Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Ilmu Psikologi

Sejarah Ilmu Psikologi

Psikologi, salah satu cabang pengetahuan yang akan kita hahas dalam tulisan ini, berasal dari bahasa Yunani lama, yang serdiri dari dua buah kata-kata. Psyche berarti roh, jiwa, fikiran. Sedang logos berarti ilmu atau pengetahuan. 

Jadi psychology yang ditulis dalam ejaan bahasa Indonesia sebagai psikologi berarti ilmu tentang roh atau jiwa atau ilmu jiwa. Sebelum istilah psikologi kita kenal, kita sudah lama mengenal istilah ilmu jiwa. Entah apa sebab ahli-ahli istilah menggunakan psikologi, sedang istilah ilmu jiwa sudah ada dan memang berasal dari bahasa kita sendiri. 

Baca juga: Perkembangan Pendidikan Islam

Para filosof setuju bahwa sesuatu yang menyebabkan manusia hidup disebut jiwa, atau psyche menurut bahasa Yunani lama itu. Sedang dalam bahas a Arab pula digunakan empat istilah roh, qalb, nafs, dan 'aql. 

Sedangkan arti jiwa menurut pendapat para filosof di bawah ini. Pendapat para ahli berbeda-beda tentang hakikat jiwa itu, sehingga kira-kira empat belas buah banyaknya. Ada yang me- ngatakan jiwa manusia itu adalah Allah sendiri. 

Ada pula yang mengatakan ia adalah air, angin, dan api saja atau ketiga-tiga unsur sekaligus, sebab dengan hilangnya salah satunya manusia akan mati. Pendapat yang paling populer adalah dua pendapat, yaitu yang pertama adalah bahwa jiwa adalah substansi yang bebas dari benda dan sifat-sifatnya, jadi ia bukanlah tubuh atau bertem- pat di tubuh, tetapi ia berhubung denganny a secara pengurusan dan perlakuan. 

Dengan berlakunya maut putuslah perhubungan itu. Pendapat ini disokong oleh sebagain besar filosof-filosof teologi, golongan-golongan sufi terkemuka, dan golongan-golong- an ahli kalam yang hati-hati seperti al Tusi, al Ghazali, dan al Razi.

Pendapat kedua adalah bahwa jiwa itu adalah substansi materialist, ini disokong oleh segolongan dari Muktazilah dan banyak pengikut-pengikut ahli kalam.

Baca juga: Teori Akal Dan Teori Koognitif Modern

Golongan yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi spintual, mujarrad dan berdini sendiri, memberi dalil-dalil berikut:

Di antaranya adalah bahwa jiwa itu mengetahui, dan ia mengetahui bahwa ia tahu, sedang pengetahuan itu bukanlah sifat-sifat badan atau tubuh, kalau tidak tentulah semua benda itu dapat menanggapi. Dalil yang lain lagi adalah bahwa badan mempuny ai ciri-ciri khusus, yang paling nyata ialah jika menerima bentuk tertentu seperti segi tiga maka ia tidak dapat menerima bentuk lain seperti segi empat dan bulat kecuali bentuk yang terdahulu (segi tiga) itu sudah hilang. 

Bila ia menerima ukiran atau lukisan maka ia tidak dapat menerima yang lain. Bila anda telah melukis sebuah lukisan pada suatu papan atau sehelai kertas atau suatu lukisan maka ia tidak dapat menerima lukisan lain, kecuali setelah anda menghapus lukisan pertama. Tetapi sebaliknya berlaku pada jiwa. Pada jiwa itu boleh bertumpuk berbagai impressi, berbagai gambaran terhadap benda-benda atau fikiran-fikiran yang ditanggapi tanpa menghapus yang pertama. 

Malah ia tetap sempurna, dan bertambah kuat dengan lukisan kedua. Sebab manusia itu bertambah faham bila ia bertambah ilmu. Ini berlawanan dengan sifat-sifat tubuh yang bisa hancur dan punah bila bebannya semakin berat. 

Baca juga: Konsep Ilmu Perspektif Al-Ghazali

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jiwa itu sejenis dengan benda, dengan alasan tak dapat ia berbuat tanpa anggota-anggota badan, maka ini salah sama sekali, sebab kebutuhannya kepada benda hanyalah menunjukkan bahwa pekerjaannya itu disyaratkan adanya alat-alat benda, bukan karena hakikatnya itu sendiri adalah benda. Kalau tidak, tentulah dapat kita berkata bahwa gergaji itulah hakikat tukang kayu, hakikat tukang batu adalah alat-alat bangunan, dan hakikat tukang kebun adalah alat- alat pertanian. 

Inilah sebagian perbedaan-pendapat para ahli falsafah tentang jwa yang nanti akan kita uraikan lebih panjang lagi dalam bagian- bagian berikut. 

Sejarah Psikologi 

Perkembangan psikologi sebagai suatu disiplin sains baru bermula pada akhir abad ke 18. Namun akar psikologi itu telah menghunjam jauh ke dalam kehidupan primitif umat manusia pada zaman dahulu kala. Nenek moyang kita telah mengajukan berbagai persoal an tentang sifat-sifat alam jagat yang mengelilinginya. Dia telah merenungkan keadaan wujud sekelilingnya sebagaimana ia merenungkan badannya sendiri. 

Renungan-renungan ini, sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, telah mendorong munculnya sains tabi'i, biologi, ilmu falak, dan lain- lain. Ia juga merenungkan jiwanya sendiri. Sudah tentu jiwa sebagai obyek pemerhatian merupakan hal yang paling kom- pleks dan juga paling menarik. 

Renungan inilah menyebabkan timbulnya ilmu yang kita kenal hari ini dengan nama ilmu jiwa atau psikologi. Sudah tentu gambaran-gambaran primitif y ang dilakukan oleh nenek moyang kita tentang jiwa, misalnya tentang berbagai- bagai mimpi yang dialaminya tidaklah begitu besar gunanya kepada kita sekarang sewaktu kita ingin melukiskan sejarah disiplin psikologi ini sebagai suatu disiplin sains. 

Periode primitif dalam sejarah ini dapat kita namakan periode primitif sebab periode perkembangan saintifik baru bermula pada periode klassik di zaman Yunani dan Romawi. 

Pada zaman ini bermulalah langkah-langkah penting di ber- bagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga kajian-kajian mutakhir menyokong asumsi-asumsi yang diciptakan dalam pemikiran Yunani Kuno itu. 

Malah banyak konsep psikologi modern itu tidak lebih dari lanjutan pemikiran dari zaman itu. Istilah psikologi (psychology) dalam bahasa Yunani adal ah psycho atau akal dan logy = ilmu atau kajian. Jadi psikologi itu berarti kajian tentang akal atau jiwa. Itu sebabnya dalam bahasa kita juga sudah digunakan istilah ilmu jiwa jauh sebelum kita mengenal istilah psikologi. Untuk mengenal lebih dekat akan disiplin yang disebut psikologi ini adalah lebih baik kita berikan periodisasi berikut:

Psikologi Pada Zaman Yunani 

Plato dianggap seorang filosof yang mempunyai pengertian yang mendalam tentang jiwa manusia. Dia berpendapat bahwa jiwa itu mempunyai wujud yang berpisah dari badan. Jiwa itulah yang membimbing dan menguasai anggota-anggota badan, malah menentangnya jika jiwa itu bijaksana. Katanya (Plato) "manusia adalah jiwanya sedang badannya sekedar alat saja". 

Ada hubungan antara jiwa dengan alat ini. Kadang-kadang badan memberati jiwa dengan kebutuhan-kebutuhan dan penderitaannya dan kadang-kadang juga jiwa itu mengalahkan badan dan berusaha melepaskan diri daripadanya. Jadi kalau manusia primitif berkata ada manusia dalam, maka Plato berkata ada wujud jiwa yang bebas. Walaupun gambaran yang samar-samar ini terhadap jiwa, namun ada fikiran-fikiran Plato yang dibuktikan kebenarannya oleh kajian-kajian mutakhir dalam psikologi. 

Dia berpendapat bahwa manusia itu ada perbedaan-perbedaan perseorangan dalam kecerdasan dan rentetan psikologi yang lain. Juga orang mem- punyai kemampuan-kemampuan akal yang khusus yang men bedakannya dari orang lain, begitu juga kaitan-kaitan pribadi y ang membedakannya dari orang lain. Juga Plato menekankan pentingnya pengaruh lingkungan pada pemikiran dan tingkah laku seseorang. 

Semua gambaran ini, walaupun berdasar pada enungan-renungan pribadi, tetapi kajian-kajian mutakhir dalam psikologi membuk tikan kebenarannya. Gambaran Aristoteles tentang jiwa berbeda sama sekali dari pendapat Plato. 

Dia berpendapat bahwa jiwa itu adalah fungsi hadan. Oleh sebab itu dianggapnya psikologi sebagian dari ilmu kealaman. Untuk membuktikan pendapatnya ini ia mengatakan bahwa emosi-emosi, seperti marah, takut, gembira, cinta dan benci, tidaklah timbul dari jiwa sendiri saja, tetapi dari jiwa dan badan sekaligus. Pengamatan itu tim bul dari jiwa dengan kerjasama dari anggota deria yang mengamati seperti mata, telinga dan sebagainya. 

Jadi semua emosi jiwa itu bergantung pada badan. Buktinya bila terjadi emosi jiwa maka berlaku perobahan-peroba- han pada badan. Sebagaimana juga manusia tidak merasa takut dan marah pada hal ia menghadapi suasana-suasana yang menimbulkan rasa takut dan marah, kemudian kita lihat dia meradang, takut dan marah tanpa sebab. Kata Aristoteles, disebabkan karena badannya sedang meradang dan letih. Malah ada orang-orang yang mera- sa takut tanpa ada sebab luar sama sekali yang menyebabkannya yaitu di kalangan penderita sakit jiwa. Ini disebabkan karena adanya kerusakan badan pada penderita-penderita itu. 

Jadi tidaklah tepat bila kita berkata bahwa jiwa itu takut atau marah, tetapi yang tepat ialah manusia marah dan takut dengan jiwa, sebab emosi itu timbul ketika jiwa menganggap bahwa keadaan menghendakinya, karena jiwa, menurut Aristoteles, adalah fung- si badan, seperti halny a penglihatan itu adalah fungsi mata, maka jiwa itu fungsi badan. 

Jadi di sini ia berbeda dengan Plato yang menganggap jiwa dan badan dua substansi yang berpisah, yang kadang-kadang timbul pertentangan dan perbedaan antara kedua- duany a. Oleh secbab itu kalau kita ingin mengkaji pengalaman dan tingkahlaku maka patutlah kita mengkaji fungsi-fungsi badan lebih dahulu.

Pendapat Aristoteles ini juga besar pengaruhnya pada pandangan terhadap penyakit jiwa. Dia selalu percaya bahwa semua peny akit jiwa mempunyai sumber fisiologis. Dia mengabaikan sa ma sekali fungsi-fungsi fisiologi yang lain. 

Pengaruh pendapat Aristoteles ini terhadap pemikiran falsafah besar sekali, sehingga ia mematikan segala percobaan untuk mengadakan tafsiran-taf- siran psikologis selama kurang lebih dua ribu tahun. Tetapi pendapat Aristoteles ini mempuny ai keistimewaannya juga. 

Ketika ia memandang jiwa sebagai fungsi proses-proses jasmaniah, maka ini merupakan perkembangan penting ke arah menjadikan jiwa itu sebagai obyek sains. Sebab, dalam hal ini, kita tidak membahas manusia dalam badan itu, tetapi badan dan berbagai fungsinya. 

Oleh sebab itu semenjak Aristoteles kecenderungan beralih ke arah mengkaji benda hidup atau organis. Kecenderungan serupa ini berterusan sehingga kajian-kajian Galen (129 - 199 M), dalam kedotoran mencapai kegemilangan. Penyelidikannya besar sekali nilainya. Dikumpulkannya bahan-bahan yang cukup dalam bidang penyakit jiwa, sebagaimana ia mengadakan pembedahan urat saraf dan mengkaji hubungannya dengan tingkahlaku manusia. 

Tetapi, sayang sekali, dibungkusnya karya-karyanya, seperti juga orang-orang lain di zamannya, dengan khurafat, sehingga hasil-hasil penemuannya menjadi samar-samar. Dikatakannya bahwa anggota badan ini atau itu ada pengaruh agama atau bintang-bintang, namun demikian kedudukan ilmiah Galen itu besar sekali. Namun kemajuan yang dicapa- nya dalam bidang kedoktoran telah terhalang sesudah wafatnya sebab orang sibuk dengan perdebatan dalam soal metafisika dan lain-lain. 

Dengan runtuhnya peradaban Yunani dan Romawi maka kajian tentang psikologi atau ilmu jiwa menurun juga. Malan dalam seluruh bidang pengetahuan segala macam khurafat berkembang, ini terutama antara abad ke lima belas dan abad ke delapan belas. 

Dari Buku Manusia dan Pendidikan yang ditulis oleh Hasan langgulung