Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Menerima Uang Untuk Cepat Menyelesaikan Pekerjaan

Hukum Menerima Uang Untuk Cepat Menyelesaikan Pekerjaan

Ammar bertanya,”Apa yang Syaikh niatkan setelah perjalanan yang penuh berkah ini ? “Syaikh menjawab,”Besok, aku ada urusan di kantor pendidikan dasar. Aku akan pergi ke sana, bagaimana bila kamu berangkat denganku ? “

Ammar menjawab,”Tidak masalah.”Syaikh berkata,”Semoga dalam keberkahan Allah.”Ammar berkata,”Apakah Syaikh ingin memerintahkan atau ada tugas yang bisa aku lakukan untukmu sebelum pergi ?

“Terima kasih, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,”jawab Syaikh.

”As-Salâmu'alaikum warahmatullah,”kata Ammar.

”Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh, semoga berada dalam lindungan Allah. Besok jangan terlambat ! “jawab Syaikh sambil memberi pesan.

”Insya Allah,”jawab Ammar.

Ammar kemudian kembali ke rumahnya. Setibanya di sana, seperti biasa Ammar mengcopy apa yang ditulisnya sepanjang hari. Sehingga, bila ia membutuhkan sesuatu dari apa yang dia tulis itu, maka dia dapat menemukannya.

Baca juga: Hukum Menyewakan tempat untuk penjualan barang haram

Pada waktu yang telah ditentukan, Ammar pergi ke rumah Syaikh. Setibanya di sana, ia meminta izin masuk. Maka, Syaikh pun mengizinkannya. Ammar kemudian masuk. Setelah menerima perjamuan, Syaikh dan Ammar berangkat ke Kantor Pendidikan Dasar untuk menyelesaikan urusan Syaikh.

Mereka tiba di sana dan mereka pun naik ke ruangan Ustadz Athif, teman lama Syaikh waktu masih sekolah. Ketika mereka masuk ke ruangan itu, Ustadz Athif bangun menyambut mereka. Ia kemudian menghidangkan minuman dingin sambil tidak henti-hentinya mengucapkan selamat datang dengan nada yang begitu bahagia karena bertemu dengan Syaikh, teman lamanya.

Setelah keduanya meneguk minuman, Athif berkata kepada Syaikh,”Baik ya Syaikh ? “Syaikh berkata,”Kami sungguh rindu untuk melihatmu. Akhir-akhir ini, jarang sekali kami melihatmu. Dalam kesempatan ini, kami punya urusan dengan kamu yang ingin kami selesaikan. Dengan begitu, kami bisa menyatukan dua kebaikan (menyelesaikan urusan dan bersilatur rahmi).”

Baca juga: Hukum Jual Beli Setelah Azan Jum'at

“Baik, urusan apa itu ya Syaikh ? “tanya Athif. Syaikh menjawab,”Tentang kepindahan anakku, Umair, ke sekolah di sebelah rumah yang baru dibangun itu.”“Sebentar, aku akan melihat Ustadz Abbas, pegawai yang mengurusi persoalan ini, apakah dia sudah datang atau tidak. Persoalan itu bukan urusanku,”jawab Athif.”Tidak mengapa.”Beberapa saat kemudian Athif datang.”Bagaimana ? “tanya Syaikh.”Sudah datang, alhamdulillah. Mari kita menemuinya bersama-sama sehingga dapat menyelesaikan urusan ini,”jawab Athif.

Mereka kemudian berdiri untuk menemui Abbas, Ketika mereka tiba di ruangan Abbas, Athif mengeluarkan rokok dari kantongnya dan melemparkannya kepada Abbas sambil berkata,”Selamat pagi tuan.”“Pagi, tuan,”jawab Abbas. Syaikh berkata,”Kamu memberikan racun kepadanya dan memberikan selamat dengan ungkapan selamat umat jahiliah.”

Sambil merangkul Syaikh dan membisiki telinganya, Athif berkata,”Ya Syaikh, memuluskan urusan.”“Apa arti ucapanmu ? “tanya Syaikh.”Ya Syaikh, teman kami ini -semoga Allah menunjukinya- tidak akan pernah mengerjakan sesuatu karena Allah. Melainkan, kamu harus memberikan dirham dan dinar, dan ia tidak akan menyelesaikan suatu urusan kecuali dengan uang. Jika kamu tidak memberikan uang kepadanya, maka dia akan membuat seribu maaf untukmu dan dia pun akan lari darimu. Tapi, karena kita adalah teman-temannya, maka dia malu kepada kita.

Namun demikian, kita pun harus memperhatikannya dengan memberikan rokok seperti ini,”kata Athif menjelaskan secara panjang lebar.”Apa hukum kebiasaan ini ya Syaikh ? “tanya Ammar, menengahi. Dengan nada tinggi, Syaikh menjawab,”Hendaklah seorang muslim sangat mewaspadai terjerumus dalam perangkap suap, hadiah, atau penghormatan melalui jalur kerja. Rasulullah bersabda:

لعنة الله على الراشي والمرتشي
Laknat Allah bagi orang yang menyuap dan menerima suap. (HR. Ahmad)

Orang yang menyuap dan menerima suap itu akan diusir dari rahmat Allah yang luas. Hal itu disebabkan oleh sejumlah uang yang tidak bernilai. Yakni, demi Allah alangkah ruginya seperti ini. Sebagian dari sifat amanah adalah hendaknya seorang lelaki tidak memangku jabatan di mana dirinya ditunjuk untuk mendudukinya guna mendatangkan keuntungan untuk dirinya atau keluarga dekatnya.

Sesungguhnya kenyang dengan harta publik adalah suatu dosa dan perbuatan yang tidak halal. Rasulullah bersabda:

من استعملناه على عمل فرزقناه رزقا فما أخذ بعد ذلك فهو غلول
Barang siapa yang kami pekerjakan untuk suatu pekerjaan, kemudian kami rezkikan kepadanya dengan suatu rezki (tertentu), maka apa yang dia ambil setelah rezeki (itu), itu adalah pengkhianatan.(HR. Abu Daud dan Hakim).

Dengarkan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah.”“Apa itu ya Syaikh ? “tanya Ammar, memotong. yang Syaikh menjawab,”Nabi mempekerjakan seorang lelaki dari 'Azd disebut Ibnu Al-Lutbiyyah untuk (mengumpulkan) sedekah. Tatkala datang dengan membawa sedekah itu, dia berkata: ' Ini untukmu dan ini dihadiahkan kepadaku. Maka, Rasulullah bersabda:

Mengapa dia tidak duduk di rumah bapaknya dan ibunya sampai datang badiahnya jika dia benar (HR. Al-Bukhari).

Nabi bersabda: Hadiah-hadiah untuk pekerja itu pengkhianatan (HR. Ahmad dan Baihaqi)

“Ya Syaikh jangan mempersulit persoalan. Seperti inilah jalan hidup memberi keluasan,”kata Abbas, membantah. Syaikh berkata,”Ketahuilah wahai saudaraku tercinta, kekuasaan dan posisi di kalangan manusia adalah nikmat Allah terhadap seorang hamba bila dia mensyukurinya. Sebagian dari bentuk mensyukurinya adalah, hendaknya ia mengalokasikan kenikmatan tersebut untuk kemanfaatan kaum muslimin. Ini termasuk dalam keumuman sabda Nabi:

من استطاع منكم أن ينفع أخاه فليفعل
Barang siapa di antara kalian yang mampu memberikan kemanfaatan kepada sandaranya, maka hendaklah ia mengerjakan (nya). (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

Barang siapa yang dengan kekuasaannya dapat memberikan kemanfaatan kepada saudara muslimnya dalam mencegah kezaliman atau mendatangkan kebaikan kepada saudara muslimnya itu, tanpa melakukan yang diharamkan atau melakukan pelanggaran terhadap hak seseorang, maka orang itu akan diberikan pahala di sisi Allah apabila niatnya ikhlas. Hal ini sebagaimana diberitakan oleh Nabi dengan sabdanya:

“Bantulah (oleh kalian), maka kalian akan diberi balasan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tidak boleh mengambil imbalan atas bantuan, perantara, ataupun petunjuk. Dari Abu Umamah ra. secara marfu':

Barang siapa yang memberikan pertolongan kepada seseorang, kemudian diberikan hadiah kepadanya atas pertolongan itu, lalu dia menerima hadiah itu dari orang yang ditolongnya, maka sungguh ia telah mendatangi pintu yang besar di antara pintu-pintu riba. (HR. Ahmad).

Sebagian orang ada yang menawarkan kerja keras dan mediasi dengan imbalan sejumlah uang. Hal itu dia syaratkan untuk menunjuk seseorang pada sebuah jabatan, mutasi dari suatu tempat ke tempat yang lain, mengobati orang sakit, atau yang lainnya. Adapun yang benar, imbalan ini adalah haram. Hal itu sesuai dengan hadis Abu Umamah di atas. Bahkan, sisi eksternal hadis tersebut mencakup juga suatu pengambilan (suap), meskipun tidak ada pensyaratan tersebut dahulu. Cukuplah bagi orang yang melakukan kebaikan itu pahala dari Allah yang akan dia temukan pada hari kiamat.

Seorang lelaki datang kepada Hasan bin Sahal untuk meminta tolong kepadanya dalam sebuah keperluan. Maka, Hasan pun memenuhi keperluan. Lelaki itu kemudian menghadap kepadanya untuk berterima kasih. Hasan bin Sahal berkata kepada orang itu,”Untuk apa kamu berterima kasih kepadaku, sementara kami menilai bahwa kekuasaan itu harus dizakati sebagaimana harta dizakati ?

Abbas berkata,”Ya Syaikh, kehidupan menghendaki demikian. Gaji kecil. Tidak cukup untuk uang belanja dan tidak cukup pula untuk menutupi berbagai keperluan anak-anak. Sementara kami tidak mencuri dan melakukan apa pun.”

“Jangan berkata seperti itu,”ungkap Syaikh.”Kenapa ? “jawab Abbas.”Sebab, kamu bekerja di sini dengan keridaanmu dan tak ada seorang pun yang memaksamu. Sementara kamu pun tahu dan setuju dengan standar gaji di sini,”jawab Syaikh.”Benar,”jawab Abbas.”Kamu berada di antara dua hal,”kata Syaikh, kembali.”Apa itu,”tanya Abbas. Syaikh berkata,”Bisa jadi kamu mengundurkan diri dari pekerjaan secara total demi mencari pekerjaan yang akan memenuhi kebutuhanmu.”

“Yang kedua ? “tanya Abbas.”Lurus dalam pekerjaanmu dan bertakwa kepada Allah,”jawab Syaikh. Abbas berkata,”Ya Syaikh, bagaimana aku akan menutupi nafkah rumah tangga, sementara aku punya tujuh orang anak. Di lain pihak, gaji tidak mencukupi lebih dari lima hari saja. Lalu, apa yang akan aku dan anak-anak makan selama satu bulan ? “Syaikh berkata,”Aku telah menerangkan tentang solusinya kepada mu. Kamu tidak boleh menyalahi solusi itu. Sebab, dengan cara seperti ini berarti kamu memberikan makanan haram kepada anak-anakmu. Maka, takutlah kamu kepada Allah pada diri, anak-anak, dan jabatanmu. Dan, kamu pun tidak boleh melakukan hal itu.”

Abbas berkata,”Yakni, dalam hal ini tidak bermanfaat aku katakan bahwa darurat itu membolehkan hal yang terlarang. Juga, ucapan penyair:

Jika tidak ada hal lain selain bencana yang menjadi perahu
Maka, tidak ada cara lain untuk orang yang terpaksa selain menaikinya.

Syaikh berkata,”Itu tidak boleh kamu lakukan. Ini bukan darurat, melainkan pemahaman yang keliru. Sebab, apabila perahu itu haram, maka perahu itu merupakan tindakan melampaui batas. Selanjutnya, tidak boleh menaiki perahu itu sama sekali.”

Abbas berkata,”Aku berjanji padamu tidak akan mengulangi hal ini lagi. Aku akan berusaha untuk menyelesaikan urusan kaum muslimin demi mencari keridaan Allah tanpa imbalan, insya Allah.”Syaikh berkata,”Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan memberkatimu untuk menyelesaikan urusan ini.

Aku meminta kepada Allah agar memberikan keleluasaan kepada kami dan kamu dari karunia Nya. Juga, membukakan rezeki-Nya yang luas kepada kita semua, dan mencukupi kami dan kamu dengan rezeki halal dan anugerah-Nya, dan bukan keharamannya, wassalamu'alaikum warahmatullah.”“Amin, wa'alaikum salám warahmatullah wabarakatuh,”jawab Abbas.

Kutipan Dari Buku Tahzdir Al-Kiram Min Mi'ah Bab Min Abwabil Haram yang ditulis oleh Ibrahim bin Fathi bin Abdul Al-Muqtadir