Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cara Bangun Ke Rakaat Yang Kedua Dan Duduk Sebentar Menjelang Berdiri

#Cara Bangun Ke Rakaat Yang Kedua

CARA BANGUN KE RAKAAT YANG KEDUA DAN DUDUK SEBENTAR MENJELANG BERDIRI

741) Wa'il ibn Hujur ra. menerangkan:

اِنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمَّا سَجَدَ وَقَعَتْ رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ كَفَّاهُ ، فَلَمَّا سَجَدَ وَضَعَ جَبْهَتَهُ بَيْنَ كَفَّيْهِ وَجَافَى عَنِ ابْطَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى فَخِذَيْهِ.

"Nabi saw. manakala bersujud, lututnya lebih dahulu menyentuh tempat sujud sebelum telapak tangannya. Manakala beliau sujud, beliau letakkan dahinya antara dua telapak tangannya dan merenggangkan dua tangan dari ketiaknya. Dan apabila beliau bangun, beliau bangun dengan kedua lututnya bertekan kepada lutut atau berpegang kepada kedua pahanya." (HR. Abu Daud; Al- Muntaga 1: 433)

742) Abu Qilabah menerangkan:

اِنَّ مَالِكًا بْنِ الحُوَيْرِثِ رَأَى النَّبِيَّ يُصَلِّي، فَإِذَا كَانَ فِي وِتْرٍ مِنْ صَلَاتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا.

"Malik ibn Huwairits melihat Rasul saw. shalat. Maka apabila beliau berada dalam rakaat yang ganjil, (satu, tiga) beliau tidak bangun terus ke raka'at yang menggenapkan, sehingga beliau tegak duduk sejenak." (HR. Al-Jama'ah selain dari Muslim dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 433)

Hadits (741) sanad-nya mursal, dan diriwayatkan juga oleh An-Nasa'y dan oleh Al-Atsram. Menyatakan bahwa Nabi ketika bangkit di rakaat kedua berpegang kepada pahanya dan bertekan kepada kedua kakinya.

Hadits (742), menurut satu lafazh Al-Bukhary, bermakna: "Maka apabila beliau mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua, beliau duduk dan bertekan ke tempat sujud, kemudian baru berdiri." Menyatakan bahwa duduk sebentar sesudah bangun dari sujud yang kedua, sebelum tegak berdiri, disukai. Duduk ini dinamai duduk istirahat.

An-Nawawy berkata: "Mazhab kami, ialah bangun ke rakaat yang kedua dan rakaat yang lain, disukai dengan bertekan atas kedua tangan. Cara ini diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari 'Umar, Makhul, 'Umar ibn Abdil Aziz, Ibnu Abi Zakaria, Al-Qasim ibn 'Abdurrahman, Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah dan Daud, Hendaklah orang yang berdiri ke rakaat yang kedua itu berpegang (bertekan) atas kedua telapak kakinya. Yang demikian ini diriwayatkan Ibnu Mas'ud.

Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, bahwa cara ini dikerjakan oleh 'Ali, An- Nasa'y dan Ats-Tsaury Beliau-beliau ini ber-hujjah dengan:

  1. Riwayat Ali, yaitu: "Di antara sunnah, ialah apabila seseorang bangun dalam shalat fardhu dari dua rakaat yang pertama, tidaklah bertekan ke lantai dengan tangannya, terkecuali kalau dia orang yang telah sangat tua, tidak sanggup berdiri kalau tidak bertekan dengan tangan." Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqy.
  2. Riwayat Abu Hurairah yaitu: "Nabi bangun tegak dalam shalat dengan bertekan atas kedua kakinya (menekankan kedua kakinya). Hadits ini diriwayatkan oleh At-Turmudzy dan Al-Baihaqy Menurut pentahqiqan An-Nawawy, hadits-hadits ini dha'if.
Asy-Syafi'y dan ulama-ulama yang sepaham, ber-hujjah dengan hadits Ayyub As-Sakhtayani, yang menerangkan cara shalat Rasul menurut ajaran yang diterangkan oleh Malik ibn Huwairits. Dalam ajaran itu diterangkan bahwa Nabi bangun untuk berdiri dengan bertekan ke lantai. Dalam Shahih Al-Bukhary terdapat keterangan yang demikian. Asy-Syafi'y berkata pula: "Saya suka cara bangun dengan bertekan kepada lantai, karena yang demikian orang yang shalat tidak rebah (terbalik ke belakang).

Ibnu Qudamah berkata: "Hendaklah orang yang bangun itu berdiri dengan telapak kakinya (jangan bertekan dengan tangan), seraya berpegang kepada lutut. Adapun hadits ini diterima dari Malik, maka yang demikian itu dilaksanakan Nabi ketika beliau telah tua, dan karena kadang-kadang sukar bagi beliau bangun secara bertekan kepada paha saja." Nabi pernah bersabda: "Saya telah mulai gemuk. Karenanya janganlah kamu mendahului saya dalam mengerjakan rukuk dan sujud." Apabila sukar bagi seseorang berbuat demikian, barulah dia boleh bertekan ke lantai. Dalam hal yang tersebut ini tidak ada perselisihan di antara para fuqaha tentang boleh bertekan ke lantai. Penetapan yang tersebut ini diisyaratkan oleh perkataan 'Ali: "terkecuali kalau dia tidak sanggup bertekan kepada pahanya lantaran telah tua, atau karena sakit." Ibnul Qayyim telah membahas masalah ini dalam Zadul Ma'ad.

Kesimpulannya ialah bahwa bangun itu hendaklah dengan berpegang kepada paha. Demikianlah sunnah yang kekal Nabi laksanakan. Adapun penjelasan Al-Bukhary bertelan pada lantai dikaitkan dengan keadaan terpaksa (darurat).

Duduk istirahat

Asy-Syafi'y dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan sebagian ahli hadits menyunnatkan duduk istirahat sebelum terus bangun ke rakaat yang genap.

Abu Hanifah, Malik, Ahmad dalam pendapatnya yang kedua dan Ishaq, tidak menyunnatkan yang demikian, mengingat hadits Wa'il yang bermakna: "Nabi apabila mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua, terus berdiri." Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar. An-Nawawy menyatakan hadits ini dha'if.

Al-Hafizh dalam At Talkhis merryatakan: "Diriwayatkan oleh Ibnu Mundir dari hadits Nu'man ibn Tyasy, ujarnya saya dapati bukan seorang dari sahabat- sahabat Nabi, apabila mengangkat kepalanya dari sujud dalam rakaat yang pertama dan dalam rakaat yang ketiga terus berdiri dengan tidak duduk."

Dalam Fathul Bari Al-Hafizh berkata "Hadits ini di pegang oleh Asy-Syafi'y dan segolongan ahli hadits." Dari Ahmad diterima dua riwayat. Menurut penerangan Al-Khallal, bahwa Ahmad telah meninggalkan paham tidak menyunnatkan duduk istirahat, mengambil paham menyunnatkan. Kebanyakan ulama tidak menyunnatkan.

Ibnul Qayyim berkata: "Fuqaha telah berselisihan tentang duduk istirahat. Apakah duduk istirahat termasuk surat-surat shalat, disukai supaya masing-masing yang shalat mengerjakannya, ataukah tidak masuk ke dalam surat-sunnat shalat, hanya dilakukan oleh orang-orang yang menghendakinya saja. Ada dua pendapat ulama. Kedua-duanya diterima dari Ahmad. Al-Khallal berkata: "Ahmad telah kembali kepada hadits Malik ibn Huwairits tentang hal duduk istirahat." Al- Khallal berkata: "Dikabarkan kepadaku oleh Yusuf ibn Musa; bahwa pernah orang bertanya kepada Umamah tentang cara bangunnya." Abu Umamah menjawab: "Bangun dengan kedua telapak kaki." Dan di dalam hadits Ibnu Ajlah diperoleh petunjuk bahwa Nabi bangun dengan telapak kakinya (yakni berpegang kepada paha, bukan bertekan kepada lantai).

Diriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi dan dari mereka yang meneladani shalatnya, mereka tidak menyebutkan duduk istirahat. Duduk istirahat ini hanya tersebut dalam hadits Abu Humaid dan Malik ibn Huwairits. Sekiranya Nabi menyegerakan duduk itu secara tetap, tentulah duduk itu diterangkan oleh segenap perawi yang memperlihatkan cara shalat Rasul. Pernahnya Nabi duduk istirahat, tidak menunjuk bahwa duduk itu masuk ke dalam sunnat-sunnat shalat, terkecuali kalau diyakini, bahwa Nabi duduk istirahat itu sebagai sunnat. Apabila kita beranggapan, bahwa Nabi duduk itu karena ada sesuatu keperluan, tidaklah menunjuk kepada kesunnatannya.

Apabila kita mengumpulkan hadits Wa'il dan hadits yang semakna dengan hadits Malik ibn Huwairits, didapat kesimpulan bahwa cara bangun dari duduk, ialah berpegang kepada paha, menekankan telapak tangan ketika keadaan biasa. Apabila darurat barulah kita bertekan ke lantai. Mengumpulkan hadits-hadits ini secara begini, lebih patut daripada mengamalkan salah satunya. Istimewa apabila kita ingat, bahwa dalam salah satu riwayat yang menerangkan cara shalat yang Nabi ajarkan kepada orang Baduwi terdapat perkataan sesudah menerangkan sujud kedua, kemudian kamu mengangkat kepala hingga duduk dengan tetap." Ini dapat dipergunakan untuk mewajibkan duduk istirahat, karena para ulama telah menjadikan ajaran Nabi kepada Baduwi itu sebagai dasar dari rukun shalat.

Tidak terdapatnya duduk istirahat dalam hadits Wa'il dan hadits Abu Humaid, mensahkan kebolehan kita meninggalkannya. Sebenarnya tidak semua riwayat yang diterima Abu Humaid, meniadakan duduk istirahat. Menurut riwayat Abu Daud, At-Turmudzy dan Ahmad dari jalan yang lain dari Abu Humaid, meng- isyaratkan adanya duduk istirahat itu. Ringkasnya, Nabi tidak duduk istirahat dalam sebagian shalatnya, menunjukkan bahwa duduk itu tidak wajib, bukan tidak sunnat.

Walhasil dalam suatu shalat terdapat empat kali duduk:

  • duduk antara dua sujud,
  • duduk istirahat,
  • duduk tasyahhud awal,
  • duduk tasyahhud akhir.
Cara duduknya sama, terkecuali duduk pada tasyahhud akhir.

Apabila kita duduk istirahat, hendaklah kita duduk secara iftirasy menurut sifat duduk antara dua sujud. Demikianlah mazhab Asy-Syafi'y berdasarkan hadits Abu Humaid.

Dalam pada itu sebagian ulama berpendapat, bahwa duduk istirahat ini adalah duduk di atas dua telapak kaki. Dilakukan demikian supaya aman dari lupa, jangan sampai menyangka duduk tasyahhud. Apabila seseorang mengerjakan duduk istirahat, hendaklah takbir yang diucapkan ketika bangun dari sujud, diselesaikan pada duduk itu. Di waktu bangun berdiri, tidak bertakbir lagi. Sehingga pendapat Abul Haththab yang menyunnatkan kita membaca takbir lagi di waktu bangun istirahat itu, tertolak.

Ibnu Daqiqil Id berkata: "Para fuqaha mengambil dalil dengan hadits ajaran Nabi kepada orang Baduwi untuk mewajibkan semua gerakan yang tersebut di dalamnya dan untuk tidak mewajibkan semua yang tidak tersebut di dalamnya. Mewajibkan semua yang tersebut dilakukan di dalam shalat, adalah berpautan dengan suruhan. Tidak mewajibkan yang selainnya mengingat bahwa Nabi ketika itu memberi pelajaran kepada orang yang tidak mengetahui gerekan-gerakan yang wajib dilakukan di dalam shalat. Hal ini membuktikan, bahwa semua yang disebut Nabi itu, wajib dikerjakan karena pada masa itu, Nabi tidak saja membetulkan apa yang salah dikerjakan oleh Baduwi itu, bahkan Nabi menerangkan perbuatan yang lain."

Mengingat dasar inilah, maka semua yang diperselisihkan ulama tentang wajibnya, sedang yang diperselisihkan itu tersebut dalam hadits Baduwi itu, kita dapat mewajibkannya. Setiap gerakan yang diperselisihkan bahwa gerakan itu tidak wajib, padahal-hal itu tidak tercantum di dalam hadits, maka kita dapat menetapkan bahwa perbuatan itu tidak wajib tiap-tiap yang mereka perselisihkan ten- tang ketidakwajibannya.

Dalam pada itu bagi mereka yang ingin meneladani Nabi secara benar, haruslah:

  1. mengumpulkan semua jalan-jalan hadits dan menghitung semua yang disebut di dalamnya serta mengumpulkannya. Maka tiap-tiap yang terdapat salah satu riwayatnya, hendaklah dihukumkan wajib.
  2. Apabila telah tegak dalil untuk mewajibkan, atau tidak mewajibkan, wajiblah diamalkan penetapannya, selama belum dibantah oleh yang lebih kuat. Apabila dia mengambil dalil untuk tidak mewajibkan lantaran tidak tersebut dalam hadits, padahal ada hadits lain yang menyuruh, hendaklah dilakukan dahulu lafazh suruhan.
  3. Hendaklah terus-menerus memelihara dasar ini jangan berpindah-pindah dan hendaklah dia memakai undang-undang yang di i'tibarkan secara tetap.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy  Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid 1 Bab Sifat-sifat Shalat Masalah Cara Bangun Ke Rakaat Yang Kedua Dan Duduk Sebentar Menjelang Berdiri