Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gerakan yang membatalkan shalat

Gerakan yang membatalkan shalat
Gerakan yang membatalkan shalat

Gerakan-gerakan yang membatalkan shalat dan yang makruh dikerjakan di dalamnya

Sesudah kita memperhatikan uraian-uraian pada Pekerjaan yang Membatalkan Shalat, yang Makruh, dan yang Dibolehkan ini dengan sebaik- baiknya, dapatlah kita simpulkan gerakan-gerakan yang membatalkan shalat dan yang makruh kita kerjakan dalam shalat, baik menurut petunjuk-petunjuk hadits sendiri, maupun menurut pendapat-pendapat para imam Madzhab.

Untuk memudahkan para pembaca menyimpulkannya, di bawah ini kami sebutkan beberapa hal, dan ini kami lakukan mengingat bahwa masalah-masalah yang membatalkan shalat itu sangat sering dibicarakan guru-guru kita di sini dan kadang-kadang pendapat-pendapat yang difatwakan oleh mereka itu jauh dan menyimpang dari petunjuk hadits.

Gerakan-gerakan yang membatalkan shalat

As-Sayyid Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudhatun Nadiyah telah membahas hal-hal yang membatalkan shalat sesuai dengan yang ditunjuki oleh hadits Nabi yang shahih. Beliau berkata: "Hal-hal yang membatalkan shalat, tersimpul dalam perkara-perkara dibawah ini:

  • Berbicara Tidak ada khilaf di antara para mujtahidin, bahwa berbicara dengan sengaja di dalam shalat, padahal ia mengetahui bahwa berbicara itu tidak boleh, membatalkan shalat.
  • Mengerjakan sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan shalat Gerakan-gerakan yang tidak termasuk ke dalam gerakan-gerakan shalat, atau ke dalam tata tertib shalat apabila dikerjakan akan membatalkan shalat. Dalam pada itu, dikecualikan gerakan-gerakan yang pernah Nabi saw. lakukan walaupun oleh sebagian ulama gerakan-gerakan itu dipandang banyak.
  • Meninggalkan suatu syarat atau sesuatu rukun dengan sengaja Apabila sesuatu rukun ditinggalkan karena lupa maka rukun yang ketinggalan itu dapat dikerjakan lagi, walaupun kita telah keluar dari shalat (dalam bab sujud sahwi akan kami bicarakan masalah ini). Adapun meninggalkan sesuatu yang bukan syarat dan bukan rukun, walaupun fardhu atau wajib, tidak membatalkan shalat.
An-Nawawy dalam Al-Majmu', berkata: "Para ashhab kami berpendapat, bahwa apabila seseorang mencederakan sesuatu syarat shalat, padahal dia sanggup melaksanakan syarat itu, batal shalatnya, baik syarat itu tidak dilakukan sejak sebelum shalat atau dirusakkannya sewaktu dalam shalat. 

Apabila seseorang berhadas sewaktu shalat maka menurut paham jadid dari Asy-Syafi'y, batal shalatnya dan ia wajib mengulangi shalatnya sejak dari awal lagi tentunya, sesudah ia berwudhu lagi. Sedangkan menurut paham qadim Asy-Syafi'y, orang itu wajib keluar dari shalatnya, dan sesudah berwudhu kembali ia menyambung shalatnya itu, tidak perlu memulai dari awal lagi.

Malik menyetujui paham jadid dalam bab ini. Madzhab kami yang shahih, ialah Madzhab jadid, yaitu: tidak boleh menyambung shalat itu, tetapi harus dikerjakan dari awal kembali. Inilah Madzhab Al Musawwar ibn Makramah, seorang sahabi. Menurut hikayat pengarang Asy-Syamil. bahwa Ibnu Syubrumah juga berpendapat demikian. Dan inilah yang shahih dari Madzhab Ahmad. Abu Hanifah, Ibnu Abi Laila dan Al-Auza'y berkata: cukup dengan me- nyambung shalat itu saja, tanpa harus mengulangi.

Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnush Shabbagh dari 'Umar, 'Ali dan Ibnu 'Umar. Dan diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqy dari Ali, Salamah, Ibnu Abdir Rahman, Atha', Thaus, Abu Idris Al-Khaulany, Sulaiman ibn Yasar dan lain-lain. Apabila seseorang ketika shalat, terkena najis di badannya, lalu dengan segera menghilangkan najis itu, maka shalatnya tidak batal.

Dan juga jika kainnya tersingkap kena angin hingga nampak auratnya, lalu dengan segera ia menutupnya maka shalatnya tidak batal. Tetapi jika ia lambat dalam membuang najis, atau dia lambat menutup aurat batal shalatnya. Menurut paham jadid, shalatnya itu hendaklah diulangi dari semula, yakni sesudah membersihkan diri dari najasah itu. 

Sedangkan menurut paham qadim, cukup dengan meneruskan saja. Jika sesuatu fardhu dari fardhu-fardhu shalat ditinggalkan seumpama meninggalkan rukuk atau sujud, maka shalatnya batal. Kemudian jika sesuatu fardhu itu ditinggalkan dengan sengaja dan terus berpindah ke rakaat yang lain, maka batal shalatnya dengan tidak ada khilaf (perselisihan pendapat) lagi.

Jika meninggalkan karena lupa, lalu ia bersalam, setelah lama berselang ia teringat ada yang ditinggalkan maka shalatnya harus diulangi. Ketika masih dalam shalat atau sesudah salam sebelum lama berselang, maka shalatnya tidak batal dan hendaklah ia meneruskan shalatnya itu. Demikian pula kalau yang di- tinggalkan itu rukuk, sujud dan yang sepertinya.

Adapun jika yang ditinggalkan itu niat, atau takbiratul-ihram, maka tidaklah hal tersebut dipandang sebagai telah masuk ke dalam shalat. Jika yang ditinggalkan itu qira'ah (Al-Fatihah) karena lupa, maka ada dua pendapat dalam masalah ini.

Jika seseorang berbicara, tertawa atau terbahak-bahak di dalam shalat dengan sengaja, serta mengetahui pula bahwa perbuatan itu tidak boleh, maka batal shalatnya. Tetapi kalau yang dituturkan itu satu haraf, walaupun dengan sengaja, tidak batal shalatnya, karena satu haraf tidak dipandang sebagai perkataan terkecuali apabila satu haraf itu memberikan pengertian, seperti kata-kata: 'i (pahamkanlah) itu dapat membatalkan. Kalau tidak memberi pengertian, tidak membatalkan.

Tertawa, mengerang karena kesakitan, mengeluh disebabkan kesedihan dan menghembus nafas dari mulut, jika menimbulkan dua haraf yang nyata membatalkan shalat. Berbicara dengan tidak sengaja, seperti lidah terlompat, menyebut sesuatu dengan tidak disengaja, atau tertawa terbahak, atau bersin dan batuk yang menimbulkan dua haraf yang nyata, atau berbicara yang tidak dibolehkan atau karena lupa, jika semua itu dilakukan hanya sedikit, tidaklah membatalkan shalat, dengan tidak ada khilaf dalam kalangan ulama Syafi'iyah. Kalau dilakukan banyak, "Baca kembali uraian tentang hukum jika lupa membaca Al-Fatihah pada pembahasan "Masalah 267: Membaca Al-Fatihan di dalam shalat." maka ada khilaf di antara ashhab kami. Menjawab panggilan Rasul di waktu shala tidak membatalkan shalat. Jika kita lihat seseorang buta yang berjalan hendak jatuh kedalam sumur, lalu kita ingatkannya dengan perkataan, karena tidak ada jalan yan lain yang dapat dipahamkan olehnya, wajiblah kita mengingatkannya.

Tentang batal atau tidaknya shalat karena hal-hal tadi masih diperselisihkar para ulama. Jika seseorang dipanggil padahal dia sedang shalat atau imam terlupa dan perlu diingatkan, hendaklah mengucapkan tasbih, apabila yang shalat laki- laki, dan menepuk tangan, apabila yang shalat perempuan. Dan boleh membaca sesuatu ayat Al-Qur'an dengan maksud memberikan pengertian kepada sese- orang, asal saja diniatkan membaca Al-Qur'an, disamping cara pemberitahuan tadi. 

Sebagian orang membiasakan apabila mendengar imam membaca "iyyāka na budu wa iyyaka nasta'in", ia membaca pula yang demikian. Perbuatan ini adalah bid'ah, perlu dilarang. Bahkan ada ulama yang membatalkan shalatnya.

Men-tasymit-kan orang yang bersin, membatalkan shalat. Dalam pada itu, diriwayatkan oleh Yunus ibn Abdul A'la dari Asy-Syafi'y bahwa beliau tidak mem- batalkan shalat lantaran tasymit, karena tasymit itu dihukum doa. Membaca tasbih atau tahmid pada rukun yang lain dari rukuk dan sujud, menurut Madzhab ulama Syafi'iyah, tidak membatalkan shalat, baik dengan maksud memberi ingat kepada seseorang ataupun bukan.

Abu Hanafah berkata: "Kalau dia menyebutkannya bukan untuk menjawab sesuatu pertanyaan, tidaklah membatalkan shalat."

Tersenyum, menurut Madzhab Asy-Syafi'y, tidak membatalkan shalat, juga tertawa, jika tidak berbunyi dua haraf. Makan dan minum membatalkan shalat. 

Ibnu Mundzir berkata: para ulama telah berijma', menetapkan, bahwa dengan sengaja makan atau sengaja minun dalam shalat, membatalkan shalat. Kalau yang demikian dilakukan dalam shalat fardhu, maka shalatnya wajib diulangi. 

Tetapi jika makan itu disebabkan karena lupa, maka menurut Atha' shalatnya tidak batal, dermikian pula fatwaku, kata An-Nawawy. Mengenai shalat sunnat ada riwayat, bahwa Ibnu Zubair pernah minum di waktu shalat, Thaus berkata boleh minum dalam shalat sunah. \

Ibnu Mundzir tidak membolehkannya dan ia mengatakan bahwa sahabat-sahabat itu mengerjakan yang demikian, karena lupa. Apabila seseorang mengerjakan suatu gerakan di dalam shalat hendaklah dilihat apakah gerakan itu dari jenis gerakan shalat (seperti rukuk, dan sujud umpamanya) yang dilakukan di bukan tempatnya. Seseorang yang shalat dengan sengaja berbuat demikian, yakni bersujud pada bukan tempatnya, maka batal shalatnya, karena ia dianggap bermain-main. Kalau karena lupa, shalatnya tidak batal.

Jika yang dikerjakan itu bukan dari jenis gerakan shalat maka jika sedikit, seperti membuka sepatu, atau menolak orang yang berlalu di hadapannya, tidaklah membatalkan shalat. Para ulama Syafi'iyah berselisih paham dalam menentukan banyak dan sedikit. Yang shahih dan masyhur dalam hal ini, ialah yang berdasarkan 'uruf, dipandang tidak banyak, seperti mengangkat sorban yang jatuh. Dan jika dikerjakan gerakan yang banyak karena lupa, maka menurut pendapat yang shahih, tidak membatalkan shalat.

Berdasarkan Tulisan Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Pekerjaan yang Membatalkan Shalat, yang Makruh, dan yang Dibolehkan Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-2