Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Shalat Tarawih Di Bulan Ramadhan

Hadits Shalat Tarawih Di Bulan Ramadhan
Rasulullah sangat menitik beratkan kaum muslimin  melaksanakan Shalat Tarawih (Qiyamul Lail) di malam Bulan Ramadhan. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah ra. menerangkan:

ان رسول الله قال: من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

" Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa mengerjakan shalat Tarawih (shalat malam) di bulan Ramadhan, karena imannya kepada Allah dan karena menghendaki keridhaan Allah dengan niat yang suci, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu. " Al Bukhary 2: 27 ; Muslim 6: 25 ; Al Lulu-u wal Marjan 1: 161 ).-437 )

Artkel Terkait:

Juga berdasarkan hadits dari Aisyah ra. memberitakan:

أن رسول الله خرج ذات ليلة من جوف الليل فصلى في المسجد فصلى رجال بصلاته فاصبح الناس فتحدثوا فاجتمع أكثر منهم فصلوا معه فأصبح الناس فتحدثوا فكثر اهل المسجد من الليلة الثالثة فخرج رسول الله فصلوا بصلاته فلما كانت الليلة الرابعة عجز المسجد عن اهله حتى خرج لصلاة الصبح فلما قضى الفجر اقبل على الناس فتشهّد ثم قال: أما بعد فإنه لم يخف علي مكانكم لكني خشيت ان تفرض عليكم فتعجزوا عيها

" Bahwasanya Rasulullah pada tengah malam keluar dari rumahnya lalu bershalat di dalam masjid. Maka bershalatlah beberapa orang dengan Nabi. Pada pagi harinya mereka membicarakan hal itu, Karenanya, berkumpullah orang-orang lain ( pada malam berikutnya ) serta bershalat dengan Nabi. Pada keesokan harinya mereka mempercakapkan hal itu, Lantaran itu banyaklah orang yang datang ke masjid pada malam yang ketiga. Pada malam itu Nabi keluar pula dan bershalat bersama-sama mereka, Pada malam yang keempat, penuh sesak masjid dengan orang-orang yang hadir. Akan tetapi Nabi baru keluar di waktu shalat Shubuh, Sesudah Nabi shalat Shubuh, Nabi menghadap para hadirin lalu membaca syahadat dan bersabda: sesungguhnya tidaklah tersembunyi bagiku tempat kamu semua ( sebenarnya aku mengetahui bahwa kamu berkumpul di sini semalam ). Akan tetapi aku takut akan difardhukan shalat malam terhadap kamu semua lalu kamu tidak sanggup mengerjakannya ( Al Bukhary 11 29, Muslim 6: 25 ; Al Lu'l-u toal Marjan 1. 161 162 )

Mereka yang mengerjakan shalatullail ( shalat tarawih atau shalat shalat yang lain di bulan Ramadhan ), karena imannya kepada Allah dan karena mengharap keridhaan-Nya, niscaya diampunilah segala dosanya yang telah lalu. Tertunainya shalatullail, atau qiyam Ramadhan, adalah dengan mengerjakan shalat malam walaupun sebentar.

Sebagian ulama berkata: "Hendaklah kita mempergunakan sebagian besar malam untuk qiyam itu."

An Nawawy berkata: " Telah dipandang adanya qiyam Ramadhan yang dikehendaki olch syara’ dengan kita mengerjakan shalat tarawih, bukan hanya tertunai dengan shalat tarawih saja. " Tegasnya, qiyam Ramadhan itu bisa dilakukan dengan mengerjakan shalat tarawih dan dapat dilakukan ibadah lainnya seperti do'a, dzikir, membaca Al-qur'an dan juga dengan ibadah yang lain.

Dan dimaksudkan dengan mengerjakan shalat tarawih di bulan Ramadhan ialah, mengerjakan shalat malam di malam-malam bulan Ramadhan. Dikatakan muhtasib, kepada orang yang beramal karena Allah, adalah karena dia dapat berharap amalannya itu diterima Allah swt.

Perkataan: "diampunkan dosanya yang telah lalu," mungkin memberi pengertian, bahwa orang yang mendapat ampunan itu hanyalah orang yang beribadah malam di sepanjang bulan Ramadhan. Orang yang hanya menger jakan di sebagian bulan Ramadhan saja, tidak memperoleh ampunan itu.

Kata dosa di sini, zhahirnya, mencakup dosa-dosa besar dan dosa dosa kecil. An Nawawy berkata: "Yang terkenal dalam kalangan ulama, bahwa dosa yang dimaksudkan di sini, khusus dosa-dosa kecil, tidak dosa besar." Beginilah pendapat Imamul Haramain dan ahlus sunnah, menurut keterangan Al Qadhi lyadh. Pandangan seperti ini mengingat kepada tidak diampuninya suatu dosa dosa besar tanpa proses tobat terlebih dahulu.

Di dalam riwayat An Nasa-y terdapat tambahan kalimat "wa ma taakh khara dan yang terkemudian." Maka makna mengampuni dosa yang akan datang, ialah, memberi taufik untuk tidak mengerjakan dosa, atau jika mengerjakan dosa diberi taufik untuk mengerjakan sesuatu yang menutupi dosa itu.

Pada hari keempat, meskipun masjid telah penuh jamaah, Nabi tidak masjid untuk berjamaah shalat malam dengan mereka sampai tiba waktu Shubuh Sesudah shalat Shubuh, Nabi berkhutbah dan memulai dengan mbacakan dua kalimat syahadat Nabi tidak meneruskan berjamaah karena takut shalat malam itu akan difardhukan. Sesudah difardhukan, tentu manusia akan meninggalkannya, ataupun mengerjakannya dengan berat.

Menurut riwayat Ahmad dari Ibnu Juray, lafal ini berbunyi

فلما أصبح تحدثوا ان النبي قام بالمسجد في جوف الليل

"Maka tatkala hari telah pagi, para sahabat pun bercerita bahwasanya Nabi saw telah bershalat malam di perut malam, di dalam masjid."

Dimaksudkan dengan: "kamu tidak sanggup mengerjakannya" ialah, "kamu tidak akan terus mengerjakannya, walaupun kamu sanggup mengerjakannya."

An Nawawy berkata: "Ulama sepakat menetapkan, bahwasanya qiyam Ramadhan, salah satu ibadah yang sangat disukai, namun para ulama berselisih tentang manakah yang lebih utama, mengerjakan di rumah sendiri, ataukah mengerjakan di masjid berjamaah.

Menurut Asy Syafi'y dan jumhur ashhabnya, Abu Hanifah, Ahmad sebagian ulama Malikiyah, bahwa yang afdlal, ialah mengerjakan dengan berjamaah, sebagaimana yang telah dilakukan di masa Umar Ibnu Khaththab, dan terus-menerus dilaksanakan secara berjamaah oleh para muslimin Shalat secara berjamaah merupakan salah satu dari syiar Islam yang nyata, sama seperti shalat led.

Ath Thahawy mengatakan, bahwasanya shalat tarawih, adalah suatu wajib kifayah Malik, Abu Yusuf, sebagian ulama Syafi'iyah dan lain-lain mengatakan bahwa yang lebih utama kita mengerjakannya di rumah sendiri sendiri mengingat sabda Nabi saw:

افضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة

"Seutama-utama shalat, salah shalat yang dikerjakan di rumah, selain dari shalat fardhu" ( Hadits Riwayat Al Bukhary dan Muslim )

Ulama Itrah ( ulama-ulama dari keluarga Rasul ) membid'ahkan jamaah shalat tarawih. Ulama-ulama yang mengatakan bahwasanya shalat tarawih adalah sunnat, adalah karena Al Bukhary menyebut hadits ini ( no. 437 ) dalam golongan hadits-hadits yang diterangkan dalam kitab Tarawih.

Adapun jalannya hadits ini menunjukkan kepada kesimpulan itu, ialah karena Nabi bershalat di dalam masjid dan diikuti oleh segolongan sahabat, terjadi di bulan Ramadhan Dan Nabi tidak melarang mereka. Nabi saw. tidak meneruskan berjamaah, hanyalah karena beliau takut akan dijadikan fardhu. Maka sahlah kita berhujjah untuk mensyariatkan jamaah dalam mengerjakan shalat sunnat di malam-malam bulan Ramadhan dengan hadits ini.

Dengan hadits ini para ulama berhujjah untuk menetapkan bahwa shalat tarawih itu, sunnat. Akan tetapi, hadits ini tidak menunjukkan cara atau kaifiat yang mereka lakukan, yaitu, bershalat secara tetap dalam bilangan rakaat yang tertentu dengan membaca surat-surat yang tertentu pula pada setiap malam.

Menurut An Nawawy bahwasanya hadits yang kedua ini menunjukkan bahwa kita boleh mengerjakan shalat sunnat dengan berjamaah. Akan tetapi lebih baik kita mengerjakan shalat sunnat itu sendiri-sendiri, terkecuali beberapa sunnat yang terpenting yaitu shalat hari raya, shalat gerhana, shalat minta hujan dan begitu juga shalat tarawih, menurut jumhur.

Dan menunjukkan pula bahwa kita boleh mengerjakan shalat sunnat di dalam masjid, walaupun yang lebih utama kita mengerjakannya di rumah. Nabi mengerjakannya dalam masjid, mungkin untuk mengatakan bahwa yang demikian itu boleh atau di kala itu beliau sedang beriktikaf.

Dan hadits ini menunjukkan pula bahwasanya kita boleh mengikuti orang yang tidak berniat menjadi imam. Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Asy Syafi'y dan ulama lain. Akan tetapi apabila imam meniatkan dirinya sebagai imam scaudah dikuti oleh orang-orang di belakangnya, niscaya tercapailah fadhilah jamaah baginya dan bagi yang mengikutinya. Jika dia tidak meniatkan dirinya menjadi imam, dia tidak memperolch fadhilah jamaah lantaran tidak diniatkannya, seperti kita telah mengetahui bahwa segala amalan manusia adalah menurut niatnya Makmum memperolch fadhilah jamaah karena mereka meniatkan jamaah.

Dan hadits ini menyatakan pula, bahwa apabila bertentangan maslahat dengan kekhawatiran akan mendapat mafsadat atau perlawanan da saslahat, maka hendaklah kita pilih mana yang lebih baik, karena Nabi berpendapat bahwasanya bershalat dalam masjid suatu maslahat tetapi ana takut akan difardhukan, karenanya Nabi tidak meneruskan berjamaah dalam masjid.

Hadits ini juga memben pengertian, bahwasanya kepala negara dan pembesar-pembesar rakyat apabila mengerjakan sesuatu berbeda dengan yang diharap-harapkan oleh pengikut-pengikutnya, sedang pembesar panbesar itu mempunyai keuzuran, hendaklah diterangkan alasan dia berbuat demikian untuk menenangkan hati para pengikut dan untuk menghilangkan purbasangka.

Faedah-faedah yang dapat kita petik dari hadits yang kedua ini

a. Disukai bagi kita untuk membaca bertasyahud di awal khutbah. Dalam khutbah itu juga memberi nasihat pelajaran penting kepada jamaah. Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa khutbah yang tidak ada tasyahut sebagaimana orang yang tidak bertangan. 

Dan disukai kita membacakan:’ amma ba'du, di permulaan khutbah. Banyak kita ketemukan hadits yang shahih dan masyhur dalam hal ini. Al Bukhary sendiri dalam shahihnya menyebut suatu bab yang menyatakan bahwasanya Nabi saw memulai khutbahnya dengan’ amma ba'du.

b. Mengucapkan khutbah dan pengajaran, hendaklah dengan menghadap ke arah jamaah.

Asy Syathiby menerangkan dalam kitabnya Al I'tisham ( sebuah kitab yang layak benar diperhatikan isinya oleh setiap muslim ) sebagai berikut: "Rasulullah saw pernah bershalat di dalam masjid dan diikuti oleh sekumpulan sahabat, menurut Abu Daud selama tujuh hari, atau selama lima hari, atau selama tiga hari, sebelum bulan Ramadhan berakhir dan diikuti juga oleh keluarga-keluarga Nabi sendiri".

Akan tetapi Nabi saw menghentikan perbuatan itu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Bukhary dan Muslim dari Aisyah (yang sedang kita bahas).

Hadits ini menunjukkan lagi bahwasanya shalat tarawih dengan berjamaah adalah suatu sunnah Nabi saw pernah mengerjakannya dalam masjid di bulan Ramadhan dengan berjamaah, menunjukkan kepada konnatannya Nabi saw tidak meneruskannya hanyalah lantaran takut difardhukan.

Hal ini tidak menunjukkan bahwa Nabi tidak mau mengerjakannya sama sekali Sesudah hilang illat yang ditakuti ( difardhukan ) sesudah Rasulullah wafat, kembalilah amal Rasulullah saw ini kepada kodudukan yang sebenarnya.

Dan tidak ada sesuatu pun yang menasakhkan kebolehan kita mengerjakannya dengan berjamaah Abu Bakar ra tidak mengerjakannya, mungkin karena beliau berpendapat bahwasanya mongerjakan shalat malam di akhir malam lebih utama daripada mengum pulkan manusia di permulaan malam untuk diimami oleh seseorang imam, sebagaimana yang dikatakan olch At Tarqusy. Dan mungkin karena waktunya tidak cukup untuk memperhatikan masalah furu’ ( cabang ) yang kecil-kecil.

Jika ada orang yang mengatakan, Umar ra telah menamakan shalat tarawih dengan bid'ah dan memandang bid'ah hasanah, maka kami demikian Asy Syathiby, mengatakan " Umar menamakannya bid'ah adalah karena melihat kepada zhahir keadaan, yaitu telah ditinggalkan oleh Nabi dan kebetulan pula tidak dilakukan di zaman Abu Bakar, bid'ah dalam pengertian makna, bukan bid'ah dalam hakikatnya. Menamakan bid'ah dengan pandangan tersebut, tidak ada keberatannya.

Inilah sebabnya kita tidak berdalih dengan jamaah shalat tarawih untuk membolehkan orang mengerjakan bid'ah Sebagian ulama berkata: "Bid'ah yang dapat dibagi kepada hukum lima, ialah bid'ah lughawiyah, bid'ah menurut bahasa. Adapun bid'ah syar'iyah, maka semuanya batal, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Turmudzy, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam shahihnya dari Al’ Irbadh bin Sariyah, bahwasanya Nabi saw. bersabda:

إياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة

"Jauhkanlah dirimu dari segala perbuatan perbuatan yang diada adakan, karena setiap bid'ah itu sesat adanya".

Mengenai shalat tarawih ini, kita tidak memperoleh barang sesuatu jalan pun yang menerangkan bahwasanya Umar telah menetapkan rakaat yang harus dikerjakan oleh Ubay ibn Ka'ab yang ditunjuk menjadi imam sebanyak 20 rakaat. Banyak orang menyangka bahwasanya Umar menyuruh Ubay mengerjakan sebanyak 20 rakaat.

Muhammad ibn Nasir Al Marwary berkata "Hadits Jabir menerangkan bahwasanya Nabi saw bershalat di bulan-bulan Ramadhan delapan rakaat kemudian beliau berwitir Diriwayatkan oleh As Saib ibn Yazid bahwa Umar ibn Al Khaththab nyuruh Ubay ibn Ka'ab dan Tamim Ad Dary mengerjakan sebelas rakaat Dalam suatu riwayat diterangkan bahwa di zaman Umar dalam bulan Ramadhan para sahabat, bershalat sebanyak tiga belas rakaat Dan beliau berhenti bershalat menjelang Shubuh.

Pada masa itu pada tiap-tiap rakaat dibacakan lima puluh atau enam puluh ayat. Kata Muhammad ibn Ka'ab Al Kuradhy: "Di zaman Umar dalam bulan Ramadhan umat bershalat sebanyak 20 rakaat, mereka memanjangkan qiraah dan berwitir dengan tiga rakaat.

Ibnu Ishak berkata: "Saya tidak pernah mendengar dalam bab ini sesuatu hadits yang lebih shahih dan lebih layak diterima, selain hadits As Saib, yaitu Rasulullah saw. bershalat di malam hari, tiga belas rakaat."

Kemudian Muhammad ibn Nashir menerangkan beberapa atsar yang semakna dengan ini. Pada akhirnya, beliau berkata: "Ibnu Qashim menerangkan bahwasanya Malik menetapkan bahwa shalat tarawih, adalah tiga puluh sembilan rakaat bersama witir."

Menurut keterangan Ibnu Qashim bahwasanya Malik menyukai kita mengerjakan tiga puluh delapan rakaat, sesudah itu barulah kita berwitir serakaat. Cara inilah yang dikerjakan oleh penduduk Madinah sebelum pertempuran Al Harrah.

Ishak ibn Manshur berkata: " Saya bertanya kepada Ahmad, berapa rakaat shalat tarawih ? Ahmad menjawab: " Banyak benar pendapat ulama dalam masalah ini. Kira-kira ada empat puluh pendapat. " Sebenarnya, shalat tarawih adalah shalat tathawwu’. Ishak memilih 40 rakaat dengan meringankan bacaan.

Al Hasan Az Zafarany menerangkan bahwa Asy Syafi'y berkata: "Saya menemukan orang-orang Madinah mengerjakan sebanyak tiga puluh sembilan rakaat, dan saya lebih suka sebanyak dua puluh rakaat, sebanyak inilah yang dikerjakan oleh penduduk Mekkah."

Dalam masalah ini, tidak ada suatu batas minimum dan batas maksimum, karena shalat ini, adalah shalat sunnat. Jika kita memanjangkan berdiri, menyedikitkan sujud, maka itu juga suatu hal yang bagus, sebaliknya jika kita membanyakkan rukuk dan sujud, memendekkan berdiri, maka itupun suatu hal yang bagus, namun demikian aku lebih menyukai memanjangkan berdiri, menyedikitkan rakaat.

Kesimpulan

Hadits pertama menunjukkan kepada keutamaan qiyam Ramadhan dan kesunnatannya. Hadits ini dijadikan pula dalil untuk menyunnatkan sunnat tarawih, karena qiyam yang tersebut dalam hadits ini, ialah shalat tarawih, sebagaimana yang telah diterangkan oleh An Nawawy dan Al Kirmany.

Hadits kedua, menunjukkan bahwasanya shalat tarawih adalah suatu sunnat, bukan yang wajib.

Kutipan Dari Buku Mutiara Hadits Jilid 3