Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Energi Spiritual Manusia

Energi Spiritual Manusia

Apresiasi nilai dalam sebuah kebudayaan memberikan gambaran tentang hakikat, kedudukan, dan peran sistem kebudayaan atau filsafat akan menunjuk pada konsep tentang manusia, baik dalam keadaannya yang tetap ataupun dalam keadaannya yang berubah. 

Hakikat manusia yang murni dan esensial, prinsip serta nilai ideologis dan spiritual, serta lembaga-lembaga etika dan yuridis yang terbentuk dari pengalaman kesejarahannya, menjadi objek penyelidikan tentang manusia yang biasa dilakukan para filsuf, ahli sosiologi, kaum moralis, budayawan, pakar hukum, dan ahli sejarah.

Manusia telah diciptakan Allah sebagaimana la menciptakan makhluk yang lain, tunduk kepada hukum dan berbagai ketentuan yang bersifat universal.

Baca juga: Kiat Menggapai Cinta Abadi

Dipandang dari segi materinya, manusia terbuat dari tanah liat, bahan dari dunia ini, dan karenanya ia harus tunduk kepada hukum alam yang telah diciptakan Allah swt untuknya. Wujud fisik dan penampilannya telah dibentuk sedemikian rupa dengan kehendak Penciptanya ( QS. Al Muthaffifiin, 82: 8 ), bukan dengan kehendak dirinya sendiri, dan bukan pula dengan kehendak ibu-bapaknya.

Memang kedua orang tuanya telah bertemu, tetapi mereka tidak berkuasa untuk menciptakan janin ( fetus ). Manusia dilahirkan sesuai dengan hukum Allah ( nomos ) tentang masa hamil dan suasana saat dilahirkan. Ia mengindra dan merasa sakit, haus dan lapar, makan dan minum, mencari makanan dan minuman, sesuai dengan hukum-Nya yang pasti, tanpa mengalami perubahan, tanpa kehendak dan pilihan manusia itu sendiri.

Dari segi ini, keadaan manusia dipandang sama dengan keadaan seluruh alam semesta, ketundukan mutlak kepada kehendak, ketentuan, dan hukum Tuhan ( QS. Ali Imran, 3:83 ) Allah swt telah menciptakan alam semesta dan menundukkan segala isinya, termasuk manusia, kepada hukum-hukum-Nya.

Selanjutnya, Tuhan mengundangkan bagi manusia suatu syariat untuk mengatur kehidupannya, dengan suatu susunan yang serasi dengan kehidupan tabi'innya. Atas dasar ini, maka syariat adalah bagian dari hukum umum Allah yang mengatur fithrah manusia dan fithrah kauniyah.

Oleh sebab itu, nilai manusia dalam Islam tidak didasarkan kepada ras atau etnis tertentu, bukan pula pada komunitas tertentu. Nilai manusia ditentukan kepada keimanan dan penyerahannya yang total serta hubungannya dengan Dzat Yang Mutlak, Tuhan pencipta alam semesta; ditentukan dari sejauh mana ia menyesuaikan seluruh perilakunya dengan syariat yang telah diturunkan Allah kepada manusia melalui para Rasul-Nya.

Selanjutnya, martabat keimanan seseorang tergantung kepada penghayatannya terhadap nilai-nilai dan syariat Ilahiyah serta kedalaman iman, dan keyakinannya yang berakar dalam hatinya. Apabila keimanan dan penghayatan itu telah menancap dalam hatinya, maka posisi keimanannya terhadap nilai-nilai Ilahiyah tersebut akan meningkat dengan sendirinya.

Kesempurnaan amal seseorang terletak pada kekuatan dan penghayatan nilai-nilai Ilahiyah dalam jiwanya, serta aplikasi syariat di dalam totalitas hidupnya. Nilai dalam kehidupan manusia menjadi jiwa dan motivator kehidupan, sedangkan syariat menjadi koridor yang memastikan perjalanan hidupnya tetap berada di jalan lurus.

Tegasnya, nilai dan martabat manusia ditentukan dengan totalitas dirinya sebagai hamba Allah. Rasulullah saw dalam doanya mengeksplisitkan sebuah pengakuan yang tulus tentang kehambaan dirinya dan penyerahannya yang total kepada-Nya,”Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu.”Sebuah pengakuan yang merefleksikan totalitas dirinya yang sejati.

Pernyataan pengakuan itu mengajarkan kepada manusia bahwa totalitas dirinya adalah hamba. Sebagai konsekuensinya, setiap manusia harus memelihara konsistensi penghambaannya kepada Allah dengan selalu bersikap rendah, tunduk, melaksanakan segala perintah Tuhannya dan menjauhi larangan-Nya, dan senantiasa membutuhkan perlindunganNya. la harus selalu meminta pertolongan, bertawakal, dan berserah diri kepada-Nya dalam semua keadaan Hati, kecintaan, rasa takut, dan harapnya hanya digantungkan kepada Allah, tidak diperuntukkan kepada selain-Nya, tidak membelanjakan harta dan mempersembahkan jiwa dan raganya kecuali atas perintah dan izin-Nya.

Ketulusan penghambaan manusia kepada Allah swt, seperti dinyatakan Sayyid Quthb, mengandung arti tidak merasa membutuhkan sedikitpun untuk menghambakan diri kepada selain Allah, dalam kepercayaan dan konsepsi, dalam peribadatan dan ritual. Juga merasa tidak perlu menghambakan diri kepada selain Allah, dalam sistem dan perundang-undangan.

Sebaliknya, ia benar-benar mengatur kehidupannya atas dasar penghambaan diri yang mumi. Hati nuraninya bersih dari kepercayaan ketuhanan selain Allah, baik bersama-sama dengan Allah atau tidak. Ritual yang dilakukannya bersih dari pemujaan kepada selain Allah, bersama-sama dengan Allah atau tidak. Hukum yang dipatuhinya murni datang dari sumber-sumber Allah swt, bersama sama dengan Allah atau tidak, sebab Dialah yang telah memberi rahmat dan karunia-Nya kepada manusia yang tak terhingga, yang tidak dapat dipahami secara terpisah dari kekuasaan-Nya.

Dalam perspektif Islam, watak manusia tidak memiliki nilai sejati yang melekat di dalam dirinya, melainkan semata-mata karena kebaikan dan kemurahan Allah swt. Kendati begitu, pandangan Islam tentang manusia menggabungkan pengakuan afirmasi Tuhan Yang Mahakuasa dengan pengakuan adanya tanggung jawab pribadi yang-kepada anugerah kemerdekaan; sebuah potensi dasar manusia, sebuah energi yang memastikan dirinya sebagai makhluk moral. didasarkan Sesungguhnya, hakikat manusia itu laksana mata air perenungan yang tak pernah kering.

Salah satu ceramah Hasan Al Banna diberi judul ”Siapakah Anda ?”. Pertanyaan itu jelas merupakan pertanyaan sangat mendasar. Pertanyaan ini berkaitan dengan manusia dan hakikat dirinya. pertanyaan ini secara terus-menerus dicari jawabannya oleh para pemikir. Sepanjang sejarah pemikiran manusia, para filsuf tidak pernah berhenti mencari jawaban terhadap pertanyaan pendek tersebut.

Dalam ceramahnya itu, Al Banna berusaha menegaskan kembali jawaban orang Islam terhadap pertanyaan fundamental yang telah menjadi wacana filsafat dan teologi sepanjang masa.”Kita adalah kelembutan Ilahi, tiupan suci dan ruh yang berasal dari Allah swt y yang telah menciptakan diri kita dengan”kedua tangan-Nya”, lalu meniupkan ruh-Nya ke dalam diri kita, melebihkan kita dari kebanyakan makhluk-Nya.”

Dari penegasan tersebut, dapat dipahami bahwa adanya jiwa ( ruh ) yang immaterial, kekal, dan yang sedang menuju pada kebahagiaan hakiki atau kesengsaraan abadi, merupakan pokok yang esensial dalam diri manusia Ruh adalah sesuatu yang menjadikan manusia hidup dan berpengetahuan. Ia adalah sesuatu yang abstrak, dzat murni yang tinggi, dan merupakan esensi manusia yang terus-menerus menjadi sumber pertanyaan di kalangan filsuf.

Dalam Al Quran, esensi jiwa atau ruh tersebut harus dipahami sebagai realitas yang menjadi urusan Tuhan semata. ( QS. Al Israa ', 17:85 ). Dalam Islam, manusia digambarkan sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan”lemah”( QS. An-Nisaa ', 4:28 ) dan dalam bentuk yang seimbang lagi sempurna ( QS. At-Tiin, 95: 4 ). Manusia diciptakan dari tanah liat dan lumpur ( QS. Al Hijr, 15:26 ) dan kemudian ditiupkan ruh di dalamnya ( QS. Al Hijr, 15:29 ).

Di satu sisi, gambaran tersebut mencerminkan adanya watak spiri insendental yang ingin mencapai kesempurnaan, di sisi lain mencerminkan adanya watak material yang lemah dalam menghadapi berbagai hambatan kosmis. Sejatinya, manusia adalah sebuah totalitas yang sarat dengan energi, yang disusun secara spesifik dan unik.

Watak spiritual dan transendental yang tersimpan di dalam dirinya itu merupakan energi yang dapat mempertahankan kedudukannya dan memenuhi kewajibannya dalam sistem universal. Energi yang tertanam dan inheren dalam diri manusia itu dapat mengadaptasikan diri dalam berbagai perubahan dan pola kultural; dapat mengangkat derajat dan menempatkan dirinya pada posisi wakil Tuhan di bumi. Namun, energi itu akan efektif, bila manusia secara terus-menerus meningkatkan kesadarannya terhadap eksistensi dirinya melalui penyempurnaan pengetahuannya.

Ibnu Qayyim melukiskan energi pengetahuan manusia sebagai makhluk yang mempunyai dua kekuatan, yang sekaligus menjadi prasyarat pencapaian kebahagiaan: kekuatan analisis ilmiah ( teoretis ) dan kekuatan melaksanakan kehendak ( praktis ). Penyempurnaan kekuatan teoretis ilmiah dapat diraih melalui pengetahuan manusia ( ma'rifah ) terhadap Sang Pencipta, nama-nama, firman-firman-Nya, mengetahui jalan yang dapat menghantarkan kepada-Nya, dan mengetahui berbagai hambatan kosmis yang dapat menjauhkan dari jalan-Nya.

Kekuatan melaksanakan kehendak tidak akan tercapai kecuali dengan memperhatikan hak-hak Allah atas hamba Nya, menjalankannya dengan ikhlas, yakin, baik, dan penuh ketaatan. Kedua kekuatan itu akan mengkristal dalam bentuk kesadaran spiritualnya. Sebab, dengan kesadaran spiritual yang ada pada dirinya. manusia dapat melihat secara jernih semua fenomena kehidupan yang terpampang di hadapannya. Hasil penglihatannya itu tidak hanya dicema oleh daya dan energi intelektualitasnya yang rasional dan secara sadar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tetapi juga oleh daya dan energi mata hatinya yang cemerlang, sehingga mampu menembus batas-batas alam fisik.

Selanjutnya dihayati oleh seluruh emosi dan perasaannya. Sesungguhnya, hati orang-orang mukmin dapat memuat segala yang tidak dapat dimuat oleh langit dan bumi”, demikian Rasulullah saw melukiskan kekuatan daya muat kalbu.

Dengan energi kesadaran batiniahnya yang terbimbing oleh nilai nilai dan syariat-Nya pula, seseorang dapat membedakan antara yang berbahaya lagi membinasakan diri dan masyarakatnya, serta yang bermanfaat lagi membawa keselamatan bagi kehidupan; antara yang haq ( membawa kebahagiaan ) dan yang batil ( membawa kesengsaraan ).

la dengan terang-benderang dapat membedakan antara jalan orang-or ang yang beriman dengan jalan orang-orang yang berdosa, serta akibat yang akan diterima oleh para penempuh kedua jalan itu; yaitu jalan para pembangun dan jalan para perusak. Keduanya terlihat dengan jelas di hadapannya sebagai jalan yang dapat mengantarkan kepada tujuannya atau menyesatkannya.

Selanjutnya, energi itu membangkitkan semangat percaya diri dan kemantapan kalbu dalam mengarungi lautan kehidupan yang jauh dan tak bertepi; kehidupan yang terus bergerak di dalam sebuah sistem teologi alam ciptaan Tuhan, yang menyuguhkan sejumlah panorama yang mengagumkan kepada kita; kehidupan yang terus berputar dalam keluasan makrokosmos yang nyaris tak bertepi, kepelikan mikrokosmos yang saling menyempurnakan, dan dalam sifat mekanisme keseimbangan yang sempurna dan tidak terbatas kerumitannya itu.

Realitas yang sungguh amat mencengangkan bagi siapa saja yang memiliki kepekaan batin dan menyadari eksistensi dirinya. Orang yang memiliki kepekaan dan ketajaman batin yang ditandai oleh cahaya bashirah, akan menangkap semua fenomena dan kebenaran; akan sanggup menembus ufuk-ufuk jauh dengan kekuatan hati dan pikirannya yang jernih.

Dengan kepekaan batiniah dan keluasan wawasannya, ia akan dengan mudah menangkap kebenaran Al Quran, dan selanjutnya kebenaran itu menjadi cahaya yang menerangi fithrahnya. Keadaan hatinya selalu hidup, terjaga, dan selalu disinari nur Allah yang terang benderang.”Hati-hatilah terhadap firasat ( lintasan hati ) orang mukmin, karena ia melihat dengan nur Allah”, demikian Rasulullah menggambarkan betapa cemerlangnya hati orang-orang mukmin. Orang yang hatinya hidup, akan memadukan antara hati dan makna Al Quran. Ia merasa seakan-akan Al Quran terpatri di dalam hatinya dan menjadi lentera yang terus-menerus memancarkan cahaya terang benderang.

Namun, di balik kepercayaan diri dan keindahan serta keseimbangan tata-alamiah yang mempesona dan selaras dengan fithrah manusia, telah menanti sejumlah godaan dan tantangan yang sewaktu-waktu menjadi hambatan kosmis bagi perjalanan spiritualitas manusia; hambatan yang bisa jadi menghentikan perjalanan hidup atau memaksanya ke arah yang melenceng bahkan berlawanan dengan tujuan hidupnya.

Untuk itu, Allah telah memberikan dua jalan: jalan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat dan jalan orang-orang yang dimurkai lagi sesat, yaitu jalan kebenaran dan jalan kesesatan. Sesungguhnya, kebenaran jalan Allah amat jelas seperti jelasnya kesesatan jalan selain itu. Ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 256.

Dalam kerangka itulah, manusia harus melakukan mujahadah dalam menghadapi berbagai godaan yang dapat menyeret kehidupannya ke jalan yang salah dan menjerumuskannya dalam jurang kenistaan, dengan bimbingan wahyu seraya terus-menerus memohon pertolongan kepada Nya.

Mujahadah dalam pembentengan diri dan penangkalan terhadap berbagai godaan dan hambatan kosmis serta berbagai kecenderungan insting manusia adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh dilalaikan walau hanya sesaat.

Sebab, mujahadah merupakan tangga pencapaian magam ihsan yang tersebut dalam sabda Rasulullah saw,”Kamu beribadah kepada Allah swt seolah-olah kamu melihat-Nya; jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya la melihatmu.”Kekosongan jiwa manusia dari upaya sungguh-sungguh melawan berbagai godaan tersebut dapat menjadi gerbang intervensi syaitan untuk mengharu biru kondisi batiniahnya.

Allah swt menjamin tambahan hidayah ( petunjuk ) kepada orang-orang yang bertakwa yang mengikuti keridhaan-Nya, berjihad di jalan-Nya, dan bermujahadah dalam melawan berbagai godaan serta hambatan kosmis, dengan ketulusan hati dan kesungguhan dalam mengerahkan semua potensi dan energinya. Maka ketika itulah kesadaran batiniahnya diuji. Apakah mampu memelihara kesadaran batiniahnya sehingga ia tetap memiliki energi yang cukup dan dapat menyelesaikan estafet dan reli-reli panjang sampai finish, ataukah ia lalai sehingga gagal dalam separuh perjalanan dan kemudian terjerembab dalam fatamorgana dunia yang menyesatkan. la tersungkur di perjalanan tanpa harapan untuk mencapai finish. Ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al Mulk ayat 22.

Baca juga: Tabiat Biologis Manusia

Dimensi kesejahteraan yang menjadi cita-cita umat manusia mencakup dimensi moral spiritual dan fisik material. Wujud kesejahteraan pada dimensi moral spiritual termanifestasikan dalam kehidupan individu dan sosial yang aman dan merdeka. Indikator utama sebuah masyarakat yang sejahtera secara moral spiri tual adalah lahirnya rasa aman dan merdeka.

Dalam perspektif Al Quran, sebuah masyarakat yang aman tergantung pada sejauh mana warganya mampu menegakkan nilai-nilai Ilahiyah serta mengaktualisasikannya secara konsisten pada tataran kehidupan individu dan sosial mereka, juga i dan sikapnya yang positif dalam menghadapi realitas hidup dan penepsi ujian kehidupan yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al An'aam, ayat 81-82.

Konsistensi tersebut mengandung makna kepatuhan pada kehendak Allah secara total. Tercapainya tujuan-tujuan Islam dalam masyarakat manusia tergantung pada sejauh mana individu dan masyarakat itu mematuhi kehendak Allah sesuai dengan sifat, kesanggupan, dan realitas material dalam lingkungan mereka. 

Indikator umum kesejahteraan fisik material adalah kemakmuran yang merata. Seperti halnya kesejahteraan moral spiritual yang hanya dapat terwujud melalui tegaknya nilai-nilai tauhid dan aktualisasinya dalam totalitas hidup, maka kesejahteraan fisik material juga tergantung dari sejauh mana manusia mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiyah tersebut pada totalitas hidupnya. Dalam Al Quran diisyaratkan bahwa keimanan dan ketakwaan warga di sebuah negara menjadi pra syarat memperoleh kemakmuran sebagaimana firman Allah dalam surat Al A'raaf ayat 96.

Energi spiritual yang dimiliki manusia menjadi potensi yang kuat dalam pencapaian cita-cita, serta dalam merealisasikan tujuan dan misi keberadaannya di dunia untuk meraih kebahagiaan hakiki. Agaknya, panjang pendeknya umur seseorang bukan merupakan jaminan bagi keselamatan dan kebahagiaan hidupnya. Kualitas hidup dan amal baik yang digerakkan oleh kesadaran batiniahlah yang menentukan kualitas din dan nilai kehidupan seseorang.

Jika selama hidupnya di dunia diberi umur panjang dan amal-amal yang dilakukannya termasuk amal baik ( amal shalih ), maka perjalanan jauhnya akan memberikan tambahan baginya untuk mendapatkan kenikmatan dan kelezatan hakiki yang lebih besar lagi. Semakin panjang perjalanan hidupnya, semakin banyak keutamaan dan kenikmatan yang diperolehnya.

Keutamaan dan kenikmatan itu akan menjadi siklus kenikmatan baru baginya. Namun jika ia diberi umur panjang tetapi amalnya jelek, maka perjalanan jauhnya akan menambah rasa sakit, azab, dan sengsara. la akan berjalan dengan tersungkur, kemudian terjerembab, lalu terkapar dalam kehidupan yang paling nista, dan selanjutnya berputar dalam siklus nestapa. Rasulullah saw bersabda:

”Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya. Sejelek-jelek orang di antara kamu adalah yang panjang umurnya tetapi jelek amal perbuatannya.”( HR. Tirmidzi )

Dengan demikian, energi spiritual manusia, sepanjang hidupnya di dunia, digunakan untuk mencapai kebahagiaan hakiki yang menjadi cita citanya. Melalui cahaya yang telah menerangi kalbunya, semua energi yang dimilikinya dapat membangkitkan kesadaran, memperbaiki kembali mentalitas yang pernah rusak, melembutkan kembali hati yang telah keras membatu, mengampuni dosa yang pernah dilakukan, menunjuki jalan yang tersesat, dan menyelamatkan seluruh perjalanan hidupnya.

Selanjutnya, kesadaran batiniah akan menjadi energi yang membangkitkan sikap hati-hati terhadap segala sesuatu yang dapat membalikkan hatinya menjadi tidak ridha, tidak beriman, dan membangkang hidayah-Nya. Di dalam dirinya tumbuh rasa ”takut”, sehingga ia menjaga diri dari sesuatu yang menimbulkan dosa, yaitu dengan jalan meninggalkan apa saja yang dilarang Allah, bahkan meninggalkan sesuatu, yang sebenarnya tidak dilarang, karena semata mata takut terjerumus ke dalam sesuatu yang dilarang atau dosa.

Memang, perbuatan dosa bukan hanya membahayakan pelakunya tetapi juga membahayakan orang lain. Ia sadar benar bahwa akibat hati dan penglihatan orang yang menolak petunjuk dan tidak mengimaninya akan dibalikkan oleh Allah swt sebagai hukuman terhadap sikap orang yang telah mengetahui dan membuktikan kebenaran hidayah, namun dia tetap tidak mengindahkannya. Sesungguhnya, kotoran atau karat-karat ( ar rain ) yang menutupi hati orang-orang kafir, kata Ibnu Qayyim, adalah akibat logis dari tindakan dan perbuatan mereka sendiri. ( QS. Al Muthaffifiin, 83:14 )

Dalam waktu yang sama, kesadaran batiniah akan menjadi energi yang berpotensi optimisme, penuh harap terhadap rahmat-Nya, terhadap masa depannya yang cerah. Optimisme terhadap masa depan merupakan modal manusia dalam meraih kebahagiaan. Istiqamah setelah beriman adalah sikap konkret manusia yang dapat mencerahkan masa depannya sebagaimana firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 30.

Lebih dari itu, kesadaran batiniah tidak memberi peluang bagi syaitan untuk mendominasi jiwa dan kalbu manusia. Keterbatasan jiwa seseorang dari dominasi syaitan menyebabkan dirinya terbebas pula dari nafsu yang dapat menjerumuskan hidupnya dalam jurang kenistaan.

Kutipan Dari Buku Spiritualitas Islam