Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perkembangan Dayah di Aceh ( antara tradisi dan pembaharuan )

Perkembangan Dayah di Aceh ( antara tradisi dan pembaharuan )

Perkataan dayah berasal dari perkataan zawiyah. Dasarnya adalah bahasa Arab yang berarti sudut atau pojok. Sebagai suatu lembaga pendidikan, dayah memang berasal dari pengajian-pengajian yang diadakan disudut-sudut mesjid yang merupakan lembaga pendidikan yang sangat awal dalam Islam.

Dari pengajian pengajian disudut mesjid inilah lahirnya institusi yang disebut dengan zawiyah. Dalam bahasa Aceh istilah zawiyah itu akhirnya berobah menjadi dayah. Ini disebabkan oleh bahasa Aceh yang pada dasarnya tidak memiliki bunyi Z. Bahasa aceh juga cenderung lebih memendekkan kata serapan dari bahasa lainnya.

Namun demikian perkataan zawiyah masih dapat dijumpai pemakaiannya dalam dunia dayah. Misalnya catatan catatan pada Dayah Tanah Abee di Seulimuem, Aceh Besar masih memakai perkataan zawiyah. Disamping istilah dayah berasal dari zawiyah itu, lembaga pendidikan tradisional di Aceh sekarang ini kadang-kadang disebut juga pesantren suatu istilah yang berasal dari khazanah bahasa sanskerta yang dipakai untuk lembaga pendidikan Islam tradisionil yang sama di Jawa.

Istilah pendidikan di Aceh dalam khazanah pendidikan tradisional di Aceh juga dikenal istilah Meunasah. Meunasah berasal dari istilah madrasah yang bahasa Arab artinya tempat belajar. 

Istilah dayah di Aceh dipakai secara luas. Dayah merupakan lembaga pendidikan yang meliputi semua lembaga pendidikan trasdisionil di Aceh ( tetapi bukan madrasah yang ada sekarang yang merupakan lembaga yang muncul setelah ada pembaharuan ).  Istilah lain yang terdapat dalam khazanah pendidikan tradisionil yang disebut dayah adalah rangkang, dayah teungku Syik. Balai Setia bahkan Jami'ah.

Ada di antara istilah ini yang kede ngarannya asli berasal bahasa Aceh seperti rangkang, tetapi istilah-istilah lain seperti dayah, meunasah, dayah teungku Syik ( mungkin berasal dari kata Syech ) dan Jami'ah berasal dari bahasa Arab.

Dalam sejarah awal perkembangan lembaga-lembaga pendi dikan Islam, istilah zawiyah memang dipakai untuk sejenis lembaga pendidikan yang selanjutnya berkembang menjadi madrasah. George Makdisi misalnya menyatakan bahwa madrasah berasal dari pengajian-pengajian. Pengajian ini pada umumnya diistilahkan dengan ribath ( ikatan ), khanqah, zawiyah ( sudut ) dan turbah. Ribath merupakan institusi belajar yang sangat awal munculnya pada mesjid yang mengajarkan tasauf melalui pengajian-pengajian tentang hadits, dan pada abad keenam H. atau abad keduabelas M. mengkombinasikan pengajaran tasauf dengan hukum.

Makdisi selanjutnya menyatakan bahwa mesjid Jamik yang ada di Kairo dan Damaskus memiliki zawiyah dimana hukum diajarkan menurut salah satu mazhab yang empat. Pada mesjid Umaiyah di Damaskus, terdapat delapan zawiyah, dua untuk mazhab Syafi'i, satu untuk mazhab Hambali, tiga untuk mazhab Hanafi, satu untuk mazhab Maliki dan satu untuk mazhab yang lain.

Demikian juga George Makdisi menyatakan bahwa di Kairo banyak sekali terdapat mesjid Jamik dan zawiyah untuk pengajaran ilmu hukum dari berbagai mazhab. " Kita tidak mengetahui dengan pasti, kenapa diantara berbagai istilah yang ada itu yaitu ribath, zawiyah, khanqah, turbah, duwairah dan madrasah, akhirnya istilah zawiyah ( menjadi dayah ) dan madrasah ( menjadi meunasah ) yang lebih menonjol dipakai di Aceh.

Tetapi dapat dipastikan bahwa istilah tersebut dibawa ke Aceh oleh ulama-ulama Aceh yang belajar di Mekkah, Kairo atau Damaskus. Mereka belajar pada zawiyah-zawiyah dan madrasah-madrasah yang mengajarkan fiqh mazhab Syafi'i.

Hal ini diperkuat oleh suatu kenyataan bahwa mazhab Syafi'i merupakan mazhab yang sangat dominan di Aceh khususnya dan di Asia Tenggara umumnya.

Banyak juga ulama Aceh yang belajar di dari ulama-ulama yang datang ke Aceh yang berasal dari Arab, Mesir, Persia, Gujarat dan Malabar. Ini sudah ada sejak zaman kerajaan Pasai termasuk nenek moyang dari Syekh Abdurrauf Al-Singkili atau Teungku Siyah Kuala itu sendiri. Ulama-ulama ini yang dipastikan mengembangkan pendidikan dayah di Aceh, dan menggunakan istilah zawiyah seperti yang digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Timur Tengah pada waktu itu. Sesuai dengan model yang tumbuh pada masa awal Islam ini yang dipakai dalam pengembangan dayah di Aceh, maka ada beberapa ciri yang penting yang patut dicatat dari pendidikan system dayah yang diwarisinya dari system tersebut di Timur Tengah.

Pertama sekali ialah keberadaan mesjid sebagai inti dari lembaga pendidikan dayah. Ini merupakan gambaran dari zawiyah itu sendiri yang diselenggarakan di mesjid-mesjid tertama mesjid Jamik atau mesjid besar yang diperuntukkan untuk shalat Jum'at.

Ciri yang kedua adalah adanya pengajaran ilmu tasauf dan penyelenggaraan kegiatan thariqat pada dayah-dayah di Aceh. Adanya kegiatan thariqat ini dapat dilihat pada adanya tempat berkhalwat pada dayah-dayah di Aceh yang biasanya ditempatkan disamping kubur atau makam dari ulama terkenal dari dayah tersebut. Ciri yang sangat penting lainnya ialah pendidikan yang berorientasi pada tradisionalisme yang diistilahkan dengan " Ahlu sunnah wal Jama'ah " dan " mazhab imam Syafi'i seperti yang termaktub dalam anggaran dasar persatuan dayah Inshafuddin sebagai organisasi dayah tradisionil di Aceh.

Tradisionalisme dalam pendidikan dayah memang merupakan warisan paling penting dari Timur Tengah yang masih diper tahankan dalam sistem pendidikan dayah. Inti dari pendidikan tradisionil tersebut ialah pengajaran fiqh atau hukum Islam yang disebut oleh Makdisi sebagai " queen of Islamic sciences ( ratu dari ilmu keislaman ), menurut salah satu dari mazhab yang empat dan mazhab Syafi'i di Aceh khususnya.

Tradisi ini telah dipelihara dengan baik dalam pendidikan di Timur Tengah maupun dalam pendidikan dayah di Aceh selama ratusan tahun. Selama masa tersebut hubungan Aceh dengan Timur Tengah terus berlanjut dan pendidikan dayahpun terus berlanjut. Bukan saja ulama-ulama pada masa Abddurrauf Syiah Kuala yang belajar di Mekkah, tetapi ulama generasi Tgk. Muda Wali Al-Khalidi dari Aceh Selatan, Tgk. H. Hasan Krueng Kalee di Aceh Besar juga masih tetap belajar di Mekkah dan menjadi Tokoh pembangun pendidikan dayah yang sangat penting di Aceh ini.

Snouck Hurgronje pernah bertemu dengan sebagian mereka pada waktu ia menyamar dan tinggal di Mekkah pada penghujung abad ke 19. Dilihat dari latar belakang dan asal usul yang demikian itu. suatu pernyataan timbul sehubungan dengan berbagai macam pembaharuan yang muncul di Timur Tengah sejak akhir abad ke 19 dan di Indonesia sejak awal abad ke 20 ini.

Kita dapat memahami bahwa ulama-ulama Aceh yang belajar di Mekkah dan Kairo sampai awal abad ke 20 ini merupakan kader-kader penting dalam berkesinambungannya tradisi dayah di Aceh sampai pertengahan abat ke 20 ini. Tetapi dengan timbulnya pembaharuan dijazirah Arab yang digerakkan oleh Muhammad Bin Abdul Wahab yang dikenal dengan gerakan kaum Wahabi dan pembaharuan oleh Muhammad Abduh di Mesir, " dayah-dayah di Aceh kehilangan suatu sumber penting dalam pendidikan kader-kadernya.

Gerakan Wahabi di Arabia telah melarang berbagai macam tradisi yang menjadi rujukan dari ulama-ulama dayah di Aceh, seperti pengajaran fiqh aliran Syafi'iah karena kaum Wahabi sendiri lebih dekat dengan mazhab Hambali. Bahkan banyak ulama-ulama tradisionil yang dibunuh atau dilarang pengajian-pengajiannya. Ini berarti suatu kehilangan yang sangat penting bagi berlanjutnya tradisionalisme dalam pendidikan dayah di Aceh.

Pembaharuan yang timbul di Timur Tengah itu ternyata berkembang juga sampai ke Indonesia terutama pada awal abad ke 20, dan pembaharuan ini merupakan tantangan ( bukan ancaman ) yang sangat penting bagi pendidikan dayah di Aceh dan pendidikan pesantren di Nusantara ini. Dengan tantangan yang demikian, yaitu berantakannya sumber kader-kader di Timur Tengah, dan munculnya pembaharuan itu sendiri di Aceh dan di Indonesia, bisakah tradisi pendidikan dayah bertahan dan berlanjut terus di Aceh ini. Pembaharuan ini ditandai dengan lahirnya organisasi seperti Serikat Islam dan Muhammadiyah serta organisasi lainnya yang begitu aktif dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam.

Oleh organisasi pembaharuan ini, " pendidikan itu tidak lagi semata-mata diselenggarakan dengan cara-cara tradisonil di pesantren, surau atau rangkang dan dayah, melainkan telah mulai mengalami perubahan. Mereka berpendapat bahwa " pesantren dan surau lebih merupakan lembaga untuk mempelajari agama dalam arti sempit. "
Di Aceh pembaharuan pendidikan ini dilaksanakan oleh organisasi pembaharuan Islam yang bernama Persatuan Ulama Seluruh Acch ( PUSA ). Jawaban terhadap pertanyaan tersebut mungkin dapat diperoleh dalam sejarah perkembangan pendidikan dayah di Aceh sejak zaman kerajaan Aceh sampai saat ini ketika Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia dan lembaga pendidikan sistem dayah ini mendapatkan pengaruh lain dari pesantren di Jawa. Lahirnya ide-ide pembaharuan di Jawa dengan berbagai organisasinya juga telah mengilhami penyerapan ide-ide pembaharuan dikalangan tokoh-tokoh pesantren dan ini dibuktikan dengan lahirnya Nahdatul Ulama ( NU ) pada tahun 1926.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak itu pendidikan sistem pesantren juga telah mengalami banyak perubahan. Banyaknya lulusan pesantren di Jawa yang mengabdi di dayah-dayah terpadu di Aceh sekarang adalah suatu bukti adanya perubahan itu. Dengan demikian kesinambungan tradisi dayah di Aceh sekarang ini nampaknya tidak saja ditentukan oleh pengaruh Timur Tengah lagi, tetapi juga ditentukan oleh kreativitasnya sendiri menjadi lembaga yang mampu berdiri sendiri dan berkembang dengan kader-kader sendiri.

Bila hal ini tidak bisa dipenuhi, maka masa depan perkembangan dayah menjadi sangat tidak menentu. Pendidikan dayah memang telah berurat berakar dalam masyarakat Aceh, namun dari sekian banyak lembaga dayah yang pernah didirikan di Aceh sedikit sekali bahkan hampir tidak ada yang berkembang dan bertahan dalam waktu yang lama. Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah singkat pendidikan yang akan diuraikan dalam bab ini. Uraian ini dapat dibagi kedalam empat bagian utama yaitu yang pertama tentang kelembagaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tradisionil yang sangat mendasar dalam masyarakat Aceh dan merupakan bagian dari sistem kelembagaan pendidikan dayah.

Bagian kedua berisi perkembangan pendidikan dayah sebelum perang Aceh yang didasarkan kepada peninggalan-peninggalan yang ada seperti situs dayah-dayah lama yang ada di Aceh dan dari tulisan-tulisan yang terbatas.

Dalam bagian ketiga akan diberikan sedikit gambaran tentang bagaimana pendidikan dayah berkembang kembali sesudah perang Aceh mengendur dan dalam bagian keempat akan diuraikan tentang perkembangan pendidikan dayah di Aceh sekarang ini.
Dengan uraian tersebut diharapkan kita dapat memperoleh sedikit gambaran tentang pola perkembangan pendidikan dayah di Aceh yang dilatarbelakangi oleh berbagai perobahan sosial politik di Aceh sejak meletusnya perang Aceh sampai sekarang ini.

Sebenarnya dayah memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi lembaga pendidikan yang lestari seperti lestarinya Universitas Al-Azhar di Mesir yang pada mulanya juga berasal dari pengajian ala zawiyah atau dayah yang ada di Aceh. Tetapi mungkin karena gejolak-gejolak sosial politik yang bekepanjangan menimpa masyarakat Aceh selama zaman modern ini maka perkembangan tidak bisa mencapai seperti yang dicapai oleh Al-Azhar tersebut.
Salah satu potensi besar yang dimilikinya adalah nilai-nilai tradisi yang lebih mantap yang menjadi pegangan penting terutama bagi masayarakat yang sedang berkembang yang dilanda oleh berbagai gejolak. Potensi lainnya ialah nilai-nilai moral dan spiritual yang telah mentradisi, yang hidup dan berkembang dalam diri tokoh-tokoh penting yang muncul dari lembaga pendidikan.

Kenyataan bahwa ulama-ulama dayah dan pesantren masih merupakan ulama yang memiliki kharisma dan sangat diperlukan dalam menyatukan umat adalah bukti tentang kuatnya nilai-nilai moral dan spiritual yang dimilikinya. Mungkin dengan stabilitas yang ada dewasa ini, adanya kebutuhan masyarakat akan kharisma ulama dalam menjaga persatuan dan kesatuan, adanya usaha masyarakat mencari alternatif pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka kepada hidup yang lebih seimbang, maka ada kemungkinan pendidikan dayah akan berkembang lagi dengan baik di masa yang akan datang.


Kutipan dari Tulisan Dr.H.Safwan Idris,MA tentang Perkembangan pendidikan pesantren di Aceh ( antara tradisi dan pembaharuan )