Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kesadaran Spiritualitas Manusia

Kesadaran Spiritualitas Manusia

Seandainya manusia tidak memiliki kualitas fundamental-yang tidak dimiliki makhluk lainnya- tentu ia tidak menjadi pelaku kesemestaan. Karena, setiap tindakan manusia bernilai semestawi, maka implikasinya sangat jauh terhadap kehidupan, lingkungan, dan berbagai persoalan yang terjadi di dalamnya.

Perilakunya dapat melahirkan banyak kerumitan dalam struktur kehidupan makhluk. Sebagai pelaku tindakan moral, manusia mampu ”mengubah”dirinya, masyarakatnya, dan lingkungannya. Sedangkan individu, masyarakat, dan alam sekitar, sebagai objek tindakan moral manusia, harus menerima tindakan efektif manusia sebagai pelaku tindakan moral; penerimaan yang merupakan sifat kegunaan alam dan menyebabkan manusia mampu melaksanakan tindakan moralnya.

Pada kenyataannya, realisasi moral dari kehendak Ilahi, yaitu beribadah kepada-Nya dan membangun peradaban manusia sejagat, hanya dapat dilakukan dalam konteks interelasi manusia sebagai anggota suatu tata-sosial. Sebab, materi suatu moral adalah jaringan hubungan antar manusia. Agar interelasi itu tetap berpijak pada tata-moral atau nilai-nilai serta etika hukum yang melandasi perilaku anggota masyarakat, maka diperlukan sebuah struktur masyarakat yang kokoh.


Seandainya manusia tidak diberikan kesadaran terhadap kualitas fundamentalnya, tentu akan membawa konsekuensi buruk bagi kehidupan, lingkungan, dan berbagai persoalan yang terjadi di dalamnya. Sifat kegunaan alam dapat hancur karenanya. Selanjutnya, manusia tidak mampu melakukan tindakan moralnya yang dalam satu sisi akan menyebabkan munculnya kekacauan dalam skala yang luas, dan di sisi lain mengakibatkan manusia dengan rela atau terpaksa dibendakan dan diperalat oleh alam.

Menurut Max Horkheimer, bentuk perbudakan alam atas manusia nampak dalam penindasan yang dilakukan oleh kekuatan pasar dan modal yang buta dan tidak sadar, tetapi konkret karena nyata nyata menuntut manusia menyesuaikan diri kepadanya secara alamiah tanpa kesadaran.”Untuk bertahan hidup, manusia mengubah dirinya menjadi seperangkat alat yang setiap saat bereaksi dengan tepat terhadap berbagai situasi sulit dan membingungkan yang membentuk hidupnya.”dimaksud adalah karunia Allah swt berupa fithrah insaniyah yang memiliki kesiapan untuk menampung semua bentuk kebaikan dan nilai-nilai kemuliaan.


Fithrah insaniyah yang suci ini hanya mungkin dapat berkembang dalam kesuciannya, apabila selalu dihidupkan oleh kesadaran batiniah; sebuah kesadaran intrinsik yang dapat menangkap sosialisasi nilai-nilai Ilahiyah, tidak jasadi, yang dapat memastikan manusia sebagai makhluk moral, estetis, dan religius; kesadaran yang melahirkan imunitas diri dari berbagai virus yang Kualitas yang menyerangnya. Sejatinya, kesadaran batiniah seseorang hanya mungkin terwujud apabila ia memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk moral yang bertanggung jawab terhadap segala tindakannya. Ia memahami bahwa dirinya harus tetap mencintai keberadaan dan keselamatannya, yang kemudian diperluas dengan keberadaan dan keselamatan masyarakat dan lingkungannya.

Setiap manusia memiliki tujuan-sebagaimana totalitas wujud itu sendiri dan misi otentiknya yang harus direalisasikan sepanjang hidupnya di dunia yang pendek ini. Ia menjadi instansi dirinya yang secara tetap ingin terus berkembang menuju kesempurnaan kepribadiannya, dalam rangka merealisasikan kecenderungannya dalam memperoleh kebahagiaan. Namun, dengan kesadaran batiniahnya pula, manusia memahami bahwa kebahagiaan hakiki yang diidam idamkannya itu tidak akan pernah dapat ditemukan di sini, di dunia yang fana ini. Ia menyadari ketidakkekalan segala makhluk Tuhan yang ada di alam ini.


Semuanya bersifat relatif dan akan musnah. Ketika kesadaran batiniah seperti itu mendominasi jiwa manusia, maka pada saat itulah ia menghadapkan wajahnya kepada”Supreme Reality”, kekuatan yang tertinggi, Tuhan pencipta alam semesta yang hanya kepada-Nya-lah segala harapan dapat digantungkan. Oleh sebab itu, ia yakin bahwa kebahagiaan hakiki yang diinginkannya itu hanya mungkin dapat direalisasikan apabila ia-dengan dorongan kesadaran batiniahnya menyesuaikan seluruh kehendak dan kecenderungan dirinya, emosi dan pikirannya, perilaku individual dan sosialnya dengan nilai-nilai llahiyah, serta memfungsikan segala potensi ( kualitas-kualitas fundamental ) diri dan nikmat yang diberikan kepadanya untuk meningkatkan martabat kemanusiaannya. Ia juga yakin seyakin-yakinnya bahwa dirinya dalam memperoleh kebahagiaan intrinsiknya-harus tabah dan terus berjalan mendaki hingga menjadi orang yang benar benar menyadari posisi dirinya, sebagai hamba Rabb Yang Mahaagung. Kesadaran, termasuk kesadaran batiniah yang sejati, hanya mungkin terwujud pada diri seseorang apabila ia memiliki kemerdekaan. Kenyataannya, setiap manusia memilikinya.

Oleh karena itu, manusia merupakan makhluk merdeka yang memiliki kebebasan untuk memilih. Dengan karunia kemerdekaan itu, ia dapat melaksanakan kehendak kehendak Ilahi -yang menjadi asas dan syarat memperoleh kebahagiaan atau bahkan menolaknya sama sekali. Manusia, dalam merealisasikan kehendak Allah swt tidak hanya melalui hukum-hukum alam yang hanya bersifat elemental dan utilitas, melainkan juga -ini yang menjadi ciri khasnya yang unik-dengan sifat moral yang penuh kesadaran. Sebab, kesempurnaan kesadaran manusia terhadap dirinya, termasuk kesadaran batiniahnya, hanya mungkin diwujudkan dengan terus-menerus mensyukuri nikmat kemerdekaan telah dianugerahkan Allah kepadanya. yang Selanjutnya, dengan iradah basyariyah ( kehendak bebas ), manusia secara pasti menjadi makhluk moral yang dengan penuh kesadaran mampu menunaikan”amanah”yang secara dramatis, oleh Tuhan, pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung.”Amanah”itu merupakan diktum atau keputusan ( al mitsaq ) yang telah dideklarasikan dalam momentum sebelum kejadian fisik manusia, dan sekaligus merupakan kristalisasi sunan al kaun yang penjabaran otentiknya berupa penyaksian ketauhidan dan kesediaan menerima tugas khilafah. Amanah-amanah tersebut menyangkut”amanah ibadah”sebagai asas fundamental Islam pertama yang direalisasikan oleh tujuan eksistensialnya sebagai hamba Allah swt. ( QS. An-Nisaa ', 4: 1 ) dan”amanah risalah”, sebagai asas fundamental Islam kedua yang direalisasikan oleh peran dan misi eksistensialnya, yaitu sebagai khalifah Nya di bumi. ( QS. Al Baqarah, 2:30 ).

Kedua”amanah tersebut adalah sebuah taklif ( pembebanan atau kewajiban moral ) yang menyangkut ruang dan waktu; yang menjadi landasan kemanusiaan dan sekaligus pemberi makna bagi seluruh dimensi kehidupan. Taklif sebagai realisasi dari Yang Mutlak, yang dibebankan kepada manusia ini sifatnya tidak terbatas, sepanjang menyangkut jangkauan tindakan manusia yang mungkin dalam ruang dan waktu.

Karena manusia memiliki struktur kepribadian dan kualitas fundamental yang dibangun dari bahan yang fithri, yaitu fithrah beragama yang dapat dengan mudah menangkap sosialisasi kehendak-kehendak Nya yang transendental dan potensi alam yang telah ditundukkan oleh Allah untuknya, maka ia adalah satu-satunya makhluk yang mampu memikul”amanah tersebut. Dengan kesediaan memikul”amanah”tersebut, posisi manusia menjadi begitu menentukan di hadapan makhluk lainnya. Dan karenanya pula, semua tindakannya, baik tindakan baik ataupun buruk, bernilai kesemestaan. Penerimaan manusia pada beban taklif dan optimalisasi kualitas fundamentalnya untuk menunaikan”amanah”tersebut menempatkan manusia pada derajat yang lebih tinggi dibanding makhluk lainnya ( QS. Al Israa ', 17: 70; QS. Al Hujuraat, 49:13 ).

Sebaliknya, penolakan dan pengingkaran atau berlaku zalim dan bodoh terhadapnya serta berpaling dari Tuhan yang telah memberi”amanah”tersebut akan mengakibatkan kemanusiaannya merosot hingga titik terendah ( QS. Al A'raaf, 7: 179; QS. At-Tiin, 95: 5 ). Bukan hanya itu, penolakan dan pengingkaran kepada kehendak Ilahi akan menyebabkan lahirnya kenestapaan di sepanjang hayatnya. Begitu juga Allah jelaskan Dalam surat Thaahaa ayat 124.

Dengan anugerah kemerdekaan itu pula, setiap diri manusia memiliki kebebasan menjalani hidupnya setelah ia mengetahui jalan yang harus dilalui dalam menempuh tujuan dan misi keberadaannya di dunia ini. Di hadapannya terbentang dua jalan: jalan keselamatan dan jalan kesesatan ( QS. Asy-Syams, 91: 8 ). la bebas memilih salah satu dari dua jalan itu.

Apakah jalan yang dipilihnya jalan keselamatan ataukah jalan kesesatan ? Tentunya segala resiko dan konsekuensi pilihannya akan ditanggung sendiri. Apabila seseorang, dengan kesadaran batiniahnya, telah memilih jalan hidupnya secara tepat, yaitu jalan keselamatan, sehingga membuahkan keselamatan pribadinya, ia harus lebih meningkatkan potensi dan kualitas dirinya menjadi makhluk moral yang memiliki tanggung jawab sosial. Hal ini bertujuan agar keselamatan pribadinya dapat dinikmati oleh manusia sebanyak-banyaknya dan berimplikasi positif pada lingkungan sekitarnya. Maka selanjutnya ia memilih”jalan pendakian”yang menuntut jerih payah dan pengorbanan untuk membebaskan umat manusia dari rasa takut dan lapar, serta dari keruntuhan martabat yang menistakan dirinya. Inilah hakikat jihad yang dilukiskan Rasulullah saw sebagai tugas suci yang abadi,”Tidak ada hijrah setelah pembukaan kota Makkah, tetapi jihad dan niat.”

Urutan jihad yang pertama-seperti dinyatakan Hasan Al Banna adalah pengingkaran hati ( kepada segala jenis kekufuran ), dan puncaknya adalah berperang di jalan Allah. Di antara keduanya ada jihad dengan lisan, pena, tangan, dan kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zalim.

Tanpa jihad, dakwah tidak akan pernah hidup. Tinggi dan luasnya cakrawala dakwah menjadi tolok ukur bagi keagungan jihad di jalan-Nya, besarnya harga yang harus dibayar untuk mendukungnya, dan banyaknya pahala yang disediakan bagi para aktivisnya. Sedangkan, jihad tidak akan hidup tanpa pengorbanan jiwa, harta, waktu, kehidupan, dan segala yang dimilikinya demi mencapai tujuan sucinya. Setiap orang yang telah ridha Allah swt sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, Muhammad Rasulullah saw sebagai Nabi dan Rasul-Nya, dituntut untuk siap mengorbankan apa saja yang ada padanya. Dakwah, jihad, dan pengorbanan adalah sebuah pembuktian seseorang untuk tetap teguh dalam”jalan mendaki”. sebagaimana firman Allah dalam surat Al Balad ayat 11sampai 17.

Kesadaran batiniah yang telah meresap ke dalam jiwa dan fithrah seseorang atau sebuah bangsa akan menjadi sebuah energi yang dapat menggerakkan semua potensi dirinya secara efektif untuk menangkap sosialisasi nilai-nilai Ilahiyah. Efektivitas sosialisasi nilai-nilai Ilahiyah yang hanya mungkin terwujud melalui bimbingan, pembersihan jiwa yang terus-menerus, dan pemuasan kondisi psikisnya dengan memberinya gizi ruhani yang kontinu. 

Sebaliknya, kegagalan sosialisasi nilai-nilai llahiyah terhadap individu atau sebuah bangsa selama hidupnya di dunia, akan mendorong pada perbuatan buruk yang tidak hanya berakibat pada dirinya, melainkan juga pada lingkungannya. seperti firman Allah dalam surat Ar-Ruum ayat 30:41
.

Salah satu refleksi kesadaran batiniah adalah kesadaran etik; kesadaran yang berhubungan dengan fungsi-fungsi konatif manusia. Kesadaran etik yang tumbuh dalam diri manusia merupakan hasil renungan mendalam terhadap sejumlah fenomena yang muncul pada diri dan lingkungannya. Kesadaran itu juga merupakan buah dari penghayatannya terhadap wahyu yang sarat dengan nilai-nilai moral dan ajaran yang berisi tuntunan bagi manusia dalam menapaki jalan mendaki menuju kemuliaannya. Perenungan, menurut Imam Ghazali, menghasilkan ilmu yang bersemayam di dalam batin seseorang.

Sedangkan ilmu, menimbulkan keindahan yang menakjubkan dan melahirkan perbuatan yang menyelamatkannya, tanpa pengasingan segala jenis ilmu dengan moral dan nilai estetika. Fakta dan nilai bahkan dipadu secara harmonis sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan, yang dapat membimbing jalan hidup manusia dan membersihkan jiwanya dari segala kotoran, juga dapat menenggelamkan rasa kemanusiaan pada manusia dalam kubangan dosa dan kemaksiatan, serta menggagalkan tujuan dan misi otentiknya.

Selanjutnya Islam mengajarkan agar umatnya mampu melaksanakan etika tindakan yang dapat membuahkan kemanfaatan bagi kehidupan diri, masyarakat, dan lingkungannya. Amal shalih diartikan sebagai transformasi materi-materi ciptaan Allah swt dalam rangka mengisi dunia dengan nilai-nilai yang tidak hanya penting bagi agama tetapi juga bagi totalitas kehidupan manusia. Tentu saja realisasinya dilakukan setelah memastikan niat baik-yang kehadirannya sebagai syarat dari moralitas- yang benar-benar telah memotivasi diri. Niat baik, selain menentukan nilai amal-”Sesungguhnya amal-amal itu tergantung kepada niat”-juga dapat mengubah bentuk nilainya.”Suatu perbuatan yang bentuknya”perbuatan duniawi”namun karena motivasinya benar, maka akan menjadi”perbuatan ukhrawi.”Sebaliknya, suatu perbuatan yang bentuknya”perbuatan ukhrawi”namun karena motivasinya tidak benar, maka akan menjadi”perbuatan duniawi.”

Oleh sebab itu, Islam memerintahkan aktualisasi kesadaran etik ke dalam tindakan nyata, dari wilayah kesadaran pribadi ke wilayah kehidupan sosial yang lebih luas. Tegasnya, nilai-nilai Ilahiyah yang diterima manusia melalui kesadaran batiniahnya tidak boleh hanya menjadi objek dari niat, tetapi juga harus menjadi aktual; tidak boleh hanya untuk keshalihan dan kemanfaatan individu, tetapi juga untuk keshalihan dan kemanfaatan masyarakat dan lingkungannya, tidak boleh hanya menjadi sarana kepuasan spiritual pribadi tetapi juga menjadi motivator untuk hidup produktif. Dari refleksi kesadaran etik itu pula, sebuah kesadaran dalam melihat dirinya sebagai makhluk unik tumbuh dengan sangat pesatnya. Manusia adalah makhluk yang dipersiapkan untuk hidup dalam”kampung keabadian”.

Kendati asal kejadian dirinya dari alam materi, dari lumpur dan air yang hina, namun di dalam dirinya telah ditiupkan lathifah rabbaniyah, kelembutan Ilahi, ruh yang suci, yang memastikannya sebagai makhluk dua dimensi. Kendati tempat tinggalnya di alam dunia yang pendek ini, namun ia adalah makhluk surgawi yang sedang menuju suatu alam yang abadi, alam akhirat, terminal akhir bagi keseluruhan perjalanan hidupnya; sebuah alam pertanggungjawaban manusia terhadap aktivitasnya di dunia dan sejarah. Ke sanalah kehidupan spiritual dan batiniahnya sedang menuju, meninggalkan wadah jasadiahnya yang sejalan dengan sunatullah akan hancur, bersamaan dengan kehancuran alam fisik. Di sana pula setiap manusia menjadi instansi dirinya masing-masing yang secara sendiri-sendiri pula akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan selama hidupnya di dunia di hadapan Rabb Yang Mahaadil dan Mahabijaksana ( QS. An-Nahl, 16:93; QS. Al An'aam, 6: 164 ).

Sebab, pertanggungjawaban merupakan sifat imperatif moral yang muncul dari sifat normatif, sebagai konsekuensi dari sifat kemerdekaan yang telah dianugerahkan Allah swt kepadanya. Balasan yang baik akan diberikan kepada manusia yang selama hidupnya di dunia berhasil mengatasi berbagai hambatan kosmis dalam merealisasikan tujuan eksistensial dan misi otentiknya, serta dalam menempuh jalan mendaki yang mengantarkan dirinya ke puncak prestasi, yaitu ketakwaan yang memastikan dirinya sebagai khairul bariyah ( QS. Al Bayyinah, 98: 7 ).

Sebaliknya, hukuman yang keras di akhirat kelak akan diterima oleh manusia yang selama hidupnya di dunia telah menindas diri mereka sendiri; yang melepaskan hak-hak asasinya, padahal ia sanggup mempertahankan dan bahkan memperjuangkannya sehingga ia terjerembab dalam kehidupan sesat yang telah memastikan dirinya sebagai syarrul bariyah.”Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang orang musyrik ( akan masuk ) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”( QS. Al Bayyinah, 98: 6 )

Sesungguhnya, kehidupan manusia di dunia, sehubungan dengan kualitas fundamental dan kelengkapan potensi fisik dan psikis yang dimilikinya, adalah sebuah ibtila' ( ujian ) bagi kemanusiaannya ( QS. AI Mulk, 672-4 ). Kehidupan di dunia adalah panggung untuk mewujudkan kehendak llahi dan menjadi arena penyeleksian kualitas diri manusia dalam mempersepsi dan menyikapi kehidupan. Dunia merupakan arena perebutan prestasi puncak, yang dapat menentukan siapakah di antara manusia yang paling berkualitas dan baik amalnya selama di dunia ( QS. Huud, 11: 7 ).

Di sinilah manusia diuji apakah dia komitmen dengan”amanah”, tujuan, dan misi dirinya diciptakan atau malah berlaku zalim dan bodoh. Di sini pula ladang tempat penghimpunan bekal dan arena penggapaian cita-cita sosial politiknya yang dapat meningkatkan martabat kemanusiaannya dan yang menentukan nasibnya kelak di akhirat nanti, apakah menjadi orang yang beruntung dan memperoleh kemuliaan dan kebahagiaan ( sa'adah ) untuk selama-lamanya, atau menjadi orang yang merugi dan memperoleh kehinaan dan kesengsaraan ( syaqawah ) untuk selama-lamanya pula.

Kesadaran batiniah manusia adalah sebuah energi yang dapat mendorong aktivitas fisiknya selama hidupnya di alam fana untuk selalu sejalan dengan perkembangan spiritualnya yang telah larut dalam arus nilai-nilai transendental; sebuah kesadaran yang terus-menerus menanamkan ketulusan dan keingatan ( dzikir ) kepada Yang Mahamulia; kesadaran yang dapat membukakan mata hati terhadap kebesaran, keagungan, dan kemahakuasaan Dzat yang hanya kepada-Nya-lah manusia akan kembali. 

Kendati secara fisik dan psikis terus-menerus menghadapi berbagai hambatan kosmis, hiruk-pikuk, kompleksitas, dan kerasnya kehidupan dunia materi, namun orang yang memiliki kesadaran batiniah akan tetap mampu menjaga keseimbangan dirinya; tidak mengalami guncangan, depresi, apalagi putus asa. Biasanya kristalisasi kesadaran batiniah diperoleh melalui serangkaian proses”introspeksi”( takhliyah ) dan”penataan”( tahliyah ) spiritualitasnya. la terus-menerus menerapkan bermacam metode penyucian jiwa yang dapat mengantarkan dirinya pada kemenangan sejati.

Melalui penyucian kalbu, motif, dan emosi, manusia dapat meningkatkan kualitas dirinya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia menjadi orang yang mampu bertahan dalam pendakian sampai tujuan; menjadi orang yang tidak mudah putus asa dan panik; menjadi orang yang sangat berhati-hati dalam melakukan tindakan, sebab kualitas fundamental dan amal-amal baiknya telah bersatu dengan struktur nilai Ilahiyah, yang menjadikan dirinya memiliki imunitas dan tangguh dalam menghadapi berbagai hambatan kosmis.

Dengan kebersihan jiwa dan imunitas diri, maka perilakunya tetap konsisten dengan wahyu dan nawamis al kaun ( tata kosmos ) yang dapat memastikannya meraih kehidupan ideal di dunia dan di akhirat kelak dan menyebabkan ia menjadi orang yang dimuliakan Allah swt. Dari kesadaran batiniah itulah hendaknya logika hidup dibangun.

Logika yang sederhana, mudah dicerna, dan sesuai dengan fithrahnya. Logika yang sepenuhnya bersumber dari kesadaran dan kebersihan kalbu; logika yang tidak melulu berupa pandangan akal dan tinjauan intelektualitas yang sering menimbulkan perilaku latah bahkan kebingungan dan kerancuan; logika paling simpel tetapi penuh makna:”Hidup mulia atau mati syahid.”Sepanjang sejarah kaum muslimin, logika tersebut telah mendorong mereka untuk melakukan ekspansi kualitas diri dalam rangka memastikan esensi dan makna kemerdekaan manusia. Hal itu dapat dihayati secara bertanggung jawab oleh manusia tanpa dibayang-bayangi otoritas politik yang menindas.


Kutipan Dari Buku Spiritualitas Islam Yang ditulis Oleh Ustadz Abu Ridha