Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Metode Sahabat dan Tabi'in dalam Menjaga Sunnah

Metode Sahabat dan Tabi'in dalam Menjaga Sunnah

Kita telah menyaksikan antusias sahabat dan tabi'in dalam memegang teguh Sunnah Suci, kebaikan peneladanan mereka kepada Rasul SAW., sikap mereka mengikuti jejak- jejak beliau, kedisiplinan mereka menerapkan hukum-hukum beliau serta keteguhan mereka. Hal ini terlihat jelas dalam sikap hati-hati mereka ketika meriwayatkan hadits dan kecermatan mereka menerima berbagai khabar. Ini tentu saja di samping apa yang telah saya paparkan berkenaan dengan keteguhan mereka memegang Sunnah, antusias mereka meneladani dan mengikuti jejak Rasul SAW.

Kehati-hatian Sahabat dan Tabi 'in dalam Meriwayatkan hadits

Sunnah merupakan sumber hukum pertama sesudah Al-Qur'an al-Karim. Dan karena itu, mereka selalu menempuh setiap jalur yang bisa menjaga hadits tetap bercahaya. Kewira'ian dan ketakwaan mereka mendorong mereka bersikap moderat dalam meriwayatkan hadits dari Rasul SAW.

Di kalangan sahabat, Umar ibn al-Khaththab dikenal sangat membenci orang yang memperbanyak meriwayatkan hadits. Sahabat lain juga ada yang menempuh jalur seperti itu. Mereka tidak akan meriwayatkan hadits kecuali dalam keadaan sangat mendesak. Biasanya, seusai meriwayatkan hadits, mereka akan mengatakan seperti yang disabdakan Rasul SAW. atau kata-kata lain yang sejenis.

Sebagai contoh yang diriwayatkan oleh Amir ibn Maimun, katanya: Aku tak pernah luput menghadiri majlis Ibn Mas'ud yang diselenggarakan setiap Kamis sore. Rasulullah SAW. bersabda." Suatu sore, beliau mengatakan: "Rasulullah SAW. bersabada". Lalu beliau tertunduk. Lalu aku melihat beliau lebih dekat lagi. Kemudian beliau berdiri dalam keadaan bergerak-gerak ghamisnya, meleleh air matanya dan menggelembung urat lehernya. Ia berkata: Atau dalam keadaan yang kurang dari itu, atau lebih dari itu, atau hampir seperti itu, ataupun yang serupa dengan hal itu.

Baca juga: Shahabat Nabi Yang Banyak Meriwayatkan Hadits

Abdurrahman ibn Abi Laila berkata: "Saya pemah bertemu dengan seratus dua puluh sahabat Anshar. Tak seorang pun di antara mereka yang meriwayatkan satu hadits, kecuali ingin agar saudaranya merasa cukup dengannya. Dan tak seorang pun yang dimintai fatwa tentang sesuatu, kecuali ia ingin agar saudaranya merasa cukup dengannya."

Riwayat lain menyebutkan: "Salah seorang ditanya tentang suatu masalah. Tetapi ia mengembalikannya kepada yang lain, dan yang lain mengembalikannya lagi kepada yang lain, sehingga kembali lagi kepada yang pertama."

Juga karena berhati-hati dalam masalah agama dan menjaga kemaslahatan kaum muslimin, bukan karena enggan atau hendak meniadakan hadits, Ada riwayat shahih berkenaan dengan seluruh sahabat dalam hal memegang teguh Sunnah, mengagungkannya dan mengambilnya, Banyak sekali khabar tentang bagaimana mereka memecahkan masalah syar'iyah, baik berkenaan dengan halal maupun haram. Mereka akan bergegas mencarinya di dalam al-Kitab al-Karim.

Bila mereka berhasil menemukan apa yang mereka kehendaki, maka mereka akan memeganginya secara teguh dan menangani kasus-kasus baru berdasarkan konsekuensi hukum tersebut. Tetapi bila tidak menemukan apa yang mereka cari, maka mereka akan beralih mencarinya di dalam Sunnah. Bila ada khabar yang diriwayatkan kepada mereka, maka mereka akan mengambilnya dan menerapakan hukumnya.

Dalam hal ini, metode Abu Bakar dan Umar dalam menyelesaikan ketentuan hukum sangat populer. Abu Bakar, bila diajukan kepadanya suatu hukum, maka beliau akan memperhatikan Kitabullah. Bila beliau menemukan keputusannya, maka beliau akan menggunakan keputusan itu. Tetapi bila tidak menemukannya, maka beliau akan bertanya kepada masyarakat: Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah SAW. pernah memutuskan perkara seperti itu? Kadang-kadang beberapa orang berdiri, lalu berkata: Rasulullah SAW. memutuskannya begini-begini. Bila beliau tidak menemukan Sunnah Nabi SAW., maka beliau mengumpulkan para pembesar untuk diajak bermusyawarah.

Mereka tidak terlalu banyak meriwayatkan hadits karena khawatir kehilangan penalaran dan pemahaman mendalam terhadap kandungannya. Dalam hal ini, Abdullah ibn Mas'ud mengatakan Tolok ukur ilmu (seseorang) bukanlah banyaknya hadits yang (dikuasainya), tetapi (tolok ukur) ilmu (nya) adalah rasa takutnya.

Di samping itu, terlalu banyak meriwayatkan hadits memungkinkan terjerumus kepada kesalahan. Lebih-lebih ada riwayat tentang larangan meriwayatkan semua yang didengar. Abu Hurairah ra. meriwayatkan dari Rasul SAW., bahwa beliau bersabada Cukuplah menunjukkan kedustaan seseorang, bila ia meriwayatkan semua yang didengarmya.

Umar ibn al-Khaththab ra. juga berkata Cukup menunjukkan kedustaan seseorang bila ia meriwayatkan semua yang didengarnya. Bila para sahabat menghendaki mengurangi periwayatan, maka se- benarnya maksud mereka adalah sikap hati-hati menjaga hadits dan memberikan rambu-rambu dalam meriwayatkannya. Juga agar bisa memahami yang diriwayatkan dan menjaga serta mengingatnya secara akurat. Semua riwayat tentang sahabat dalam hal ini menunjukkan sikap penjagaan mereka terhadap as-Sunnah, penyebarannya dan penyampaiannya secara benar dan tidak terjebak pada sikap longgar dalam meriwayatkannya.

Tabi'in dan generasi sesudah mereka juga menempuh metode sahabat tersebut. Sehingga mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dan mencaci sikap memperbanyak periwayatan hadits, karena khawatir mengurangi bahkan menghilangkan daya nalar dan pema- haman.

Karena itu perhatikanlah dengan apa ia masuk, Sebagian ada yang tidak ingin meriwayatkan hadits dalam satu majlis lebih dani tiga atau empat buah hadits, agar para penuntut ilmu bisa memahami dan menghafalnya dengan baik. Khabar tentang hal ini tidak sedikit.

Kecermatan Sahabat dan Tabi'in dalam Menerima Riwayat

Islam memerintahkan agar cermat dalam menerima berita, melarang dusta dan memerintah mengatakan yang benar. Wahyu ini dibawa oleh Al-Amin dan disabdakan oleh Rasul SAW. serta dipraktekkan oleh seluruh sahabat. Ulama', baik mutaqaddimin maupun muta'akhkhirin juga menempuh cara itu.

Dalam hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 6, surat Al-Ahzab ayat 70-71, Al-An'am ayat 152, dan surat Al-Hajj ayat 30.

Nabi SAW. sendiri bersabda Barangsiapa mendustakanku, maka hendaklah ia menempatkan diri di neraka. Di tempat lain, beliau bersabda Berdusta kepadaku tidak seperti berdusta kepada seseorang (selainku). Orang yang mendustakan kepadaku secara sengaja, maka hendaklah ia menempatkan dirinya di neraka.

Demikianlah, kaum muslimin diperintahkan untuk jujur dalam segala hal, dapat dipercaya dan bersikap adil serta meneliti kebenaran dan menghindari kebatilan. Oleh karena itu, tokoh-tokoh hadits dan para kritikus sangat berhati- hati dalam menerima hadits. Mereka sangat teliti dan cermat terhadap hadits yang diriwayatkan. Metode ini ditempuh oleh sahabat dan tabi'in serta diamut pula oleh generasi sesudah mereka. Mereka berusaha menempuh segala cara yang memberikan jaminan bagi mereka akan keshahihan yang diriwayatkan dan kapasitas pembawanya, dengan cara mencari hadits dari perawi lain, memadukan jalur-jalurnya dan kadang- kadang menujuk pula kepada tokoh- tokoh yang kompeten dalam bidang ini.

Sungguh mutlak, kaum muslimin mencermati hadits Rasul SAW, dan menelitinya, karena ia merupakan sumber kedua sesudah Al-Qur' an al-Karim Seperti kecermatan yang dilakukan oleh sahabat, tabi'in dan generasi sesudah mereka dalam meriwayatkan hadits, kaum muslimin juga berhati-hati dalam menerima khabar-khabar dari Rasul SAW. Berikut ini saya akan menyebutkan contoh kecermatan para shahabat dan tabi’in dalam meriwayatkan hadits:
  1. Al-Hafidz adz-Dzahabiy berkata: Abu Bakar ra. adalah orang yang pertama mempraktikkan sikap hati-hati dalam menerima khabar. Thn Syihab meriwayatkan dari Qubaishah ibn Dzu'aib, bahwa ada seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta (fatwa) tentang hak waris baginya. Kemudian beliau bertanya kepada orang-orang. Al- Mughirah berdiri, lalu berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW. memberikan bagian untuknya sebesar seperenam. Beliau bertanya keapda al- Mughirah: Apakah ada seseorang bersamamu (untuk memperkuat perkataanmu itu)? Lalu Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksian senada. Sehingga beliau memberikan bagian seperenam kepada nenek tersebut.
  2. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudriy, bahwa ia berkata: "Aku sedang berada di salah satu majlis kaum Anshar. Tiba-tiba datang Abu Musa, seakan sedang kesal, lalu berkata, Aku meminta izin bertemu kepada Umar sebanyak tiga kali, tetapi tidak diberi izin. Ke- mudian aku kembali saja." Lalu ia berkata: "Mengapa engkau tidak jadi masuk Aku menjawab: "Aku telah meminta izin sebanyak tiga kali, tetapi tidak diberi izin, sehingga aku kembali." Dan Rasulullah SAW. pemah bersabda: Bila seseorang di antara kamu meminta ijin (untuk bertamu), tetapi tidak diijinkan, maka sebaiknya ia kembali saja.

Baca juga: Sifat Adil Shahabat Nabi

Umar berkata: "Demi Allah, hendaknya engkau memberikan saksi atas perkataanmu itu. Adakah di antara kamu yang mendengar hadits dari Nabi Lalu Ubaiy ibn Ka'b berkata: "Demi Allah, tidaklah berdiri bersamamu kecuali yang terkecil di antara kaumma. Akulah yang terkecil itu. Lalu aku berdiri bersamanya. Aku beritahukan Itulah beberapa "atsar" yang menjelaskan metode sahabat dalam mengamati dan memberi pengukuhan dalam menerima berbagai khabar mempersyaratkan adanya dua periwayat atau lebih, atau adanya kesaksian dari orang-orang selain periwayat ataupun periwayat harus bersumpah terlebih dahulu, dan kemudian bila tidak ada hal-hal tersebut mereka akan menolaknya. Mereka menggunakan metode yang melegakan hati mereka. Semua yang telah saya sebutk merupakan manifestasi kecermatan dan ketelitian mereka, dikarenak khawatir terjerumus ke dalam kesalahan dan periwayatan, antusias dala menguasai dan menghafal secara akurat terhadap hadits. 

Kadang-kadan Umar ra menghendaki kesaksian dari yang lain, namun kadang-kadang berkenan menerima khabar meski tanpa dukungan yang lain. Di balik sikapnya itu, beliau hanya ingin menekankan kepada kaum muslimin untuk bersikap hati-hati dan obyektif dalam menjaga agama Allah. Ini terlihat jelas dari perkataan Umar ra. tatkala Abu Musa al-Asy'ari dan Abi Sa'id al- Khudriy: "Ingatlah, sebenarnya aku tidak mencurigaimu. Akan tetapi aku hanya khawatir, orang-orang akan mengatakan sesuatu dari Rasul SAW. yang sebenamya tidak beliau katakan."

Juga dalam pernyataan Imam adz-Dzahabiy, yang setelah menyebutkan metode Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dalam menerima riwayat, mengemukakan komentar: "Yang dimaksudkan oleh ash-Shiddiq adalah mencermati dan meneliti berbagai khabar, bukan menutup pintu periwayatan. " Di samping kadang-kadang sahabat meminta kesaksian selain periwayat. mereka juga kadang-kadang berkenan menerima hadits yang diriwayatkan secara perseorangan, karena mereka sudah merasa tenang dan percaya dengan kekuatan hafalan para periwayatnya, dan dengan riwayat seperti itu pula mereka menerapkan hukum.

Demikianlah, jelas bagi kita bahwa seluruh sahabat sangat antusias menjaga hadits dari berbagai penyimpangan dan kekeliruan, dengan cara hati- hati meriwayatkannya dan cermat dalam menerimanya (selektif). Kecermatan mereka dalam menerima sebagian hadits dengan menghendaki dua orang periwayat, tidaklah merupakan syarat diterimanya semua riwayat. Tetapi penerimaan mereka terhadap banyak hadits yang diriwayatkan oleh satu periwaya yang memenuhi kriteria adil, hafidz dan dhabith menunjukkan bahwa keingina mereka mencari periwayat kedua adalah semata untuk mencari pengukunak bukan karena hadits yang diriwayatkan oleh satu periwayat tidak bisa dipercaya menurut mereka.

Para tabi'in dan generasi sesudah mereka tidaklah kalah perhatiannya dari perhatian para sahabat dalam hal berhati-hati menerima hadits. Mereka selalu mencari berbagai sarana agar mereka merasa mantap dengan riwayat yang mereka terima. Orang yang mengecek biografi para periwayat, dan cara mereka menerima hadits, pasti akan mendapatkan informasi lengkap mengenai kegigihan para tabi'in dan generasi sesudah mereka. Suatu kegigihan dalam meriwayatkan Sunnah kepada generasi sesudah mereka. Berikut ini saya sebut- kan beberapa diantaranya:
  1. Diriwayatkan dari Ubadah bin Sa'id at-Tajibiy, bahwa 'Uqbah ibn Nafi al-Fihriy (1 SH-63 H), bahwa beliau memberikan pesan kepada putra- putranya beliau: "Hai anak-anaku, janganlah kalian menerima hadits Rasulullah SAW. kecuali dari orang yang tsiqat."
  2. Mereka berpendapat, bahwa amanat dalam hal emas dan perak lebih mudah daripada amanat dalam hal hadits. Kita bisa mendengar dari Sulaiman ibn Musa, bahwa ia bertemu dengan Thawus (-106 H). Sulaiman berkata kepadanya: Seseorang telah menceritakan kepadaku begini, begini. Thawus berkata: "Kalau temanmu itu bisa dipercaya, ambillah haditsnya.
  3. Sa'd ibn Ibrahim (53-125 H) berkata: "Tidak (diperkenankan) meni- 3. wayatkan hadits dari Rasulullah SAW. kecuali orang-orang tsiqat.
  4. Yazid ibn Hubaib(-128 H) merupakan periwayat hadits kawasan Mesir. Beliau berkata: "Bila engkau mendengar hadits, maka telitilah, seperti kamu meneliti barang yang hilang. Bila kamu mengenalnya, maka am- billah, dan bila tidak, maka tinggalkanlah."
  5. Abu az-Zanad Abdullah ibn Dzakwan al-Qurasyi (-130 H) berkata: "Di Madinah saya mendapati seratus orang, dan semuanya "ma'mun" (bisa dipercaya), tetapi tak ada hadits yang diambil dari mereka. Dikatakan: "Bukan ahlinya." Dengan pemyataan ini, beliau juga mengukuhkan bahwa kepatutan dan keterpercayaan belum cukup bagi seorang perawi hadits, bila tidak disertai dengan kekuatan hafalan. Inilah yang dimaksud "bukan ahlinya."
  6. Apa yang dikemukakan pada paragraf terdahulu juga dikukuhkan oleh pernyataan banyak ulama', seperti Abdullah ibn 'Aun (-150 H), Abdur- rahman ibn Yazid ibn Jabir (-153 H), Syu'bah ibn al-Hajjaj (82–160 H) Sufyan al-Tsauriy (97-161 H) dan yang lain: "Ambillah ilmu (tentang hadits) dari orang-orang yang sudah dikenal."Juga pernyataan mereka: "Ilmu (tentang hadits) ini tidak diambil kecuali dari orang yang diketahui berstatus penuntut ilmu.
Kutipan dari Buku Ushul Al-Hadits yang ditulis oleh Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib