Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Tentang Puasa Hari Asyura

Hadits Tentang Puasa Hari Asyura
Puasa Asyura adalah puasa yang dianjurkan oleh Nabi di awal Islam. Bahkan orang-orang Qureisy berpuasa juga pada hari Asyura karena mengikuti syariat terhadulu. 

Ketika tiba di Madinah ternyata Ahlul Kitab juga berpuasa pada hari Asyura. Untuk lebih jelaskannya tentang hukum yang menyangkut dengan puasa hari Asyura maka berikut ini penulis sajikan Hadits-Hadits dari Nabi tentang puasa hari Asyura sebagaimana dijelaskan syarahannya oleh Muhammad hasbi Ash-Shiddieqy dalam buku Mutiara Hadits, sebagaimana Hadits dari Aisyah ra menerangkan:

 أن قريشا كانت تصوم يوم عاشوراء  في الجاهلية ، ثم أمر رسول بصیامہ فرض رمضان ، وقال رسول اللہ ﷺ: من شاء  فليصمه ومن شاء أفطر 

”Bahwasanya di masa Jahiliyah orang-orang Quraisy berpuasa di hari Asyura Kemudian Rasulullah saw menyuruh para sahabat untuk berpuasa pada hari Asyura itu sampai puasa Ramadhan difardhukan. Pada ketika itu Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa ingin berpuasa Asyura, maka hendaklah dia berpuasa dan barangsiapa ingin berbuka, maka hendaklah dia berbuka.”( Al Bukhary 30: 1; Muslim 13:19; Al La'lu-u wal Marjan 2:16 ). 691 ) 

Ibnu Umar ra berkata:

 كان عاشوراء يصومه اهل الجاهلية ، فلما نزل رمضان ، قال: من شاء صامه ومن شاء لم يصمه

”Puasa Asyura adalah puasa yang dikerjakan oleh orang-orang Jahiliyah. Setelah perintah puasa Ramadhan diturunkan. Nabi pun berkata: Barangsiapa ingin berpuasa pada hari Asyura, maka dia boleh berpuasa dan barangsiapa ingin berbuka, maka dia boleh berbuka”( Al Bukhary 65: 24; Muslim 13; 19; Al Lulu-u wal Marjan 2: 16 ). 692 ) 

Artikel Terkait:

Alqamah berkata:

عدخل على عبدالله بن مسعود الأشعث وهويطعم ، فقال: اليوم عاشراء , فقال كان يصام قبل ان ينزل رمضان ، فلما نزل رمضان ترك ، فادن فكل

.”Al Asy'ats masuk ke tempat Abdullah ibn Mas'ud yang kebetulan sedang makan Maka Asy'ats berkata Hari ini, adalah hari Asyura, Abdullah ibn Mas'ud menjawab Memang orang-orang berpuasa pada hari Asyura sebelum ficrun perintah puasa Ramalhan Manakala telah turun perintah puasa Ramadhan, maka puasa Asyura itu tidak dikerjakan lagi. Karena itu dekatlah kemari dan makanlah.”( Al Bukhary 65:24, Muslim 13 19, Al Lulu-u wal Marjan 2:16 ). 693 ) 

Humaid ibn Abdir Rahman menerangkan:

 عام حج ، على المنبرأن حميد بن عبدالرحمن سمع معاوية بن   سفیان یوم عاشوراء عام الحج على المنبر يقول يا أهل المدينة ! این علماؤكم ؟ سمعت رسول الله يقول: هذا يوم عاشوراء ، ولم يكتب عليكم صيامه وأنا صائم فمن  شاء فليصم ومن شاء فليفطر 

”Bahwasanya pada hari Asyura, pada tahun dia mengerjakan haji Humaid ibn Abdurrahman mendengar Munolyah ibn Abi Sufyan di atas mimbar berkata: Hai penduduk Madinah, mana ulamamu. Aku dengar Rasulullah saw, berkata: Ini adalah hari Asyura, tidak difardhukan kamu berpuasa di hari ini. Aku sedang berpuasa. Siapa yang ingin berpuasa, maka hendaklah dia berpuasa dan barangsiapa ingin berbuka, hendaklah dia berbuka.”( Al Bukhary 30: 69; Muslim 13: 19; Al La'lu-u wal Marjan 2:17 ). 

Ibnu Abbas ra berkata:

  قدم النبي ﷺ المدينة فرأى اليهود تصوم يوم عاشوراء فقال: ما هذا ؟   قالوا: هذا يوم صالح ,هذا يوم نجى الله بنى إسرائيل من عدوهـم   فصامه موسی ، قال: فأنا أحق بموسى منكم , فصامه وأمر بصيامه

”Setiba di Madinah, Nabi saw melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura Beliau bertanya: Puasa apa ini ? Orang-orang Yahudi menjawab: Ini adalah suatu hari yang baik. Ini adalah hari Allah melepaskan Bani Israil dari musuh mereka. Karena itu Musa berpuasa pada hari ini. Nabi berkata: Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kamu. Maka Nabi pun berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh para sahabat untuk berpuasa juga pada hari itu ( Al Bukhary 30: 69, Mislim 13:19, Al Lache-wal Marjan 2 17 ). 

Abu Musa ra berkata:

  كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيدا قال: النبي  فصوموه انتم 

”Hari Asyura adalah hari yang dipandang hari raya oleh orang-orang Yahudi, Nabi bersabda: Berpuasalah kamu pada hari itu ( Al Bukhary 30: 69; Muslim 13:19; Al Lu'l-u wal Marjan 2:17 ). 

Ibnul Abbas ra berkata:

 ما رأيت النبي ﷺ يتحرى صيام يوم فضله على غيره الاهذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر, یعنی شهر رمضان 

”Tidak pernah aku melihat Nabi memilih sesuatu hari untuk berpuasa yang lebih beliau utamakan daripada hari-hari yang lain selain dari hari ini, yaitu hari Asyura dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan.”( Al Bukhary 20: 69; Muslim 13: 19, Al Lulu-uusal Marjan 2: 18 ). 

Di masa Jahiliyah kaum Quraisy berpuasa pada hari Asyura. Menurut riwayat Ahmad, Nabi saw. sendiri di masa Jahiliyah juga berpuasa pada hari Asyura. Nabi berpuasa pada hari Asyura kemungkinan pada saat di Makkah untuk menyertai orang Quraisy, kemungkin juga pada saat itu orang-orang Quraisy berpuasa pada hari Asyura karena mengikuti syariat-terdahulu. 

Kemudian sesudah tiba di Madinah Nabi memerintahkan para sahabat untuk berpuasa pada hari Asyura. Dalam riwayat ini tidak diterangkan apakah Nabi menyuruh itu sebelum beliau ke Madinah ataukah sesudahnya. 

Lafal Al Bukhary di bab ”puasa Asyura", lafal Ahmad dan Muslim dengan tegas menerangkan bahwa Nabi menyuruh para sahabat berpuasa Asyura adalah sesudah beliau tiba di Madinah. Perintah itu dikeluarkan Nabi pada tahun pertama Nabi di Madinah. Nabi tiba di M adinah pada bulan Rabi'ul Awwal. Sedang perintah ini di keluarkan pada awal tahun yang kedua. 

Kemudian pada Ramadhan tahun yang kedua itu pula turunlah ayat ”shiyam.” Jadi, hanya sekali saja perintah puasa Asyura dikerjakan sebagai suatu hal yang wajib. 

Sesudah turun ayat shiyam Nabi mengadakan perubahan terhadap puasa Asyura, yaitu tidak mewajibkannya lagi. Beliau menyerahkan kepada kemauan para mukallaf sendiri. 

An Nawawy dalam Syarah Muslim berkata:”Pada masa sekarang seluruh ulama menetapkan bahwa puasa Asyura adalah sunnat, bukan wajib Mereka berselisih pendapat tentang hukum puasa hari Asyura di permulaan Islam sebelum difardhukan puasa Ramadhan.”

Abu Hanifah mengatakan wajib. Ulama Syafi'iyah mempunyai dua pendapat:

Yang pertama, puasa Asyura semenjak permulaannya, sunnat, belum pernah diwajibkan walau dipandang sunnat yang muakkadah sebelum turun ayat shiyam, dan sesudah ayat shiyam diturunkan, menjadi sunnat yang tidak muakkadah lagi. 

Yang kedua, wajib, sama dengan pendapat Abu Hanifah Golongan Syafi'iyah berkata:”Andaikan puasa Asyura wajib, tentulah tidak sah diniatkan pada siang hari. Nabi memerintahkan para sahabat berpuasa adalah pada pagi hari Asyura, bukan sebelumnya. 

Oleh karena dia hanya sunnat, sahlah niat pada siang hari itu.”Abu Hanifah berkata:”Tidak ada halangan untuk menetapkan wajibnya, karena niat puasa itu tidak disyaratkan di malam hari.” Golongan Syafi'iyah berhujjah dengan sabda Nabi yang disampaikan olch Muawiyah:

 هذا يوم عاشوراء ولم يكتب الله عليكم صيامه ، واناصائم فمن احب منكم أن يصوم فليصم ، ومن أحب أن يفطر فليفطر

”Ini adalah hari Asyura, Allah tidak memfardhukan terhadapmu berpuasa pada hari itu, sedang saya berpuasa. Maka barangsiapa di antara kamu ingin berpuasa, hendaklah dia berpuasa dan barangsiapa tidak ingin berpuasa, hendaklah dia berbuka.”( HR. Muslim ) 

Abu Hanifah berhujjah dengan perkataan”dan Nabi menyuruh para sahabat berpuasa Asyura. Amr adalah untuk wajib. Juga perkataan ”maka manakala Ramadhan telah difardhukan", memberi pengertian bahwa puasa Asyura sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, adalah wajib. 

Kumpulan hadits yang mengenai bab ini memberi pengertian bahwa sanya puasa Asyura, pada mula-mulanya wajib, dan sesudah puasa Rama dhan difardhukan, puasa Asyura menjadi puasa yang sangat disunnatkan. 

Asyura menurut pendapat Ibnu Juraid, adalah istilah Islam, tidak terkenal di masa Jahiliyah. Mengenai hari yang keberapa dari bulan Muharram, maka jumbur ulama mengatakan hari yang ke-10. Menurut Al Qurthuby, makna Asyura malam yang ke-10, dan kemudian dijadikan nama bagi hari yang ke-10. Dalam pada itu ada yang mengatakan hari ke-9. 

Pendapat yang pertama dapat dikuatkan dengan sabda Nabi sendiri yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi bersabda:

إذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع.

”Apabila tahun muka ( beru ) menjelma, Insya Allah kita berpuasa juga pada hari yang kesembilan.”

Nabi meninggal sebelum tahun di mukanya menjelang. Ini terang menyatakan bahwa Nabi selalu berpuasa pada hari yang ke-10, dan bermaksud akan berpuasa pula pada hari yang ke-9. Hal ini mungkin untuk mengadakan perbedaan dengan orang Yahudi yang juga berpuasa pada hari Asyura itu. 

Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Said Ibnul Musayyab Al Hasanul Bishry, Malik, Ahmad, Ishak dan jumhur ulama. Kata Al Hafizh: ”Puasa Asyura mempunyai tiga martabat: Pertama, puasa hari Asyura itu sendiri. Kedua, puasa hari Asyura didahului oleh hari Tasu'a. Ketiga, puasa hari Tasu'a, Asyura dan hari yang ke-11. 

Sesudah ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan diturunkan, Nabi pun memberi kebebasan kepada para sahabat dalam menghadapi puasa Asyura. Yang ingin memperoleh pahala tentulah berpuasa Asyura, yang tidak tentulah berbuka. 

Dalam salah satu kunjungan Muawiyah ke Madinah sekembalinya dari berhaji dan kebetulan hari dia sampai di Madinah adalah hari Asyura, dan melihat bahwa penduduk Madinah kurang memperhatikan puasa Asyura, dan sampai pula bermacam-macam berita kepadanya, yaitu ada yang mewajibkan, ada yang mengharamkan dan ada yang memakruhkan. 

Oleh karenanya, Muawiyah bertindak menyatakan hukum yang sebenarnya sambil bertanya:”Mana ulama yang seharusnya telah memberi keterangan tentang hal ini.”Kemudian di depan khalayak ramai sambil berdiri di atas mimbar, Muawiyah menyampaikan hadits Rasul. 

Menurut Ath Thabary, inilah permulaan haji yang dilakukan Muawiyah setelah menjadi Khalifah dalam tahun 44 H. Sebelum haji penghabisannya yang dilakukan dalam tahun 57 H. 

Tetapi menurut zhahir hadits ini kunjungan Muawiyah ini adalah pada hajinya yang terakhir. Mendengar keterangan orang-orang Yahudi bahwa mereka berpuasa, karena terlepasnya Musa ( dan kaum Israil ) dari kejaran Fir'aun, maka Nabi pun berkata:”Saya lebih berhak menghormati Musa daripada kamu.”Kemudian Nabi pun berpuasa pada hari Asyura serta menyuruh para sahabat berpuasa juga.

Zhahir hadits ini menimbulkan sedikit kemusykilan. Menurut zhahir hadits ini Nabi melihat orang-orang Yahudi berpuasa, sewaktu beliau tiba di Madinah, padahal beliau tiba di Madinah pada bulan Rabi'ul Awwal. Maka untuk menghilangkan kemusykilan ini, haruslah kita maknakan hadits ini, begini: Nabi mengetahui bahwa mereka berpuasa pada hari Asyura sesudah Nabi tiba di Madinah. Maka Nabi pun berkata bahwa Nabi lebih patut merayakan hari yang dirayakan oleh Musa daripada orang Yahudi itu sendiri. 

Menurut zhahir hadits ini, bahwa yang mendorong Nabi mengerjakan puasa pada hari Asyura adalah untuk menyalahi orang Yahudi. Mereka berhari raya pada hari itu, sedang menurut riwayat Ibnu Abbas menunjukkan bahwa yang mendorong itu ialah untuk turut bersyukur terhadap lepasnya Musa dari pengejaran Fir'aun.

Dalam pada itu dapat juga dikatakan bahwa para Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura itu. Hal ini dijelaskan oleh riwayat Al Bukhary dalam bab hijrah, sebagaimana dijelaskan oleh riwayat Muslim bahwasanya penduduk Khaibar berpuasa pada hari Asyura dan memandangnya sebagai hari raya.”

Kata Ibnu Abbas:”Saya tidak pernah melihat Nabi saw. memilih sesuatu hari untuk berpuasa yang lebih beliau utamakan daripada hari-hari yang lain selalu dari hari ini, yaitu hari Asyura dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan. Kata ”yakni bulan Ramadhan ", adalah penjelasan yang diberikan oleh perawi hadits ini. Perkataan ini terdapat juga dalam riwayat Muslim dan lain-lain. 

Adapun maksud Ibnu Abbas, ialah tidak ada bulan di mana Nabi berpuasa sepenuhnya selain dari bulan Ramadhan. Ibnu Abbas mengumpulkan Asyura dengan bulan Ramadhan, padahal yang satunya sunnat, sedang yang satunya lagi wajib, adalah karena kedua duanya menghasilkan pahala.

Kesimpulan 

Hadits-hadits ini memberi pengertian bahwa di zaman Jahiliyah golongan Quraisy berpuasa pada hari Asyura, demikian pula orang-orang Yahudi. Nabi juga berpuasa pada hari itu serta menyuruh para sahabat turut berpuasa. 

Akan tetapi setelah turun ayat shiyam yang memerintahkan puasa Ramadhan, maka perintah puasa Asyura dijadikan perintah sunnat. Dan hadits ini menyatakan bahwa pahala puasa Asyura sangat besar.³