Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Menghadap Kiblat Di Atas Kendaraan

Hadits Menghadap Kiblat Di Atas Kendaraan

MENGHADAP KIBLAT DI ATAS KENDARAAN

610) Ya'la ibn Murrah ra. menerangkan:

اِنَّ النَّبِيَّ اِنْتَهَى إِلَى مُضِيقٍ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ وَالسَّمَاءُ مِنْ فَوْقِفِهِمْ وَالْبَلَّةُ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ، فَأَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ، ثُمَّ تَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى رَاحِلَتِهِ فَصَلَّى بِهِمْ يُوْمِئُ إِيْمَاءً يَجْعَلُ السُّجُوْدَ أَخْفَضَ مِنَ الرُّكُوعِ

"Bahwasanya Rasul saw. sampai ke suatu jalan yang sempit di antara bukit-bukit, dan hujan turun membasahinya, tanah pun basah, beliau berada di atas kendaraan, dan masuklah waktu shalat. Nabi saw. menyuruh muadzin untuk adzan. Setelah adzan dan iqamat, Nabi memajukan kendaraannya ke muka. Nabi shalat diikuti oleh sahabat yang berada di belakangnya. Nabi hanya mengisyaratkan saja rukuk dan sujudnya; Nabi menundukkan badannya untuk sujud lebih rendah daripada untuk rukuknya." (HR. Ahmad dan At-Turmudzy, Al-Muntaqa 1: 326)

SYARAH HADITS

Hadits (610), diriwayatkan juga oleh An-Nasa'y dan Ad-Daraquthni. Ar-Turmudzy mengatakan, Hadits ini gharib, hanya 'Umar ibn Ar-Rimah Al-Balakhi saja yang meriwayatkan. Al-Baihaqi mengatakan, "Hadits ini dhaif." Asy-Syaukani mengatakan, "Hadits ini dishahihkan oleh Abdul Haq Al-Asybili dalam kitab Al-Ahkam-nya. dan dianggap hasan oleh An-Nawawy." 

Hadits ini menyatakan, kebolehan shalat fardhu di atas kendaraan unta dan sebagainya ketika ada udzur (halangan), tidak dapat shalat di atas tanah. Halangan yang diperoleh dalam hadits ini ialah hujan dan tanah becek.

Sebagian ulama mengatakan, "Boleh (sah) shalat fardhu di atas unta dan lainnya, sebagaimana sah kita shalat di atas perahu (kapal), walaupun ia oleng ke sana ke mari. Mengenai sah shalat di atas perahu, telah disepakati oleh ulama dan tidak ada perbedaan."

Asy-Syafi'y menetapkan, shalat di atas unta adalah sah dengan beberapa syarat, yaitu menghadap kiblat, dapat berdiri, rukuk dan sujud. An-Nawawy dan Ibnu Hajar mengatakan, "Ahli ijma' menetapkan, bahwa shalat fardhu, tidak sah tanpa menghadap kiblat, walaupun shalat tersebut dikerjakan di atas kendaraan. Dibolehkan tidak menghadap kiblat, hanya ketika mengalami ketakutan."

An-Nawawy mengatakan, "Shalat fardhu di atas kendaraan adalah sah, jika dapat menghadap kiblat, dapat berdiri, dapat rukuk dan sujud, serta kendaraan tersebut berhenti. Jika kendaraan tersebut sedang berjalan, tidak sah shalat yang dikerjakan di atasnya." 

Ashhab Abu Hanifah mengatakan, "Shalat di atas kendaraan binatang adalah sah. Jika mungkin menghadap kiblat, kita wajib menghadapnya. Andai tidak mungkin, boleh menghadap ke mana saja."

Sebagian Ashhab Syafi'y mengatakan, "Boleh shalat fardhu di atas kendaraan, dan boleh dikerjakan semampunya, tidak dapat berdiri boleh duduk, tidak dapat meletakkan dahi, cukup tunduk saja, asal binatang tersebut sedang berjalan beramai- ramai dan takut ketinggalan, jika turun dari kendaraan untuk shalat. Hendaklah shalat diulang karena ada udzur yang serupa adalah udzur yang hanya terjadi sekali-kali saja." 

Akan tetapi, sebagian mereka mengatakan: "Tidak perlu mengulangi shalat, karena dipandang telah sah."

Ahmad dan Ishak ibn Rahawaih mengatakan, boleh shalat di atas binatang, bila tidak ada tanah yang kering, At-Turmudzy mengatakan, diriwayatkan dari Anas ibn Malik bahwa beliau pernah shalat di atas kendaraan, karena hujan dan tanah becek. Kemudian At-Turmudzy mengatakan, demikian pula pendapat ahli pengetahuan."

Jika kita renungkan benar-benar hadits ini, jelas bahwa syarat yang diharuskan untuk mensahkan shalat di atas binatang ialah hujan dan tempat atau tanah becek. Lahir hadits ini memperbolehkan kita shalat fardhu di atas kendaraan dalam safar dan mengerjakan semampu kita. Pendapat Ahmad, Ishak dan riwayat At-Turmudzy dan pekerjaan Anas ibn Malik menegaskan, bahwa dalam soal ini tidak ada ijma'. Yakni tidak ada kesepekatan ulama mewajibkan menghadap kiblat di dalam shalat yang dikerjakan di atas kendaraan, walaupun tidak mungkin menghadapnya.

Shalat di atas kereta api, mobil, motor dan sebagainya menurut ulama Syafi'iyah hukumnya sama dengan shalat di atas perahu, boleh shalat di dalamnya asal menghadap kiblat dan harus berdiri jika dapat. Menurut ulama Hanafiyah, hukumnya sama dengan shalat di atas binatang, boleh menghadap ke mana saja jika tidak dapat menghadap ke arah kiblat dan boleh sambil duduk.

Sesungguhnya, wajib bagi kita menunaikan shalat di dalam kereta api dan sebagainya, bila kita takut hilang waktunya sebelum sampai ke tempat tujuan. Jika sanggup kita berdiri. Jika tidak kita lakukan sambil berdiri tegak, kita lakukan sambil duduk. Demikian pula rukuk dan sujud, kita lakukan semampu kita.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Hukum Kiblat dalam Shalat Dalam Buku Koleksi Hadits-Hadits Hukum Jilid 1 Masalah Menghadap Kiblat Di Atas Kendaraan