Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

METODE ILMIAH KONTEMPORER

METODE ILMIAH TERBARU
Melanjutkan pembahasan tentang sejarah perkembangan proses ilmiah dan metode penelitian ilmiah, maka kami memandang penting untuk menjelaskan bahwa pengertian kontemporer dalam proses dan metode ilmiah ini menggabungkan antara pengertian Deduktif yang digunakan para ilmuwan Yunani dalam mempelajari filsafat metafisik ilmu-ilmu alam dan metode eksperimen Induktif yang dipergunakan para ilmuwan dalam peradaban Islam.

Metode ilmiah kontemporer lebih dikenal dengan sebutan Metode Deduktif Teoritis. Hal itu disebabkan bahwa pengamatan-pengamatan yang mengilhami peneliti menyimpulkan beberapa asumsi yang harus diselesaikan melalui metode deduktif agar asumsi-asumsi tersebut memperlihatkan hasil-hasil yang dapat diuji coba kembali dalam alam realita, demi menguji kebenaran asumsi-asumsi tersebut ataupun menge tahui kesalahan-kesalahannya. Metode ilmiah modern dengan bentuk semacam ini tidak lain merupakan asimilasi dua metode ilmiah; Deduktif dan Induktif.

Tiada satu pun ilmu-ilmu alam kontemporer yang bertumpu pada salah satu dari kedua metode tersebut dan mengabaikan yang lain meskipun sebagian dari ilmu-ilmu ini lebih banyak bertumpu pada salah satu dari kedua metode tersebut atas yang lain; jika riset ilmiah dimaksudkan sebagai pengamatan-pengamatan yang menginspirasikan berbagai asumsi, lalu mengambil kesimpulan dari hasil-hasil yang mungkin muncul dari asumsi asumsi ini, dan kemudian menguji kembali hasil-hasil ini pada realita untuk memastikan apakah asumsi-asumsi tersebut diterima ataukah ditolak. Fase pertama dan terakhir merupakan metode ilmiah Induktif, sedangkan fase ketiga adalah metode ilmiah Deduktif.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pengantar atau metode yang harus diikuti dalam melakukan riset ilmiah sesuai dengan sistem modern berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.

Ketika kita melihat ilmu Fisika lebih banyak bertumpu pada per- hitungan dan eksperimen, maka kita mengetahui bahwa arti penting pengamatan dan eksperimen menjadi proses utama dalam ilmu Astronomi. Karena itu, ilmu Astronomi lebih banyak bertumpu pada metode Induktif, dimana peneliti berpindah dari yang bersifat parsial menuju universal. 

Ketika seorang pakar geologi mengamati galian-galian binatang laut yang terdapat di padang pasir, yang berjarak ribuan kaki di atas permukaan laut, maka dapat disimpulkan bahwa daerah yang diteliti tersebut pada awalnya berupa daerah terpendam di bawah laut. Dengan cara ini, maka ia telah menggunakan metode Induktif ekstradisi.

Adapun ilmu Fisika, yang berpindah dari prinsip umum menuju kondisi khusus dan tertentu, maka menggunakan metode Deduktif. Misalnya, teori relatifitas yang di gagas Albert Einstein tahun 1905 M, yang menyatakan tentang kemungkinan terjadinya perubahan materi menjadi energi sesuai dengan persamaannya yang dikenal dengan rumusan: 

Energi = Massa benda X seperempat kecepatan cahaya.

Berbagai eksperimen yang dilakukan setelah itu membuktikan kebenaran persamaan Einstein. Melalui penerapan teori tersebut disimpul- kan adanya sel atom baru bernama Neutrino.

Hal itu terjadi karena dalam salah satu proses pembengkakan aktifitas radiasi nampak adanya pergerakan energi dalam bentuk cahaya Beta. Akan tetapi energi radiasi ini lebih sedikit dari standar yang ditetapkan hukum Eksistensi Massa dan Energi, yang dicetuskan Albert Einstein.

Kebangkitan Ilmiah di Era Peradaban Islam

Pada tahun 1934 M, seorang pakar Fisika Pauly menyatakan bahwa penyebaran energi ini bergerak dalam bentuk sel atoms yang tidak dikenal, yang dinamakannya Neutrino, Dengan demikian, maka teori Einstein senantiasa dipergunakan meskipun keraguan mengenai adanya sel yang tidak dikenal ini masih menyelimuti, hingga kemudian berhasil diteliti dan dipastikan eksistensinya pada tahun 1956 M melalui metode ilmiah oleh sebuah tim Ilmuwan terkemuka

Contoh ini menjelaskan bagaimana penelitian fisika modern bertumpu pada metode deduktif, yang dimulai dari sesuatu yang umum hingga mencapai kondisi tertentu.

Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa metode eksperimen yang dipergunakan para ilmuwan dalam peradaban Islam pada abad pertengahan, merupakan fase terpenting yang harus dilalui metode penelitian dalam bidang ilmu-ilmu alam. Metode tersebut senantiasa menjadi batu loncatan dalam mengenal metode ilmiah kontemporer, yang bertumpu pada penggabungan antara metode deduktif dengan metode eksperimen Induktif, yang berbeda-beda kadarnya antara cabang ilmu yang satu dengan cabang ilmu yang lain.

Di sisi yang lain, metode ilmiah kontemporer hampir sama dengan metode induktif klasik dalam hal tumpuannya pada dua langkah penting dari beberapa langkahnya, yaitu pengamatan dan eskperimen. Begitu juga dengan metode teoritis. Akan tetapi keduanya berbeda dalam hal urutan kedua langkah ini. Asumsi atau hupotesa menempati fase pertama dalamn metode ilmiah kontemporer. Karena itu, metode tersebut seringkali disebut metode Hypothetical

Misalnya, kita dapat berasumsi khusus yang berkaitan dengan teori Quantum. Dalam realitanya, teori ini mencari sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan: Mengapa kita tidak mempersepsikan energi sebagai sesuatu yang tersusun dari Quanta atau partikel-partikel kecil seukuran Quanta-Quanta yang kecil, yang menjadi materi utamanya, yang dinamakan atom? Dengan demikian, hipotesa yang muncul adalah: kita dapat mempersepsikan energi sebagai sesuatu yang tersusun dari Quanta, yang merupakan materi utama pembentuknya. Marx Plank berasumsi bahwa Quanta ini lebih mirip dengan sel-sel atau benda-benda yang sangat kecil.

Dari penjelasan ini, maka jelas bahwa hipotesa ini tidak bertumpu pada kebenaran realistis yang dapat diamati, sehingga tidak dihasilkan dari pengamatan atau pengalaman langsung. 

Di samping itu, bisa juga hipotesa ini dipergunakan untuk menjelaskan hukum-hukum atau teori-teori terdahulu yang tidak cukup untuk menjelaskan fenomena-fenomenanya. Misalnya, teori-teori mengenai sel-sel yang berkaitan secara khusus dengan karakter cahaya atau susunan atom. 

Dengan cara ini, kemudian dikenal misalnya hukum cahaya dan diketahui pula karakter elektron yang merupakan subatom bermuatan negatif. Dengan diketahuinya kedua kondisi ini, maka dimungkinkan untuk melakukan berbagai eksperimen yang berpotensi membantu meyakinkan kebenaran hipotesa tersebut. Dan perlu diketahui bahwa eksperimen praktis ini tidak jarang menghadapi kesulitan ketika merumuskan asumsi-asumsi atau hipotesa ilmiah.

Yang terpenting adalah bahwa hipotesa atau asumsi ini haruslah sesuatu yang dapat ditelusuri kebenarannya; Jika tidak pada masa sekarang, maka di masa depan (contohnya teori yang dikemukakan Einstein tentang rumus persamaan materi dan energi).

Sekarang timbul pertanyaan: Apakah kita mendapati metode ilmiah kontemporer ini merupakan piranti utama dalam warisan ilmiah peradaban Islam?

Sumber:
Buku Sumbangan Keilmuan Islam Pada Dunia Oleh Ahmad Fuad Basya