Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM BERBICARA DALAM SHALAT

Yang Membatalkan Shalat

BERBICARA DI DALAM SHALAT

819) Zaid ibn Arqam ra. berkata:

كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلاةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ مِنَّا صَاحِبَهُ، وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ: وَقُوْمُوا لِلَّهِ قَانِطِيْنَ ، فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوْتِ وَنَهَيْنَا عَنِ الْكَلَامِ.

"Kami berbicara (berkata-kata) di dalam shalat. Seseorang dari kami berbicara dengan temannya yang berdiri di sampingnya. Hal itu berlangsung sehingga diturunkan ayat: "wa qümü lillahi qânitin dan tegak berdirilah kamu dalam shalat dengan berdiam (tidak berbicara dengan seseorang)." Sesudah itu kami pun diperintahkan diam (tidak boleh berbicara lagi) dalam shalat; kami dilarang berbicara." (HR. Al-Jama'ah, selain dari Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 475)

20) Ibnu Mas'ud ra. berkata:

كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا، فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِ سَلَّمَنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا. وَقُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ، كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَيْكَ فِي الصَّلَاةِ فَتَرُدُّ عَلَيْنَا. فَقَالَ: إِنَّ فِي الصَّلَاةِ لَشُغْلاً.

"Karni menyampaikan salam kepada Nabi, padahal beliau sedang shalat. Nabi menjawab salam kami itu. Ketika kami kembali dari Habsyah (Najjasyi) kami mendapati Nabi sedang shalat. Maka kami pun memberikan salam kepada beliau, namun salam kami itu tidak dijawab. Karena itu kami bertanya: Kami dahulu memberikan salam kepada tuan, sewaktu tuan sedang shalat, maka tuan menjawab salam kami (mengapakah kini tuan tidak jawab salam kami)? Maka Nabi menjawab: "Di dalam shalat itu ada urusan yang perlu diperhatikan benar- benar." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 476)

821) Mu'awiyah ibn Hakam As-Sulami ra. berkata:

بَيْنَ أَنَا أُصَلَّى مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ، فَقُلْتُ: يَرْحَمُكَ اللَّهِ فَرَمَانِيَ الْقَوْمُ بأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ: وَاتَّكُلَ أَمَّاهُ مَا شَأْلُكُمْ تَنظُرُونَ إِلَى قَالَ: فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بَأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ. فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونِي لَكِنِّي سَكَتَ. فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللهِ ﷺ فَبِأَبِي وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَابَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَاضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي ، فَقَالَ: إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةِ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَام النَّاسِ، إِنَّمَا هِيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ

"Selagi saya shalat beserta Rasullullah, tiba-tiba seorang laki-laki bersin. Karena itu, saya pun men-tasymit-kannya (mengucapkan: rahimakallah = mudah- mudahan Allah merahmatimu). Mendengar tasymit-ku itu, jama'ah yang hadir memandang diriku. Ketika itu, aku pun berkata: "Wahai malangnya seorang yang ditinggal mati anaknya, mengapa tuan-tuan melirikkan mata kepadaku?" Para hadirin itu memukul paha. Karena itu mengertilah aku bahwa maksud mereka supaya aku berdiam. Tetapi sebenarnya aku sendiri telah berdiam, tidak mau bertutur lagi. Setelah Rasulullah selesai shalat (demi Tuhan, aku tidak pernah menjumpai seorang pengajar sebelumnya dan sesudahnya yang lebih baik daripada Rasulullah). Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, tidak memakiku, beliau hanya berkata: "Ke dalam shalat itu, tidak patut dimasukkan pembicaraan- pembicaraan manusia. Kandungan shalat itu, tasbih, takbir dan tilawah Al- Qur'an." (HR. Ahmad, Muslim, An-Nasa'y dan Abu Daud; Al-Muntaqa 1: 477)

SYARAH HADITS

Hadits (819) diriwayatkan oleh Al-Jama'ah selain dari Ibnu Majah. Perkataan: "Kami ditegah (dilarang) berbicara", terdapat dalam riwayat Muslim. Riwayat At- Turmudzy, berbunyi: "Kami berbicara di belakang Rasul di dalarn shalat." Menurut At-Turmudzy, hadits ini hasan shahih.

Hadits ini menyatakan bahwa berbicara di dalam shalat, haram hukumnya.

Hadits (820) dalam suatu riwayat Ahmad dan An-Nasa'y terdapat perkataan: "Kami memberikan salam kepada Rasul dalam shalat ketika kami di Makkah, sebelum pergi ke Habasyah. Ketika kami kembali dari Habasyah, kami mendatangi Nabi, lalu kami memberikan salam. Beliau tidak menjawab salan kami. Karena itu saya (Ibnu Mas'ud ra.) bergundah hati. Sesudah selesai beliau shalat, saya pun bertanya. Maka Nabi menjawab "Sesungguhnya Allah, telah mengeluarkan undang-undang-Nya menurut kehendak-Nya. Kita telah diperintahkan, tidak boleh berbicara-bicara lagi di dalarn shalat." Menurut riwayat Abu Daud, setelah Nabi menerangkan larangan berbicara dalam shalat, barulah Nabi menjawab salam Ibnu Mas'ud Al-Hafidh dalam Fathul Bari mengatakan "Menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah, Nabi menjawab salan Ibnu Mas'ud di dalam shalat dengan isyarat."

Hadits ini menyatakan bahwa di antara sunnah Nabi dalam menjawab salam yang diberikan kepada kita di dalan shalat ialah menjawabnya sesudah selesai shalat. Menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah, kita boleh menjawab salam dalam shalat dengan isyarat saja.

Hadits (821), dalam riwayat Ahmad terdapat perkataan: "kandungan shalat ialah tasbih, takbir, tahmid dan Al-Qur'an."

Menyatakan bahwa berbicara dalam shalat hukumnya haram, baik karena ada keperluan ataupun tidak, baik untuk kernaslahatan sendiri atau pun bukan. Hadits ini memberi isyarat pula bahwa menepuk paha dalam shalat adalah sebelum adanya aturan membaca tasbih bagi orang laki-laki (untuk mengingatkan orang yang lupa dalam shalat) dan menepukkan tangan bagi orang perempuan (untuk mengingatkan orang yang lupa mengerjakan sesuatu dalam shalat). Juga hadits ini menjadi dalil, bahwa takbir dalam shalat dan qira'ah (Al-Fatihah) itu fardhu. 

Juga tasbih dan tahmid. Men-tasymit-kan orang yang bersin, dianggap berbicara yang membatalkan shalat. Jika demikian dilakukan lantaran tidak mengetahui hukum, tidak membatalkan shalat. Mengingat bahwa Nabi tidak menyuruh Mu'awiyah ibn Al-Hakim mengulangi shalatnya.

Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara fuqaha bahwa seseorang yang berbicara dengan sengaja dalam shalat, batal shalatnya.

Ibnul Mundzir berkata: "Ahli ilmu telah berijma' bahwa orang yang berbicara dalam shalat dengan sengaja dan bukan dengan maksud memperbaiki shalatnya, batal atau fasid shalatnya."

Para ulama berselisih paham tentang berbicara secara tidak sadar dan orang yang tidak mengetahui hukum.

Malik mengatakan: "Berbicara yang disengaja, kalau sedikit dan dengan maksud untuk memperbaiki shalat, tidak membatalkan shalat."

Diriwayatkan oleh At-Turmudzy dari kebanyakan ahli ilmu, bahwa mereka menyamakan berbicara karena lupa dan orang jahil yang tidak mengetahui hukum, dengan orang yang sengaja berbicara. Pendapat ini dipegang oleh Ats-Tsaury dan Ibnul Mubarak. Demikian juga An-Nakha'y, Hammad ibn Abi Sulaiman, Abu Hanifah dan Qatadah dalan salah satu riwayatnya.

Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir pula, bahwa Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Abdullah ibn Zubair meriwayatkan dari para sahabat, Urwah ibn Zubair, Atha' ibn Abi Rabah, Al-Hasan Al-Bishry, Qatadah (riwayat kedua), bahwa mereka membedakan antara berbicara orang lupa dan orang awam yang berbicara dengan sengaja.

Menurut riwayat Al-Hazimy bahwa Amar ibn Dinar juga begini pendapatnya. Di antara imam-imam Madzhab yang berpendapat demikian ialah Malik, Asy-Syafi'y, Ahmad, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. An-Nawawy menegaskan, bahwa beginilah paham Jumhur.

Dalam syarah muslim, An-Nawawy berkata: Hadits Zaid ibn Arqam memberi pengertian bahwa segala rupa pembicaraan, haram dilakukan dalam shalat.

Segolongan ulama di antaranya Al-Auza'y, berkata: "Berbicara untuk kemashlahatan shalat, dibolehkan."

Golongan yang tidak membedakan, ber-hujjah dengan lahir hadits ini. Golongan yang membedakan, ber-hujjah dengan hadits: Nabi pernah berbicara dalam keadaan lupa, lalu menyambung shalatnya. Keadaan ini diperoleh dalam hadits Dzul-Yadaini, dan dengan hadits "rufi'a 'an ummati al-khatha'u wan nisyanu diangkat dari umatku kesilapan dan kelupaan." Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ad-Daraquthny, Ath-Thabrany, Al-Baihaqy dan Al-Hakim.

Mereka tidak ber-hugjah (untuk tidak membatalkan shalat orang yang ber- bicara karena awam (tidak mengetahui hukum), dengan hadits Mu'awiyah Al-Hakam ini, yakni Nabi tidak menyuruhnya mengulangi shalatnya lagi.

Al-Hafizh dalam Fathul Bari berkata: lahir perkataan yang dipahamkan dari hadits Zaid ibn Arqam menyatakan bahwa yang me-mansukh-kan kebolehan berbicara dalam shalat, adalah ayat "wa qünü billähi qânitîn." 

Dengan demikian diperoleh pengertian bahwa hukum ini terjadi di Madinah, karena ayat tersebut turun di Madinah. Akan tetapi berita yang disampaikan Ibnu Mas'ud memberi pengertian, bahwa hukum yang menetapkan tidak boleh berbicara dalam shalar, terjadi di Makkah.

Al-Hafizh mengatakan pula: menurut lahir, yang dimansukhkan itu ialah menjawab salam dengan salam. Adapun menjawab salam dengan isyarat tetap dibolehkan. Para ulama yang mengatakan bahwa keharaman berbicara dalam shalat terjadi di Makkah, berpendapat bahwa Zaid tidak mengetahui hukun tidak boleh berbicara itu, sebelum turun ayat tersebut.

Mereka berpendapat, bahwa ayat itu turun sesudah berlaku-nya hukum larangan berbicara dalam shalat adalah untuk menguatkan hukum itu.

Kata sebagian ulama, Ibnu Mas'ud waktu itu baru kembali dari hijrah ke Habsyah yang kedua, dan itu terjadi ketika Nabi sedang menyiapkan tentara untuk peperangan Badar. Untuk itu, salam yang disampaikan Ibnu Mas'ud kepada Nabi yang sedang shalat itu, terjadi di Madinah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Khaththaby. Pendapat pertama dipegangi oleh Abu Thayyib Ath-Thabary.

Al-Khaththaby dalam Ma'allimus Sunan berkata: "Para ularna telah berselisih tentang hukum orang yang sedang shalat yang menerima salam dari seseorang.

Segolongan ulama, seperti Sa'id ibnul Musayyab, membolehkan orang yang shalat itu menjawab salam. Demikian juga pendapat Al-Hasan Al-Bishry dan Qatadah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Jabir, bahwa beliau-beliau itu menjawab salarn dalam shalat. Kebanyakan para Fuqaha berkata: "Tidak boleh menjawab salam di dalam shalat.

Menurut riwayat dari Ibnu 'Umar, salam itu cukup dijawab dengan isyarat Atha", Asy-Syafi'y, An-Nakha'y dan Ats-Tsaury mengatakan bahwa salam itu di- jawab setelah selesai shalat. Abu Hurairah mengatakan, salam tidak boleh dijawab walaupun dengan isyarat.

Ibnu Ruslan berkata: "Madzhab Asy-Syafi'y dan jumhur ulama menetapkan, bahwa mendapat salam ketika sedang shalat, cukup dijawab dengan isyarat. Diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa'y dan At-Turmudzy, yang diakui hasan olehnya dari Syuhaib, ujarnya: "Saya telah pernah berlalu di hadapan Rasullullah, ketika beliau sedang shalat, lalu saya memberikan salam, maka beliau mejawabnya dengan isyarat. 

Diberitakan oleh Muslim, Abu Daud, An-Nasa'y, At-Turmudzy dan Ibriu Majah dari Jabir ujarnya: "Saya diutus Rasulullah pergi ke Musthaliq. Ketika saya kembali, saya dapati Nabi sedang shalat di atas untanya, lalu saya terangkan hasil usaha saya. 

Maka Nabi menjawab dengan isyarat tangannya, kemudian saya terangkan lagi, lalu beliau menjawab dengan isyarat tangannya juga. Saya mende- ngar beliau sedang membaca ayat sambil menundukkan kepalanya. Setelah Nabi elesai shalat, barulah beliau bertanya: "Apakah yang kamu telah lakukan? Saya tidak dapat menyahut, karena saya sedang dalam shalat."

Nyata dan jelas, bahwa berbicara dalam shalat dengan sengaja, padahal mengetahui bahwa yang demikian itu tidak boleh, dan bukan untuk kemashlahatan shalat itu sendiri, juga bukan pula untuk melepaskan orang yang akan binasa, maka perbuatan itu membatalkan shalat. Berbicara disebabkan lupa, atau karena tidak mengetahui bahwa hukum berbicara itu tidak boleh, atau karena untuk ke mashlahatan shalat atau kemashalahatan orang lain yang sangat membutuhkannya, maka kami cenderung kepada pendapat yang tidak membatalkan shalat. Dalam pada itu, hendaklah dilakukan sujud sahwi. Mengenai hukum menjawab salam, menurut hadits yang shahih, sudah cukup jelas yakni dengan isyarat, bukan dengan menjawab salam itu.

Referensi Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Pekerjaan yang Membatalkan Shalat, yang Makruh, dan yang Dibolehkan Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-2