Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Adab Meriwayatkan Hadits Dan Majlisnya

Adab Meriwayatkan Hadits Dan Majlisnya

Sesungguhnya status periwayat hadits sangatlah tinggi. Karena peri wayat pada hakekatnya sedang menggantikan posisi Nabi berdakwah kepada masyarakat tentang hukum-hukum dan penjelasannya. serta menyampaikan khabar-khabar, petunjuk, serta sifat-sifat beliau dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Ulama menjelaskan adab muhaddits dan sifat-sifatnya dan adab penuntut hadits serta hal-hal yang berkaitan.

Baca juga: Imla' Hadits dan Gelar Untuk Ahli Hadits

1. Adab Muhaddits

Yang mula-mula harus dimiliki oleh muhaddits adalah keikhlasan niat semata karena Allah Azza Wa Jalla. Ia harus meluruskan niatnya dan menyuci kan hatinya dari tendensi duniawi. Ia tidak boleh mendirikan majlis semata karena mencari status, menginginkan suatu jabatan, memperbanyak pengikut atau karena keuntungan-keuntungan lainnya. Tujuan utamanya haruslah untuk menyebarkan dan menyampaikan hadits Rasulullah SAW. tanpa mengharap kan imbalan apa pun.

Karena ”segala amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.”Banyak tokoh salaf yang melarang melakukan periwayatan bila niatnya tidak baik. Ini sebagaimana dijelaskan Sufyan al-Tsauriy, Hubaib ibn Abi Tsabit, Salam ibn Sulaim dan ulama salaf lainnya. Benar sekali mereka melarang periwayatan sampai niatnya benar benar lurus.

Karena ilmu, isnad, penyampaian hadits dan banyaknya murid dalam suatu majlis dapat mendatangkan sikap angkuh -- seperti dikatakan oleh Hammad ibn Zaid yang kadang-kadang menimpa diri seorang muhaddits. kecuali yang benar-benar dijaga oleh Allah Azza Wa Jalla.

Ulama berbeda pendapat tentang usia di mana seseorang diperbolehkan duduk memberikan periwayatan. Sebagian mengatakan, seseorang diperbo lehkan duduk memberikan periwayatan pada usia lima puluhan. Yang lain mengatakan pada usia empat puluhan. Namun yang benar adalah pada usia berapa pun ketika riwayatnya dibutuhkan.

Baca juga: Kriteria Hadits Shahih

Dan sepatutnya seseorang berhenti melakukan periwayatan bila khawatir mengalami ketuaan karena lanjut usia, atau karena pikun atau sakit ataupun alasan lainnya, yang dapat mengurangi kemampuan menyampaikan riwayat secara baik. Dan hal itu terjadi secara berbeda antara satu orang dengan yang lain.

Ulama mewajibkan muhaddits berbudi pekerti baik, terpuji gerak hidup nya dan berpenampilan baik pula. Mereka berpendapat seyogyanya seseorang tidak memberikan riwayat kepada yang lebih tinggi statusnya, baik karena usia, keilmuan atau yang lain. Dan memang sebagian besar ulama salaf tidak pernah meriwayatkan di hadapan orang yang lebih tinggi statusnya. 

Muhaddits juga dianjurkan-bila hendak mendatangi majlisnya-untuk bersuci seperti ketika hendak melakukan shalat, mengenakan wewangian dan bersiwak, menghadapi masyarakat dengan pakaian yang bersih, sopan, anggun dan duduk di majlisnya dalam keadaan tenang dan penuh wibawa karena menghormati hadits Rasulullah SAW.

Imam Malik melakukan hal itu, lalu ditanya dan menjawab, aku ingin mengagungkan hadits Rasulullah SAW., dan aku tidak akan memberikan riwayat kecuali dalam keadaan suci. Ulama tidak suka memberikan riwayat di jalan atau di tempat yang tidak layak, di samping tidak suka meriwayatkan dalam keadaan tidak suci. Termasuk kewajiban seorang muhaddits adalah menanggapi seluruh murid, dan tidak mengkhususkan suatu riwayat kepada sebagian saja.

Di samping itu, ia juga harus memberikan riwayat secara total, tetapi berdasarkan ukuran yang mungkin bisa diterima dan dipahami oleh seluruh siswa. Ia juga harus bersalawat ketika nama Nabi SAW. disebut dan membaca taradhdhi setiap kali ada sahabat disebut. Ulama menganjurkan agar muhaddits menyebut guru-gurunya dengan baik.

2 Adab Penuntut Hadits

Penuntut hadits harus memiliki niat yang ikhlas. Juga harus menghindarkan diri dari keinginan duniawi ketika menuntut hadits. Karena ada sebuah hadits riwyat Abu Hurairah dari Rasulullah SAW., bahwa beliau bersabda:

من تعلم علما مما يبتغى له وجه الله لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة.

Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang dipergunakan untuk mencari ridha Allah, tetapi ia menuntutnya semata untuk mendapatkan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan pengenalan surga kelak di hari kiamat. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Seorang penuntut hadits juga harus menghias dirinya dengan pekerti yang baik dan bersopan-santun, bersungguh-sungguh dalam menuntut hadits dan mengerahkan segenap kemampuan untuk mendapatkannya. Ia bisa memulai mendengar hadits dari guru-guru setempat dengan cara sering mengikuti majlis mereka, kemudian melakukan pengembaraan kepada ulama di negeri negeri lain. Ini seperti yang dilakukan oleh sebagian sahabat, tabi'in dan ulama' sesudah mereka.

Dalam hal ini, Ibrahim ibn Isma'il ibn Mujma' mengatakan:“Kami meminta bantuan dalam menjaga hadits dengan mengamalkannya.”

Amr ibn Qais al-Mala'iy mengatakan :”Bila ada sesuatu yang baik datang kepadamu, maka amalkanlah, meski hanya sekali, maka kamu akan menjadi ahlinya.”

Penuntut hadits juga harus menghargai dan menghormati guru-gurunya. Karena sikap seperti itu juga mencerminkan sikap mengagungkan ilmu dan sebab-sebab bisa memanfaatkannya. As-Sunnah telah menegaskan hal ini. Rasulullah SAW bersabda:

ليس منا من لم يجل كبيرنا ولم يرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه.

Tidaklah termasuk umatku orang yang tidak mengagungkan yang tua di antara kami, tidak menyayangi yang muda di antara kami dan tidak mengerti hak bagi yang alim di antara kami. (HR. Ahmad dan Thabrani)

Hadits ini telah dipraktikkan oleh para ahli hadits dan para penuntut ilmu secara umum, sehingga kita bisa menyaksikan para murid mendapatkan perha tian dari para guru, sebagaimana para guru mendapatkan penghormatan dari para murid. Penuntut ilmu tidak boleh bersikap sombong dan membanggakan diri. 

Umar ibn al-Khaththab mengatakan: Siapa yang menipiskan wajahnya, maka 6 ilmunya akan mendalam. A'isyah Umm al-Mukminin mengatakan, sebaik baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak merasa malu untuk mendalami agama. Sedang al-Ashmu'iy mengatakan, barangsiapa yang tidak mau menerima susahnya mencari ilmu sesaat saja, maka ia akan merakan kesusahan dalam kebodohan selamanya.

Ulama mengingatkan agar para murid tidak terlalu lama berada di sisi para guru agar mereka tidak diusir, di samping mengingatkan agar mereka selalu mencari kerelaan para guru, agar hubungan bisa berlangsung terus menerus dan manfaatnya akan lebih luas. Mereka juga diingatkan untuk saling membantu di antara sesama murid dalam menuntut ilmu dan mendengar dari guru-guru yang tsiqat. Mereka mengingatkan pula agar tidak menyembunyikan ilmu dan kebaikan dari sebagian murid lain, karena ada larangan keras mengenai hal ini.

Di samping itu, terlalu banyak melakukan perjalanan dan belajar dari para guru tidak akan membawa manfaat bagi para murid selama tidak disertai dengan pemahaman dan pengertian. Oleh karena itu, ulama menganjurkan agar mereka belajar memahami dan mengerti serta menghafal, di samping mengetahui kualitas hadits yang mereka dapatkan. Hal ini berlaku baik berkenaan dengan sanad maupun matan, redaksional maupun maknanya, sehingga tak ada sesuatu pun yang samar bagi mereka. Mereka juga diingatkan agar selalu mengulang pun terlewatkan. kembali apa yang telah mereka dengar dan menuliskannya agar tidak satu kata.

Majlis-majlis Hadits Kelompok-kelompok kajian ilmu telah dikenal sejak masa Nabi SAW. dan bertambah banyak bersamaan dengan bertambah banyaknya wilayah Islam, yang disertai dengan banyaknya masjid, majlis-majlis dibuka dengan membaca beberapa ayat Al-Qur'an. 

Kemudian guru membaca basmalah, memuji kepada Allah Azza Wa Jalla atas segala nikmat-Nya dan bersalawat kepada Rasulullah SAW., baru memulai memberikan periwayatan hadits yang telah dipilihnya, baik dari hafalan maupun dari kitabnya, dengan suara yang jelas yang bisa di dengar oleh murid yang duduk di kejauhan seperti yang ada di dekat mende ngarnya, menguraikannya, menjelaskan kata-kata gharibnya, kandungan maknanya, perawi-perawinya, dan menghilangkan problematikanya.

Kadang kadang guru menjelaskannya dengan perbandingan dari hadits lainnya dengan menandai musykilnya, dan lain-lain. Sehingga hadits itu benar-benar di mengerti dengan baik oleh semua peserta majlis. Kemudian guru mengulanginya sekali lagi, untuk pindah kepada hadits lainnya. 

Imam-imam hadits tidak suka bila muhaddits terlalu memperpanjang jangka waktu belajar, karena khawatir membosankan para pendengarnya, di samping mengikuti tuntunan Nabi SAW. yang secara berkala dalam memberi kan mau'idhah kepada para sahabat karena khawatir mereka akan cepat bosan. Mereka juga suka memberikan hadits secara beragam, dan menutup majlis dengan beberapa kisah atau hal-hal langka. Dalam hal ini, Imam an-Nawawiy mengatakan, yang terbaik adalah tentang kezuhudan dan pekerti- pekerti yang baik.

Kemudian guru mengakhiri majlisnya dengan beristighfar dan memuji Allah Ta'ala atas segala nikmat dan anugerah-Nya. Mereka sangat antusias bila muhaddits memimpin majlis dengan khusyu ' dan tenang. Bila ada seseorang yang mengeraskan suara, maka guru akan melarangnya. Imam Malik melakukan hal itu, dan berkata mengenai firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat yang ke-2.

Jadi barangsiapa mengeraskan suaranya di hadapan hadits Nabi SAW., maka seakan-akan ia telah meninggikan suaranya di atas suara Nabi SAW.

Referensi adalah dari buku Ushul Al-hadits yang ditulis oleh DR. Muhammad 'Ajaj Al-Khathib