Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Shalat Sunnat Di Atas Kendaraan Dalam Safar

Hukum Shalat Sunnat Di Atas Kendaraan Dalam Safar

SHALAT SUNNAT DI ATAS KENDARAAN DALAM SAFAR

612) Ibnu Umar ra berkata:

كَانَ النَّبِيُّ يُسَبِّحُ عَلَى رَاحِلَتِهِ قَبْلَ أَيِّ وَجْهَةٍ تَوَجَّهَ وَيُوْتِرُ عَلَيْهَا غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّى عَلَيْهَا المَكْتُوْبَةِ
"Rasulullah saw, shalat di atas kendaraannya dengan menghadap ke mana kendaraannya berjalan dan Nabi saw. pernah juga mengerjakan shalat witir di atas kendaraannya, hanya saja Nabi tidak pernah shalat fardhu atasnya." (HR. AI- Bukhary dan Muslim, Al-Muntaqa 1: 346)

613 ) Jabir ibn 'Abdullah ra, berkata:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ النَّوَافِلَ فِى كُلِّ جِهَةِ وَلَكِنْ يَخْفِضُ السُّجُوْدَ الرَّكْعَةِ ويُؤْمِنُ إِيْمَاءَ
"Saya melihat Rasulullah saw. mengerjakan semua shalat sunnat di atas kendaraannya dengan menghadap ke setiap penjuru, dan beliau merendahkan sujudnya daripada rukuk dan mengisyaratkannya." (HR. Ahmad, Al-Muntaga 1: 347)

614) Anas ibn Malik ra, berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رَاحِلَتِهِ تَطَرُّعًا اِسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ الصَّلاةِ ثُمَّ عَلَى عَنْ رَاحِلَتِهِ فَصَلَّى حَيْتُمَا تُوَجَّهَتْ بِهِ
"Rasulullah saw, apabila hendak shalat sunnat di atas kendarannya, beliau menghadap ke arah Ka'bah, lalu bertakbir. Sesudah itu beliau baru membiarkan kendaraannya menghadap ke mana saja dan Nabi terus shalat." (HR. Ahmad dan Abu Daud, Al-Muntaqa 1: 347)

SYARAH HADITS

Hadits (612), menurut suatu riwayat dari Ahmad, Muslim dan At-Turmudzy, "Suatu hari Nabi saw, sedang menuju ke Madinah dari Mekkah dan ketika itu menghadap ke arah depan binatang kendaraannya, maka turunlah ayat Allah yang mempunyai masyriq dan Maghrib. Maka ke mana saja kamu menghadapkan mukamu, itulah tempat yang diridhai Allah." (QS. Al-Baqarah [2]: 115). Hadits ini menyatakan, bahwa kita diperbolehkan shalat sunnat di atas kendaraan di dalam safar, walaupun kendaraan tersebut menghadap ke mana saja.

Hadits (613), menyatakan bahwa kita boleh mengerjakan shalat witir dan shalat tathawwu' di atas kendaraan dengan menghadap ke mana saja.

Hadits (614), diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari jalan Al-Jarud ibn Abi Subrah yang menerimanya dari Anas. Al-Hafizh dalam At-Talkhish mengatakan, "Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Sakan." Hadits ini menyatakan, bahwa Nabi saw. menghadap kiblat ketika beliau takbiratul ihram, kemudian baru Nabi menghadap ke mana saja."

Hadits pertama (612), tidak menerangkan demikian. Bila kita kumpulkan hadits ini, kita berkesimpulan, hendaklah kita menghadap kiblat ketika bertakbir saja, kemudian baru boleh menghadap ke mana saja. Hadits ini, menyatakan pula, bahwa rukuk dan sujud tidak sempuma dilakukan hanya cukup sekedar isyarat saja, yakni dengan sedikit menundukkan kepala, dan tunduk untuk sujud, hendaklah lebih rendah dari rukuk.

An-Nawawy, Al-Iraqi, Al-Hafizh dan lainnya mengatakan, "Mujtahidin telah ijma', bahwa shalat sunnat di atas kendaraan di dalam safar, tidak perlu menghadap kiblat." Abu Yusuf, Abu Said Al-Ishthakhri dan ahlush zhahir mengatakan, "Shalat sunnat di atas kendaraan, dengan tidak menghadap kiblat, boleh dilakukan di dalam kampung (tidak bepergian)."

Ibnu Hazm mengatakan, "Kami meriwayatkan dari Waki' dari Sufyan dan Sahabat dan Tabi'in bahwa shalat di atas kendaraan dan binatang boleh menghadap ke mana saja. Perkataan ini menyatakan, bahwa shalat sunnat di atas kendaraan adalah umum, mengenai hadhar dan safar, boleh ketika berada di kampung dan dalam perjalanan."

An-Nawawy mengatakan, "Kebolehan shalat sunnat di atas kendaraan dengan menghadap ke mana saja, diriwayatkan dari Anas ibn Malik." Asy-Syafi'y dan jumhur ulama menetapkan, bahwa kebolehan tersebut, tidak disyaratkan safar yang panjang. Malik sendiri mensyaratkan yang tersebut di atas, dengan safar yang panjang, safar yang memperbolehkan kita mengqasharkan shalat.

Abu Hanifah, Ahmad dan ahluzh zhahir mengatakan, "Kebolehan shalat sunnat dengan menghadap ke mana saja hanya diperuntukkan bagi orang yang berkenda raan saja. Yang berjalan kaki, tidak boleh." Al-Auza-y dan Asy-Syafi'y mengatakan, "Boleh juga diperbuat demikian oleh orang yang berjalan kaki."

Ash-Shan'ani mengatakan, "Lahir hadits ini menyatakan, kebolehan demikian adalah hanya bagi orang yang menunggang. Orang yang berjalan kaki, tidak ada keterangan yang jelas dari syara'. Sebagian ahli ilmu memperbolehkan, karena mengqiyaskan kepada orang yang menunggang. Hanya mereka mengharuskan bagi shalat sunnat sambil berjalan, menghadap kiblat ketika rukuk dan sujud dan harus pula disempurnakan rukuk dan sujudnya. la berjalan ketika membaca Al-Fatihah dan tasyahud. Ketika i'tidal dari rukuk, ada yang memperbolehkan berjalan, dan ada yang mengharuskan berhenti. Dalam duduk antara dua sujud, semua ulama mewajibkan duduk tidak boleh berjalan."

Ibnu Hazm mengatakan, "Tidak ada keterangan yang memperbolehkan shalat tathawwu (shalat sunnat) sambil berjalan kaki." Asy-Syafi'y mengatakan, "Hadits Ibnu Umar menerangkan bahwa Nabi saw. pernah shalat sunnat di atas kendaraan dengan menghadap ke mana saja, dan menyatakan, bahwa Nabi saw. tidak pernah shalat fardhu di atas kendaraan. 

Keterangan Ibnu Umar ini berlawanan dengan hadits yang diberitakan oleh Abu Ya'la yang menegaskan bahwa Nabi saw. pernah juga shalat fardhu di atas kendaraan karena udzur, hujan dan tanah becek. Untuk menyesuaikan hadits-hadits ini, hendaklah kita anggap bahwa Ibnu Umar, menerangkan penglihatannya saja. Bahwa beliau tidak melihat perbuatan Nabi saw. tersebut, tidak dapat dijadikan alasan, bahwa Nabi saw. benar tidak memperbuatnya di semua waktu."

Ibnu Daqiqil Id mengatakan, "Tidak dapat dipahamkan: "Beliau tidak pernah shalat fardhu di atas kendaraan" bahwa mengerjakan shalat fardhu di atas kendaraan tidak boleh, karena Nabi semata-mata tidak mengerjakan, tidak boleh dijadikan dalil untuk melarangnya, atau memperbolehkannya." Ibnu Hazm mengatakan lagi, "Bila seseorang shalat sunnat di atas kendaraan, tandu, gajah, atau di atas apa saja, ia wajib berdiri, kecuali jika tidak mungkin berdiri."

Asy-Syirazi mengatakan, "Syarat sah shalat di atas kendaraan ialah menghadap kiblat ketika bertakbir. Keharusan menghadap kiblat ketika takbir, jika mungkin melakukannya (dapat memutar arah binatang) atau kendaraan ke arah kiblat. Jika tidak mungkin, kita boleh menghadap ke mana saja, mulai dari takbir hingga salam." Pendapat Asy-Syirazi ini dibenarkan oleh gurunya Al-Qadhi Abu Thaiyib.

Hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah ini banyak. Di antaranya, ada yang mengkhususkan yang demikian ketika shalat sunnat di atas kendaraan dalam safar saja. Di antaranya, ada yang memperbolehkan kita lakukan dalam safar dan hadhar. Jika mengikuti kaidah "mempertanggungkan mutlak atas muqayyad" nyata bahwa kebolehan tersebut, khusus bagi orang yang safar saja. Tetapi jika kita tidak mempertanggungkan mutlak atas muqayyad, masing-masingnya kita amalkan, kita boleh berlaku demikian dalam safar dan hadhar.

Mengenai shalat sunnat sambil berjalan kaki, kami belum memperoleh nash. Karena itu, kami tidak memperbolehkan, karena qiyas dalam urusan ibadah tidak diperbolehkan. Sungguh tidak dibolehkan. Jika dibolehkan qiyas dalam urusan ibadah, tentu boleh mengadakan adzan untuk shalat 'Id (shalat Hari Raya), dengan mengqiyaskan kepada apa yang telah dinashkan oleh Syara'. Lagi pula menetapkan kebolehan berjalan ketika membaca Fatihah dan tasyahud, sebagaimana yang ditetapkan oleh sebagian ulama Syafi'iyah, semata-mata ijtihad.

Mengenai perbedaan riwayat yang terjadi antara Ibnu Umar dan Abu Ya'la, kita mengambil keterangan Abu Ya'la, karena mengingat kaidah "Orang yang mengetahu jadi hujjah bagi orang yang belum mengetahu"

Referensi berdasarkan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Hukum Kiblat dalam Shalat Tentang Masalah Shalat Sunnat Di Atas Kendaraan Dalam Safar