Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hakikat Kehidupan Manusia

Hakikat Kehidupan Manusia

Suatu hari Rasulullah saw membuat garis di atas pasir. Garis itu berbentuk sebuah persegi ( square ). Dari dalamnya menembus sebuah garis. Garis itu melampaui garis sisi bujur sangkar. Di tengah digambarkan sebuah titik: ”Ini manusia”. Lalu beliau menunjuk garis yang berada tepi bujur sangkar: Beliau Mengatakan: ”Ini ajalnya”.

Baca juga: Sistem Pendidikan Perspektif Islam

Kemudian menunjuk ke garis yang membentang dari titik manusia menembus dinding square, jauh meninggalkan garis luarnya.”Inilah angan-angannya”, sabdanya. Indah, pas, dan menyentuh. Seorang seniman mengangkatnya ke dalam kanvas.

Baca juga: Energi Spiritualitas Manusia

Jadilah ia lukisan abstrak yang bagaikan sepotong jasad yang kesepian dalam keramaian, jauh terasing dari alam sekitarnya padahal ia di tengah mereka dan terkapar tanpa daya, padahal ia telah mencatat prestasi gemilang yang tak pernah dicapai oleh makhluk manapun. Mungkin judul tersebut dibuat satiris, tanda keinginan melecehkan lebih dalam lagi; bukan ajalnya yang membatasi mimpi-mimpinya, tetapi mimpilah yang memenjarakannya.

Baca juga: Pendidikan Aceh di Era Kemerdekaan

Tak jarang ketenangan datang dan kejemihan merayap, hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan itu cukup sebagai kompensasi tidak nyaman di awal menukik. Mungkin bisa lebih getir bila diajak atau mengajak orang untuk datang ziarah kubur atau menyaksikan seseorang-siapa pun mereka yang sedang sakaratul maut, saat kehidupan tinggal bagaikan utas-utas tali yang semakin menipis dan genting. Intinya suatu kesiapan menghadapi saat yang tiada boleh tidak pasti akan tiba itu, harus dilakukan. Bila ada dua bab yang kalau sudah dibuka, maka akan sukar menutupnya kembali, yaitu bab perempuan dan bab jin, maka ada perbincangan yang sukar membukanya dan forum bubar begitu saja tanpa kesimpulan, bab kematian dan bab aib diri. Yang terakhir ini memang lebih menghunjam, siapa yang suka membuka matanya terhadap kekurangan, kesalahan atau bahkan keterbatasannya. Maka jadilah sebuah buku yang membahas hal tersebut, penaka sahabat yang jujur dan bijak, siap menerangkan kepa da sahabatnya apa yang membahayakannya dan apa yang menyelamatkannya. Seorang tabiin besar, Hasan Al Bashri menegaskan: ”Tiada lagi yang tersisa dari kehidupan ini kecuali tiga;
  1. Seorang saudara yang dari bergaul dengannya. Dan Dengan Bergaul itu engkau dapat memperoleh kebaikan. Bila engkau menyimpang dari jalan lurus, niscaya ia akan mengingatkanmu,
  2. Shalat dalam keterhimpunan ( hati, akal, dan jasad ), engkau terjaga dari melupakannya dan engkau meliput ganjarannya,
  3. Cukuplah ( kebahagiaan ) bagimu dari kehidupan ini. Bahwa tiada seorang pun mempunyai celah untuk menuntutmu di hari kiamat ( karena kezalimanmu ).

Baca juga: Intisari Buku Uang Haram

Kalau zaman ini sulit memberikannya, maka”sebaik-baik teman di zaman ini ialah buku”( Khairu jalisin fi hadza azzaman alkitab ).

Ada dua hal yang selalu harus ditata, karena sudah banyak kontradiksi yang dihasilkannya. Pertama, prioritas diri menyikapi asesori dunia. Jelas seruan untuk berakhlak zuhud, qanaah, dan memandang dunia secara benar serta tidak tertipu oleh rayuannya, merupakan sikap dasarnya.

Kedua, sikap kolektif manusia yang terus menerus dituntut berperan untuk sesamanya. Artinya ia tidak mungkin mengikuti selera”zuhud dirinya, karena hal itu akan menyebabkan kemandegan bagi sesamanya. Dewasa ini kemiskinan dan keterbelakangan melanda dunia Islam.

Persepsi yang salah tentang zuhud menjadi ancaman. Kekalahan di bidang peradaban kebendaan nyata-nyata telah menyeret ummat menjadi bangsa taklukan. Teknologi audio-visual tidak memberi peluang bagi kaum miskin mau pun kaya untuk sejenak istirah dari membuang waktu mereka di depan layar kaca dengan acara yang sia-sia.

Tetapi seruan agar ummat berdaya, mandiri dan kaya, kerap juga telah disi kapi tafsiran subyektit. Muncullah kelompok borjuis baru yang egois, hedonis, dan snobis. Sangat dalam perumpamaan yang dibuat Rasulullah saw tentang dunia dan dirinya.”Di dunia ini aku hanyalah seperti seorang musafir yang berteduh dari kepanasan. Saatnya ia harus berangkat Untuk musafir tidak disyaratkan harus miskin atau kaya. Bahkan isyarat untuk berbekal diri di sana, lebih dekat kepada pembenaran bagi kaum beriman untuk menjadi berkecukupan dalam urusan dunia.

Aturan lalu lintas memberi kita banyak ibrah. Ada larangan berhenti atau parkir di tikungan atau di jembatan. Dunia adalah jembatan, karenanya orang tak boleh berhenti untuk berasyik-asyik disana. Dan dunia adalah perhiasan, karenanya yang pantas berhias adalah orang-orang yang bersih. Itulah kaum beriman.

Bayangkan bila orang berhias dengan perhiasan yang berkilau, 1 miliar harganya. Namun ia menggunakannya dengan badan yang masih berlumpur, penuh oli, bau busuk dan luka yang menjijikkan. Apa arti keindahan perhiasan tersebut ? Imam Ali bin Abi Thalib ra berpesan :”Ketahuilah, hari ini adalah hari midimar ( mendiet kuda pacuan agar kuat dan ringan ) dan esok adalah sibaq ( hari berpacu ).

Bersiaplah di hari midlmar kamu untuk hari sibaq kamu. Ketahuilah, sesungguhnya barang siapa yang lamban amalnya, tak akan menjadi cepat oleh nasab ( leluhur, koneksi ) nya”. Apakah zuhud identik dengan miskin ? Logika sederhana mengajarkan kepada kita, betapa ' pelecehan ' terhadap dunia baru dipandang sungguh-sungguh bila muncul dari orang yang memilikinya.

Bagaimana orang yang tak memiliki apapun dapat disebut zuhud. Padahal itu bukan pilihan sadarnya akan tetapi keterpaksaan hidup yang harus dijalaninya. Ia dapat dituduh menggerutui kemiskinan dan bukan dengan sadar memutuskan ketergantungan kepada dunia, sementara ia dapat berenang dalam kekayaannya. Dzulqarnain adalah raja yang sangat berkuasa. Kekuasaannya membentang dari utara ke selatan dan dari timur ke barat. Ketika rakyat yang malang ingin memberinya upeti agar ia mau membangunkan benteng perlindungan untuk mereka dari serbuan Ya'juj dan Ma'juj, ia menolak dan sebaliknya aktif memberdayakan mereka.”Kedudukan yang diberikan Tuhanku itu lebih baik, maka bantulah aku dengan suatu kekuatan.”( QS. 18.95 ).

Apa pun masalahnya, diperlukan kejelasan sikap terhadap dunia. Telah menjadi sikap yang dipegang oleh umumnya ulama, bila tetap ingin tetap jadi pewaris para rasul, yaitu tidak berbaur dengan sultan dan tidak bergelimang dunia. Umum di kenal ulama yang melarikan diri dari kedua sumber fitnah ini. Tetapi mereka pun punya klasifikasi. Bahwa itu memang berlaku untuk peringkat zuhhad ( kaum yang zuhud ) yaitu mereka harus lari dari gelimang dunia dan keakraban sultan karena takut akan fitnah. Ada pun orang orang pada peringkat Al'arifun billah. Berani datang kepada siapa saja, raja dan konglomerat, preman dan serdadu, untuk mengingatkan dan menasihati sultan.

Di titik ini, manusia, sebagai makhluk sentral di alam semesta menentukan sendiri jalan yang terbentang di depannya ; durhaka ataukah taqwa. Dan ini berarti memilih antara benar dan salah, baik dan buruk, baik dan lebih baik dengan suka dan tidak suka. Betapa perlunya ia akan suasana saat kejernihan hatinya mampu memutuskan yang terbaik. Berhenti Sejenak, Memang perlu Apa jadinya seandainya hidup hanya diisi kerja dan kerja ?

Nyatanya belum ada bangsa yang melakukannya. Karena memang ada kesombongan untuk berhenti sejenak dari rutinitas dan menjedanya dengan dzikir dan shalat, kerja yang tak akrab dengan faham kebendaan dan kesenangan, tetap saja mereka yang ' menuhankan modal, palu, arit dan gir itu pun kenal apa yang bernama istirah. Palu dan arit tak harus selalu digoyang. Gir dan skrup tak selalu harus berputar. Selebihnya adalah slogan tentang kerja tiada henti dan revolusi tak kunjung selesai. Atau kerja keras yang menyebabkan engkau berhak hidup dan modal yang sekecil-kecilnya menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya yang menyebabkan engkau tampil bermakna, bahkan menguasai dunia.

Adapun hamba beriman selalu punya cara untuk mengisi hidupnya dengan Ibadah. Karena ibadah itu adalah penebus dosa bagi dirinya. Seperti Sabda nabi: "Shalat lima waktu, Jumat ke Jumat dan Ramadhan ke Ramadhan, menjadi kaffarat ( cover, penutup. penggugur ) itu adalah sebagai penebus dosa diantara waktu-waktu tersebut, apabila dosa-dosa besar telah ditinggalkan”( HR. Ahmad, Muslim dan Tirmidzi ).

Berhenti sejenak untuk tujuan-tujuan diatas, akan memberikan kekuatan baru menghadapi kancah kehidupan yang keras dan membingungkan. Ada cara yang disarankan seorang intelektual muda sahabat, Muadz bin Jabal ra.”Ijlis bina nu'min sa’ah”( Duduklah bersama kami, kita perbaharui iman sejenak, ( HR Bukhari ).

Bahkan ketika mencoba mengimplementasikan pesan-pesan kitab sucinya dan tak semata-mata terpaku pada perintah-perintah teknis kecuali dalam kaitan ibadah mahdlah ( ritual-seremonial ), nampaklah keperluan yang sangat untuk ' Berhenti sejenak.”Hendaklah manusia melihat, dari apa ia diciptakan... ( QS. 86.5 ). Nazhar ( pandang, lihat, perhatikan ), yang kelak menjadi nalar, jelas kerja tinggi dan bukan kegiatan biasa.

Namun bagi seorang beriman ia adalah hal rutin yang seharusnya menghiasi kehidupannya. Ajaib, banyak juga orang yang mengalir begitu saja bagai dihanyutkan banjir atau bergerak otomatis bagai mesin, tanpa merasa perlu berhenti sejenak untuk merenungkan ' visi dan misi hidupnya.

Ternyata ini bukan monopoli kelas borju baru bangsa ini saja, yang waisya, sudra, dan paria pun tak lepas dari virus La mubalah ( cuck, tak peduli ). Berhenti Sejenak dengan tawaran simpatiknya mengajak untuk Mengenal Energi Diri, Membangun Harapan sampai Menangkal Kegelisahan yang Bermuara pada Amuk Batin, bersama 18 tajuk lainnya sepatutnya menjadi Teman Terbaik Zaman Kini ', sebelum tawaran berbagai usaha penjernihan hati direspon. la dapat menjadi”Ma'alim”, rambu-rambu jalan yang memungkinkan penempuh dan musafir yakin, aman dan lancar di perjalanan. Jadi memang, perlu berhenti sejenak mencocokkan arah kompas, mengukur peta, dan memeriksa bekal perjalanan. Di depan, jalan membentang panjang. Ada musafir yang Maghdlub ' alaihim ( dimurkai ), karena sengaja menyimpang dari jalan kebenaran yang terang terbentang. Ada yang Dlaallien ( sesat ), karena punya semangat berjalan tanpa tahu arah. Berbahagialah mereka y yang menempuh jalan lempang ( Ashhirat Almustaqim ), bersama orang-orang la beri nikmat ; para nabi, kaum shiddiqin ( jujur, benar ), syuhada dan shalihin ( QS. 17/4 : 69 ). Allahumajalna minalladzina An'amta ' alaihim, ghairil maghdlubi ' alaihim


Kutipan Dari Buku Spiritualitas Islam Yang dituli Oleh Ustadz Abu Ridha