Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bagaimana tata cara sujud sahwi

 

Dimanakah letak sujud sahwi?

Dimanakah letak sujud sahwi?

Pertama, sujud sahwi, ditempatkan sesudah salam.

Di antara yang berpendapat demikian ialah 'Ali ibn Abi Thalib, Saad ibn Abi Waqqas, Ammar ibn Yasir, Abdullah ibn Mas'ud, Imran ibn Hushain, Anas ibn Malik, Al-Mughirah ibn Syubah dan Abu Hurairah.

Diantara tabi'in ialah Abu Salamah ibn Abdurrahman Al-Hasanul Bishry, An- Nakha'y, 'Umar ibn Abdil Aziz, Abdurrahman ibn Abi Laila dan As-Saib. Inilah pendapat Ats-Tsaury, Abu Hurairah dan ashhab-nya. Ada diriwayatkan dari Asy- Syafi'y tentang pendapat yang sedemikian ini. Golongan ini ber-hujjah dengan hadits (885) dan hadits-hadits yang menerangkan sujud sahwi sesudah salam.

Kedua, sujud sahwi diletakkan sebelum salam.

Di antara sahabat-sahabat yang berpegang dengan pendapat ini, ialah Abu Sa'id Al Khudry. Demikianlah Madzhab Az-Zuhri, Makhul, ibn Abi Ziyad, Al Auza'y, Al-Laits, Asy-Syafi'y dalam Al-Jadid, ashhab-nya dan kebanyakan fuqaha Madinah menurut riwayat At-Turmudzy. Golongan ini ber-hujjah dengan hadits- hadits yang menerangkan, bahwa Nabi melakukan sujud sahwi sebelum salam.

Ketiga, membedakan antara sujud sahwi karena perbuatan lebih dengan sujud sahwi karena perbuatan kurang.

Untuk sujud sahwi karena perbuatan lebih, dilakukan sesudah salam. Untuk sujud karena perbuatan kurang, dilakukan sebelum salam.

Inilah pendapat Malik dan ashhab-nya, Al-Muzany dan Abu Tsaur. Dan demikian pula menurut suatu pendapat Asy-Syafi'y. Kata Ibnul Abdil Barr: "Dengan cara begini maka kita berpegang kepada semua hadits." Ibnul Arabi berkata: "Pendapat Malik dalam masalah ini lebih kuat."

Keempat, sujud sahwi dikerjakan menurut kenyataan-kenyataan hadits sendiri.

Kelupaan-kelupaan yang tidak di nashkan oleh hadits, kita lakukan sebelum salam. Inilah pendapat Ahmad, Sulaiman, Ibnu Daud dari ashhab Asy-Syafi'y dan Abu Khaisamah. Ibnu Daqiqil Id berkata: "Madzhab ini sesuai dengan Madzhab Malik dari sisi mengamalkan segala hadits yang berkenaan dengan masalah ini, dengan tidak men-tarjih-kan sebagian hadits atas sebagiannya, walaupun cara mengumpulkan hadits-hadits itu berlain-lainan."

Kelima, sujud sahwi dikerjakan menurut kenyataan hadits

Kelupaan-kelupaan yang tidak dinashkan oleh hadits, jika karena kekurangan, sujud sahwinya dikerjakan sebelum salam. Jika karena kelebihan dikerjakan sesudah salam. Demikian pendapat Ishaq ibn Rahawaih menurut hikayat At- Turmudzy.

Keenam, seseorang menyempurnakan shalat yang di dalamnya ada kekurangan karena ragu maka ia melakukan sujud sahwi sebelum salam, mengingat hadits Abu Sa'id (hadits 894 di pembahasan berikutnya). Tetapi kalau karena mencari mana yang lebih benar (atau mencari mana yang lebih diyakini), di waktu timbul keraguan, ia melakukan sujud sahwi sesudah salam, mengingat hadits Ibnu Mas'ud.

Demikianlah pendapat Abu Hatim ibn Hibban. Beliau ini tidak menyamakan antara "mencari mana yang lebih kuat pada persangkaan" dengan "menetapkan yang diyakini." Menurut Ibnu Hibban, mencari mana yang lebih benar ialah apabila seseorang ragu dalam shalatnya, tidak tahu berapa rakaat sudah ia kerjakan, ialah dengan mengingat benar-benar dan menetapkan pendapat yang lebih kokoh di hati. Dan ia melakukan sujud sahwi sesudah salam, mengingat hadits Ibnu Mas'ud. Menetapkan keyakinan, ialah apabila ia ragu tentang sudah dua rakaatkah ia kerjakan atau sudah tiga.

Kalau demikian hendaklah didasarkan atas keyakinan, yaitu yang lebih kurang (sedikit), kemudian shalatnya disempurnakan dan selanjutnya melakukan sujud sahwi sebelum salam, mengingat hadits Abdurrahman ibn Auf dan Abu Sa'id. Membedakan antara mencari mana yang lebih benar dengan menetapkan yang diyakini, itulah pendapat Ahmad, menurut penegasan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tahmid. Asy-Syafi'i, Daud dan Ibnu Hazm menyatakan: "Mencari yang lebih benar, itulah menetapkan keyakinan." Beginilah pendapat jumhur, menurut An-Nawawy."

Ketujuh, orang yang lupa, boleh memilih antara melakukan sujud sahwi sebelum salam dengan melakukan sujud sahwi sesudah salam, baik karena lebih rakaatnya ataupun karena kurang.

Demikianlah pendapat Ali menurut hikayat Ibnu Abi Syaibah. Dan demikian pula pendapat Asy-Syafi'y, menurut riwayat Ar-Rafi'i. Juga demikian pendapat Ath-Thabary menurut riwayat Al-Mahdi dalam kitab Al-Bahar. Dalil mereka ini, ialah mengingat bahwa Nabi pernah melakukan sujud sebelum salam dan pernah juga melakukan sujud sesudah salam. Lantaran itu kedua-duanya sunnah.

Kedelapan, sujud sahwi semuanya dilakukan sesudah salam, terkecuali pada dua tempat saja, yaitu: karena lupa ber-tasyahhud awal dan karena tidak mengetahui berapa rakaat shalat itu sudah dikerjakan, tiga atau empat, lalu ditetapkan atas yang sedikit. Pada dua tempat ini boleh dikerjakan sujud sahwi sebelum salam dan boleh pula sesudah salam.

Beginilah pendapat Ahluzh Zhahir dan ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm. Menurut riwayat An-Nawawy dalam syarah Muslim, bahwa Daud ber- pendapat, hendaklah hadits-hadits itu diamalkan di tempatnya masing-masing.

Al-Qadhi Iyadh dan segolongan Madzhab Asy-Syafi'y berkata: "Tidak ada perbedaan paham antara para ulama yang berselisih itu, bahwa melakukan sujud sahwi sebelum salam ataupun sesudahnya, baik karena lebih ataupun karena kurang, itu sudah dianggap cukup dan shalatnya tidak rusak (batal). Mereka hanya memperselisihkan tentang mana yang lebih utama."

Al-Hafizh berkata: "Al-Baihaqy men-tarjih-kan pembedaan dalam sujud sahwi antara sebelum salam dan sesudahnya. Dinukilkan oleh Al-Mawardy dan yang lain, bahwa para ulama telah ber-ijma' tentang kebolehan kedua-duanya. Perselisihan mereka, hanyalah tentang mana yang lebih utama. Dalam pada itu Imamul Haramain dalam kitab An-Nihayah menukilkan perselisihan paham tentang kebolehan salah satunya dan tentang sahnya. Imamul Haramain condong kepada pendapat yang tidak membolehkan diletakkan mana saja. Al-Qurthuby juga menukilkan perselisihan paham dalam Madzhab Maliki. Menurut pendapat Al- Qaduri, bahwa sebagian ulama Hanafiyah, tidak mensahkan sujud sahwi sebelum salam. Akan tetapi pengarang Al-Hidayah menerangkan, perselisihan ulama terjadi dalam hal mana yang lebih utama.

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny berkata: "Barangsiapa meninggalkan sujud yang sebelum salam dengan disengaja batal shalatnya."

An-Nawawy berkata: "Menurut pendapat Al-Mazari, para ulama berselisihan tentang cara mengamalkan hadits-hadits yang berkenaan dengan sujud sahwi.

Daud berkata tentang tidak bolehnya meng-qiyas-kan yang selainnya kepada hadits-hadits itu: "Hadits-hadits itu harus diamalkan di tempatnya masing-masing menurut keadaannya sendiri-sendiri." Ahmad berpendapat, supaya sujud Sahwi itu dilakukan sebelum salam. 

Para ulama yang mempergunakan qiyas berselisih paham. Sebagian mereka berkata: "Kita boleh memilih mana yang kita sukai dalam segala rupa bentuk lupa, yakni boleh melakukan sujud sesudah salam, boleh juga sebelumnya, baik karena lebih maupun karena kurang." 

Abu Hanifah berkata: "Asal-asal sujud sahwi adalah sesudah salam." Beliau mengembalikan segala hadits, kepada pemahaman ini." 

Asy-Syafi'y berkata: "Asal-asal sujud sahwi itu adalah sebelum salam dan beliau mengembalikan segala hadits kepada pemahaman ini." 

Malik berkata: "Kalau lupa mengerjakan lebih, hendaklah dia sujud sesudah salam." Demikian uraian Al-Mazari menurut nukilan An-Nawawy.

Madzhab yang paling kuat dalam masalah ini (menurut An-Nawawy) ialah Madzhab Malik, sesudah itu Madzhab Asy-Syafi'y. Sebenarnya Asy-Syafi'y mempunyai pendapat yang serupa dengan pendapat Malik. Apabila kita berpegang kepada pendapat Malik, maka apabila dalam shalat berkumpul dua kelupaan, lebih dan kurang, hendaklah kita melakukan sujud sesudah salam. 

Jumhur ulama berkata: "Jika terjadi dua kelupaan, cukuplah dua sujud saja." Demikianlah pendapat Malik, Asy-Syafi'y, Abu Hanifah, Ahmad dan jumhur tabi'in.

Al-Hafizh berkata: "Para ulama berselisih paham tentang hukum sujud sahwi." Golongan Syafi'iyah berkata: "Sunnat semuanya."

Ulama Malikiyah berpendapat, sujud karena kurang, hukumnya wajib; apabila karena lebih, maka tidak wajib. Ulama Hambaliyah, membedakan antara wajib, yang bukan rukun. Meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan, tetapi bukan rukun, wajib dilakukan sujud sahwi apabila ditinggalkan karena lupa seperti tasyahhud awal. Meninggalkan yang sunnah, tidak wajib. Juga wajib sujud sahwi, karena terjadi kekurangan, atau kelebihan yang membatalkan shalat jika disengaja. 

Ulama Hanafiyah mewajibkan semuanya. Mereka ber-hujjah dengan hadits: tsumma sajada sajdataini = kemudian Nabi melakukan sujud dua sujud, yakni sesudah salarn dari shalat. Mereka berkata: "Telah ditetapkan bahwa perbuatan Nabi mengenai shalat, dikaitkan dengan hukum yang wajib. 

Maka bayanul wajib, wajibun (segala yang menjadi penerang atau tata cara mengerjakan sesuatu yang diwajibkan, wajib juga hukumnya), terutama Nabi sendiri telah bersabda: Shallû kamā ra'aitumûnî ushalli (shalatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku shalat)."

Ibnu Hajar berkata: Sujud sahwi, tidak dilakukan berulang-ulang, walaupun yang terlupakan dalam suatu shalat berulang-ulang. Dalam pada itu, Al-Auza'y sendiri mengharuskan kita mengulangi sujud. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari An-Nakha'y dan Asy-Sya'bi, bahwa beliau-beliau itu berkata: Inna li kulli sahwin sajdataini bahwa bagi tiap-tiap kelupaan, ada dua sujud.

kulli sahwin sajdataini bahwa bagi tiap-tiap kelupaan, ada dua sujud.

Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dari Aisyah, bahwa dua sujud sahwi, mencukupi untuk segala kelebihan dan kekurangan.

Referensi Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-2 Bab Hukum Seputar Sujud Sahwi Masalah Sujud Sahwi Karena Terjadi Kekurangan Dalam Shalat