Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Shalawat Pada Tasyahhud Akhir

Hadits Shalawat Kepada Nabi Pada Tasyahhud

MEMBACA SHALAWAT KEPADA NABI PADA DUDUK TASYAHHUD

763) Ibnu Mas'ud ra, berkata:

اَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ ﷺ وَنَحْنُ فِي مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ : أَمَرَنَا اللهُ أَنْ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ، فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ؟ فَسَكَتَ رَسُولُ اللهِ ﷺ حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلُهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ الله ِقُوْلُوْا: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اَل إِبْرَاهِيْمَ, وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ وَالسَّلامُ كَمَا قَدْ عَلِمْتُمْ.
"Rasulullah saw. datang kepada kami, sedang kami duduk di majelis Sa'ad ibn Ubaidah. Maka Basyir ibn Sa'ad bertanya kepada Rasul: "Ya Rasulullah; Tuhan memerintahkan kami bershalawat untuk engkau. Bagaimana kami bershalawat untuk engkau ya Rasulullah?" Maka Nabi berdiam diri, tidak menyahut. Karena itu kami yang hadir memandang, alangkah bagusnya kalau hal itu tidak ditanyakan. Setelah sesaat lamanya Nabi berdiam diri, barulah Nabi berkata: "Bacalah: Allâhumma shalli alâ Muhammad wa 'ala ali Muhammad kama shallaita 'ala ali Ibrahim. Wa barik 'ala Muhammad, wa'ala ali Muhammad, kama barakta 'ala ali Ibrahim, innaka hamidun majid." (HR. Ahmad, Muslim, An-Nasa'y, dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 449)

764) Ka'ab ibn Ujrah ra. berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ قَدْ عَلِمْنَا أَوْ عَرَفْنَا، كَيْفَ السَّلَامُ عَلَيْكَ فَكَيْفَ الصَّلاةُ عَلَيْكَ؟ قَالَ: قُوْلُوْا: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ أَنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
"Kami para sahabat bertanya kepada Rasul: "Ya Rasulullah! Kami telah mengetahui lafazh salam yang kami ucapkan untukmu, maka bagaimanakah kami bershalawat untukmu?" Nabi menjawab: Bacalah "Allahumma shalli alâ Muham mad wa 'ala ali Muhammad kama shallaita 'alâ âli Ibrahim, innaka hamidun majid. Allahumma barik 'ala Muhammad wa 'alâ âli Muhammad, kama barakta 'ala âli Ibrahim innaka hamidun majid." (HR. Al-Jama'ah, selain dari At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 449)

765) Fadhalah ibn Ubaid ra. berkata:

سَمِعَ النَّبِيُّ جَاءَ رَجُلاً يَدْعُو فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ عَجَّلَ هَذَا ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْلِغَيْرِهِ: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ (فَلَيْبْدَأْ) بِتَحْمِيْدِ اللهِ وَالثَّاءِ عَلَيْهِ، ثُمَّ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ ثُمَّ يَدْعُ بَعْدُ مَا شَاءَ.
"Rasulullah saw. mendengar seorang berdoa dalam shalat dengan tidak mendahulukan shalawat untuk Nabi atas doanya. Karena itu Nabi memanggil orang tersebut; lalu berkata kepadanya (kepada seseorang yang lain): "Apabila seseorang shalat (dan ingin berdoa di dalamnya), hendaklah memulai doanya dengan memuji Allah dan menyanjungnya. Sesudah itu, bershalawat kepada Nabi. Sesudah itu barulah ia doakan apa yang ia kehendaki." (HR. At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 451)

SYARAH HADITS

Hadits (763) diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, An-Nasa'y dan At-Turmudzy. At-Turmudzy menyatakan shahih. Di dalam riwayat Ahmad yang lain terdapat perkataan "Bagaimana kami bershalawat untuk engkau apabila kami membaca dalam shalat? "Juga hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daraquthny.

Ad-Daraquthny meng-hasan-kannya. Al-Hakim dan Al-Baihaqy meriwayat- kan juga hadits ini serta men-shahih-kannya dengan tambahan "annabiyyil ummiyyi" sesudah perkataan "ala Muhammad." Abu Daud menambah perkataan "fil 'alamina" se- sudah perkataan "wa 'ala ali Ibrahima" Lafazh An-Nasa'y berbunyi: "Allahumma shalli alâ Muhammad kama shallaita'ala Ibrahima wa âli Ibrahima innaka hamidun majid. Wa barik 'ala Muhammad wa ali Muhammad kamâ bârakta alâ Ibrahima wa âli Ibrâhîm innaka hamidun majid." Lafazh ini diriwayatkan dari jalan Thalhah ibn Ubaidillah. Menurut riwayat Al-Bukhary, An-Nasa'y, Ibnu Majah dari Abu Sa'id berbunyi: "Allahumma shalli 'ala Muhammad 'abdika wa rasûlika, kama shallaita 'ala Ibrahimawa barik 'ala Muhammad wa ali Muhammad kamā bārakta alâ Ibrahima wa ali Ibrahima."

Menurut riwayat Ahmad dari Buraidah: "Allahummaj'al shalawatika wa barakatika 'ala Muhammad wa âli Muhammad kama ja'altaha 'alâ âli Ibrahima innaka hamidun majid." Riwayat ini sangat lemah kedudukannya.

Riwayat Ahmad dan An-Nasa'y dari Zaid ibn Kharijah berbunyi: "Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'alâ âli Muhammad." Menyatakan bahwa bershalawat sesudah tasyahhud, adalah wajib.

Hadits (764) diriwayatkan oleh Al-Jama'ah, hanya At-Turmudzy menyebut perkataan "ala Ibrahima", bukan "ali Ibrahima", di kedua tempat. Hadits ini me- nyatakan bahwa perintah bershalawat itu datang sesudah ber-tasyahhud. Juga menyatakan bahwa bershalawat itu wajib.

Hadits (765) diriwayatkan oleh At-Turmudzy, dan dikatakannya shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa'y, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim. Hadits ini menyatakan bahwa syara' mensyariatkan kita mendahulukan shalawat atas doa untuk menjadi wasilah bagi diterimanya doa. 

Hadits ini menyatakan pula bahwa shalawat itu fardhu, mengingat bunyi perintah Nabi. Para ahli ilmu memahamkan, bahwa shalawat itu tidak fardhu, mengingat Nabi tidak menyuruh orang yang shalat tidak membaca shalawat, sebelum berdoa, mengulangi shalatnya.

'Umar, 'Abdullah ibn 'Umar, Ibnu Mas'ud, Jabir ibn Zaid dari golongan sahabat, Asy-Sya'by, Muhammad ibn Ka'ab, Al-Qadhi, Abu Ja'far Al-Baqir, Asy-Syafi'y. Ahmad, Ishaq, Ibnu Mauwaz, menetapkan, bahwa membaca shalawat sesudah tasyahhud, adalah wajib. Pendapat ini dipilih Abu Bakar, Ibnul 'Arabi dari ulama Malikiyah.

Jumhur ulama yang lain mengatakan, bahwa shalawat sesudah tasyahhud, tidak wajib. Di antara yang berpendapat begini, Abu Hanifah, Malik, Ats-Tsaury, Al-Auza'y. Berkatalah Ath-Thabary dan Ath-Thahawy: "Seluruh ulama mutaqaddimin dan muta'akhkhirin, tidak mewajibkannya." Sebagian ulama berkata: yang mewajibkan shalawat sesudah tasyahhud, ialah Asy-Syafi'y sendiri dan pendapatnya itu terkemudian dari pada ijma' yang tidak mewajibkan. Masing-masing golongan ini punya dalil.

Tentang shalawat kepada keluarga Nabi sesudah tasyahhud

Ahmad Ibnu Hambal dan sebagian ulama Syafi'iyah mewajibkannya. Mereka ini berdalil dengan hadits-hadits yang menyuruh kita membacakan shalawat yang di dalamnya terdapat shalawat untuk keluarga Nabi.

Asy-Syafi'y dalam salah satu pendapatnya, juga Abu Hanifah dan ashab-nya menetapkan bahwa bershalawat untuk keluarga Nabi, sunnat hukumnya. An-Nawawy berkata, telah berijma' para ulama menetapkan, bahwa shalawat kepada keluarga Nabi, tidak wajib. Ijma' ini menjadi qarinah untuk memalingkan perintah shalawat kepada keluarga Nabi, dari wajib kepada sunnat.

Pentahqiqan beberapa muhaqiq (ahli tahqiq)

Masalah ini telah ditahqiqkan oleh beberapa muhaqiq. Di bawah ini kami paparkan pentahqigan itu, Ibnul Qayyim dalam Jala'ul Afham berkata: "Hadits Fadhalah ibn Ubaid di- riwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud. Lafazh yang tersebut itu menurut riwayat Abu Daud. 

Juga diriwayatkan oleh At-Turmudzy dan An-Nasa'y dengan menetapkan bahwa hadits ini shahih. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. 

Telah bermufakat seluruh ulama Islam tentang diperintahkan kita membaca shalawat untuk Nabi. Hanya mereka memperselisihkan tentang wajibnya dalam shalat. Segolongan ulama berkata: "Bershalawat dalam shalat, tidak wajib. Golongan ini berpendapat, bahwa paham mewajibkan shalawat, adalah syadz dan menyalahi ijma'. 

Di antara yang berpendapat demikian, adalah Ath-Thahawy dari golongan Hanafiyah, Al-Qadhi Iyadh dari golongan Malikiyah dan Al-Khaththaby dari golongan Syafi'iyah. Al-Khaththaby berkata: "Bershalawat dalam shalat, tidak wajib. Itulah pendapat golongan fuqaha, terkecuali Asy-Syafi'y,"

Saya tidak tahu apa pegangan Asy-Syafi'y itu. Ibnu Mundzir berpendapat, tidak sunnat juga. Bahkan beliau berkata: "Hanya Asy-Syafi'y sendiri yang mewajibkan itu." Ibnul Mundzir berkata: "Shalawat itu tidak terdapat dalam bunyi tasyahhud yang dihafal, yang sebagiannya diajarkan diatas mimbar sebagai orang mengajar anak-anak kecil layaknya." 

Sebagian perawi berkata: "Sesudah kamu membacakan tasyahhud, berartilah telah sempurna shalatmu." Kalau kamu mau bangun, bangunlah dan kalau kamu mau duduk, duduklah."

Untuk menolak alasan yang dipegang oleh golongan yang tidak mewajibkan, Ibnul Qayyim berkata: "Paham tidak mewajibkan itu telah dibantah oleh beberapa ulama berdasarkan naql (nash) dan 'agl (akal)." Golongan yang membantah berkata: "Tuan-tuan mengatakan bahwa Asy-Syafi'y dan yang sepaham dengan beliau, memegang paham yang syadz dan menyalahi ijma' dalam masalah ini."

Hal ini, tidak benar, karena bukankah segolongan sahabat besar mewajibkan- nya? Ibnu Mas'ud pernah berkata: "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak bershalawat untuk Nabi di dalamnya." Perkataan Ibnu Mas'ud ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab At-Tamhid. Di antara sahabat yang mewajibkan pula Abu Mas'ud Al-Badri. 

Diriwayatkan oleh 'Utsman ibn Abi Syaibah, bahwa Abu Mas'ud berkata: "Saya tidak berpendapat bahwa shalat telah sempurna, kalau tidak saya bershalawat untuk Muhammad dan keluarganya." Di antaranya lagi Abdullah ibn 'Umar. Nafi' pernah berkata: "Ibnu Umar berfatwa, bahwa tidak ada shalat kalau tidak ada qira'ah (Al-Fatihah), tasyahhud dan shalawat kepada Nabi." 

Di antara para tabi'in yang berpendapat demikian ialah: Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali asy-Sya'by, Muqatil ibn Hai. Dan di antara ulama yang mempunyai mazhab yang diikuti, ialah: Ishaq ibn Harawaisi. Beliau berkata: "Jika ditinggalkan shalawat dengan sengaja, maka shalat itu tidak sah. Jika ditinggalkan shalawat lantaran lupa, maka saya harapkan shalatnya sah."

Dari Imam Ahmad diperoleh beberapa riwayat. Menurut riwayat kitab Masa'il Al-Marwazy, pernah orang menerangkan kepada Ahmad, bahwa Ishaq membatalkan shalat yang tidak dibaca shalawat. Dan orang itu menanyakan pendapat Ahmad. Ahmad menjawab: "Saya tidak berani mengatakan demikian." Tetapi dalam Masail, Abu Zur'ah ad-Dimasyqi, Ahmad berkata: "Saya dahulu tidak berani mewajibkan shalawat dalam shalat, tetapi kemudian nyatalah kepada saya, bahwa shalawat itu wajib."

Riwayat ini menegaskan, bahwa Ahmad telah surut dari pahamnya yang semula. Menetapkan bahwa para salaf dahulu tidak bershalawat dalam shalat, juga salah. Bukankah mereka dari abad-ke abad, dari masa-kemasa, terus-menerus bershalawat kepada Nabi di akhir tasyahhud? Bukankah yang demikian itu dilakukan oleh yang menjadi imam, yang menjadi makmum, yang shalat sendiri, yang shalat fardhu, dan yang shalat sunnah? 

Mengatakan, bahwa ahli ijma' telah me netapkan, tidak wajibnya shalawat, juga keliru. Bukankah yang tidak mewajibkan itu, hanya Malik dan Abu Hanifah? 

Paling tinggi kita hanya dapat mengatakan, banyak ulama tidak mewajibkan, Golongan yang tidak mewajibkan, ditantang oleh banyak ulama yang mewajibkan. Sesungguhnya, yang benar dalam hal ini, ialah paham Asy-Syafi'y, yaitu bahwa shalawat itu, wajib dalam shalat, dalam tasyahhud pertama dan kedua. Hanya dalam tasyahhud pertama dibaca yang seringkas-ringkasnya supaya jangan sama lama waktunya dalam tasyahhud itu.

Ash-Shan'any berkata: "Dalil yang diperoleh dalam shalwat ini membukti- kan, bahwa shalawat untuk keluarga Nabi, juga wajib. Inilah pendapat Al-Hadi, Al-Qasim dan Ahmad. Sesungguhnya tidak ada uzur bagi mereka yang mewajibkan shalawat untuk Nabi, yang berdalil dengan hadits ini, dan mengatakan wajibnya shalawat untuk keluarga Nabi; mengingat bahwa perintah itu mengandung kedua-duanya (shalawat untuk Nabi dan shalawat untuk keluarga).

Perkataan An-Nawawy dan lain-lainnya, bahwa telah terjadi ijma', bahwa shalawat untuk keluarga Nabi hanya mandubah atau sunnat, tidak dapat kita terima. Kami berpendapat bahwa shalawat kepada Nabi tidak sempurna dan belum dipandang kita memenuhi perintah sebelum mengucapkan lafazh yang Nabi ajarkan, yang di dalamnya disebut shalawat untuk keluarga. Orang yang bertanya kepada Nabi berkata: "Betapa kami membaca shalawat untukmu." Maka Nabi menjawab dengan susunan lafazh yang terdapat dalam hadits. 

Karena itu, orang yang tidak bershalawat untuk keluarga, berarti belum bershalawat seperti yang disuruh. Juga orang yang meninggalkan ucapan "kama shallaita ...... hingga akhirnya, berarti tidak memenuhi perintah." Membeda-bedakan lafazh shalawat dengan cara mewajibkan sebagian dan menyunnatkan sebagian, tidak berdalil sedikit juga. 

Kata An-Nawawy dalam Al-Majmu", seyogianya kita mengumpulkan lafazh-lafazh shalawat yang terdapat dalam hadits-hadits shahih. Maka hendaklah kita bacakan "Allahumma shalli 'ala Muhammadinin nabiyyil ummiyyi wa 'ala ali Muhammad wa azwa- jihi, wa dzurriyyatihi, kamā bârakta 'ala Ibrahima wa 'alâ âli Ibrâhîma fil 'âlamîna innaka hamidun majid."

Al-Iraqy berkata: "Masih ada ketinggalan dari himpunan shalawat ini, lima lafazh lagi. Untuk melengkapi yang ketinggalan itu hendaklah kita bacakan: "Allahumma shalli alâ Muhammad, 'abdika wa rasûlika nabiyyil ummiyyi wa 'ala ali Muhammad wa azwajihi ummahâtil mu'minina wa dzurriyyatihi wa ahli baitihi kamâ shallaita 'ala Ibrâ- hima wa 'ala ali Ibrahima innaka hamidun majid. Allahumma barik 'ala Muhammadinin nabiyyil ummiyyi wa 'ala ali Muhammad wa azwajihi wa dzurriyyatihi kamâ bârakta ‘alā Ibrahima wa 'alâ âli Ibrahima fil 'alamina innaka hamidun majid." Tambahan-tambahan yang disebut Al-Iraqy ini, memang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih. Ada lagi beberapa tambahan yang terdapat dalam hadits-hadits yang lain dari yang disebutkan di atas. Akan tetapi sanad-sanad hadits itu, dha'if.

Sebagian ulama muta'akhkhirin berpendapat, bahwa sangat bagus lafazh- lafazh itu dikumpulkan dalam suatu ucapan. Pendapat ini lemah, berdasarkan beberapa alasan:

Pertama, mengumpulkan itu suatu cara baru, yang tidak Nabi lakukan, bahkan tidak dilakukannya oleh imam mazhab yang terkenal.

Kedua, kalau kita pegangi kaidah mengumpulkan itu, lazimlah kita menyunnatkan para mushalli mengumpulkan segala macam doa iftitah dalam suatu dzikir dalam i'tidal dalam suatu rangkaian; segala lafazh tasyahhud dalam suatu rangkaian bahkan kita menyunnatkan seseorang membaca Al-Fatihah dengan mengumpulkan segala rupa qira'ah. Padahal sudah jelas diketahui bahwa yang demikian itu, tidak difatwakan oleh seseorang ulama pun. Menurut pentahqiqan kami, hendaklah dibaca masing-masing shalawat menurut riwayat-riwayatnya. Ketika meringankan, kita mengambil lafazh yang ringan dan ketika memanjangkan, kita ambil lafazh yang panjang.

Sesungguhnya urusan-urusan ta'abbudi (urusan-urusan 'ibadah) baik berupa ucapan, maupun bukan, tidaklah-boleh kita tambah-tambah dengan didasarkan kepada akal. Lafazh-lafazh shalawat yang Nabi anjurkan kepada sahabatnya dan yang para sahabat ucapkan dan yang dinukilkan umat, menegaskan, bahwa per- kataan: "sayyidina" sebelum kata Muhammad dan sebelum kata Ibrahim, tidak terdapat dalam riwayat-riwayat itu; dan tidak diucapkan. Karena itu menambah perkataan, "sayyidina" dalam shalawat, bid'ah hukumnya. Kita akui dengan tidak ragu-ragu bahwa Muhammad adalah penghulu kita pengulu anak Adam, bahkan penghulu segala makhluk.

Menyunnatkan saja shalawat dengan alasan bahwa Nabi tidak menyuruh mengulangi shalat orang yang berdoa sebelum bershalawat, tidak dapat dibenarkan; karena hadits itu tidak tegas menerangkan, bahwa orang tersebut meninggal- kan shalawat samasekali. Hanya menerangkan, bahwa orang itu berdoa sebelum bershalawat. 

Maka Nabi mengajarkan kepadanya tertib doa, yaitu: mendahulukan puji, sesudah itu shalawat dan kemudian doa. Menurut lahir hadits, orang itu selesai bertasyahhud atau bertahiyyat yang dapat dipandang pujian kepada Tuhan, terus saja berdoa. Merusakkan tertib ini tidak membawa kepada batalnya shalat, walaupun nyata tidak bagusnya."

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy  Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Sifat-sifat Shalat Masalah Membaca Shalawat Kepada Nabi Pada Duduk  Tasyahhud