Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Tentang Nikah Mut'ah

Hadits Tentang Nikah Mut'ah
Abdullah ibn Mas'ud ra berkata:

 ﷺ كنانغزو مع النبي ﷺ وليس معنانساء , فقلنا: الانختصى ؟ فنهانا عن ذلك ، فرخص لنا بعد ذلك أن نتزوج المرأة بالثوب ثم قرأ - ياايها الذين أمنوا لاتحرموا طيبات ما أحل الله لكم

”Kami pergi berperang bersama-sama Nabi saw, dan tidak membawa isteri kami Karena itu kami bertanya: Apakah tidak lebih baik kami mengebirikan diri kami ? Rasulullah melarangnya. Kemudian Rasulullah membolehkan kami menikahi perempuan dengan sekerat kain ( untuk batas tertentu ). Sesudah itu beliau membaca - Ya ayyuhal ladzina amanu la tuharrimu thayyibati ma ahallallahu lakum- wahai para mukmin jangan kamu mengharamkan yang baik-baik, yang telah dihalalkan Allah untuk kamu.”( Al Bukhary 65: 5-9; Muslim 16: 2: Al Lu'lu-u wal Marjan 2: 100 ). 890 ) 

Jabir dan Salamah ibn Al Akwa berkata:

 كنافي جيش ، فأتانا رسول اللہ ﷺ فقال: إنه قد اذن لكم ان تستمتعوا ، فاستمتعوا

”Kami berada dalam satu pasukan, maka pesuruh Rasulullah saw datang kepada kami dan berkata Sesungguhnya Rasulullah telah mengizinkan kamu mengawini perempuan dalam batasan waktu tertentu, karena itu berbuatlah seperti itu (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Ali ibn Abi Thalib ra menerangkan

 ان رسول اللہ ﷺ نهى عن متعة النساء يوم خيبر ، وعن أكل الحمر الإنسية

”Bahwasanya Rasulullah saw pada hari Khaihar melarang kita menikah secara muda ( nikah dalam waktu yang terbatas ) Dan melarang kami makan daging keledai kampung”( Al Bukhary 64:38, Muslim 16: 2 )

Artikel Terkait:

Penjelasan Hadits

Beberapa orang sahabat pergi berperang beserta Rasul tanpa didampingi isteri. Karena itu mereka berunding untuk mengebirikan diri. Setelah Nabi mengetahui keinginan mereka, Nabi pun melarang mereka mengebirikan diri, karena hal itu berarti melawan kodrat, menyiksa diri serta memutuskan tali keturunan.

Karena para sahabat tidak dapat mengendalikan nafsunya, maka Nabi membolehkan mereka beristeri untuk jangka waktu terbatas memberikan pakaian kepada perempuan yang dijadikan isteri itu, ataupun dengan memberikan pemberian-pemberian yang lain. Inilah yang dinamai nikah mut'ah

Kemudian Abdullah ibn Mas'ud membaca ayat:”wahai para mukmin, janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik yang telah dihalalkan Allah untuk kamu", di hadapan para sahabat karena berpendapat bahwasanya nikah mut'ah itu halal, sama dengan pendapat Ibnu Abbas. Karena belum sampai kepadanya nash yang memansukhkan nikah mut'ah.

Para sahabat dalam salah satu peperangan, mungkin peperangan Authas atau pengalahan Mekkah, mendapat izin dari Nabi untuk bernikah mut'ah. Karenanya mereka pun bernikah mut'ah. 

Kemudian dalam peperangan Khaibar Nabi melarang para sahabat melakukan nikah mut'ah, bahkan melarang mereka memakan daging keledai kampung. 

Demikianlah mazhab Asy Syafi'y dan jumhur ulama. Segolongan ulama berpendapat bahwa daging keledai kampung itu, halal. Di antara yang menghalalkan daging keledai kampung itu, ialah Aisyah dan Ibnu Abbas Imam Malik memakruhkannya saja. 

Al Mazary berkata ”Nikah mut'ah dibolehkan pada permulaan Islam Kemudian datang penasikhnya dalam beberapa hadits. Karenanya, terjadilah kata sepakat antara ulama untuk mengharamkannya. 

Dalam pada itu masih ada juga segolongan umat Islam yang membolehkannya”Menurut Zufar bahwa barangsiapa bernikah mut'ah, maka nikahnya menjadi nikah sebagaimana lazimnya, syaratnya batal, nikahnya sah.

Riwayat-riwayat mengenai masalah ini berbeda satu sama lainnya. Ada yang menerangkan bahwa nikah mut'ah diharamkan pada peperangan Khaibar. 

Ada yang mengatakan pada hari pengalahan Mekkah Tetapi perbedaan riwayat tentang saat Nabi melarangnya, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah.

Hadits-hadits yang membolehkan nikah mut'ah diriwayatkan oleh segolongan sahabat, diantaranya Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Jabir, Salamah, Sabrah ibn Ma'bad Al Juhany.

Riwayat-riwayat itu semuanya menerangkan bahwa kejadian nikah mut'ah adalah di dalam safar saat menghadapi peperangan Menurut riwayat Salamah, nikah mut'ah ini dibolehkan di dalam peperangan Authas. 

Menurut Sabrah dalam peperangan mengalahkan Mekkah, kemudian diharamkan. Menurut h adits Ali, di Khaibar, peperangan ini terjadi sebelum pengalahan Mekkah. Ali juga berpendapat, di Tabuk, Sabrah mengatakan di haji Wada'. 

Kemudian Nabi mengharamkannya hingga hari kiamat. Al Hasanul Bishry berpendapat bahwa nikah mut'ah ini pernah dibolehkan Nabi di kala beliau mengerjakan umratul qadha.

Al Qadhi lyadh berkata:”Mungkin Nabi melarangnya pada hari Authas dan lain-lain hanya memperbarui larangan saja, karena larangan itu telah dikeluarkan pada peperangan Khaibar.”An Nawawy mengoreksi pendapat Al Qadhi lyadh ini. 

Beliau berkata:”Dua kali nikah mut'ah diharamkan, dan dua kali pula nikah mut'ah dibolehkan.”Sebelum Khaibar nikah mut'ah ini dibolehkan Pada perang Khaibar diharamkan. Kemudian pada hari pengalahan Mekkah dibolehkan lagi. Izin ini hanya berlaku selama 3 hari, kemudian Nabi mengharamkannya kembali, dan larangan ini tidak pernah dicabut. 

Kata Al Qadhi lyadh:”Ulama sepakat menetapkan bahwa nikah mut'ah, ialah nikah yang waktu berlakunya terbatas, seminggu, sebulan, dan tidak ada saling mempusakai antara suami isteri itu Mereka bercerai dengan sampainya waktu yang ditentukan tanpa perlu menjatuhkan talak.

Seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa apabila terjadi nikah mut'ah, maka nikah itu dipandang tidak sah, baik sebelum atau sesudah dukhul ( persetubuhan ) 

Asy Syafi'y berpendapat, tidak dijatuhkan hukuman had karena ada syubhat pada akadnya, dan ada syubhat pada khilafnya. Benar masalah ini pada mula-mulanya pernah diperselisihkan kemudian ada kata sepakat, maka apakah kata sepakat ini menghilangkan perselisihan yang telah lalu atau tidak ? 

Abu Bakar Al Baqillany berkata:”Apabila seseorang bernikah secara mutlak tetapi niatnya untuk waktu yang terbatas, maka nikahnya sah, halal, tidak dipandang mut'ah.”Malik tidak membenarkan sikap ini, beliau berkata ”Ini bukan sikap orang yang berakhlak.”Al Auza-y memandangnya nikah mut'ah juga. 

Kami berkata:”Membolchkan nikah mut'ah berarti menjadikan perempuan barang dagangan. Dikawini bukan dengan maksud memperoleh keturunan, padahal inilah maksud asasi dari adanya lembaga perkawinan. Orang-orang yang membolehkan nikah uth'ah di masa dahulu membolehkannya ketika darurat saja. Bukan secara mutlak.”

Para ulama berselisih paham tentang hadits ini. Ada yang mengatakan dalam hadits ini telah terjadi penukaran tempat kalimat, ada yang didahulukan dan ada yang dikemudiankan. Menurut mereka, hadits ini sebenarnya berbunyi:”Nabi melarang kita makan daging-daging keledai kampung di hari Khaibar, sebagaimana Nabi melarang nikah mut'ah

Perawi itu tidak menerangkan waktu Nabi melarang nikah mut'ah Dan hal itu telah diterangkan olch Muslim yaitu pada tahun pengalahan Mekkah, di saat Nabi akan keluar dari kota Mekkah ke Madinah. 

Sekiranya Nabi mengharamkan nikah mut'ah dalam peperangan Khaibar, tentulah terjadi dua kali penghapusan hukum. Dan hal ini tidak pernah terjadi dalam sesuatu syarat. 

Dalam pada itu Asy Syafi'y mcmahami hadits ini secara zhahirnya, karena itu dia berkata:”Saya tidak mengetahui ada sesuatu yang dihalalkan Allah, kemudian diharamkan-Nya, kemudian dihalalkan-Nya pula, akhirnya diharamkan-Nya kembali, selain daripada nikah mut'ah.”

Golongan Syiah membolehkan nikah mut'ah. Rukunnya menurut meroka, ialah lafal akad, isteri dan mahar serta jangka waktu yang ditetapkan atas dasar kerelaan kodua belah pihak. 

Di antara akibat hukum nikah mut'ah ialah, anak yang lahir dari porkawinan semasa itu dihubungkan kepada ayahnya. Suami isteri tidak saling mewarisi. Anaknya mewarisi dari ayah dan ibunya. Iddah perkawinan ini berakhir setelah dua haid, atau empat puluh lima hari, kalau perempuan itu tidak berhaid Tidak menyebut jangka waktu tidak mensahkan akad itu. Demikianlah akibat-akibat nikah mut 'ah menurut pendapat mereka.As Sayyid Rasyid Ridha menguatkan paham Al Auza-y dalam masalah ini. 

Kesimpulan 

Hadits ini menyatakan bahwa nikah mut'ah pernah dibenarkan pada permulaan Islam, kemudian dimansukhkan dan hukumnya tetap haram sampai hari kiamat. 

Ziwaj mut'ah ( nikah mut'ah ) dinamai juga ziwaj mu'aqqat ( nikah yang terbatas waktunya ) dan ziwaj mungathi ' ( nikah yang terputus ). Dinamai mut'ah karena si laki-laki menikmati si perempuan hanya untuk waktu tertentu.

Referensi dari Buku Mutiara Hadits Jilid Kelima Karangan Hasbi Ash-Shiddieqy