Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendidikan Aceh Era Kemerdekaan

Pendidikan Aceh Era Kemerdekaan

Perkembangan pendidikan sejak kemerdekaan, belum lagi berobah. Ini apabila ditinjau dari segi pola lokalisasi yang dialami sejak awal abad ke 20 ini. Pada masa awal kemerdekaan Dayah Darussalam Labuhan Haji tetap menjadi sumber kader pemimpin dayah sebagaimana disebutkan diatas. Setelah Teungku Haji Muda Wali Al-Khalidi meninggal dunia dan dayahnya menjadi mundur, posisi pembinaan kader ini nampaknya beralih ke Dayah Makhadul Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya ( Mudi Mesra ) Samalanga, Bireuen terutama dibawah pimpinan Teungku Abdul Aziz Saleh.

Memang ada beberapa dayah lain waktu ini yang banyak murid-muridnya namun kedudukan Dayah Mudi Mesra ini memang amat menonjol dibandingkan dengan dayah-dayah lainnya. 

Dalam zaman kemerdekaan ini, pendidikan dayah yang bersifat swasta penuh menjadi sangat tersaingi oleh kedua lembaga tersebut. Mungkin karena faktor-faktor inilah akhirnya ulama dan pemimpin dayah di seluruh Aceh berkumpul di Seulimeum, Aceh Besar pada tahun 1968 dan mendirikan oragsasi Persatuan Dayah Inshafuddin, sebagai suatu organisasi yang bergerak dalam melestarikan dan mengembangkan pendidikan dayah di Daerah Istimewa Aceh.

Hal ini dengan jelas tersebut dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Persatuan Dayah Inshafuddin yaitu " Bahwa untuk menata, membenahi dan melestarikan lembaga Dayah di Negara Republik Indonesia para pengasuh dayah telah membentuk Jam'iyyah Persatuan Dayah Inshafuddin ' pada tarikh 5 Zulqa'edah 1388 H. bertepatan dengan tanggal 4 Februari 1968 M. di Seulimeum Aceh Besar, Daerah Istimewa Aceh. Sejak didirikan sejak tahun 1968. sampai sekarang ini Persatuan Dayah Inshafuddin ini baru mengadakan 4 kali Musyawarah Besar ( Mubes ). Ini menunjukkan kurang giatnya organisasi dalam berkiprah memajukan pendidikan dayah di Aceh. Memang pendidikan dayah di Aceh dihadapkan kepada kelangkaan kader karena beberapa hal. Pertama banyak ulama-ulama andalan dari tradisi pendidikan dayah ini telah berpulang kerahmatullah dan eksistensi mereka tidak tergantikan dengan lulusan-lulusan baru dari dayah-dayah yang ada. Lulusan-lulusan yang adapun tidak bisa melanjutkan studinya seperti di masa lampau ke Timur Tengah karena situasi Timur Tengah memang sangat berobah.

Di samping itu banyak pula anak-anak dari ulama dayah itu tidak lagi bergerak dalam pendidikan dayah sebagaimana lazimya tradisi dayah di masa lampau. Sebagai contoh anak dari Teungku Haji Hasan Krueng Kalce, yaitu Tgk. Syekh Murhaban dan anak dari Teungku Muda Wali Al-Walidi, Dr. Haji Muhibuddin Wali. Tgk Syekh Murhaban sekarang ini tinggal di Jakarta sebagai seorang pengusaha, sedangkan Dr. Teungku Muhibuddin hanya terlibat dalam pengajian kecil-kecilan di Jakarta dan dewasa ini di Batam.


Karena kelangkaan sumber daya munusia inilah maka Persatuan Dayah Inshafuddin, dalam rapat kerjanya di Bireuen. Aceh Utara bulan September 1989, mencoba menggulirkan satu konsep dan pengembangan tradisi pendidikan dayah dengan konsep pendidikan pasca dayah. " Sasaran dari konsep ini adalah memberikan pendidikan tambahan kepada calon-calon pemimpin dayah di Aceh yang dipusatkan pada lembaga tertentu.

Program pendidikan ini diibaratkan sebagai program pasca sarjana bagi lulusan dayah dengan materi pendidikan berupa pendalaman pengajian-pengajian yang menjadi tradisi dayah ditambah dengan pengajian-pengajian lain yang dapat meningkatkan kembali wa wasan pemimpin dayah agar lebih bersifat metropolitan sesuai dengan perkembangan dewasa ini.

Namun karena kurangnya dukungan dana serta kelemahan organisasi Persatuan Dayah Inshafusddin itu sendiri maka program ini belum berhasil diluncurkan sebagaimana yang diharapkan. Kelemahan organisasi sendiri sangat terkait oleh kelemahan sumber daya manusia yang tersedia di kalangan dayah itu sendiri. Dan kelemahan wawasan itu sendiri merupakan satu faktor penting dalam kelemahan sumber daya manusia.

Dalam pada itu pendidikan sistem dayah di Aceh juga megalami berbagai phenomena baru. Ini ditandai dengan munculnya berbagai pesantren atau dayah yang bersifat terpadu. Konsep ini diambil dari pola-pola perobahan yang telah dilakukan di Jawa. Di antara dayah terpadu yang sangat menonjol sekarang ini adalah Madrasah Bustanul Ulum, Langsa Aceh Timur, dan Dayah Jeumala Amal, di Lueng Putu, Kabupaten Pidie. Dayah Bustanul Ulum Langsa didirikan pada tahun 1961 pada mulanya hanyalah sebuah dayah tradisional biasa seperti dayah-dayah tradisionil lainnya.

Tetapi pada tahun 1985 dayah ini dimodernisir dengan konsep terpadu dengan memadukan pendidikan dayah dengan pendidikan madrasah yang ada dibawah Departemen Agama. Dengan menggunakan administrasi dan pendidikan sistem sekolah. Dengan cara ini ternyata masyarakat menaruh minat yang luar biasa terhadap lembaga pendidikan dayah yang terpadu. Sehingga di dayah terpadu sekarang mempunyai murid lebih seribu orang.

Lahirnya pendidikan dayah yang terpadu ini nampaknya tidak terlepas dari pembaharuan-pembaharuan yang dialami oleh pendidikan pesantren di Jawa, terutama dengan munculnya beberapa pesantren terpadu di Jawa yang sangat diminati oleh masyarakat. Keberhasilan Dayah Bustanul Ulum di Langsa, Aceh Timur diikuti dengan lahirnya beberapa dayah terpadu lainnya. Yang paling menonjol diantaranya adalah Dayah Jeumala Amal di Lueng Putu yang didirikan pada tahun 1988 dan pada tahun 1993 yang lalu meluncurkan alumni yang pertama untuk tingkat aliyah. Dayah Jeumala Amal di Lueng Putu dibangun dan disponsori sepenuhnya oleh seorang tokoh Aceh yang tinggal di Jakarta, yang bernama Teuku Abdullah Laksamana putera Teuku Laksamana Umar yang mati dalam perang Cumbok. Dengan kearifan seorang manager modern sebagai mantan Direktur BNI 1946, dayah ini hanya menerima murid sesuai dengan kemampuan yang ada sehingga mutunya betul-betul dapat ditingkatkan. Dikelola oleh sebuah Yayasan yang bernama Yayasan Laksamana Teuku Haji Ibrahim, dayah ini memadukan kurikulum madrasah Departemen Agama dengan kurikulum madrasah tradisionil.

Di samping dayah ini banyak dayah modern lainnya yang didirikan dalam sepuluh tahun terakhir termasuk dayah Samsudhuha di kecamatan Dewantara. cabang dari dayah Darul Arafah Medan di Lhokseumawe, pesantren modern terpadu Bambi di Pidie, Dayah Teungku Syik Oemar Diyan di Indrapuri, Dayah Abu Lam U di Ingin Jaya, Dayah Fauzul Kabir di Jantho, Aceh Besar, Dayah Darul Ulum YPUI di Kodya Banda Aceh dan lain-lain. Dayah modern terpadu ini banyak menggunakan tenaga pengajar dari lulusan Gontor, dengan jumlah muridnya sekitar 81.472 orang dan tenaga pengajar atau Teungku sebanyak 2.137 orang Di samping itu perlu dijelaskan bahwa sebagian murid-murid dayah tersebut adalah murid yang tidak menetap sehingga sebenarnya belum merupakan murid dayah dalam pengertian yang penuh di mana seorang murid dayah harus tinggal sepenuhnya pada dayah yang tempat ia belajar. Dari data-data dapat dilihat memang dilihat dari segi kelembagaan, dari tahun 1966 sampai tahun 1991 tidak banyak perkembangan dayah, tetapi dilihat dari perkembangan muridnya ( 20.715 tahun 1966 menjadi 81.472 tahun 1991 ) memang pendidikan dayah masih terus berkembang di Aceh.

Penutup

Pendidikan dayah merupakan warisan yang sangat penting dari sistem pendidikan kita. Pendidikan dayah sudah bersama kita sudah ratusan tahun dan telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan kebudayaan di Daerah Istimewa Aceh. Persoalan yang dihadapi oleh pendidikan dayah meliputi beberapa hal.

Yang pertama lokalisasi wawasan yang memandekkan perkembangannya. Ini tidak terlepas dengan pengalaman dunia menyeluruh sejak abad ke 19. Penggeseran Islam secara penggeseran politik, sosial dan budaya juga cenderung menyempitkan ruang gerak dari lembaga ini sendiri sehingga lembaga ini tidak berhasil memperoleh sumber daya manusia dan sumber daya yang lain yang dibutuhkan dalam perkembangannya.

Perang Aceh merupakan suatu pukulan bagi tradisi dayah, dan sesudah perang Aceh selesai dan kemerdekaan diperoleh usaha yang serius untuk menyembuhkannya dari luka-luka perangpun tidak ada. Disamping itu sifat lembaga dayah individual, inde penden dan susah diorganisir juga merupakan kendala bagi pembinaannya dalam masa sekarang ini.

Namun pendidikan dayah tetap akan bertahan dimasa-masa yang akan datang, karena sekurang-kurangnya ia dapat mem. berikan alternatif kepada sistem pendidikan lainnya yang juga masih menghadapi kendala-kendala tersendiri. Kenyataannya menunjukkan masyarakat masih menaruh kepercayaannya kepada lembaga ini.

Namun hal inipun di masa yang akan datang tergantung kepada apakah pendidikan dayah dapat mengatasi lokalisasi yang dihadapinya dewasa ini, dan memiliki sumber daya manusia yang menjadi kader-kader dalam menerobos lokalisasi tersebut.

Organisasi Persatuan Dayah Inshafuddin yang diberi mandat untuk memikirkan terobosan tersebut sudah menemukan konsep-konsep yang diperlukan, namun implementasinya dari konsep-konsep tersebut masih terkendala oleh terbatasnya sumber yang tersedia untuk merealisasikannya. Karena itu kalangan pendidikan dayah sangat mengharapkan dukungan masyarakat dan pemerintah untuk merealisasikan konsep dan program tersebut agar tradisi yang pernah memberi kontribusi yang berharga kepada masyarakat Aceh di masa lalu, dapat kembali menyumbang untuk pembangunan di masa yang akan datang.

Kutipan dari Tulisan Dr.H.Safwan Idris,MA tentang Perkembangan pendidikan pesantren di Aceh ( antara tradisi dan pembaharuan )