Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEJARAH SINGKAT ILMU MATEMATIKA

SEJARAH SINGKAT ILMU MATEMATIKA
Ilmu-ilmu matematika merupakan ilmu yang paling awal, yang dikenal manusia dan menggunakannya dalam kehidupannya secara langsung ketika membutuhkan operasi dan ukuran-ukuran dalam berinteraksi dan beraktifitas. 

Seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, pada awalnya ilmu ini sifatnya sangat sederhana lalu berkembang seperti Aritmatika, geometri, Aljabar, dan ilmu tentang segitiga yang merupakan cabang matematika yang paling unggul dibandingkan cabang-cabang ilmu matematika lainnya, baik dari segi keyakinan maupun metode. Bahkan ilmu segitiga merupakan syarat utama dalam mempelajari ilmu-ilmu yang lain dan memahami filosofinya.

Tidak diragukan lagi bahwa bangsa Mesir Kuno merupakan orang pertama yang merumuskan ilmu-ilmu matematika. Sebab tidak logis jika mereka membangun sebuah peradaban yang unik dengan segenap piramidanya yang tinggi dan kuil-kuilnya yang besar dan megah tanpa memahami prinsip-prinsip Aritmatika dan dasar-dasar geometri.

Akan tetapi perhatian bangsa Mesir hanya terfokus pada sisi praktis ilmu-ilmu pengetahuan, yang di antaranya ilmu matematika. Hal ini berkontradiksi dengan bangsa Yunani yang memfokuskan perhatian mereka pada sisi teoritis dan kontemplasi filosofisnya. 

Baca juga: Sumbangan Keilmuan Islam Pada Dunia

Setelah Phitagoras memperhatikan berbagai keberhasilan bangsa Mesir dan kehebatan mereka yang luar biasa, maka ia menarik kesimpulan tentang prinsip-prinsip teoritis yang menjadi tumpuannya dengan memanfaatkan intelegensianya yang cerdas hingga mencapai teorinya yang populer dan dikenal dengan namanya (Teori Pythagoras). Dengan kenyataan ini, maka para pakar sejarah menobatkannya sebagai salah satu pendiri ilmu matematika

Ketika Islam datang dan bangsa Arab mengibarkan bendera peradaban dan memperkaya pemikiran manusia, maka perhatian mereka terfokus pada sisi teoritis dan realita praktis sekaligus. Karena itu, mereka mampu melakukan berbagai inovasi terhadap ilmu-ilmu klasik dan menciptakan ilmu-ilmu yang baru, yang berkontribusi positif bagi kemajuan peradaban kontemporer kita ini.

Ketika mengemukakan sejarah singkat ilmu matematika pada periode pertengahan, kita mendapati bahwa langkah pertama yang dimulai manusia adalah berhitung dengan menggunakan satuan-satuan kecil karena minimnya piranti yang mereka miliki atau yang dapat mereka peroleh secara serentak. Mereka biasa menggunakan kerikil dalam berhitung agar tidak lupa. Dari realita inilah, maka muncullah kata Ihsha (dalam bahasa Arab yang berarti kerikil).

Pada masa kegemilangan peradaban Mesir Kuno, ilmu matematika memang mengalami kemajuan pesat hingga menjadi pengetahuan yang sebenarnya. Akan tetapi kemajuan ini tidak lebih dari persoalan-persoalan praktis yang berkaitan dengan tema tertentu. Papyrus juru tulis Mesir Ahmose memuat beberapa informasi matematika tentang Aritmatika geometri, bilangan pecahan, penjumlahan dalam Aritmatika dan geometri. yang sejarahnya dimulai kurang lebih lima ribu tahun yang lalu.

Pada tahun 2950 SM, seorang insinyur berkebangsaan Mesir bernama Amenhotep membangun sebuah piramida Saqarah bergradasi dengan penuh ketelitian. Satu abad kemudian, Khufu menginstruksikan pembangunan piramida terbesar yang masih eksis hingga sekarang dan menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia, dimana keempat sudutnya berbaris tegak lurus keempat penjuru utama. 

Kesalahan yang terjadi pada ketiga pangkal sisi segitiga tidak lebih dari satu dari empat ribu buah. Perbedaan-perbedaan mengenai tinggi rendahnya bidang permukaan dan persinggungan sudutnya yang sangat kecil tidak nampak kecuali menggunakan teropong modern.

Di samping itu, bangsa Mesir Kuno juga mengenal persamaan kuadrat biasanya digambarkan dengan rumus:

02 + R2 =100

dimana R-3/4 O, sehingga O=8, R=6.

Persamaan berkorelasi langsung dengan solusi geometri terhadap hubungan sederhana antara bilangan 3, 4, dan 5 pada segitiga siku-siku (Segitiga tegak lurus); dimana Pythagoras merumuskan teorinya yang terkenal dalam trigonometri, yang menyatakan, "Sesungguhnya jumlah persegi yang dibentuk dari panjang dua sisi siku-sikunya akan sama dengan jumlah dua persegi yang dibentuk dari panjang hipotenusannya".

Di daerah antara dua sungai (Mesopotamia): Bangsa Babilonia dan Sumeria berupaya membangun bilangan secara logika. Mereka menyusun angka-angka dalam papan-papan segi empat untuk menjaga urut-urutan angka dalam satuan, puluhan, dan ratusan.

Mereka juga mengenal persamaan tingkat pertama yang memiliki satu ketidaktahuan dan persamaan fungsi kwadrat yang penyelesaiannya membutuhkan persamaan topikal. Salah satunya atau kedua-duanya berasal dari persamaan tingkat dua. 

Mereka menghitung luas persegi panjang, trapesium, segitiga siku-siku (sama kaki), dan menyatakan bahwa luas lingkaran terbagi dalam enam bujur, dimana masing-masing bagian sama dengan setengah garis tengah lingkaran dan lingkaran tersebut membentuk enam segitiga sama sisi, dengan masing-masing sudut berukuran enam puluh derajat.

Bangsa Babilonia merumuskan tabel segi empat dan kubus serta menyusunnya dalam lembaran-lembaran Munkarah yang hidup sezaman dengan Papyrus Ahmose.

Bangsa Smith menyusun angka-angka dan bilangan mereka dengan menggunakan huruf hijaiyyah yang mereka temukan sesuai urutan abjad. Sedangkan bangsa India dan Cina, mereka memiliki simbol-simbol tersendiri dalam menyusun angka-angka. Mereka memiliki pengalaman yang berkaitan dengan hubungan antar bilangan 3, 4, dan 5 dalam segitiga tegak lurus (siku-siku) dan menyelesaikan masalah segi empat. 

Dikatakan bahwa bangsa India menggunakan sistem desimal dan menemukan angka nol, serta angka-angka yang dipergunakan dunia saat ini. Akan tetapi mereka tidak dapat memanfaatkannya, kecuali setelah bangsa Arab pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah menggunakannya. 

Mereka menggunakan sistem ini dalam kegiatan berhitung mereka dan kemudian berkembang ke seluruh penjuru dunia karena aktifitas dagang mereka dan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, Angka-angka ini pun kemudian dikenal dengan nama Angka-angka Arab.

Karena mempertimbangkan perbedaan sumber sejarah dan banyaknya pendapat yang kontradiktif berkaitan dengan kisah penemuan angka nol ini dan penemuan sistem penomoran serta penisbatannya kepada India atau Arab, maka kami memandang perlu untuk mengemukakan kronologi kisah ini secara ringkas agar pembaca benar-benar mengetahui berbagai pendapat yang beragam dalam buku-buku sejarah ilmu pengetahuan.

Seorang orientalis Jerman bernama Sigred Hunke dalam Allah's Sun Over The Occident" berkata, "Sesungguhnya sistem penulisan angka-angka oleh bangsa India dikenal hingga di luar batas wilayah India tahun 622 Masehi. Angka nol muncul pertama kalinya dalam tulisan-tulisan India sekitar tahun 400 Masehi. Referensi untuk memastikan kebenaran dari pernyataan tersebut adalah sebuah buku berjudul As-Shindu Hind, yang ditulis seorang pakar Astronomi terkemuka India bernama Brahma Gupta tahun 628 M. Dalam buku itu disebutkan bahwa kesembilan angka dan Nol telah dipergunakan sebagai angka kesepuluh. Pada tahun 772 M. seorang pakar Astronomi India bernama Kankah pergi ke istana Khalifah Al-Manshur dengan membawa buku As-Shindu Hind. Setelah itu, Sang Khalifah memerintahkan penerjemahannya ke dalam bahasa Arab. Sang Khalifah mempercayakan pelaksanaan proyek ini kepada Muhammad bin Ibrahim Al-Fazari, yang merupakan seorang pakar Astronomi pertama dalam Islam. Kemudian ia menulis sebuah buku dengan metode yang sama berjudul As-Shindu Hind Al-Kabir Dari peristiwa inilah, bangsa Arab untuk pertama kalinya mempelajari ilmu hitung yang dikembangkan bangsa India dan pengetahuan mereka tentang sistem angka-angka dan bilangan India. Mereka juga menggunakan angka-angka tersebut sebagai ganti dari sistem penomoran dengan menggunakan kalimat.

Kelompok pendukung pendapat ini melanjutkan peraturan mereka bahwa bangsa India memiliki berbagai bentuk angka, dimana bangsa Arab memperbaiki sebagiannya dan membentuk dua rangkaian yang salah satunya dikenal dengan nama Al-Arqam Al-Hindiyah atau Al- Khawarizmiyyah, yaitu: (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9.)

Bangsa India dan sebagian besar wilayah Timur Arab-Islam banyak menggunakannya. Sedangkan yang kedua dikenal dengan nama Al-Arge Al-Ghubariyyah (Angka-angka Debu). 

Angka-angka ini banyak dipergunakan penduduk di wilayah Maroko, Andalusia, dan kemudian masuk Eropa melalui Andalusia, interaksi perdagangan, petualangan yang dilakukan sebagian bangsa Arab dan pertukaran diplomatik yang terjadi antara para khalifah dengan para penguasa di beberapa negara Arab. Hingga kemudian angka-angka ini lebih dikenal dengan nama Al-Arqam Al-Arabiyyah.

Penamaan Al-Argam Al-Ghubariyyah terjadi karena angka-angka tersebut ditulis di atas meja atau papan yang tertutup oleh pasir ataupun debu-debu tipis. 

Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa rangkaian Al- Argam Al-Ghahariyyah disusun berdasarkan jumlah sudut yang dimiliki setiap angka. Angka satu misalnya, memiliki satu sudut, angka dua memiliki dua sudut, dan begitu seterusnya. Kemudian bangsa Arab memperbaiki bentuk-bentuk ini hingga setelah itu menjadi angka-angka dengan bentuk yang kita kenal, yaitu: (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,0)

Di sisi lain, DR. Umar Farukh dalam Tarikh Al-Ulum Inda Al-Arab berkata, "Bahwa angka-angka muncul pertama kali dengan nol yang ditulis dalam bentuk titik sebagaimana yang kita tulis pada masa sejak tahun 787 M sebelum muncul dalam buku-buku India."

DR. Ali Abdullah Ad-Difa' juga menegaskan dalam Nabigh Ulama Al-Arab wa Al-Muslimin fi Ar-Riyadhiyat," Umat Islam adalah bangsa yang menemukan angka nol dan menggunakannya untuk pertama kalinya tahun 873 M. Sedangkan bangsa India belum mempergunakannya, kecuali tahun 879 M.

DR. Ad-Difa' memperkuat argumentasinya berdasarkan sebuah artikel yang ditulis kolumnis kontemporer bernama Abdurrahman Abdul Lathif, yang diterbitkan dalam Majalah Al-lim, dengan judul Al-Arqam Al- Arabiyyah. Dalam artikel tersebut, disebutkan, "Sesungguhnya Al-Arqam Al-Ghubariyah (Angka-angka Debu) ditemukan oleh bangsa Arab sejak mereka belajar menulis Arab.

Peristiwa itu terjadi sebelum pengutusan Rasulullah Muhammad, antara abad ketiga Masehi hingga akhir abad keenam Masehi. Dan ini merupakan waktu terjadi perubahan tulisan Arab dari bentuk An-Nabathi murni menjadi bentuk Arab sebagaimana yang kita kenal dan kita lihat hingga sekarang, yang memiliki bentuk jauh berbeda dengan tulisan An-Nabathi yang ketika itu memiliki bentuk yang benar- benar sama dengan Al-Arqam Al-Ghubariyah."

Semua berhasil ditemukan atau diketahui akhir-akhir ini, tepatnya ketika kita melihat tulisan An-Nabathi yang ditemukan Archeolog Prancis bernama Rene Dosso, yang meninggal pada tahun 1958 M. Tepatnya ketika ia melakukan penggalian di kota Ra's Syamar di Syiria Selatan; Dimana ia menemukannya di daerah An-Namaridah di Huran dalam sebuah relief bertanggal 328 Masehi. Di dalamnya disebutkan tentang Amru` Al-Qais. 

Di antara faktor-faktor yang mendukung kebenaran pendapat ini adalah pilihan bangsa Arab terhadap titik sebagai cara untuk mengungkapkan atau melambangkan angka Nol; Sebab titik mempunyai arti yang sangat penting dalam tulisan Arab. 

Bangsa Arab menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa dan memastikan kejelasan antara huruf yang satu dengan yang lain. Karena itu, mereka memberikan tugas yang sama kepada titik ini untuk melambangkan angka Nol bersama dengan angka-angka Arabyang lain. 

Apabila suatu titik misalnya, diletakkan di sebelah kanan angka satu, maka menjadi sepuluh. Jika dua titik diletakkan di sebelah kanan angka lima, maka menjadi angka lima ratus, dan begitu seterusnya. Para pendukung pendapat ini berkesimpulan bahwa angka-angka yang dipergunakan pada masa sekarang di dunia secara keseluruhan, baik Al-Ghubariyah maupun Al-Khawarizmiah semuanya berasal dari bahasa Arab.

Kalaulah kita asumsikan bahwa bangsa India merupakan orang- orang yang menemukan angka-angka atau bilangan Arab, maka umat Islam adalah orang-orang yang memanfaatkan dan mengembangkannya, lalu memasukkan notasi bilangan desimal, mempergunakan angka nol untuk tujuan yang sama sebagaimana yang kita pergunakan sekarang, dan mengakui nilai-nilai positifnya, dimana angka itu memiliki dua nilai: Nilai internal dan nilai eksternal atau nilai yang berlaku padanya di suatu posisi.

Referensi:
Buku Prof. Dr. Ahmad Fuad Basya Tentang Sumbangan Keilmuan Islam Pada Dunia