Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Etika Mufassir Dan Kaedah Penafsiran

Etika Mufassir Dan Kaedah Penafsiran

Secara umum, kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an merupakan pedoman dasar bagi seorang Mufassir. pedoman (kaedah) inilah yang digunakan secara umum oleh seorang mufassir mendapatkan pemahaman yang benar atas petunjuk Allah yang ada dalam Alquran. Oleh karena itu para ulama sangat memperhatikan baik syarat dan kaedah dalam proses penafsiran maupun syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an. Karena penafsiran Al-Qur’an itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan karakteristik penafsir itu sendiri. Seorang penafsir yang baik pasti memiliki landasan yang kuat dalam menafirkan Al-qur’an.


Adapun Ilmu yang dibutuhkan oleh orang yang ingin memperoleh keahlian dalam menafsirkan Al-Qur'an ialah:
  • Memahami Lughah Arabiyah dengan baik dan benar dan komphehensif terutama ilmu grametika bahsa arab tentang ilmu tashrif dan ilmu nahwu. Ini merupakan syarat yang paling penting bagi seorang mufassir. 
  • Memahami Ilmu ma'ani (memahami pembicaraan dari segi memberi pengertiannya), ilmu bayan (memahami susunan suatu perkataan) dan ilmu badi’(memahami seni keindahan sebuah pembicaraan).
  • Dapat menentukan yang mubham, dapat menjelaskan yang mujmal dan dapat mengetahui sebab nuzul dan nasakh. Penjelasan penjelasan ini diambil dari hadits.
  • Mengetahui ijmal, tabyin, umum, khusus, itlaq, taqlid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan dan yang sepertinya. Ini diambil dari Ushul al-Fiqh.
  • Ilmu kalam.
  • Ilmu qira'at. Dengan ilmu qira'at dapat diketahui bagaimana kita menyebut kalimat kalimat Al-Qur'an dan dengan dialah kita dapat di-tarjih-kan sebagian ke-muhtamil-an atas sebagiannya.

Adapun penafsiran yang dikatakan penafsiran dengan pikiran yang dilarang oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Turmudzy dan An-Nasa'y, maka jika hadits itu dipandang benar ialah menafsirkan Al-Qur'an dengan tidak memperdulikan As-Sunnah, atsar dan kaidah kaidah yang sudah ditetapkan. Menafsirkan Al-Qur'an secara emosional adalah dilarang.

Syarat-Syarat Dan Adab Bagi Mufasir

Kajian ilmiah yang obyektif merupakan asas utama bagi pengetahuan yang valid yang memberikan kemanfaatan bagi para pencarinya, dan buahnya merupakan makanan paling lezat bagi santapan pikiran dan perkembangan akal. Oleh karena itu tersedianya sarana dan pra sarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan hal yang mempunyai nilai tersendiri bagi kematangan buah kajiannya dan kemudahan pemetikannya. Kajian ilmu-ilmu syari'at pada umumnya dan ilmu tafsir khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan dan mengetahui sejumlah syarat dan adab agar, dengan demikian, jernihlah salurannya serta terpelihara keindahan wahyu dan keagungannya. Adapun Syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang menafsirkan Al-Qur'an adalah sebagai berikut:
  1. Memiliki keyakinan atau akidah yang benar sesuai dengan akidah Rasul dan para shahabat yang mulia. Akidah ini penting karena dapat, mempengaruhi jiwa penafsir yang mendorong untuk berlaku lurus dalam setian tafsirnya. 
  2. Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya sehingga tidak menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan menarik seperti yang dilakukan golongan sesat dalam islam.
  3. Menafsirkan, lebih dahulu, Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, karena suatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat di lain tempat dijelaskan dengan panjang di tempat lainnya.
  4. Mencari dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur'an dan penjelasnya. Karena ketetapan Hukum yang berasal dari Rasulullah pada hakikatnya juga datangnya dari Allah. Juga seperti firman Allah dalam surat An-Nisa [4] ayat yang ke-105. Allah juga menyebutkan bahwa sunnah merupakan penjelas bagi Kitab. begitu juga dalam surat An-Nahl ayat yang ke-44. Oleh karena itu Rasulullah mengatakan:”Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur'an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya", yakni sunnah. Berkenaan dengan ini Syafi'i berkata:”Segala sesuatu yang di putuskan Rasulullah adalah hasil pemahamannya terhadap Al-Qur'an.”Contoh-contoh penafsiran Al-Qur'an dengan sunnah ini cukup banyak jumlahnya dan telah terbukti bermanfaat. Misalnya as-sabil dengan az-zâd war rahilah (bekal dan kendaraan), az-zulm (kezaliman) dengan asy-syirk (kemusyrikan) dan al-hisab al-yasir (hisab yang den ringan al gan) (penampakkan sekilas).
  5. Ketika tidak ditemukan dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui sepuluh bahasa tafsir Al Qur'an ; mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Qur'an diturunkan.
  6. Kemudian merujuk kepada pendapat Para Tabi'in yang langsung belajar kepada para shahabat. mereka adalah orang yang sangat memahami Al-Qur'an setelah para shahabat, seperti Mujahid bin Jabr, Sa'id bin Jubair,’ Ikrimah maula (sahaya yang dibebaskan oleh) Ibn Abbas,’ Ata’ bin Abi Rabah, Hasan al Basri, Masruq bin Ajda’, Sa'id bin al-Musayyab, ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, Dahhak bin Muzahim dan tabi'in lainnya. Tetapi diharuskan mengutip penukilan yang shahih. 
  7. Pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, karena Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat bergantung pada penguraian mufradât (kosa kata) lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Maka atas dasar ini sangat diperlukan pengetahuan tentang ilmu nahwu (gramatika) dan ilmu taşrif (konyugasi) yang dengan ilmu ini akan diketahui bentuk bentuk kata. Sebuah kata yang masih samar-samar maknanya akan segera jelas dengan mengetahui kata dasar (masdar) dan bentuk-ben tuk kata turunan (musytaq)-nya. Demikian juga pengetahuan tentang keistimewaan suatu susunan kalimat dilihat dari segi penunjukkannya kepada makna, dari segi perbedaan maksudnya sesuai dengan kejelasan atau kesamaran penunjukkan makna, kemudian dari segi kein dahan susunan kalimat yakni tiga cabang ilmu balagah (retorika) ; ma'âni, bayan dan badi’. Semua itu merupakan syarat sangat penting yang harus dimiliki seorang mufasir mengingat bahwa ia pun harus memperhatikan atau menyelami maksud-maksud kemukjizatan Qur'an. Sedang kemukjizatan tersebut hanya dapat diketahui dengan ilmu-ilmu ini.
  8. Pengetahuan tentang ilmu yang berhubungan dengan Qur'an, seperti ilmu qira'ah, ilmu tauhid dengan ilmu ini diharapkan mufasir tidak menta'wilkan ayat ayat berkenaan dengan hak Allah dan sifat-sifat-Nya secara melampaui batas hak-Nya, dan ilmu ushul terutama usulut tafsir dengan mendalami masalah-masalah (kaidah-kaidah) yang dapat memperjelas sesuatu makna dan meluruskan maksud-maksud Qur'an, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.
Baca juga: Tafsir dan Ta'wil

Adab Mufasir

Adapun Adab ataupun etika harus harus dimiliki oleh seorang Mufassir adalah sebagai berikut:
  1. Berniat baik dan bertujuan benar; sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat. Ini diharapkan agar Allah meluruskan langkahnya dan memanfaatkan ilmunya sebagai buah keikhlasannya. 
  2. Berakhlak Mulia
  3. Taat dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima (oleh khalayak) melalui orang yang mengamalkannya ketimbang dari mereka yang hanya memiliki ketinggian pengetahuan dan kecermatan kajiannya. 
  4. Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan menukilkan tafsir agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
  5. Tawadu’ dan lemah lembut.
  6. Vokal dalam menyampaikan kebenaran.
  7. Berpenampilan baik, berwibawa dan terhormat karena bagian dari memuliakan ilmu yang ada dalam dadanya.
  8. Bersikap tenang dan mantap. 
  9. Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya. 
  10. Menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik. seperti menjelaskan asbabun nuzul dan mengemukakan korelasi dan pertautan di antara ayat-ayat yang demikian bergantung pada susunan kalimat dan konteks.

Petunjuk Ringkas bagi Mereka yang Hendak Memahami dan Menterjemahkan Al-Qur'an Apabila seseorang hendak memahamkan Al-Qur'an, maka hen daklah mengambil sesuatu tafsir yang terpandang, kemudian memperhatikan penafsiran yang diberikan oleh beberapa tafsir lainnya. Sungguh buruk sekali jika kita di dalam memahami sesuatu ayat, berpegang kepada satu tafsir saja, karena dengan demikian mungkin kita memegangi apa yang telah dibantah dengan alasan yang kuat oleh orang lain. 

Dan jika kita hendak menterjemahkan sesuatu ayat maka hendak lah kita perhatikan tafsir lafad ayat yang kita maksudkan agar terjemahan kita tepat seperti yang dimaksud. Lantaran inilah sering kita menemukan terjemahan yang keliru. Kepada pengajar-pengajar tafsir kita anjurkan supaya sebelum mengemukakan tafsir sesuatu ayat, hendaklah memperhatikan tafsir tafsir yang berdasarkan riwayat dan tafsir-tafsir yang berdasar dirayah. 

Jika pengajar itu seorang mahaqqiq, hendaklah ia menerangkan jalan penyahqikannya. Di tanah air kita ini pada umumnya para pelajar mempelajari tafsir seorang mafassir, bukan mempelajari pen-tahqiq-kan dari tafsir tafsir yang telah dikemukakan oleh para muhaqqiqin.

Adapun pembahasan tentang perbedaan ulama dalam kaedah dan pola atas penafsiran Al-qur'an menghasilkan karya dan corak penafsiran yang beragam. Kajian atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran berikut ini:
  1. Metode tahlili,
  2. Metode ijmali (global),
  3. Metode muqaran (komparasi),
  4. Metode maudhu'i (tematik).

Beberapa Istilah Dalam Penafsiran Al-Qur'an

Adapun beberapa Istilah yang Terpakai dalam kaedah Tafsir dan dalam Beristidlal adalah sebagai berikut:

1. Nash ‘Aam (عام)

Nash 'am ialah nash yang memberi pengertian umum. Keumuman petunjuknya kepada lebih dari dua orang, dinamai umum. Kata-kata yang dipandang umum petunjuknya telah dijelaskan oleh ilmu ushul, seperti kata-kata jama', istimewa lagi apabila (dijadikan ma'rifat), dimasukkan lam ta'rif. Dan 'am itu, 'an dengan jalan ithlaq, khas dengan jalan idhafat, seperti lafad al-mu'minun=semua orang yang beriman. Lafad ini 'am terhadap segala orang yang beriman, khas dari segi tidak masuk orang musyrikin.

2. Khash (خاص)

Nash khash ialah nash yang menunjuk kepada yang tertentu, seperti perkataan Ahmad. Dan juga dipandang khas kalimat yang umum dari satu jurusan, menjadi khas dari jurusan yang lain, seperti perkataan mu'minun = orang-orang mukmin.
Dari jurusan ini dinamai ' am. Tetapi perkataan itu memisahkan orang-orang yang tidak beriman, maka dari jurusan ini khash namanya. Tegasnya kata khash ialah kata yang hanya menunjuk kepada satu golongan saja, tidak yang lain. Yakni kata yang tidak mengenai dua benda sekaligus. Mengeluarkan sesuatu yang tadinya masuk ke bawah lingkungan umum dinamai takhshish. Ketentuan petunjuk itu dinamai khushush. Syarat syarat takhshish harus dipelajari baik-baik dalam ilmu Ushul al-Figh.

3. Muthlaq ( مطلق ) 

Nash muthlaq ialah nash yang menunjuk kepada satu saja, tetapi tidak dikaitkan dengan sesuatu pengaitnya. Umpamanya, perkataan seorang budak saja tetapi tidak ditentukan budak yang bagaimana. Dari jurusan tidak dikaitkan, ia menyerupai umum. Tetapi dari jurusan mengenai seorang saja, dinamakan muthlaq. Petunjuk yang demikian dinamai ithloq.


4. Muqayyad ( مقيد ). 

Nash muqayyad ialah nash yang menunjuk kepada satu yang dikait kan dengan sesuatu sifat. Umpamanya, seseorang berkata: "Seorang budak yang beriman", nash ini mengeluarkan budak yang tidak beriman. Bagaimana seharusnya kita beramal apabila kita jumpai satu keterangan yang muthlaq, kemudian kita menemukan yang muqayyad, di terangkan dengan jelas oleh ilmu Ushul al-Figh.


5. Mujmal ( مجمل ) 

Nash mujmal ialah nash yang menunjuk kepada suatu petunjuk yang tidak terang apa yang dikehendaki sebelum datang penafsirannya atau pen-tabyin-annya atau pen-tafsil-annya. Seperti dikatakan dirikanlah shalat. Jenis shalat itu tidak diketahui dan berapa rakaatnya tidak diketahui. Boleh juga dikatakan mujmal itu suatu lafad yang memerlukan tafsir yang jelas.


6. Musykil ( مشكل ) 

Musykil ialah nash yang tersembunyi maknanya dengan suatu sebab pada lafad itu sendiri.

7. Khafy ( خفى ) 

Nash khafy ialah nash yang tidak terang maknanya karena sesuatu hal yang mendatang.


8. Mufassar Mubayyan dan Mufashshal (  مفسر-مبین-مفصل ) 

 Nash mufassar atau mubayyan, ialah nash yang menunjukkan kepada maknanya yang dimaksud dalam susunan kalam atau yang ditafsirkan petunjuknya. Penjelasan maksudnya diperoleh dari dalil lain. Mungkin pada asalnya mujmal lalu ditafsirkan oleh sesuatu dalil lain. Tiga kata ini searti dengan ibarat yang lain boleh kita katakan bahwa mubayyan ialah nash yang mempunyai petunjuk yang terang. ' Mengeluarkan perkataan dari daerah yang tidak terang kepada ge langgang yang terang dan dapat dipahamkan dinamai bayan, tabyin atau ibanah dinamai juga tafsir dan syarah. Juga dinamai mufashshal adalah segala penerangan yang jelas dengan sendirinya. Rupa-rupa bayan Al-Qur'an telah dijelaskan oleh ilmu Ushul al-Figh.

9. Muhham ( محكم ) 

Nash muhkam ialah nash yang tidak memberikan keraguan kepada kita tentang petunjuknya (pengertiannya). Jelasnya, lafad yang menun juk kepada apa yang dimaksud, tidak menerima takwil dan takhshish.


10. Mutasyabih ( متشابه ) 

Nash mutasyabih ialah nash yang musykil kita tafsirkan karena ter dapat kesamaran. Yakni terdapat keserupaannya dengan sesuatu yang lain baik dari jurusan lafadnya maupun dari jurusan maknanya. Maka dari jurusan ini dapatlah dikatakan bahwa perintah nash mutasyabih, dari jihat hukumnya mungkin wajib, mungkin sunnah. Terhadap muhkam dan mutasyabih ada beberapa pendapat ulama:

  1. Muhkam, ialah yang disepakati oleh segala syari'at langit, sedang kan mutasyabih ialah sesuatu yang berlawanan dengan hukum hukum syari'at-syari'at yang telah lalu.
  2. Muhkam, ialah yang me-nasakh-kan sesuatu hukum, sedangkan mutasyabih yang di-mansukh-kan. 
  3. Muhkam, ialah yang dalilnya terang, sedangkan mutasyabih yang hanya diketahui dalilnya oleh orang-orang yang dalam ilmunya. 
  4. Muhkam, ialah yang menerangkan halal dan haram, sedangkan yang mutasyabih adalah yang selainnya.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa segala yang wajib diimani dan di amalkan dinamai muhkam dan segala yang wajib diimani tapi tidak wajib diamalkan adalah mutasyabih. Ada yang berkata: "Segala ayat dipandang mutasyabih, sedangkan yang selainnya dipandang muhkam." Ibnu Hazm berkata bahwa segala huruf yang menjadi permulaan pandang muhkam. surat dan sumpah Al-Qur'an dipandang mutasyabih, yang selainnya.

Referensi:
  1. Pengatar Ilmu Tafsir oleh Hasbi Ash-Shiddiqei
  2. Tafsir Tematik oleh Abdul Hayyi Al-Farmawi
  3. Ulumul Qur'an oleh Manna' Al-Qaththan