Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Menggendong anak Dalam Shalat

Hukum Menggendong anak Dalam Shalat

MENGGENDONG YANG BERHADATS YANG BERISTIJMAR DALAM SHALAT, PAKAIAN ANAK-ANAK, DAN YANG DIRAGUKAN KENAJISANNYA

549) Abu Qutadah ra. menerangkan:

إِنَّ رَسُولَ الله ﷺ كَانَ يُصَلِّى وَهُوَ حَامِل أُمَامَةَ بنتِ زَيْنَبَ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

"Bahwasanya Rasul saw. shalat dengan menggendong Umarnah ibn Zainab (cucu- nya). Apabila beliau rukuk, beliau mendudukkannya dan apabila beliau berdiri, beliau mendukungnya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim, Al-Muntaqa 1: 315)

550) Abu Hurairah ra berkata:

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبيِّ ﷺ العِشَاءَ فَإِذَا سَجَدَ وَثَبَ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنِ عَلَى ظَهْرِهِ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ أَخَذَهُمَا مِنْ خَلْفِهِ اَخْذَا رَفِيقًا وَيَضَعُهُمَا عَلَى الْأَرْضِ فَإِذَا عَادَ عَادًا حَتَّى قَضَى صَلاَتَهُ، ثُمَّ أَقْعَدَ أَحَدَهُمَا عَلَى فَخِذَيْهِ، قَالَ: فَقُمْتُ إِلَيْهِ فَقُلْتُ: يَارَسُولَ اللَّهِ أَرُدُّهُمَا؟ فَبَرَقَتْ بَرْقَةٌ، فَقَالَ لَهُمَا ِلْحَقَا بِأُمِّكُمَا فَمَكَثَ ضَوْهُ هَا حَتَّى دَخَلَا

"Kami shalat Isya' bersama Nabi, apabila beliau bersujud, Al-Hasan dan Al- Husain melompat di atas punggungnya. Karena itu, apabila Nabi mengangkat kepalanya, beliau mengangkat (mengambil) Al-Hasan dan Al-Husain dari punggung dengan lembut dan mendudukkannya ke lantai. Di ketika Nabi kembali sujud, Al-Hasan dan Al-Husain kernbali menduduki punggungnya. Demikian keadaan itu berlangsung hingga selesai shalat. Sesudah selesai shalat, Nabi mendudukkan salah seorangnya atas pahanya. Kata Abu Hurairah: Karena itu saya bangun mendekati Nabi dan berkata: Apakah saya membawanya kembali? Maka berkilatlah satu kilat (bersinarlah suatu sinaran). Kemudian Nabi berkata kepada dua cucunya itu: Pulanglan engkau kepada ibumu. Cahaya itu terus bersinar sehingga Al-Hasan dan Al-Husain masuk ke dalam rumah." (HR.Ahmad, Al-Muntaqa 1: 316)

551) Aisyah ra berkata:

كَانَ النَّبِيُّ لا يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ وَأَنَا إِلَى جَانِبِهِ وَأَنَا حَائِضٌ وَعَلَيَّ مِرْطٌ وَعَلَيْهِ بَعْضُهُ

"Nabi saw. shalat di malam hari. Aku yang sedang haid duduk di sampingnya. Aku berelimut dengan sehelai kain selimut hijau yang separuhnya diselimuti Nabi." (HR. Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah, Al-Muntaqa 1:316)

552) Aisyah ra berkata:

كَانَ النَّبِيُّ لَا يُصَلِّى فِي شُعُرِنَا

"Nabi saw, tiada shalat di kain kain penutup baju kami. ( Ahmad, Abu Daud dan At-Turmudzy, Al Muntoga 1: 311)

SYARAH HADITS

Hadits (549), lafazh ini menurut riwayat Muslim. Menurut riwayat yang lain, Nabi saw, meletakkan Umamah di atas lehernya ketika berdiri. Hadits ini menye takan, bahwa pekerjaan yang serupa tersebut (mendudukkan anak yang digendong) dibolehkan dalam shalat dengan tidak ada perbedaan antara shalat fardhu dengan sunnat, antara shalat sendiri dengan jamaah, menjadi makmum atau imam.

Hadits (550), sanad hadits ini terdapat perawi bernama Kamil ibn Atha, Perawi ini diperdebatkan, Ibnu Ma'in mempercayainya. Hadits ini diriwayatkan juge oleh Ibnu Asakir. Hadits ini menyatakan, bahwa anak-anak diperbolehkan masuk ke dalam masjid dan menyatakan, bahwa berbuat sesuatu dalam shalat sebagai mana Nabi tersebut, tidak merusak shalat. Nabi saw. ketika itu menjadi imam.

Hadits (551), diriwayatkan juga oleh An-Nasa'y. Bukhary dan Muslim meriwayatkan hadits yang semakna dengan ini dari jalan Maimunah. Hadits ini me- nyatakan bahwa perempuan duduk di samping kita yang sedang shalat tidak membatalkan shalat. Juga menyatakan, bahwa kita boleh shalat di samping pe- rempuan yang sedang haid.

Hadits (552), At-Turmudzy mengatakan, "Hadits ini shahih." Menurut riwayat At-Turmudzy hadits ini berbunyi: Nabi tidak shalat pada kain-kain selimut isterinya. Hadits ini menyatakan, bahwa Nabi tidak pernah memakai kain yang dipakai oleh isteri-isterinya untuk shalat.

Al-Qurthubi mengatakan, "Ahli fiqh berbeda pendapat tentang cara memahami hadits Abu Qatadah, yang menyebabkan mereka mengambil pengertian hadits ini tidak menurut lahirnya, dikarenakan pekerjaan yang dikerjakan Nabi banyak. Menurut riwayat Ibnu Qasim dari Malik, bahwa shalat yang Nabi lakukan adalah shalat sunnat. Riwayat ini tidak diterima, baik oleh Al-Mazari maupun lyadh. Al- Mazari mengatakan, "Nabi menjadi imam dalam shalat sunnat tidak biasa terjadi."

Menurut riwayat Asyhab dan Abdullah, Malik berpendapat, bahwa apa yang dikerjakan Nabi dalam shalat, hanya di masa darurat saja, dimana tidak ada orang yang dapat menjaga anak tersebut." Al-Qurthubi mengatakan lagi, "Menurut riwayat 'Abdullah ibn Yusuf At-Turmudzy, bahwa Malik memandang mansukh."

Al-Hafizh dalam Fathul Bari mengatakan, "Kejadian Nabi menggendong Umamah dalam shalat, adalah sesudah datang larangan yang tidak memperbolehkan berbuat apa-apa yang bukan gerakan shalat dalam shalat. Jadi, mendakwa mansukh kejadian ini ditolak.

An-Nawawy mengatakan, "Semua yang ditakwilkan ulama dalam hal ini batal, karena tidak ada dalilnya. Anak Adam adalah suci. Pakaian anak-anak dan tubuhnya dihukumi suci, hingga betul-betul nyata ada najis padanya. Bergerak pekerjaan dalam shalat, jika sedikit atau berselang-selang, tidak membatalkan shalat. Nabi mengerjakan hal tersebut untuk menyatakan kebolehannya." An- Nawawy mengatakan pula dalam Syarah Muslim, "Hadits Abu Qatadah ini menerangkan, bahwa kita boleh mendukung anak kecil, perempuan atau laki-laki dan binatang-binatang yang suci dalam shalat, baik shalat tersebut fardu maupun sunnat. Menyatakan bahwa hadits ini mansukh, atau mengatakan hal ini tertentu bagi Nabi, semuanya tertolak."

Pengarang Fat-hul Allam mengatakan, "Telah ditanya kepada Asy-Syaukani tentang mengangkat serban atau topi yang jatuh ketika sedang shalat, boleh atau tidak? Asy-Syaukani menjawab: Mendukung Umamah yang telah berumur tiga tahun, boleh, tentul mengangkat topi atau serban, lebih diperbolehkan lagi."

Asy-Syaukani dalam Ar-Raudhah mengatakan, "Ahli fiqh berbeda pendapat tentang kadar perbuatan, yang dapat merusak shalat atau membatalkannya. Menurut penyelidikan kami, jalan mengetahui kadar pekerjaan tersebut dipandang banyak, ialah melihat kepada pekerjaan-pekerjaan Nabi dalam shalat. Nabi pernah menggendong Umamah dalam shalat. Nabi pemah naik dan turun dari mimbar dalam shalat. Semua gerakan yang pernah Nabi lakukan dalam shalat, tidak dapat dipandang banyak. Nabi pernah melakukan beberapa gerakan untuk kebaikan shalat seperti membuka sepatu dalam shalat, mengizinkan kita membunuh ular. Pekerjaan- pekerjaan tersebut tentu juga tidak dapat dipandang banyak. Adapun pekerjaan- pekerjaan yang tidak dapat diambil contoh dari Nabi, menurut asal hukum tidak merusak shalat, asal saja tidak mengeluarkan orang yang shalat, dari kategori ibadah shalat. Jika pekerjaan tersebut sudah keluar dari kategori ibadah shalat, seperti mengerjakan yang tidak ada hubungan dengan shalat dan tidak pula untuk ke- baikan shalat, maka shalatnya rusak, karena ia telah mengerjakan pekerjaan yang mengeluarkannya dari shalat." 

Jumhur ulama berpendapat, shalat di samping perempuan tidak membatal- kannya. Abu Hurairah berpendapat bahwa berdirinya perempuan di samping kita yang sedang shalat, membatalkan. Apabila imam diperbolehkan mendukung anak di dalam shalat fardhu, maka di shalat lain tentu diperbolehkan juga.

Mengerjakan pekerjaan yang banyak dalam shalat yang bukan dari pekerjaan shalat, memang membatalkannya. Kapan pekerjaan yang dipandang banyak? Apa- kah menggendong anak, seperti Nabi menggendong Umamah? Ulama berbeda pendapat tentang batas pekerjaan yang banyak. Ada yang berpendapat mengayunkan tangan tiga kali walau perlahan-lahan sudah dianggap banyak, dan dapat memba- talkan shalat. Batas banyak, menurut mereka jumlah kalinya. Yakni, kalau dua kali sesuatu dikerjakan, tidak banyak. Kalau tiga kali dihukumi banyak.

Menurut pentahqiqan, mengerjakan banyak pekerjaan yang membatalkan shalat adalah seperti mengetam, menjahit, berjalan-jalan dan lain-lain, karena pekerjaan- pekerjaan yang serupa itu telah keluar dari yang dituntut dalam shalat yang menyebabkan orang yang melihatnya dalam keadaan seperti itu tidak dianggap sedang mengerjakan shalat.

Muhyiddin Al-Fairuzzabadi dalam kitab Ash-Shirat Al-Mustaqim mengatakan, "Nabi saw. mencepatkan shalatnya, apabila mendengar suara tangisan anak-anak. Terkadang Nabi sedang shalat, datang kepadanya seorang anak, lalu menggelan- tung kepadanya. Maka Nabi mengangkat anak itu ke pundaknya. Terkadang Husain datang kepadanya ketika beliau sedang bersujud lalu Husain menduduki punggungnya. Karena itu, Nabi pun memanjangkan sujudnya. Terkadang 'Aisyah datang sedang beliau shalat. Ketika pintu terkunci, Nabi melangkah untuk membukakannya. Pernah beliau menerima salam di dalam shalat lalu beliau menjawab salam dengan isyarat (dengan menghamparkan tangan atau menggerakkan kepala). Pernah 'Aisyah tidur di muka Nabi ketika beliau sujud, lalu beliau menyingkirkan kaki 'Aisyah. Pernah juga beliau membaca ayat As-Sajdah di atas mimbar lalu beliau turun untuk bersujud tilawah. Sesudah bersujud, naik lagi ke mimbar, menyambung khotbahnya. Suatu kali dua anak dari Bani Abdul Muththalib berkelahi, ketika mereka dekat kepada Nabi, Nabi memegang mereka dan meleraikannya. Kerapkali beliau menangis dalam shalat dan berdehem-dehem, karena ada keperluan. Beliau pernah shalat dengan bersepatu, juga pernah tidak dengan sepatunya. Beliau bersabda: Shalatlah kamu dengan bersepatu untuk membedakannya dari orang Yahudi.

Ad-Dahlawi mengatakan, "Nabi pemah mengerjakan beberapa gerakan dalam shalat untuk menyatakan kebolehannya. Kegiatan di luar shalat yang dikerjakan Nabi tidak membatalkan shalat. Walhasil, perkataan yang sedikit, seperti aku kutuk engkau dengan kutukan Allah, engkau dikasihi Allah, mengapa kamu lihat kepadaku," dan kegiatan-kegiatan kecil seperti mengangkat anak ke bahu, membuka pintu, berisyarat, membunuh ular dan kalajengking, tidak membatalkan shalat."

Pembahsan masalah ini, karena hadits ini dibahas ulama dari segi menger- jakan kegiatan-kegiatan dalam shalat yang tidak ada kaitannya dengan shalat. Ada dua hadits yang menyatakan, bahwa anak-anak tidak boleh masuk ke masjid, tetapi hadits Abu Hurairah menyatakan kebolehannya. Di sini kami tegaskan, bahwa hadits-hadits yang melarangnya dhaif. Kita boleh mengkompromikan hadits- hadits yang mencegah itu dengan hadits-hadits yang memperbolehkan, dengan jalan mempertanggungkan larangan kepada makruh, tidak kepada haram. Al-Iraqi dalam Syarah At-Turmudzy berbuat hal yang demikian.

Pendapat Abu Hanifah yang membatalkan shalat karena perempuan berdiri di samping orang shalat tertolak. Orang yang sedang haid adalah suci, najis hanya tempat yang sedang berdarah saja. Tegasnya, hadits 'Aisyah mengatakan, bolehnya shalat di sisi perempuan yang sedang haid dan bolehnya shalat dengan kain yang setengahnya diselimutkan oleh perempuan yang sedang haid dan setengahnya oleh yang shalat.

Memakai kain yang dipakai perempuan untuk shalat hukumnya paling maksimal makruh. Riwayat yang menerangkan bahwa Nabi tidak pernah shalat dengan kain selimut isterinya, tidak memberi pengertian bahwa hal tersebut tidak boleh. Dalam beberapa hadits dinyatakan bahwa Nabi pernah shalat dengan kain yang dipakai dalam menyetubuhi isteri.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Tempat Shalat dan Keharusan Menjauhkan Diri dari Najis Masalah Menggendong Yang Berhadats Yang Beristijmar Dalam Shalat, Pakaian Anak-Anak, Dan Yang Diragukan Kenajisannya