Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bersama Bilal bin Rabah

Bersama Bilal bin Rabah
DIA adalah pemilik senandung perjuangan pertama. Kaum Quraisy menyeretnya, namun dia terus mengulang kata Ahad... Ahad ( Esa ), dikarenakan lelaki ini mencicipi rasa Qul Huwa Allahu Ahad. Kehidupan dalam pandangannya adalah hendaknya kebatilan itu mati. Dan kematian menurutnya adalah hendaknya kebenaran itu senantiasa hidup. Orang orang kafir melemparinya dengan batu-batu. Maka, sang Imam Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengambil dan menempatkannya di atas menara.

Baca juga: Kisah Ali bin Abi Thalib

Dengan suaranya dia menyambungkan antara penduduk bumi dengan penduduk langit, antara kefanaan dan kebagaan, antara orang orang lemah dan orang-orang kuat. Dia adalah sebuah kekokohan orang orang yang lemah di hadapan para durjana. Dia adalah benteng orang orang yang putus asa di hadapan wajah manusia-manusia yang sombong. Bilal adalah kisah Islam saat perbudakan dihapuskan, saat nurani dimerdekakan, dan saat otoriter diberangus. Semua sifat mulia ada padanya. Namun, dia mulia dan terpandang bukan karena nasab, bukan karena harta, bukan karena kedudukan, bukan pula karena kerabat. 

Baca Juga: Kisah Islamnya Abul Ka'bah 

Bilal yang hitam legam mengumandangkan adzan di atas Ka'bah yang hitam. Ia telah mengukir makna penting dalam tiga peristiwa: Peristiwa kala batu-batu menghimpit dirinya, kala adzan bergema dari kerongkongannya, dan senandung: Besok kami akan bertemu manusia-manusia tercinta, Muhammad dan pasukannya. Bilal adalah pertanda atas keagungan prinsip, kemenangan nilai-nilai dan kekokohan janji setia. 

Dia disingkirkan oleh Umayyah dan Abu Bakar yang membebas kannya. Dia dianggap murah oleh kekafiran namun Islam menganggapnya demikian mahal. Bumi menekuknya namun langit menerimanya. Kedua kakinya dipukul dengan cambuk, maka didengarlah bunyi detak sandalnya di atas permadani surga. Dia telah membuat orang-orang musyrik terkaget kaget dengan teriakannya: Ahad, Ahad ( Esa, Esa ). Dia hibur kaum mukminin dengan adzan: Asyhadu Anlaa Ilaaha Illallahu ( Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah ). 

Kelebihan Bilal adalah: Suaranya yang mengungkapkan kebenaran dengan kokoh, kuat, tak mengenal susah dan tekad bulatnya. Dia dilahirkan oleh benua Afrika, namun berada dalam didikan benua Asia. Dan suaranya menggetarkan Eropa. Keluarganya berada di Habasyah ( Ethiopia ). Saat remaja ia berada di Makkah. Bekerja di Madinah. Kedudukannya di atas menara Masjid. Wafat di Syam dan dijanjikan surga baginya. Imamnya dari suku Quraisy. Muadzdzinnya asal Habasyah. Air nasabnya adalah akidah. Hubungan keluarganya adalah prinsip. Ikatannya cintanya adalah iman. Maka bertemulah air itu sesuai dengan perintah yang telah ditakdirkan. 

Dengan Bilal, kebenaran menaklukkan kebatilan. Hakekat menaklukkan khayal. Keyakinan menang atas purbasangka. Kefakiran yang suci unggul atas kekayaan yang tak berarti. Tidakkah cukup bagi para durjana bahwa semua itu hendaknya dijadikan pelajaran. Sesungguhnya, cemeti tidak akan mampu menghancurkan nilai-nilai. Jeratan tidak akan mampu membunuh prinsip. Dan siksa tidak akan mampu membunuh hak-hak. Dalilnya adalah perjalanan hidup Bilal. Suaranya menebarkan hidup di dalam kalbu melalui seruan kebenaran, kekokohan, kegigihan, kebaikan dan kesabaran.

Bilal menantang batu dengan punggungnya, menantang angkasa dengan kerongkongannya, menantang Umayyah bin Khalaf dari Quraisy dengan ke-Habasyian-nya. Dengan kulit hitamya, dia menantang putih, dan dengan sedikit dia menentang yang banyak. Jika kabar gembira datang pada Sang Imam, maka dia bersabda,”Wahai Bilal umumkan pada manusia.”Jika dia merasa gundah, maka dia memerintah,”Wahai Bilai, tenangkan kami dengan shalat !!”

Dari kisah perjalanan Bilal tergambar bahwa kemuliaan itu adalah bagi yang menang, akhir yang baik adalah bagi yang sabar, dan akibat yang baik itu bagi orang yang bertakwa:

”Ketahuilah, siapa bertekad ke tempat perlindungan 

la pasti akan kesana 

Dan akan sampai ke ujung perlindungan 

Siapa yang menginginkannya.”

Bejana kecil kulitnya untuk memberi minun Sang Guru. Tongkatnya untuk melindunginya. Matanya dia gunakan untuk mengawasi fajar. Mulutnya untuk mengumumkan janji setia. Bilal naik ke menara memanggil manusia untuk shalat. Dia naik ke atas Ka'bah mengumandangkan kebenaran. Dia tunggangi kudanya untuk berperang karena Allah. Kemudian dia menaiki pundah-pundak para pahlawan ke surga. 

Kini Bilal tidur nyenyak setelah selesai menunaikan kewajibannya, dan menyerahkan apa yang ada padanya. Setelah dia berperang dengan kedua tangannya dan berjalan dengan kedua kakinya di medan juang. Cukuplah baginya karena dia telah mendengar bunyi terompahnya di surga.

Kutipan Dari Buku Hadaa'iq Dzatu Bahjah yang ditulis oleh Dr. 'Aidh Abdullah Al-Qarni