Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Etos Kerja Kaum Muslimin

Etos Kerja Kaum Muslimin

Syaikh bersama Ustadz Athif kemudian kembali ke ruangannya dan berbincang-bincang. Ketika mereka sedang bercengkerama, tiba-tiba Ustadz Id, Muhammad, Thal'at, Jabir, dan Abdul Wahab masuk. Athif berkata,”Silakan ya Syaikh, inilah para pegawai negeri yang namanya tercantum dalam daftar para pegawai, ketika mengambil gaji, tunjangan, atau insentif yang diperuntukkan bagi salah seorang dari mereka. Padahal, ia sama sekali tidak duduk di belakang meja kerjanya selama setengah jam per hari, sedang semua waktu kerjanya yang beberapa jam itu hanya merupakan penyimpangan.”


Baca juga: Hukum Menerima Uang untuk Mempercepat Proses Pekerjaan

"Apa maksudmu ?" tanya Syaikh. Id,”Maksudku Ustadz Id Afandi,”jawab Athif. Id berkata,”Wahai saudaraku, tetaplah di tempatmu. Apakah kamu akan memperbaiki alam ?" "Tidak, aku tidak akan memperbaiki alam. Namun, aku ingin kamu mendekatkan diri kepada Allah dalam pekerjaanmu,”jawab Athif, menohok.

Syaikh berkata,”Ketahuilah-semoga Allah memberkati kalian bahwa menyimpang dari pekerjaan itu tidak boleh. Bagi orang yang tidak ingin memakan yang haram, seyogianya dia memberikan hak kerja pada pekerjaannya. Sehingga, dia tidak meninggalkan pekerjaannya sebelum satu hari usai bila kontrak kerjanya berdasarkan waktu.

Oleh karenanya, si pegawai itu berada di tempat kerjanya dari jam delapan pagi sampai jam dua siang. Id berkata,”Wahai Syaikh, gaji itu hanya cukup untuk lima hari. Aku membuka kios kecil yang aku gunakan untuk mencari tambahan gaji untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggaku yang banyak.”

Syaikh berkata,”Saudaraku yang mulia, semoga Allah memberkati. mu. Adalah wajib bagi semua pegawai, baik negeri maupun provinsi (daerah), untuk memenuhi jam kerja resmi mulai dari awal sampai akhir, dan interval waktu yang ada antara keduanya. Ia tidak boleh meninggalkan pekerjaan dan banyak meminta izin dengan berbagai alasan dan halangan yang dibuat-buat. Semua itu dilakukannya untuk melakukan pekerjaannya yang khusus (pekerjaan sampingan) atau yang lainnya, yang tidak layak bagi dirinya.

Baca juga: Penipuan Pada Timbangan Emas

Sebaliknya, ia harus meniatkan kerjanya untuk mengabdi kepada Islam, memudahkan urusan kaum muslimin, dan mempercepat penyelesaian transaksi dengan mereka. Ia tidak boleh terbiasa atau mencari trik untuk terlambat kerja. Sebaliknya, ia harus meniatkan setiap langkahnya dalam konteks ini, dan memurnikannya untuk Allah tanpa menyakiti atau melukai, di samping berkomitmen penuh pada jam kerja.”

" Wahai Syaikh, lapangkanlah dan jangan persempit jalan untuk orang orang.”kata Id, memotong. Syaikh berkata,”Aku katakan padamu, ini adalah pengkhianatan amanah yang diberikan kepadamu. Sementara Allah berfirman:

يأيها الذين امنوا لا تخونوا الله والرسول وتخونوا أمنتكم وأنتم تعلمون-
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al Ma'idah: 27)

Negara telah melihat kemampuanmu untuk menduduki jabatan ini. Oleh karena itu, kamu harus berusaha untuk bertanggung jawab terhadap amanah waktu dan kecakapan kerja. Selanjutnya, tindakan seperti ini pun melanggar terhadap janji yang telah kamu ambil pada dirinya ketika menandatangani kontrak kerja.

Sedangkan, sebagaimana telah maklum dalam undang-undang negara tertentu bahwa masa kerja itu dari jam delapan pagi sampai jam dua siang. Rasulullah bersabda:

المسلمون على شروطهم
Kaum muslimin itu (terikat) dengan persyaratan mereka. (HR. Abu Daud)

Maka, di manakah syaratmu yang telah kamu kukuhkan kepada dirimu berupa komitmen terhadap waktu kerja yang resmi ? inginkan,”kata Thal'at, memotong.”Maaf ya Syaikh, dalam hal ini ada persoalan yang jawabannya aku"

Silakan ! " kata Syaikh.”Seandainya pemimpin kerja menilai bahwa bekerja pada waktu kerja bukanlah suatu hal yang penting untuk pegawai itu, maka apakah pegawai itu boleh meminta izin meninggalkan pekerjaan, bila pekerjaan itu bukan hal yang penting baginya ?" kata Thal'at, mengumpamakan. Syaikh menjawab,”Hal itu tidak boleh kecuali dengan beberapa syarat:
  1. Pemimpin kerja secara pribadi memberikan izin. Sebab, pemimpin kerja lebih tahu pekerjaan yang ada dalam kekuasaannya. Ia pun diberikan kekuasaan oleh negara untuk berinteraksi dengan para pegawai itu. Oleh karena itu, bila ia melihat bahwa memberikan izin kepada pegawai tersebut bukanlah suatu hal yang mengganggu terhadap jalannya kerja, maka itu tidak menjadi masalah.
  2. Hendaknya tindakan si pegawai yang meninggalkan kerja itu tidak melukai kaum muslimin yang berhubungan dengannya dalam kepentingan mereka.
  3. Hendaknya si pegawai itu bukanlah pemimpin atau teladan, sehingga tidak diikuti oleh orang yang tidak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi, sehingga tidak akan merembet.
  4. Memberi nasihat kepada pegawai yang diizinkan agar memperbaiki peker-jaannya ketika berada di tempat kerja, sebagai imbalan atas izin yang diberikan kepadanya.
  5. Hendaknya jumlah keluar dari tempat kerja itu sesuai ( tidak membo los ) dengan total jumlah izin yang diberikan pihak kerja ( perusahaan ) melalui rekomendasi individual.

Id berkata,”Jadi, apa solusinya ?" Syaikh menjawab,”Istiqamah dalam bekerja, mengundurkan diri, atau mengambil cuti tanpa gaji untuk melaksanakan pekerjaan khususmu (sampingan), jika kamu orang yang berusaha keras untuk memberikan makanan yang halal kepada keluargamu.”

" Allah tempat meminta dan kami serahkan persoalan ini padanya. Kami akan konsisten,”jawab Id.

Syaikh berkata,”Ini bukanlah karunia untuk pekerjaanmu, melainkan kewajibanmu.”Id berkata,”Ya Syaikh, aku berjanji padamu untuk konsisten dengan jam kerja harian, terlebih datang pada pagi hari, insya Allah.”

" Juga dengan pulangnya,”kata Syaikh, menambahkan. Id berkata,”Aku minta izin dua jam sebelum waktu kerja habis, misalnya. Izinku itu untuk membeli perlengkapan kantor berupa barang atau yang lainnya. Sebelumnya aku telah sesuai dengan jam kerja yang resmi ketika datang, ketika banyak orang-orang yang kembali, dan menyelesaikan urusan. Adapun dua jam terakhir, di kantor sudah tidak ada lagi kesibukan dan kerja pun tidak akan kacau karena aku keluar.”

" Jika masalahnya seperti yang kamu kira, maka kamu pun tidak boleh keluar dari tempat kerja kecuali dengan syarat-syarat yang telah kami sebutkan di atas,”jawab Syaikh.”Subhanallah, sampai seperti ini,”ungkap Id, berat. Syaikh berkata,”Aku katakan padamu, jika kamu ingin memberi makan dengan rezeki yang halal kepada anak-anakmu, maka inilah jalannya. Maka, bertakwalah kamu kepada Allah dalam pekerjaanmu.”" Insya Allah ya Syaikh, kami akan komitmen,”jawab Id.

”Semoga Allah memberkatimu pada keluarga, harta, dan bisnismu. Kami berterima kasih karena kamu telah patuh terhadap dalil agama. Semoga Allah menjadikan aku dan kamu sebagai orang-orang yang patuh,”kata Syaikh.

Kutipan Dari Buku Tahzdir Al-Kiram Min Mi'ah Bab Min Abwabil Haram yang ditulis oleh Ibrahim bin Fathi bin Abdul Al-Muqtadir