Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Suci Dari Najis Ketika Shalat

Hadits Suci Dari Najis Ketika Shalat

TEMPAT SHALAT DAN KEHARUSAN MENJAUHKAN DIRI DARI NAJIS

546) Jabir Ibnu Sumarah ra berkata:

سَمِعْتُ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ : أُصَلِّى فِي الثَّوْبِ الَّذِي آتَى فِيهِ شَيْئًا فَتَغْسِلَهُ
"Saya mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. Katanya: Ya Rasulullah, bolehkah saya shalat dengan kain yang saya pakai ketika saya mendatangi isteri saya? Nabi saw, menjawab: Boleh, cuma jika engkau lihat ada apa-apa padanya, itu sajalah yang engkau basuh." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, Al- Muntaqa 1: 313)

547) Muawiyah ra, berkata:

قُلْتُ لِأُمِّ حَبِيْبَةَ: هَلْ كَانَ النَّبِيُّ يُصَلِّى فِى الثَّوْبِ الَّذِي يُجَامِعُ فِيهِ؟ قَالَتْ: لَهُم إِذا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ أَذَى

"Saya bertanya kepada Ummu Habibah: Apakah Rasul saw. pernah shalat dengan kain yang dipakai ketika bersetubuh? Ummu Habibah menjawab: Ya, apabila tak ada kotoran padanya." (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'y dan Ibnu Majah, Al- Muntaqa 1: 313)

548) Abu Said Al-Khudri menerangkan:

اِنَّ النَّبِيَّ فَخَلَعَ النَّاسَ نِعَالَهُم , فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: لِمَ خَلَعْتُمْ قَالُوْا رَأَيْنَاكَ خَلَعْتَ فَخَلَعْنَا، فَقَالَ: إِنْ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِى أَنَّ بِهِمَا خَبْثًا فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَقْلِبْ تَعْلَيْهِ وَلْيَنْظُرْ فِيْهِمَا، فَإِنْ رأى خُبْئًا فَلْيَمْسَحْهُ بِالْأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيْهِمَا

"Bahwasanya Nabi saw. shalat dengan bersepatu. Di saat sedang shalat, beliau membuka sepatunya, lalu para makmum pun membukanya. Sesudah selesai shalat, Nabi saw. bertanya: Mengapa kamu membuka sepatu-sepatumu? Mendengar itu mereka menjawab: Kami lihat tuan membukanya, karena itu kami membukanya. Mendengar itu Nabi pun bersabda: Jibril datang kepadaku mengabarkan bahwa pada sepatuku ada kotoran. Maka apabila kamu datang ke masjid, hendaklah kamu balikkan sepatumu dan lihatlah apakah ada kotoran pada telapaknya? Jika ada, sapulah dan gosoklah dengan tanah, kemudian shalatlah dengan memakainya." (HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Muntaqa 1: 313)

SYARAH HADITS

Hadits (546), perawi-perawi yang terdapat dalam sanad Ibnu Majah, adalah perawi yang dapat dipercaya. Hadits ini menyatakan, bahwa orang yang shalat, pakaiannya harus bersih dari najis. 

Hadits (547), perawi-perawinya adalah perawi yang dapat dipercaya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari beberapa jalan. Hadits ini menyatakan, bahwa kita harus bebas dari najis di dalam shalat. 

Hadits (548), diriwayatkan juga oleh Al-Hakim, Al-Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Ulama hadits berbeda pendapat tentang derajat hadits ini. Ada yang mengatakan, hadits ini mursal, ada yang mengatakan maushul. Menurut pentahqiqan Abu Hatim dalam kitab Al-llal, hadits ini maushul. Hadits ini menyatakan, bahwa kita harus menjauhkan benda yang najis dari badan ketika shalat. Hadits ini juga menyatakan pula, bahwa orang yang tidak dalam keadaan shalat boleh berbicara dengan orang yang dalam kondisi shalat, dalam hal-hal yang berkaitan dengan shalat. Karena menunda keterangan keterangan dari waktu yang dibutuhkan, tidak dibolehkan.

Jumhur ulama mengatakan, "Orang yang shalat, pakaiannya harus bersih dari najis merupakan syarat sah shalat." Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas dan Said ibn Jubair, bahwa suci kain dari najis, tidak diwajibkan. Pendapat ini diterima juga dari Imam Malik. Menurut nukilan Ibnu Atsir, Malik mempunyai dua paham: Pertama, sunnat menghilangkan najis. Kedua, fardhu, kalau teringat, tidak fardhu kalau lupa. Yakni tidak berdosa kalau lupa membersihkan najis. Menurut pendapat qadim dari Asy-Syafi'y, bahwa menghilangkan najis, bukan syarat sah shalat.

Pengarang Al-Baher mengatakan, "Disuruh bersuci, dan mensucikan kain (pakaian) hanya untuk shalat saja, karena ada ijma' tidak mewajibkan bersuci untuk selain shalat."

Asy-Syaukani mengatakan, "Mengambil dari dalil yang memerintahkan suci pakaian dari najis untuk menetapkan, bahwa suci dari najis adalah syarat sah shalat, tidak sah, karena ayat tersebut maksimal hanya menunjuk kepada kewajiban bersuci. Kewajiban bersuci tidak menjadi syarat bagi sah yang lain. Syara' tidak mengatakan, bahwa sah shalat tergantung kepada suci dari najasah."

Jumhur berhujjah untuk mensyaratkan suci, dengan:

  1. Firman Allah: "Sucikanlah kain-kainmu."
  2. Hadits: "Nabi membuka sepatu dalam shalat."
  3. Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang menyatakan, bahwa Nabi saw menyuruh Aisyah membasuh kain yang terdapat sedikit darah.

Al-Mundziri mengatakan, "Hadits 'Aisyah yang diriwayatkan Abu Daud tersebut gharib, tidak dapat dijadikan hujah. Jika dianggap shahih, dia menunjuk kepada disuruh membasuh najis, tidak menunjuk kepada syarat. Tidak ada dalil yang menyatakan, bahwa Nabi saw. mengulangi shalat yang beliau kerjakan dengan kain yang kena najis itu."

Memakai sepatu dalam shalat

Ahli ilmu berbeda pendapat tentang, "Apakah memakai sepatu dalam shalat lebih afdhal, atau tidak memakai sepatu lebih utama?" Pengarang Ta'liq Al-Muntaqa mengatakan, "Hadits Abu Said ini, menyatakan, bahwa Nabi saw. shalat dengan memakai sepatu. Shalat dengan memakai sepatu adalah yang biasa dilakukan Nabi. Nabi bertanya, "Mengapa kamu membuka sepatu, memberi pengertian bahwa Nabi tidak suka Sahabat membuka sepatunya, dan menyatakan bahwa adat yang biasa dikerjakan sahabat ialah shalat dengan tidak menanggalkan sepatu."

Ash-Shan'ani dalam Subulus Salam mengatakan, "Hadits ini menyuruh kita shalat dengan memakai sepatu, dan menyatakan pula bahwa cara membersihkan telapak sepatu, cukup kita menggosokkannya ke tanah, baik kotoran basah atau kering." Al-Khaththaby mengatakan, "Dipahami dari hadits ini, bahwa sah shalat yang dikerjakan dengan memakai kain yang terkena najis." Pengarang Aurul Ma'bud mengatakan, "Hadits Abu Said ini paling tidak sedikit menyatakan kesunatan kita shalat dengan bersepatu."

Al-Asqallani dalam Fathul Bari mengatakan, "Kesunatan shalat dengan memakai sepatu adalah jika dimaksudkan untuk menyalahi orang-orang Yahudi yang tidak mau shalat dengan memakai sepatu." Pengarang Ighatsatul Lahfan mengatakan, "Sebagian dari was-was setan ialah memberatkan diri dengan pekerjaan yang tidak diberatkan agama. Orang yang berjalan dengan kaki telanjang sesudah wudhu, boleh shalat dengan tidak perlu membasuh kakinya lagi."

Seorang penanya bertanya kepada Ibnu Abbas tentang hukum menginjak tahi (kotoran manusia). Ibnu Abbas menjawab, "Jika tahi tersebut kering, tidak perlu membasuh kaki, yakni untuk shalat. Kalau tahi tersebut basah, hendaklah ia basuh kaki yang terkena tahi saja. Apabila telapak sepatu kena najis, cukup kita meng- gosokkan ke tanah dan sah shalat dengan terus memakainya, karena ada sunnah yang shahih, keshahihhannya di akui oleh Imam Ahmad dan muhaqqiqin."

Al-Baghawi dalam Syarah As-Sunah mengatakan, "Kebanyakan ulama berpen- dapat, apabila sepatu (telapak) berlumur najis kemudian digosokkan ke tanah dan kotorannya hilang, maka sepatu tersebut telah dianggap suci, dan boleh shalat tanpa melepasnya. Di antara yang berbuat demikian ialah Utsman, 'Abdullah ibn Mas'ud, Uwaimir, Anas ibn Malik, Salmah ibn Al-Akwa' dan Aus Ats-Tsaqafi. Di antara tabi'in yang berpendapat demikian, ialah Said ibn Musayyab, Al-Qasim, Urwah ibn Zubair, Salim ibn 'Abdullah, Atha' ibn Yassar, Atha' ibn Abi Rabah, Mujahid, Thawus dan Syuraih Al-Qadhi. Abu Umar Asy-Syaibani memukul orang yang membuka sepatunya ketika akan shalat."

Hafash mengatakan, "Aku telah datang ke masjid beserta Abdullah ibn "Umar. Ketika kami telah sampai ke masjid, pergilah aku ke tempat bersuci untuk membasuh kaki yang kotor. Melihat itu, 'Abdullah mengatakan, tidak usah kamu pergi membersihkannya, karena sesudah kamu menginjak kotoran, kamu telah membersihkan kotoran tersebut. Sesudah itu kami pun masuk ke masjid dan shalat."

Mengenai mani telah dibahas dalam bab thaharah. Kami telah tegaskan, bahwa mani adalah suci. Di suruh membasuh kain di sini adalah untuk menghilangkan bekasnya saja. Boleh juga dipahami bahwa yang disuruh Nabi bersihkan adalah najis selain mani yang ada di kain tersebut.

Sesungguhnya, bersuci dari najis adalah kewajiban yang berdiri sendiri. Barang- siapa tidak membersihkan diri dari najis adalah berdosa, dan shalatnya sah. Dia berdosa karena meninggalkan suatu kewajiban, yaitu membersihkan najis. Jika dikatakan bahwa hadits di atas ini menyatakan, bahwa Nabi saw. membasuh najis, maka jawabnya ialah semata-mata Nabi mengerjakan sesuatu, tidak menunjuk kepada wajibnya, apalagi menjadi syarat.

Walhasil, kita wajib membersihkan diri dari najis. Jika tidak, berdosa, shalat yang dikerjakan dengan kain yang najis adalah sah. Akan tetapi, tentu saja kita beradab yang layak untuk berdiri di hadapan Allah. Tegasnya, kami tidak menyukai orang shalat dengan pakaian yang najis, walaupun suci dari najis bukan menjadi syarat sah shalat.

Sebagian dari adab shalat ialah: apabila orang yang shalat membuka sepatunya, hendaklah sepatunya tersebut diletakkan di sebelah kirinya. Jika ia shalat sendiri. Jika ia shalat dalam shaf, kanan kirinya ada orang, hendaklah diletakkan diantara dua kakinya.

Perbuatan Nabi membuka sepatu dalam shalat, memberi pengertian, bahwa pergerakan yang sedikit dalam shalat, tidak merusakkan shalat. Hadits di atas, tegas menyatakan, bahwa sepatu tersebut bersih dengan digosok saja. Juga menyata- kan, pula bahwa Nabi adalah contoh teladan bagi kita, kecuali dalam urusan-urusan tertentu bagi Nabi sendiri.'

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Tempat Shalat dan Keharusan Menjauhkan Diri dari Najis