Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Falsafah Pendidikan Dalam Perspektif Islam

Falsafah Pendidikan Dalam Perspektif Islam

Tulisan ini tidak akan membahas tentang falsafah dalam pemahaman tradisional, di mana ditumpukan perbincangan kepada tiga perkara pokok, yaitu masalah wujud, masalah pengetahuan, dan masalah nilai seperti yang kita dapati dalam perbahasan falsafah umum. 

Namun ketiga-tiga perkara itu dibahas di sana-sini sepanjang kertas ini dengan menekankan aspek-aspek tertentu. Misalnya tentang wujud, ditumpukan perbahasan pada wujud manusia. Begitu juga tentang pengetahuan, yang dibahas adalah aspek pengetahuan dalam konteks wujud manusia yang dicita-citakan, atau nilai-nilai yang ingin diserapkan menuju tercipta- nya manusia yang dicita-citakan oleh pendidikan, baik sebagai individu atau sebagai kumpulan. 

Dengan kata lain, falsafah pendidikan adalah penerapan berbagai prinsip falsafah terhadap aspek-aspek tertentu pada kehidupan manusia untuk memperbaiki kehidupan tersebut. Selanjutnya prinsip-prinsip falsafah yang digunakan untuk memilih kandungan kurikulum yang melibatkan tujuan, kandungan dan metode kurikulum, merupakan asas teori pendidikan. 

Jadi kalau dalam kertas ini kita tidak banyak membicarakan tentang falsafah pendidikan, tetapi tentang teori pendidikan, itu adalah karena kita berpendapat bahwa setiap teori pendidikan tak dapat tidak harus bertolak dari suatu falsafah. 

Dengan kata lain, teori pendidikan Islam yang menjadi tajuk kertas kita ini adalah perasan dari suatu falsafah, yaitu falsafah Islam. 

Oleh sebab cita-cita itu berbeda-beda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lain, maka teori pendidikan juga berbeda. Oleh karena ada hubungan erat antara cita-cita suatu masyarakat dan dasar-dasar dan amalan-amalan pendidikannya, maka juga konsep-konsep pendidikan tidak dapat dipinjam seperti kita meminjam benda-benda, seperti pakaian misalnya. Sebab meminjam konsep-konsep pendidikan yang asing akan menyebab- kan perubahan cita-cita masyarakat yang meminjam konsep-konsep tersebut. 

Islam adalah cara hidup, bukan hanya upacara persembahan. Al-Quran, yang dipercayai oleh orang-orang Islam sebagai kata- kata Allah yang kekal, meletakkan dasar-dasar cara-cara hidup Islam itu. Jadi mana-mana perbincangan mengenai pendidikan Islam memestikan pengertian yang mendalam tentang prinsip-prinsip Islam. 

Perlu juga disebutkan di sini bahwa walaupun prinsip-prinsip Al-Quran telah mempengaruhi amalan-amalan pendidik-pendidik Muslim dalam berbagai abad yang lampau, namun amalan-amalan ini tidaklah boleh disamakan dengan prinsip- prinsip Al-Quran, dan ini terutama pada zaman-zaman kelemahan umat Islam. Ini tidaklah bermakna bahwa mengkaji sejarah pendidikan Islam tak ada gunanya atau tidak relevant dengan keadaan sekarang, hanyalah bermakna bahwa kriteria dasar untuk menilai teori dan amalan pendidikan haruslah prinsip-prinsip Al-Quran. 

Jadi perumusan mana-mana teori pendidikan tak dapat tidak harus melibatkan perbincangan tentang tiga komponen utama, yaitu tujuan-tujuan, kandungan, dan metode. Sebab kekurangan dalam metode atau kandungan akan merusakkan proses pendidikan itu sendiri walaupun tujuannya baik-baik belaka. 

Oleh sebab itu kita akan bicarakan tujuan-tujuan pendidikan pada paragraf berikut. Tujuan Pendidikan Berbicara tentang tujuan pendidikan tak dapat tidak mengajak kita berbicara tentang tujuan hidup. Sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. 

Dalam Al-Quran manusia menempati kedudukan istimewa dalam jagat ini, dia adalah khalifah di atas bumi ini. Seperti fir- man Allah yang bermakna (Q. 2: 31): "Ingatlah, ketika tuhanmu berkata kepada malaikat: Aku akan menciptakan khalifah di atas bumi". Manusia yang dianggap sebagai khalifah Allah tidak dapat memegang tanggungjawab sebagai khalifah kecuali kalau ia diperlengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian. al-Quran menyatakan bahwa ada beberapa ciri-ciri yang dimilikinya. 

Ciri-ciri pertama adalah bahwa manusia baik secara fithrah semenjak dari awal. Ia tidaklah mewarisi dos karena Adam a.s. meninggalkan syurga. Al Qur-an mengakui wujudnya kebutuhan-kebutuhan bio- logis yang meminta pemuasan. Ini memerlukan penjelasan tentang sy arat-syarat yang menyebabkan kebutuhan-kebutuhan biologikal ini mungkin wujud berdampingan dengan fithrah tanpa menimbul- kan masalah. 

Perlu ditegaskan di sini bahwa badan di mana kebu- tuhan-kebutuhan ini melekat tidaklah sendirinya membentuk manusia. Inilah sifat-sifat kedua yang membedakan khalifah itu dari makhluk-makhluk lain. Itulah dua ciri-ciri utama yang dimiliki oleh khalifah itu, yaitu fithrah yang baik dan roh. Tetapi ada lagi ciri ketiga, yaitu kebebasan kemauan, kebebasan untuk memilih tingkahlakunya sendiri. Khalifah itu menerima dengan kemauan sendiri amanah yang tidak dapat dipikul oleh makhluk-makhluk lain. 

Dalam salah satu ayat Al-Quran (Q. 18: 29) ada disebutkan yang berfmakna : "Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, Hendaklah percaya slapa yang mau. Dan menolak siapa yang mau". Jelas dari ayat ini bahwa manusia boleh menerima atau me- nolak untuk percayakan kepada Allah. Dia memiliki kebebasan kemauan. Kemauannya yang bebaslah menyebabkan ia memilih ini atau itu yang akan berinteraksi dengan fithrahnya. 

Cara fithrah itu berfungsi dipengaruhi oleh kebebasan kemauan yang dimiliki oleh manusia. Namun ada lagi ciri keempat manusia yang perlu disentu di sini, sebelum berpindah kebahagian lain, yaitu 'aqal yang mem bolehkan manusia membuat pilihan antara yang betul dan yang salah. 'Aqal ini akan dibincangkan lebih mendalam dalam kan- dungan pendidikan. Ciri-ciri inilah yang menjadi ciri-ciri manusia yang disebut khalifah itu, dan tujuan pendidikan dalam Islam ada- lah pembentukan khalifah itu. 

Kandungan Pendidikan 

Istilah kandungan bermakna bidang pengetahuan yang tersusun yang menjadi dasar segala aktivitas pendidikan, misainya di sekolah, dan biasanya digolongkan (classified) kepada berbagai matapelajaran (subject matters). Jadi harus kita fahami bahwa kandungan itu hanyalah suatu jalan menuju suatu tujuan, jadi bukan ia sendiri menjadi tujuan. 

Jadi setiap pendidik yang bertanggungjawab memilih kandungan kurikulum tak dapat tidak harus mengakui adanya hubungan yang erat antara tujuan dan kandungan pendidikan. Kandungan haruslah direka sedemikian rupa sehingga membolehkan kita mencapai tujuan pendidikan. Kalau tujuan pendidikan berbeda di antara suatu masyarakat dengan masyarakat lain, maka kandungan kurikulum juga harus berbeda. Jadi tidak ada kandungan pendidikan yang bersifat universal yang dipersetujui oleh semua pendidik untuk sekolah- sekolah tertentu. Membina kandungan yang sesuai bermakna memilih, yang selanjutnya bermakna suatu pilihan berdasarkan nilai-nilai tertentu. 

Oleh sebab ada hubungan yang erat antara tujuan dan kandungan pendidikan, maka setiap teori pendidikan mempunyai kriterianya sendiri untuk memilih kandungan itu. Oleh sebab Al-Quran dianggap sebagai asas daripada teori pendi- dikan Islam, maka prinsip-prinsip Al-Quran menrupakan bahagian tak dapat dipisahkan yang memadukan di antara berbagai mata- pelajaran yang membentuk sebuah kurikulum. Tidak ada mata- pelajaran yang boleh dipandang sebagai matapelajaran agama atau sekuler. Semua matapelajaran, termasuk matapelajaran sains ta- bi'i, haruslah diajarkan dari segi pandangan Islam. 

Dualisme dalam bentuk matapelajaran agama dan sekuler bukan suatu ciri-ciri pendidikan menurut Al-Quran. Kalaupun wujud, itu disebabkan oleh faktor-faktor sosio-politik, baik dari luar atau dari dalam. Oleh karena tanda-tanda (ayat) kebesaran Allah itu wujud pada manusia dan alam jagat di samping yang terdapat dalam Al- Quran, maka yang perlu didahulukan adalah kata-kata yang di- wahyukan, dan itulah yang merupakan kategori pertama mata pelajaran (subjects) yang harus ada dari kurikulum pendidikan. 

Matapelajaran ini berkaitan dengan Al-Quran dan Hadith di- samping bahasa Arab. Ini yang disebut oleh para pendidik dengan "ilmu yang diwahyukan "(S) (revealed knowledge). Kategori kedua adalah ilmu-ilmu atau bidang-bidang yang meliputi kajian-kajian tentang manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Dalam bahasa Arab disebut al-'Ulum al-Insaniyah.  

Kategori ketiga adalah bidang pengetahuan. Walaupun nampaknya berpisah, tetapi sama sekali jangan di- artikan mereka tiada kaitan satu sama lain. Malah ilmu itu satu, pemisahan adalah sekadar untuk analisa sahaja. Seperti kata al- Faruqi tentang kesatuan ilmu dalam Islam: untuk kebenaran tidaklah lain dari pembacaan yang ... cerdas terhadap alam tabi'i dalam laporan dan eksperimen ilmiah, atau pembacaan terhadap wahyu Allah dalam kitab suct-Nya Allah adalah pengarang bagi kedua-dua hasil karya itu, dan kedua-dua karya atau ciptaan itu terbuka un tuk orang awam, tidak perlu ada perantara, sekadar memerlukan akal dan pengertian".

Jadi nampaknya dualisme dalam kandungan kurikulum yang mengekalkan dikotomi antara tanda-tanda (ayat) Allah, antara manusia dan alam jagat di satu segi dan wahyu Allah atau Al-Qur- an dan Hadits, bukanlah salah satu ciri-ciri teori pendidikan me- nurut Qur-an. Tersebarnya pendapat demikian mungkin disebabkan oleh berbagai faktor luar dan dalam, di antaranya adalah rentetan serangan dari luar yang berusaha menghancurkan ilmu pengetahuan dan munculnya sikap negatif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar di kalangan kaum Muslimin.

Akibatnya timbullah kekakuan dalam kurikulum yang sekop dan kualitasnya sangat terbatas, Sains yang tergolong dalam kategori kedua dan ke- tiga dibuang jauh-jauh dari kurikulum sekolah dengan menekan- kan pelajaran melanjutkan hafalan terhadap ilmu-ilmu Al-Quran dan bahasa Arab. Bentuk kurikulum semacam inilah yang wujud di dunia Islam ketika sistem pendidikan Barat mulai menyelinap masuk melalui pendudukan militer dan kerja-kerja missionari Kristen atau gerakan-gerakan reformasi yang digerakkan dengan berbagai maksud tertentu. 

Tidak Heranlah kalau istilah tradisional yang digunakan untuk menyatakan sistem pendidikan yang diwarisi di dunia Islam pada abad-abad belakangan ini mem- punyai pengertian yang tidak menyenangkan. Sikap negatif ter- hadap sistem tradisional ini masih mempunyai pengaruh sampai sekarang bila dihubungkan dengan matapelajaran.

Jadi dualisme dalam kandungan kurikulum yang membedakan matapelajaran agama dan matapelajaran sekuler adalah asing bagi pandangan Al-Quran, jadi hanyalah akibat dari berbagai faktor. Oleh sebab itu adalah tanggungjawab pendidik Muslim untuk menyadari issu ini dan mengambil sikap berjaga-jaga. Kandungan kurikulum haruslah dipilih dengan hati-hati. Kriteria-kriteria beri- kut ini boleh digunakan oleh pendidik sebagai pedoman dalam merancang kandungan kurikulum. 

Kriteria pertama adalah bahwa ketiga-tiga kategori pengeta- huan yang telah disebutkan, yaitu wahyu, ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu tabi'i, haruslah wujud dalam kurikulum. Ini berdasar pada fakta bahwa Al-Quran menyebutkan tanda-tanda (ayat) Allah pada diri dan alam jagat, disamping tanda-tanda Allah dalam Kitab suci. Jadi adalah bertentangan dengan semangat Al-Quran jika kandungan kurikulum hanya terdiri dari ilmu-ilmu agama Islam, sebab ini bermakna mengabaikan tanda-tanda Allah yang lain. Setiap kategori ilmu itu haruslah diberikan kadar waktu dan penekanan yang sesuai. Kemajuan sains dan teknologi tidak boleh dijadikan alasan untuk memberi waktu lebih banyak bagi matapelajaran sains dan teknologi. Ini akan mengakibatkan pengetahuan yang tidak mendalam tentang Islam. 

Kriteria kedua adalah bahwa pengetahuan yang dipilih dari ketiga-tiga kategori itu haruslah mencerminkan pengetahuan ter- sebut. Oleh sebab sifat-sifat dari tanda-tanda Allah itu berbeda- beda, maka pengetahuan yang membincangkannya juga berbeda. Metode kajian pada ketiga-tiga kategori pengetahuan ini juga berbeda. Selanjutnya pengetahuan saintifik tidak seharusnya diambil dari Al-Quran atau Hadith, walaupun di dalam Al-Quran tidak ada yang bertentangan dengannya.

Begitu juga halnya dengan fakta-fakta yang berkiatan dengan tanda-tanda (ayat) Allah pada diri dan jagat raya dan telah ditemukan oleh manusia. Tanda-tanda yang tertulis tidaklah memberi segala maklumat tentang manusia dan jagat raya. Sebaliknya keadaan saintifik yang harus dicerminkan dalam kandungan kategori ketiga tidak musti diterapkan kepada kan- dungan kedua-dua kategori yang lain. Sebagaimana fakta-fakta sains tidak diambil dari Al-Quran, maka pengetahuan yang diwahyukan tidak dapat ditundukkan kepada pemerhatian dan percobaan saintifik. 

Ini bermakna bahwa metode yang sesuai dengan suatu kategori pengetahuan tidak semustinya dipaksakan kepada kategori-kategori pengetahuan yang lain dan yang membicarakan objek yang berlainan. 

Namun semua matapelajaran, baik dari wahyu, atau sains kemanusiaan ataupun sains tabi'i, haruslah membawa kepada tuju- an yang sama yaitu pembentukan manusia yang merupakan khalifah Allah. Setiap matapalajaran haruslah memberi sumbangan ke arah pertumbuhan dan perkembangan Muslim yang baik yang menjadi anggota dari suatu ummah yang terbaik (khair ummah). Segala sesuatu di alam jagat ini diciptakan dengan suatu tujuan. 

Dalam Al-Quran (38: 27) disebutkan : "Tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi beserta apa yang terdapat di antara keduanya dengan sia-sia, Itulah sangkaan orang-orang kafir". 

Jadi jika segala sesuatu diciptakan dengan tujuan tertentu, maka juga mengkaji benda-benda ini tidaklah sia-sia, jadi ada tujuan- nya. Jadi setiap matapelajaran yang tidak membawa ke arah tujuan-tujuan pendidikan Islam akan kehilangan alasan untuk wujud dalam kurikulum. 

Jadi mengatakan bahwa Al-Quran tidak memberi maklumat tentang bulan berlainan dengan mengatakan bahwa mengkaji bulan tidak ada kaitan dengan Islam. Seperti ditegaskan oleh Cragg: "Boleh jadi ada kawasan-kawasan kesenyapan netral dalam dokumen-dokumen ildhi, tetapi tidak ada kawasan netral dal am cakupan ilahi". 

Kutipan dari Buku Hasan langgulung yang berjudul Manusia Dan Pendidikan