Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teori Akal dan Teori Kognitif Modern

Teori Akal dan Teori Kognitif Modern

Bagi Ibnu Khaldun, akal fikir adalah potensi psikologik fundamental dalam belajar. Pandangan ini sejalan dengan wawasan al-Qur'an. Di dalam al-Qur'an dijumpai perkataan yang berakar dari kata 'aql tidak kurang dari 49 kata di berbagai ayat. Kesemuanya dalam bentuk fi'il (kata keria aktif). 

Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia berasal dari kata al-Aql dalam bentuk kata benda abstrak. Al-Qur'an tidak menggunakan ungkapannya dalam banyak kata benda abstrak tersebut. 

Al-Qur'an menggunakannya dalam bentuk kata kerja aktif, yakni: 'aqalûhu, na'qilu, ya'qiluha, masing-masing dijumpai dalam satu ayat, kata ta'qiluha, masing- masing dijumpai dalam satu ayat, kata ta'qilin didapati pada 24 ya'qilun disebut dalam 22 ayat. Semua kata tersebut mengandung makna memahami atau berfikir.

Penggunaan kata akal dalam bentuk kata kerja aktif ini menunjukkan, bahwa al'aql merupakan salah satu potensi psikologik manusia yang paling fundamental dan paling besar fungsinya dalam proses belajar dan aktifitas manusiawi lainnya. Dalam pandangan Islam, akal mempunyai pengertian tersendiri. la berbeda dengan pengertian pada umumnya. 

Dalam pengertian Islam, akal tidaklah otak, tetapi adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang sebagai digambarkan al-Qur'an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatian alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu Tuhan.

Pengertian tersebut melihat dari asal kata akal yang berasal dari bahasa Arab al-'aql. Dalam bahasa Indonesia orang mengidentikkan dengan fikir atau fikiran. 

Menurut Etimologi Arab, arti akal mula-mula "mengikat" (menahan) dan "membedakan". Dalam rangka itu orang menghubungkan, bahwa akal mempunyai tenaga yang menahan diri makhluk yang memilikinya dari perbuatan jahat, membedakannya dari makhluk-makhluk lain. 

Menurut Harun Nasution kata akal yang sudah menjadi milik bahasa Indonesia, dalam bahasa Arab sendiri ditemui arti mengikat dan menahan. Mengikat antara al-fikr, perasaan (al-wijdan) dan kemauan (al-irådah). Bila tidak ada ikatan, berarti tidak ada akal itu. Ketiga eksponen itu satu sama Inin tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satunya dipisahkan, bukan lagi berfungsi sebagai akal. 

Dalam buku lisan al-Arab dijelaskan al-'aql berarti menahan (al- hijr), orang yang al-'aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Makna lainnya ialah kebijaksanaan (al-Nuha), lawan dari lemah fikiran (al-humq). Seterusnya al-'aql juga bermakna qalbu (al-qalb). Lebih lanjut al-'aql juga memiliki makna memahami." 

Menurut al-Attas akal merupakan suatu sifat dalam diri manusia yang mengikat dan menyimpulkan objek-objek ilmu dengan menggunakan sarana kata-kata. Bagaimanapun kata 'aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. 

Bertolak dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa akal adalah salah satu daya atau potensi psikologik sebagai alat yang digunakan manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan. "Akal-fikir adalah induk segala aktivitas (ummahatu al-a'mal).

Bagi Ibnu Khaldun dengan potensi akallah yang menyebabkan manusia berbeda dengan makhluk lain. Dengannya pula yang menyebabkan hanya manusia yang dapat memikul syari'at. Dengan akal pula manusia dianugerahkan jabatan Khalifah di muka bumi. Yang menjadi persoalan sekarang, di manakah letak akal fikir itu? Menurut Khaldun, berfikir, fikir ialah penjamahan bayang-bayang (sesuatu objek) di balik panca inderanya, dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat analisa dan sintesa. Inilah arti kata af-idah (jamak dari fuad, hati) dalam firman Allah "Dia telah menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan akal" (al-Mulk : 23). 

Fuad inilah yang dimaksud dengan fikiran." Ayat 46 Surat al-Hajj, menandaskan, bahwa qalbu alat untuk memahami dan ia terletak di dada. Demikian pula surat al-A'raf ayat 179. Ayat-ayat tersebut tidak menyebut akal adalah daya pikir yang berada di kepala. Al-'aql malahan dikatakan sama dengan al-qalbu yang berpusat di dada. Pandangan Ibnu Khaldun ternyata sesuai dengan bunyi ayat al- Qur'an tersebut. la berpendapat tempat al-'aql adalah berpusat di dada. 

Memang kenyataan dalam dunia Islam orang berpendapat akal berpusat di kepala. 

Ibnu Khaldun cenderung menyebut otak sebagai mempunyai kekuatan di mana akal bekerja sama dengannya. Sebab pada otak terdapat receptor-receptor. Otak juga mempunyai transmitor informasi yang diterima alat indera. 

Ibnu Khaldun mengatakan fikiran bekerja dengan kekuatan yang ada di otak (brain) yang memberi kesanggupan menangkap bayangan berbagai benda yang bisa diterima oleh panca indera. Kemudian mengembalikan benda-benda itu ke dalam ingatannya sambil mengembangkannya lagi dengan bayangan-bayangan lain dari bayangan benda-benda itu." 

Bertolak dari keterangan tersebut dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun jelas berpendirian, akal terletak di dada, bukan di kepala. Kepala adalah sarana pengantar dan penyampai informasi untuk selanjutnya diolah di dalam fikiran. Pandangan ini senada dengan pendapat ahli psikologi modern yang mengatakan, bahwa di otak terdapat receptor- receptor penerima informasi dari alat indera. 

Konsep akal Ibnu Khaldun ini juga sejalan dengan pendapat al- Attas bahwa qalb merupakan suatu alat penerapan pengertian ruhaniyah sebagai padanan kata 'akal, yang dengannya terwujud kesadaran diri- rasional (al-nafa al-natiqah) yang dapat memahami dan membedakan kebenaran dari kepalsuan. 

Bagi Ibnu Khaldun, akal sebagai potensi psikologis, mempunyai beberapa tingkatan, yakni al-'aql al-tamyizi (disceming intellect); al-Tajribi (experimental intellect) dan al-'aql al-nazari (speculative intellect).

Ketiga potensi psikologik ini menurutnya bekerja secara bertahap mulai al-Tamyizi dan seterusnya. Proses kerja akal ini adalah secara bertahap. Ia saling mengisi dan saling menunjang. Inilah yang menjadi titik tolak yang dijadikan Ibnu Khaldun sebagai landasan penyusunan teori-teori belajarnya - sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu. 

Pendapat Ibnu Khaldun tersebut, menunjukkan bahwa akal mempunyai peringkat kemampuan yang berbeda, mulai yang sederhana sampai kepada yang kompleks. Pendapat ini sejalan dengan pendapat semua filosuf yang menyatakan: bahwa akal mempunyai tingkatan kemampuan yang berbeda antara satu dengan yang lain. 

Perbedaan kemampuan akal ini pula sebagai suatu dasar yang diletakkan Ibnu Khaldun dalam menyusun prinsip individual differences dalam proses belajar. Hal ini sesuai pula dengan firman Allah "Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai Khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan derajat sebahagian kamu atas sebahagian yang lain ." (al-An'am : 165). 

Ayat ini dapat ditafsirkan, bahwa tidak ada yang memiliki ilmu pengetahuan, kecuali di atasnya ada yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga berakhir pada Allah, samping Ibnu Khaldun, para filosuf juga banyak membicarakan tentang akal. Mereka memandang akal sebagai salah satu daya dari jiwa (al-nafs atau al-roh) yang terdapat pada diri manusia. Sebagai perbandingan, agaknya bermanfaat diutarakan di sini. 

Al-Kindi, filosouf Islam pertama, menyebut pada jiwa manusia terdapat tiga daya. Daya bemafsu (al-nafs al-bahimiyah), yang berada di perut, daya berani (al-nafs al-nubu'yah), yang bertempat di dada; dan daya berfkir (al-nafs al-natiquh) yang berpusat di kepala. Ibnu Miskawaih (941- 1030 M) memberi pembagian yang sama. Daya terendah menurutnya adalah daya bernafsu (al-nafs al-bahimiyah). 

 Ibnu Sina (980-1037 M) mengatakan jiwa manusia hanya mempunyai daya berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: 

  1. akal praktis (al-'amilah) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang: 
  2. akal teoritis (al-'alimah) yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan Malaikat. 
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, menangkap kekhususan (juz'iyyat). Akal teoritis sebaliknya bersifat metafisis. Akal teoritis mencurahkan perhatian kepada dunia materi dan menangkap keumuman (kulliyat). Akal praktis bergantung timbulnya kebajikan dan kesejahteraan pada seseorang. Akal teoritis mempunyai empat derajat: 
  1. Akal materi (al-'aql al-hayulany) yang merupakan potensi belaka, yaitu akal yang kesan ggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam materi, belum keluar. 
  2. Akal bakat (al-'aql bi al-malakah), akal yang kemampuannya berfikir secara murni abstrak telah kelihatan. la telah dapat menangkap pengertian dan kaedah umum, seperti seluruh lebih besar dari bahagian. 
  3. Akal aktual, (al-'aql bi al-Fili), akal yang telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaedah umum yang dimaksud. Akal aktual ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki. 
  4. Akal perolehan (al'aq al-mustafad), akal yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut siap untuk dikeluarkan dengan mudah sekali. 
Akal dalam derajat yang keempat inilah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Akal serupa inilah yang dimiliki filosuf dan akal ini pula yang dapat memahami alam murni abstrak." Sebagaimana Ibnu Khaldun menurut perspektif modern manusia adalah makhluk rasional (makhluk berfikir). Sidney Hook mengatakan "man is a rational animal".

John Dewey mengemukakan pendapat senada, ia bahkan menambahkan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah buah dari aktivitas otak manusia. Menurutnya, semua hal yang terjadi dalam masyarakat jika ditelusuri secara mendalam, maka akan dijumpai bahwa manusialah sebagai faktor dan aktor utama.

Akal merupakan sarana bagi manusia yang dapat mengadakan pembaharuan, rekonstruksi dan reorganisasi. Karena itu manusia mampu berkembang. Perkembangan manusia itu ke arah yang tidak dapat diramalkan . Dengan akallah manusia senantiasa dinamis dan progressif. Dewey menentang teori yang mengatakan, bahwa karakter manusia itu statis dan tidak dapat berkembang. Menurutnya pandangan demikian merupakan teori atau doktrin yang bersifat mengekang dan pessimistik.