabda: ”Syarat yang paling berhak dipenuhi ialah yang dipergunakan untuk menarik hati seseorang untuk dikawini.” Kedua-dua hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Al Bukhary dan Muslim. 

Dalam pada itu pendapat yang terkenal dalam kalangan ulama ushul ialah melakukan dan menghilangkan syarat umum dengan adanya syarat khusus Tepatnya, menghargai syarat-syarat yang dilakukan dalam menarik hati seseorang untuk dikawini. 

Ibnu Taimiyah berkata:”Maksud-maksud yang dikemukakan oleh orang-orang yang berakal, apabila dimasukkan ke dalam sesuatu akad dan mendatangkan kebaikan haruslah dipenuhi tidaklah boleh diremehkan.

Ibnu Rusyd juga menguatkan paham kedua ini. Paham kedua inilah yang sesuai dengan kepentingan kaum perempuan dewasa ini. Mudah mudahan paham yang diambil dari fiqh Islam ini dapat dijadikan hukum positif di Indonesia.

Syarat-syarat yang dilarang syara' ialah seperti meminta calon suami menceraikan isterinya terlebih dahulu. 

Perbedaan antara syarat ini dengan syarat jangan dimadu ialah karena syarat ini menyakiti orang lain, merusakkan rumah tangganya, sedangkan syarat jangan dimadu tidak menimbulkan kerusakan bagi seseorang Sebagaimana Islam memautkan boleh berbilang isteri kepada sanggup berlaku adil, dan membatasinya hingga empat saja.

Islam juga memberi hak kepada isteri atau walinya untuk mensyaratkan kepada calon suami untuk tidak dimadu. Sekiranya seseorang isteri mensyaratkan hal itu dalam akad, maka syarat itu sah dan wajib dipenuhi. Si isteri berhak memasakhkan nikah apabila si suami melanggarnya. Haknya itu hanya dia sendiri yang dapa menggugurkannya. Maka apabila dia tidak meminta fasakh, akad itu tetap berlangsung. 

Inilah mazhab Ahmad yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Hal ini adalah mengingat bahwa syarat-syarat yang dibuat untuk nikah adalah lebih harus dipenuhi daripada syarat-syarat yang dibuat untuk jual beli. 

Diriwayatkan dari Abdullah ibn Abi Mulaikah, bahwasanya Miswar ibn Makhramah menceritakan bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda: ”Hisyam ibn Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak gadis mereka dengan Ali ibn Abi Thalib. Saya tidak akan memberi izin. Saya tidak akan memberi izin kecuali kalau ibn Abi Thalib menceraikan anakku dan menikahi anak mereka. Putriku adalah bagian tubuhku. Fatimah adalah bagian tubuhku, saya khawatir akan rusak agamanya. 

Kemudian Nabi menyebut tentang seorang menantunya dari Bani Abdi Syam. Beliau berkata: ”Menantuku itu bila dia berbicara berlaku benar, bila dia berjanji dia tepati. Saya tidak mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram. Tetapi demi Allah, tidak dapat berkumpul anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan seteru Allah di tempat yang sama. 

Ibnu Qayyim berkata:”Hukum ini mengandung beberapa pengertian. Seseorang laki-laki bila mensyaratkan kepada isterinya bahwa dia tidak mempermadukan isterinya, wajib dipenuhi. Bila dia mempermadukan, maka isteri itu boleh memasakhkan nikah. Sudah terang kita ketahui bahwa Nabi mengawinkan Ali dengan Fatimah tentulah dengan syarat Ali tidak akan menyakiti Fatimah, dan tidak akan menyakiti ayahnya. 

Walaupun syarat ini tidak disebut dalam akad, namun dengan sendirinya termasuk ke dalam akad. Nabi menyebut tentang menantunya yang seorang lagi, yang berkata benar dan menepati janji. Itu suatu sindiran supaya Ali meneladani menantu Nabi itu.

Maka dari kejadian ini diambil suatu kesimpulan bahwa sesuatu syarat menurut urf, sama dengan syarat yang disebutkan dengan ucapan. Apabila syarat itu tidak disempurnakan bolehlah orang yang mengajukan syarat memasakhkannya. 

Apabila umpamanya menurut adat sesuatu suku bangsa, mereka tidak membawa para isteri ke tempat lain dan tidak membolehkan para suami membawanya, maka adat itu harus dihargai, sama dengan syarat yang diucapkan dan dibuatkan surat perjanjian. 

Kaidah - kaidah yang dipegang oleh Ahmad ialah sesuatu yang berlaku menurut adat sama nilainya dengan syarat yang sengaja dibuat. Oleh karenanya para ulama Hanbaliyah mewajibkan kita memberi upah kepada tukang penatu apabila kita menyerahkan cucian kepadanya, dengan tidak mensyaratkan upah. Dan lazim diberikan ujrah mitsil. 

Mengingat ini maka apabila seseorang perempuan dari sebuah lingkungan di mana para suami tidak ada yang berpoligami dan tidak memungkinkan para suami mempermadukan isteri, maka adat itu sama dengan syarat yang dibuat. 

Kesimpulan 

Hadits ini menyatakan bahwa syarat yang wajib benar kita penuhi ialah syarat yang dibuat untuk memungkinkan kita menikahi seseorang perempuan.