Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Saham Sama dengan Barang Dagang, Benarkah...???

Saham Sama dengan Barang Dagang, Benarkah...???

Ada pendapat para ulama yang tidak memandang saham sesuai dengan jenis perusahaannya, yang berakibat saham satu perusahaan berbeda dari saham perusahaan jenis lain, tetapi memandang saham itu satu jenis dan memberinya satu hukum pula tanpa melihat perusahaan apa yang menerbitkannya.

Ulama-ulama besar seperti Abu Zahra, Abdur Rahman Hasan, dan Khalaf, berpendapat bahwa saham dan obligasi adalah kekayaan yang diperjual-belikan, karena pemiliknya memperjual-belikan dengan menjual dan membelinya dan dari pekerjaannya itu pemilik memperoleh keuntungan persis seperti pedagang dengan barang dagangannya, karena harga yang sebenarnya yang berlaku di pasar berbeda dari harga yang tertulis dalam kegiatan jual-beli tersebut.

Berdasarkan pandangan itu, maka saham dan obligasi termasuk ke dalam kategori barang dagang, karena itu benar bila termasuk objek zakat seperti kekayaan-kekayaan dagang lain dan dinilai sama dengan barang dagang."

Hal itu berarti bahwa zakat dipungut tiap di penghujung tahun sebesar 2.5% dari nilai saham-saham, sesuai dengan harga pasar pada saat itu dan setelah ditambah dengan keuntungan, dengan syarat pokok dan ke untungannya itu cukup senisab atau ditambah dengan dari sumber lain. cukup senisab. 

Hal itu setelah biaya kebutuhan sehari-hari, atau dengan istilah lain kebutuhan minimum sehari-hari, disesuaikan dengan kondisi pemilik saham bila tidak mempunyai sumber pencarian lain seperti janda dan anak yatim, dikeluarkan dan kemudian baru dikeluarkan zakat dari sisa. Pendekatan ini tampaknya lebih baik dari pendekatan pertama ditinjau dari segi orang-orang tersebut. Karena setiap pemilik saham dapat mengetahui berapa nilai sahamnya dan keuntungan yang diperolehnya setiap tahun, lalu dengan mudah ia bisa mengeluarkan zakatnya. 

Berbeda dengan pendekatan pertama, yang memperbeda-bedakan antara satu saham dari saham lain, yang satu dipungut zakatnya dari keuntungan, sedangkan yang satu lagi dipungut dari saham dan keuntungannya, yang dipandang dari segi orang-orang yang dibebani kewajiban zakat tersebut cukup menyulitkan. 

Karena itu Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa pendekatan kedua lebih baik bagi kepentingan pembayar zakat, karena lebih mudah melaksanakannya. Terkecuali bila pemerintah yang bertugas memungut zakat dari perusahaan-perusahaan, dalam hal ini saya berpendapat bahwa pendekatan pertama lebih baik dan lebih kuat.

Yusuf Al-Qardhawi mencatat bahwa para ulama di atas sebenarnya memperlakukan secara sama saham dan obligasi itu, tidak memperbedakan saham dari obligasi, mengingat obligasi adalah piutang yang ditangguhkan pembayarannya, seperti dapat dilihat dalam al-Mu'amalat al-Haditha. 

Perlakuan yang sama tentang wajibnya keduanya dikeluarkan zakatnya itu dapat diterima. Mereka memberikan jawaban atas serangan yang ditujukan kepada mereka, sebagai berikut: "Orang-orang itu mengatakan bahwa obligasi adalah piutang yang berpindah dari tangan seseorang kepada orang lain, yang dengan itu berarti piutang itu dijual. Hal itu tidak boleh menurut kebanyakan ulama, karena tindakan itu tidak terjamin bebas dari hal-hal yang dilarang.

Tetapi sebenarnya obligasi sudah berubah fungsinya menjadi barang dagang, yang bila kita bebaskan dari kewajiban zakat pasti akan lebih tidak terjamin dari hal-hal yang dilarang tersebut, akan lebih banyak lagi orang memperjual-belikannya dan mencari usaha dalam bidang itu, yang seterusnya berakibat mendorong orang berbuat haram tanpa ada sangsi berupa pemotongan penghasilannya. Dan juga karena memberikan hasil usaha yang terlarang ke zakat tidak terlarang, sesuai dengan ketentuan yang diberikan para ulama fikih.

Apakah Zakat Dipungut dari Keuntungan dan Saham Perusahaan?

Bila kita memandang saham adalah modal perusahaan secara dagang, karena itu dipungut atasnya zakat perdagangan, bolehkah dari perusaha an-perusahaan yang jelas modalnya terdiri dari saham-saham itu, dipungut zakat dari keuntungannya? 

Menurut Abu Zahra dan kawan-kawannya. zakat yang dipungut dari saham dan obligasi yang diperdagangkan berlainan statusnya dari zakat yang dipungut dari perusahaannya sendiri. karena dipungutnya zakat dari perusahaan berdasarkan bahwa modalnya itu bertumbuh melalui kegiatan industri dan lain-lain, "sedangkan saham yang diperdagangkan mengalami pertumbuhan oleh karena saham itu sendiri merupakan barang dagang."

Tidak Boleh Terjadi Dua Muka:

Berdasarkan pendapat itu, bila seseorang, dalam perusahaan industri, misalnya, memiliki saham senilai 1000 dinar kemudian di akhir tahun ia mendapat keuntungan bersih sebesar 200 dinar, maka berarti ia harus mengeluarkan zakat sebesar 2.5% dari keseluruhan, 1200 dinar, yaitu 30 dinar. Bila zakat dipungut pula dari keuntungan bersih perusahaan sebesar 10%, sesuai dengan pendapat di atas, maka nilai saham 1000 dinar ditambah dengan keuntungannya itu berarti dipungut zakatnya dua kali. 

Artinya pertama kita memperlakukan pemilik saham sebagai pedagang yang darinya kita pungut zakat 2.5%, kemudian kita memperlakukannya sebagai orang yang memperoleh penghasilan yang darinya kita pungut zakat keuntungan, yaitu keuntungan perusahaan, sebesar 10%. Ini merupakan dua muka pengenaan zakat yang tidak diizinkan agama.

Yang benar adalah bahwa kita harus memungut zakat hanya dari satu muka. Bisa dari nilai saham ditambah keuntungan sebesar 2.5% dan bisa dari keuntungan dan pendapatan bersih sebesar 10%, tidak boleh dari dua muka.

Beberapa Bentuk Dua Muka yang Dilarang Ulama:

Yusuf Al-Qardhawi ingin mengemukakan beberapa contoh dua muka atau dekat dengan dua muka pengenaan zakat dan bagaimana pendapat ulama tentang hal itu, agar kita dapat lebih memahami permasalahan di atas.

Memperdagangkan Ternak yang Digembalakan dan Cara Mengeluarkan Zakatnya:

Kita sudah mengetahui dalam bab "Zakat Kekayaan Ternak" bahwa zakat wajib di atas ternak ababila cukup senisab, dan ini secara ijmak sudah disepakati. Tetapi bagaimanakah hukumnya ternak yang dimaksudkan oleh seseorang untuk dijual kemudian digembalakan di padang rumput untuk beberapa tahun, masanya sudah lewat setahun, baik pengembalaannya maupun niat untuk diperdagangkan jelas ada? Apakah ternak seperti itu dikeluarkan zakatnya sebagai ternak gembalaan ataukah barang dagang?

Dalam kasus seperti itu terdapat beberapa perbedaan pendapat yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni' sebagai berikut: "Menurut Malik dan Syafi'i dalam qaul jadidnya adalah bahwa ternak itu dikeluarkan zakatnya sebagai binatang ternak, karena pendapat tentang itu lebih kuat, sudah ada ijmak tentang hal itu, dan oleh karena zakat seperti itu ditujukan terutama atas bendanya, dengan demikian lebih baik dikeluarkan zakat ternaknya. 

Tetapi Abu Hanifah, Tsauri, dan Ahmad berpendapat bahwa zakatnya dikeluarkan sebagai zakat perdagangan, karena dengan demikian lebih menguntungkan fakir miskin dan mereka yang berhak lainnya, karena zakat perdagangan akan bisa mengenai jumlah yang lebih dari satu nisab yang tidak bisa dikenai oleh ketentuan zakat selain perdagangan, misalnya jumlah lebih antara 40-120 ekor kambing, antara 25-36 ekor unta, dan sebagainya. 

Bila ternak itu dikenakan zakat sebagai zakat ternak, maka kelebihan itu tidak akan terkena zakat dan dengan demikian akan mengurangi hak fakir miskin. Tetapi bila dikenakan sebagai zakat perdagangan maka ada alasan untuk memungut zakatnya, dan dengan demikian akan tetap terkena kewajiban zakat sekalipun dipandang dari zakat ternak jumlahnya belum cukup senisab tetapi sudah cukup senisab dari segi zakat perdagangan. Jadi zakat perdagangan di sini lebih kuat, dan logis. 

Bila waktu wajib zakat ternak dibayar terlebih dahulu dari waktu wajib zakatnya sebagai zakat per dagangan, misalnya seseorang memiliki 40 ekor kambing yang harganya belum cukup senisab perdagangan, kemudian ternak itu terus membesar dan harganya bertambah sehingga pada pertengahan tahun cukup senisab perdagangan, maka sebagian ulama mengatakan bahwa ternak itu harus diundurkan pengeluaran zakatnya sampai berharga senisab perdagangan, karena hal itu lebih menguntungkan fakir miskin.

Menurut Ibnu Qudamah sendiri zakat ternak itu sebagai ternak yang digembalakan dapat dikeluarkan pada saat sudah cukup masanya setahun, mengingat alasan untuk mengeluarkan zakatnya gembalaan itu sudah ada. Kemudian bila masa setahun perdagangan sudah datang, maka wajiblah dikeluarkan lagi zakat dari yang lebih senisab, mengingat alasan untuk itu juga sudah ada, karena ternak itu dimaksudkan untuk diperdagangkan dan masa setahunnya sudah penuh. 

Tetapi pengenaan dua zakat atas ternak yang besarnya cukup senisab ternak dan senisab perdagangan tidak dibenarkan, karena hal itu berarti mengenakan doa zakat pada masa yang sama dan alasan yang sama pula, sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w.. "Zakat tidak boleh terjadi di dua muka", artinya dua Bila nisab sebagai ternak cukup sebagai perdagangan tidak, misalnya 40 ekor kambing yang sudah bermasa setahun tetapi tidak cukup senisab per dagangan, maka zakatnya yang wajib adalah, men sebagai ggada ternak. Dan begitu juga sebaliknya bila yang cukup senisab adalah ternak sebagai perdagangan.

Ibnu Qudamah selanjutnya mengatakan bahwa bila seseorang membeli sebidang tanah atau kurma untuk diperdagangkan, lalu tanahnya itu ia tanami dan kurma itu berbuah, kemudian baik sebagai perdagangan maupun sebagai tanaman cukup masanya setahun, yaitu buah kurma sudah matang untuk dipanen dan harga tanah dengan kurmanya cukup senisab, maka orang itu harus mengeluarkan zakat dari buah kurmanya sebagai zakat hasil tanaman dan dari tanah sebagai modal tadi dikeluarkan zakatnya sebagai zakat perdagangan.

Demikian menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Tsaur. Tetapi menurut Qadi dan kawan-kawannya dari mazhab Hanbali, seluruhnya, yaitu tanah dan tanaman, dikeluarkan zakatnya sebagai zakat perdagangan (zakat atas harga), dan Ahmad juga mengqiaskan demikian, karena kekayaan itu adalah kekayaan dagang. dengan demikian harus dikeluarkan zakatnya sebagai harta dagang, sama halnya dengan ternak. 

Pengarang al-Mughni itu mengemukakan alasannya bahwa zakat sebesar 10% itu lebih menguntungkan bagi fakir miskin, karena lebih besar dari 2.5%, yang menyebabkan yang lebih menguntung kan itu harus lebih didahulukan: lebih menguntungkan bagi fakir miskin itulah yang menjadi penyebab diperlakukan demikian. Katanya, "Di kecualikan zakat ternak yang digembalakan yang dimaksudkan untuk dijual karena zakat ternak lebih kecil dari zakat perdagangan."

Tetapi alasan yang dikemukakan oleh pengarang al-Mughni itu tidaklah cukup kuat, oleh karena perlindungan atas kepentingan fakir miskin tidak bisa diterima bila merugikan kepentingan pemilik. Syariat Islam menghendaki keduanya dilindungi. Yang lebih adil dengan tetap memakai pendekatan di atas adalah bahwa pengenaan zakat sebesar 10% diterapkan pada hasil dan pendapatan, tidak juga atas modal asalnya, misalnya atas buahnya, dan pengenaan sebesar 2.5% adalah atas modal asal dan pendapatannya, misalnya mengenai kekayaan dagang. 

Mengenakan zakat atas kedua-duanya tidak pernah dikenal dalam hukum, tetapi salah satu harus digugurkan, agar tidak terjadi dua muka pemungutan zakat yang dilarang oleh hadis "Zakat tidak dikenakan dua muka" yang sudah diakui kebenarannya oleh seluruh ulama fikih dan agar tidak terjadi pemungutan zakat lebih dari satu kali atas satu kekayaan dalam satu waktu dengan sebab yang sama pula. 

Di sini tidak dilihat terdapatnya dua sebab sekaligus, yaitu perdagangan dan pertanian, oleh karena salah satu sebab harus dijadikan di muka dan yang satu lagi mengutinya. Artinya, yang memperdagangkan tanah pertanian, misalnya, pertaniannya dasar, tetapi sampingan, yang oleh karena itu perdagangannya harus dimenangkan dalam mempertimbangkan zakatnya. 

Oleh karena itu pengarang Syarh al-Ghayah dari mazhab Hanbali juga mengatakan bahwa apabila orang itu memiliki satu nisab binatang yang digembalakan dengan maksud untuk, maka ia hanya berkewajiban mengeluarkan zakat . 

Hal itu karena sifatnya diperdagangkan, sebab itu harus dizakatkan sebagai ternak gembalaan, yaitu sebelum memenuhi syarat sebagai kekayaan yang mengalami pertum buhan. Ia mengatakan bahwa seorang yang memiliki sebidang tanah untuk mengembangkannya kemudian menanaminya dengan yang juga dimaksudkan untuk benih, maka ia hanya berkewajiban mengeluarkan zakat perdagangan, begitu juga bila memiliki kurma untuk menghargai kemudian kurma itu berbuah, ia hanya berkewajiban mengeluarkan zakat perdagangan, meskipun hasil tanaman dan buah cukup baik dibandingkan dengan masa perdagangan setahun. 

Menurutnya, karena hasil tanaman dan buahan merupakan bagian dari dasar, maka hasil tanaman dan buahan itu harus dihitung harganya dan ditambahkan kepada pokok, yaitu tanah, sama halnya dengan la hirnak denganak televisi bila harga ternak dengan anak-anak, tanah dengan hasilnya, dan kurma dengan buahnya tidak cukup, yaitu kurang dari dua puluh misqal emas atau dua ratus dirham peraky di maka semenu semuganza dikat da menue bute ganza. Itu dikeluarkan zakatnya ternak dikeluarkan menurut zakat ternak, hasil tanaman dan buah menurut zakat hasil pertanian, agar zakat tidak gugur secara keseluruhan.”

Ibnu Hazm mengutip pendapat Hasan bin Hay bahwa tanah yang ditanami maksudnya untuk mengarahkan, maka zakatnya dikeluarkan menurut zakat perdagangan. Tetapi Kasani dalam al-Bada'i mengatakan pula bahwa teman-temannya, yaitu mereka yang bermazhab Hanbali, berpendapat tentang seseorang yang menjual tanah 'usyur atau tanah kharaj, hanya wajib mengeluarkan zakat perdagangan. 

Sedangkan menurut Muhammad, wajib dikeluarkan zakat hasil dan zakat perdagangan atau pajak tanah dan zakat perdagangan. Hal itu berdasarkan bahwa zakat perdagangan dikenakan atas tanah sedangkan zakat hasil atas hasilnya. 

Kedua jenis kekayaan itu berbeda, dengan demikian berarti tidak mengenakan dua kewajiban atas satu kekayaan. Tetapi landasan yang lebih diterima adalah bahwa penyebab wajib zakat pada seluruh jenis kekayaan di atas hanyalah satu, yaitu tanahnya, sedangkan hak Allah atas kekayaan yang mengalami pertumbuhan tidak mungkin dikenakan dua macam karena satu penyebab yang sama, misalnya mengenai zakat ternak dan zakat perdagangan."

Yang saya anggap paling besar adalah salah satu jenis zakat harus digugurkan, yaitu mengeluarkan salah satu jenis zakat saja, agar tidak terjadi dua muka pengenaan zakat. Hal itu sesuai dengan landasan yang dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafi dan lain-lain. Mengenai jenis zakat mana yang diberlakukan dan mana yang digugurkan, maka hal itu diserahkan kepada keputusan mereka yang wajib berzakat atau kepada yang berwenang. 

Karena masing-masing pendapat mempunyai landasan, baik yang berpendapat zakat dipungut 10% atau 5% dari hasil maupun yang mengatakan 2.5% dari tanah yang dimaksudkan untuk diperdagang kan dan hasilnya. 

Kita di sini hanya perlu memberikan catatan bahwa ulama-ulama fikih mazhab bahkan seluruh ulama fikih tidak melihat zakat boleh dikenakan atas satu kekayaan oleh sebab yang sama. Memang ada yang berpendapat lain dalam beberapa kasus, misalnya Muhammad dari mazhab Hanafi, karena menurutnya dalam kekayaan itu terdapat dua penyebab kedua zakatnya wajib. 

Dengan demikian kita dapat melihat bagaimana hukum Islam telah berabad-abad lebih dahulu daripada pemikiran dan sistem moneter dan perpajakan yang sekarang dikenal dengan nama "terjadinya dua muka penarikan pajak."

Referensi berdasarlan buku fikih Zakat yang ditulis oleh Yusuf al-Qardhawi