Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tata Cara Shalat Di Atas Kenderaan

SHALAT FARDHU DI ATAS KENDARAAN

SHALAT FARDHU DI ATAS KENDARAAN

571) Ya'la ibn Murrah ra, menerangkan:

اِنَّ النَّبِيَّ اِنْتَهَى إِلَى مَضِيْقٍ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ وَالسَّمَاءُ مِنْ فَوْقِهِمْ، وَالْبَلَّةُ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ فَحَضَرَتِ الصَّلاةُ فَأَمَرَ الْمُؤَذِّنُ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ، ثُمَّ تَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى رَاحِلَتِهِ فَصَلَّى بِهِمْ يُوْمِى ءُ إِيْمَاءً يَجْعَلُ السُّجُودَ اَخْفَضَ مِنَ الرُّكُوْعِ

"Bahwasanya Nabi saw, pada suatu hari berhenti beserta para Sahabatnya di suatu tempat yang sempit. Beliau duduk di atas kendaraan, hujan sedang turun dengan lebatnya dan tanah pun basah. Di ketika telah datang waktu, beliau menyuruh muazin beradzan. Setelah muazin beradzan dan berigamat, majulah beliau dengan kendaraannya ke muka, lalu shalat diikuti oleh para Sahabat. Beliau mengisyaratkan rukuk dan sujudnya dan beliau menjadikan sujud lebih rendah dari rukuk." (HR. Ahmad, dan At-Turmudzy, Al-Muntaqa 1: 326)

574) Amir ibn Rabi'ah ra. berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ

"Aku melihat Rasul saw. shalat di atas untanya. Beliau menghadap ke mana untanya menghadap." (Al-Bukhary dan Muslim, Bulughul Maram: 43)

SYARAH HADITS

Hadits (73), diriwayatkan juga oleh Ad-Daraquthni dari An-Nasay. At-Turmudzy mengatakan, "Hadits ini gharib." Hanya 'Umar ibn Ar-Rimah saja yang meriwayatkan. Daripadanya, banyak ahli ilmu yang meriwayatkan. Asy-Syaukani mengatakan. "

Hadits ini telah dishahihkan oleh Abdul Haq Al-Asybili dalam Ahkam dan dipandang hasan oleh An-Nawawy, walaupun Al-Baihaqi mendha'ifkannya." Hadits ini menyatakan, bahwa shalat fardhu di atas kendaraan dibolehkan.

Hadits (674), Al-Bukhary menambahkan, bahwa Nabi mengisyaratkan dengan kepalanya Nabi tidak menjadikan bahwa yang demikian adalah shalat fardhu." Hadits ini menyatakan, kebolehan shalat sunnat di atas kendaran, kemana pun kendaraan tersebut menghadap.

Sebagian ahli fiqh menetapkan, shalat fardhu sah dikerjakan di atas punggung unta dan sebagainya, seperti sahnya shalat di dalam perahu, berdasarkan ijma'. Asy-Syafi'y memandang shalat di atas punggung unta sah, dengan beberapa syarat. Umpamanya, tidak membelakangi kiblat.

Dihikayatkan oleh An-Nawawy dalam Syarah Muslim dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, seluruh ulama menetapkan bahwa shalat fardhu tidak sah dengan tidak menghadap kiblat. Kemudian Ibnu Hajar mengatakan, "Dibolehkan tidak menghadap ke arah kiblat jika hanya dalam keadaan sangat takut."

An-Nawawy mengatakan pula "Jika dapat menghadap kiblat, berdiri, rukuk dan sujud di atas binatang yang sedang berhenti, yang mempunyai tempat duduk, maka shalat fardhu yang dikerjakan di atasnya sah. Tetapi jika binatang tersebut berjalan, tidak sah mengerjakan shalat fardhu di atasnya. 

Demikian menurut ke- tentuan Asy-Syafi'y. Ada juga yang mengatakan sah, karena disamakan hukumnya dengan shalat di atas perahu. Pengikut Asy-Syafi'y mengatakan, hendaklah shalat fardhu dikerjakan di atas kendaraan seberapa yang dapat dan lazim diulangi."

At-Turmudzy mengatakan, "Ahmad, Ishak memperbolehkan shalat fardhu di atas kendaraan apabila tidak diperoleh tempat untuk menunaikan fardhu di daratan." Diriwayatkan dari Anas ibn Malik, bahwa beliau pernah shalat di atas kendaraan, karena turun hujan dan tanah pun becek.

Pengarang Al-Khulashah (dari ulama Hanafiyah) mengatakan, boleh shalat fardhu di atas binatang (kendaraan), karena udzur. Dengan cacatan, hendaklah orang yang shalat berdiri di atasnya dengan menghadap kiblat dan shalat dengan cara memberi isyarat, jika mungkin menghentikan binatang (kendaraan) itu. Jika tidak mungkin, boleh shalat dengan menghadap ke mana saja, walaupun membelakangi kiblat. 

Pengarang Fat-hul Alam mengatakan, "Hukum shalat fardhu di kereta api, motor, kapal terbang dan sebagainya, diperdebatkan ulama Syafi'iyah, seperti halnya hukum shalat dalam kapal (yakni wajib berdiri jika sanggup dan mesti menghadap kiblar), menurut pendapat ulama-ularna Hanafiyah, hukumnya disamakan dengan orang yang shalat di atas unta."

Shalat sunnat di atas kendaraan

An-Nawawy mengatakan, "Ulama telah ijma' tentang kebolehan musafir shalat sunnat di atas kendaraan. Mereka hanya berbeda pendapat tentang kebolehan shalat sunnat di atas kendaraan di dalam kampung. Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah, Abu Said Al-Ishtakhri dari golongan Syafi'iyah, memperbolehkan. Demikian juga pendapat Ahluzh Zhahir. Jumhur ulama tidak memperbolehkan shalat sunnat di atas kendaraan unta ketika masih berada di kampungnya."

Ibnu Hazm mengatakan, "Kebolehan shalat sunnat di atas binatang (kendaraan) dengan menghadap kemana saja, diterima dari Waki', Syufyan, Saghur ibn Hasyim dan Ibrahim An-Nakha'y. Mereka semua shalat sunnat di atas kendaraan, di mana saja kendaraan-kendaraan itu menghadap. Hal tersebut diriwayatkan dari Sahabat dan Tabi'in yang pernah melakukannya di dalam perahu dan safar.

Asy-Syafi'y mengatakan, "Boleh shalat sunnat di atas kendaraan, perahu, atau safar, baik yang memperbolehkan qasar ataupun tidak." Malik mengatakan, "Tidak boleh shalat sunnat di atas kendaraan dengan menghadap kemana saja, kecuali dalamn safar yang memperbolehkan qasar shalat." 

Ash-Shan'ani mengatakan, "Lahir hadits ini menyatakan kebolehan menghadap ke mana saja dalam shalat sunnat untuk orang yang naik kendaraan. Orang yang berjalan kaki, tidak diterangkan hukumnya."

Segolongan ahli ilmu berpendapat boleh, karena diqiyaskan kepada penug- gang kuda, hendaklah ia menghadap kiblat dalam rukuknya, dan sujudnya dan menyempurnakannya, dan boleh juga berjalan ketika membaca fatihah dan tasyahhud, Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berjalan dalam i'tidal dari rukuk. Adapun dalam duduk antara dua sujud, mereka tidak memperbolehkan berjalan, wajib duduk.

Lahir perkataan, "Nabi shalat ke mana saja kendaraan itu menghadap," memberikan arti bahwa Nabi tidak i'tidal (tiada tegak menghadap berdiri kiblat), tidak di permulaan shalat dan tidak pula di pertengahannya. 

Akan tetapi ada hadits yang meriwayatkan Abu Daud menyatakan bahwa Rasulullah bila shalat sunnat dalam safar, beliau menghadapkan untanya ke kiblat lalu bertakbir, sesudah itu baru shalat di mana kendaraan itu menghadap. 

Menurut riwayat ini, kita disuruh meng- hadap kiblat ketika takbiratul ihram saja. Apabila hadits ini dikumpulkan dengan hadits di atas, kesimpulannya ialah boleh shalat di atas kendaraan (binatang) dengan menghadap ke mana saja, asal ketika bertakbir menghadap kiblat. 

An-Nawawy dalam Syarah Muhadzdzab mengatakan, "Disyaratkan takbir ke arah kiblat adalah jika mudah memutarkan binatang (kendaraan) ke arahnya. Jika tidak mudah, tidak disyaratkan. Pendapat ini dikuatkan Al-Qadhi Abuth Thayyib."

Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla mengatakan, "Seseorang boleh shalat sunnat sambil berbaring tanpa udzur, asal menghadap kiblat. Boleh baginya shalat sunnat sambil mengendarai kendaraan (unta), walaupun kendaraannya menghadap ke mana saja, ke kiblat ataupun tidak, dalam kampung ataupun safar." Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa' dari Jabir, bahwa Rasullullah saw. pernah shalat sunnat di atas kendaraan yang sedang menghadap kiblat.

Ibnu Hazm mengatakan, "Tidak ada keterangan yang memperbolehkan shalat sunnat sambil berjalan kaki. Apabila seseorang shalat sunnat di atas kendaraan, hendaklah rukuk dan sujudnya diisyaratkan, yakni menundukkan sedikit badan- nya, untuk sujud lebih rendah dari pada untuk rukuk (tidak perlu dahinya terletak ke tempat sujud)."

Tidak dibolehkan shalat fardhu sambil berjalan, melainkan dalam keadaan yang menakutkan saja. Barangsiapa shalat fardhu di atas kendaraan, tandu atau gajah, ia wajib berdiri jika mungkin.

Shalat di tanah rampasan

Ahli fiqh berbeda pendapat tentang hukum shalat di tanah rampasan. Asy- Syafi'y dalam salah satu riwayatnya dan Ahmad berpendapat, bahwa shalat di tanah rampasan tidak sah. Ahluzh Zhahir juga berpendapat demikian. Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi'y dalam satu riwayat yang lain mensahkannya, karena larangan shalat di tanah rampasan, tidak menjadi salah satu syarat sahnya shalat. Karena itu, shalat yang dikerjakan di tanah rampasan adalah sah.

Ahmad mengatakan, "Shalat adalah ibadah. Shalat di tempat yang dirampas, berarti melakukan ibadah dengan cara yang dilarang yang menyebabkan shalat tidak sah, seperti halnya shalat perempuan yang sedang haid. Cegahan ini menjadikan haram. Karena demikian, tidak dapat dikatakan, bahwa orang yang shalat di tanah yang dirampas adalah melakukan ketaatan."

Golongan yang mensahkan mempunyai alasan: 

  1. Jika tidak sah shalat di tanah rampasan, tentu tidak sah shalat yang dikerjakan di waktu yang dicegah, padahal ulama mensahkan shalat yang dikerjakan di waktu tercegah tersebut. 
  2. Jika shalat tidak sah di tanah rampasan, tentu penjahat-penjahat yang shalat di tanah yang dirampas, diharuskan mengqadha shalat yang telah meraka lakukan di tanah rampasan, padahal ulama salaf tidak ada yang menyuruh hal itu. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa ulama- ularna Salaf menganggap sah shalat yang dikerjakan di tanah rampasan. 
Golongan yang mensahkan mengatakan, "Kami berpendapat, apabila menyuruh seseorang, "tulislah buku ini, tetapi jangan engkau tulis di masjid". Jika ia tidak menulis di masjid, berarti ia telah menurut. Karena ia tidak menulisnya di tempat yang dilarang."

Golongan yang membatalkan mengatakan, "Memandang orang tersebut seorang penurut, tidak dapat kami terima, karena ia merusak kemashlahatan yang terkandung dalam suruhan. Ia disuruh menulis tidak di masjid, jika ia menulis di masjid, berarti ia tidak menurut."

An-Nawawy dalam Syarah Muhadzdzab mengatakan, kebolehan shalat di tanah rampasan, tidak ada khilaf. Yang diperselisihkan hanya tentang sah tidaknya." 

Ibnu Hazm mengatakan, "Tidak sah shalat di tanah yang dirampas di tempat yang dimiliki dengan jalan tidak benar. Kita dilarang shalat di situ. Apabila kita kerjakan, berarti kita shalat tidak sebagaimana yang diperintah, artinya shalat kita tidak diterima.

Hadits Ya'la ibn Murrah tidak mensyaratkan dalam memperbolehkan shalat fardhu di atas kendaraan, seperti syarat-syarat yang dikemukakan oleh Asy-Syafi'y. Yang disyaratkan hanya keudzuran karena hujan dan tanah basah. Menurut lahir hadits ini, sah shalat fardhu di atas kendaraan dalam safar bagi seseorang yang mendapat keudzuran tersebut.

Hadits Amir ibn Rabi'ah menyatakan, kebolehan shalat di atas kendaraan, dengan menghadap ke mana saja, asal sunnat." Amir mengatakan, "Saya tidak pernah melihat Nabi saw. menghadap ke mana saja dalam shalat fardhu. Hadits Abu Ya'la menegaskan, bahwa Nabi saw. pernah shalat fardhu di atas kendaraan. 

Karena itu, untuk mengkompromikan hadits ini, kita harus berpendirian, bahwa Amir ibn Rabi'ah hanya menceritakan penglihatannya saja. Beliau tidak mengetahui, bahwa Nabi pernah shalat fardhu di atas kendaraan, tidak dapat dijadikan dasar. Nabi saw. benar-benar tidak pernah mengerjakan shalat fardhu di atas kendaraan. Hadits Abu Ya'la secara tegas menyatakan Nabi pernah shalat fardhu di atas kendaraan.

Mengenai shalat di tanah rampasan, pendapat Ahmad yang harus dipegang. Karena pendapat Ahmad dikuatkan oleh ketetapan jumhur. Jumhur menetapkan, bahwa berpuasa di hari 'Id tidak sah. Jika dikatakan sah shalat di tanah yang dirampas, natijahnya, sah juga berpuasa di hari raya, karena masalah ini kondisinya saman.

Berdasarkan Buku Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Yang Berjudul Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Tempat Shalat dan Keharusan Menjauhkan Diri dari Najis Masalah Shalat Di Atas Kenderaan