Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Shalat Di Atas Tikar Kulit

Hukum Shalat Di Atas Tikar Kulit

SHALAT DI ATAS TIKAR KULIT, HAMPARAN DAN LAIN-LAIN

555) Ibnu Abbas ra, menerangkan

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى عَلَى بِسَاطِِ
"Bahwasanya Nabi saw. shalat di atas hamparan." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, Al-Muntaga 1: 318)

556) Anas Ibnu Malik ra berkata:

 كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُخَالِطُنَا حَتَّى كَانَ يَقُولُ لِأَخٍ صَغِيْرٍ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّعَيْرُ قَالَ: وَنَضِحَ بِسَاطٌ لَنَا فَصَلَّى عَلَيْهِ

"Rasulullah saw. selalu menggauli kami. Pernah pada suatu hari beliau berkata kepada seorang adikku yang masih kecil: Hai Abu Umari, apa yang telah diperbuat oleh anak burung serindit? Anas berkata: Dan disiramilah permadani itu, lalu Nabi pun shalat di atasnya." (HR. At-Turmudzy, Ta'liq Al-Muntaga 1: 318) 

557) Al-Mughirah ibn Syubah ra berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ لا يُصَلَّى عَلَى الْحَصِيرِ وَالْفَرْوَةِ الْمَدْبُوْعَةِ 

"Rasul saw, shalat di atas tikar dan di atas kulit yang telah di samak." (HR. Ahmad dan Abu Daud, Al-Muntaga 1: 319)

558) Jabir ra menerangkan

اِنَّ أَبَا سَعِيدٍ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَوَجَدَهُ يُصَلِّى عَلَى حَصِيْرٍ يَسْجُدُ عَلَيْه

"Bahwasanya Abu Said Al-Khudri masuk ke rumah Nabi lalu Nabi saw, shalat di atas sehelai tikar; beliau bersujud atasnya." (HR. Muslim, Al-Muntaqa 1: 319)

559) Maimun ra berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصَلِّى عَلَى الْخُمْرَةِ

"Rasul saw. shalat atas khumrah (hamparan dari anyaman pelepah kurma)." (HR. Al-Jama'ah selain At-Turmudzy, Al-Muntaqa 1: 319)

560) Abu Darda' ra berkata:

مَا أُبَالِي لَوْ صَلَّيْتَ عَلَى خَمْسِ طَنَافِسَ

"Saya tak peduli walaupun saya shalat atas lima lapis permadani yang dibuat dari beledru." (HR. Al-Bukhary dalam Tarikh-nya, Al-Muntaqa 1: 320)

SYARAH HADITS

Hadits (555), dalam sanadnya terdapat perawi bernama Zu'mah ibn Shalih. Dia dianggap dhaif oleh Yahya ibn Ma'in, Abu Hatim dan An-Nasa'y juga melemahkannya. Hadits ini menyatakan kebolehan shalat di atas hamparan permadani.

Hadits (596) dan (557), Al-Iraqi mengatakan, "Hadits ini (557) mungathi, tidak dapat dijadikan hujjah." Kedua hadits ini menyatakan, bahwa shalat di atas tikar dan kulit. Dengan tegas hadits ini menolak pendapat yang memakruhkan shalat di atas sesuatu yang berasal dari binatang.

Hadits (558), menyatakan kebolehan shalat di atas tikar. Hadits (559), At-Turmudzy meriwayatkan hadits yang semakna dengan hadits ini dan diakui shahih dari jalan Ibnu Abbas. Hadits ini menyatakan, bahwa boleh shalat di atas sajadah (tikar shalat) yang dibuat dari anyaman atau lainnya, baik kecil atau besar.

Hadits (560) ini mauquf, yakni fatwa dari Abu Darda', bukan keterangan yang tegas dari Nabi. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan bunyi: "enam lapis permadani yang bersusun." Hadits ini menyatakan, kebolehan shalat di atas hamparan beludru.

At-Turmudzy mengatakan, "Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa boleh shalat di atas hamparan, tidak diharuskan dahi kita berlekat dengan lantai atau tanah. Boleh dikasih lapisan antara dahi dengan lantai." Al-Auza-y, Asy-Syafi'y, Ahmad, Ishak dan jumhur fuqaha memperbolehkan yang demikian. Sebagian ulama tabi'in memakruhkan kita shalat di atas hamparan permadani.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Said ibn Al-Musayyab dan Muhammad ibn Sirin, bahwa shalat di atas hamparan beludru adalah bid'ah.

Jabir ibn Zaid tidak menyukai shalat di atas semua yang berasal dari bi- natang. Beliau menyukai shalat di atas sesuatu yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Urwah ibn Zubair tidak menyukai kita mengadakan lapisan antara dahi dan lantai, waktu kita bersujud, dahi kita lurus lekat benar pada lantai atau bumi (tanah). Pendapat makruh ini dipegang oleh Malik, Al-Hadi dan ulama Zaidiyah. Malik memakruhkan kita shalat di atas semua yang berasal dari burni yang telah diproduksi, seperti hamparan kapas dan katun. Zaid ibn Tsabit, Abu Zarr, Jabir ibn Abdullah, ibn 'Umar, Said ibn Al-Musaiyyab, Makkhul dan lain-lain tabi'in menyukai kita shalat di atas tikar, bahkan Ibnu Musaiyyab menegaskan, demikianlah sunnah Nabi saw.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, bahwa Ibnu Mas'ud tidak suka shalat dan ber- sujud, melainkan atas tanah (lantai) dengan tidak berlapis. Ibrahim An-Nakha'y shalat dengan berdiri di atas tikar dan bersujud di atas lantai. Kebanyakan ahli ilmu memperbolehkan kita shalat dengan bersujud di atas tikar kecil atau kain kecil (seperti sapu tangan) yang hanya cukup untuk muka saja. Demikian pendapat jumhur, menurut keterangan Al-Iraqi. Ulama yang tidak menyukai kita shalat di atas tikar, tidak menyukai juga kita bersujud di atas suatu lapisan.

Abu Ubaid mengatakan, "Dimaksud dengan khumrah ialah tikar sajadah yang diperbuat dari pelepah korma, besarnya sekedar cukup untuk sujud saja. Pengarang Al-Masyariq mengatakan, khumrah besarnya sekedar muat hidung dan mulut. Ibnu Atsir mengatakan, Khumrah adalah sekedar cukup meletakkan muka." Menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Abbas pernah shalat di atas permadani beludru. Abu Wail adalah seorang sahabat, juga berbuat demikian.

Diriwayatkan dari Hasan, bahwa beliau memperbolehkan shalat di atas permadani beludru. Hasan pernah shalat di atas permadani beludru, tetapi beliau letakkan dahi dan dua telapak tangan di atas lantai, hanya telapak dan lutut saja yang di atas permadani. Kemudian Hasan dan Ibrahim An-Nakha'y pernah shalat di atas tikar yang bergambar. Atha' pernah shalat di atas hamparan putih. Ringkasnya, jumhur ulama memperbolehkan kita shalat di atas permadani beludru.

Menurut pentahqiqan, shalat yang memakai lapisan, dibenarkan. Akan tetapi dapat dipahami bahwa mempergunakan lapisan yang indah dan berharga tinggi yang dihias dengan berbagai hiasan tidak dapat dilepaskan dari hukum makruh, walaupun boleh. Karena itu, seyogialah kita mempergunakan kain lapis yang sederhana, yang jauh dari sesuatu yang membimbangkan dan mewiswaskan hati.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Tempat Shalat dan Keharusan Menjauhkan Diri dari Najis Masalah  Shalat Di Atas Tikar Kulit, Hamparan Dan Lain-Lain