Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cara Menghadap Kiblat Yang benar

Cara Menghadap Kiblat Yang benar

APAKAH YANG DIHADAPI, FISIK ATAU ARAH (JIHAT) KIBLAT

605) Usamah bin Zaid ra, berkata:

إِنَّ النَّبِيَّ لَمَّا دَخَلَ البَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ وَلَمْ يُصَلِّ فِيْهِ حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قِبَلِ الْقِبْلَةِ وَقَالَ: هَذِهِ القِبْلَةِ

"Bahwasanya Nabi saw. tatkala masuk ke dalam Baitullah, Nabi berdoa di sudut dan tidak shalat. Kemudian beliau keluar, lalu shalat dua rakaat di muka Ka'bah, seraya bersabda: Inilah kiblat." (Al-Bukhary dan Muslim, Nailul Authar 2: 180)

606) Abu Hurairah ra, berkata:

قَالَ رَسُولُ اللهِ : مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

"Nabi saw. bersabda: Antara Maghrib dan Masyriq terletak kiblat." (HR. At- Turmudzy dan Ibnu Majah, Bulughul Maram: 42, Al-Muntaga 1: 344)

SYARAH HADITS

Hadits (605), menyatakan bahwa wajib bagi orang yang berdekatan dengan Ka'bah untuk menghadapi fisiknya Ka'bah, wajib tepat mengarah ke Ka'bah.

Hadits (606), diriwayatkan oleh At-Turmudzy dan Ibnu Majah dari jalan Abu Ma'syar seorang budak yang telah dimerdekakan oleh Abu Hasyim. Hadits ini dishahihkan oleh At-Turmudzy. Al-Hafizh dalam At-Talkhis mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh At-Tummudry, dari Abu Hurairah. Menurut pendapat At-Turmudzy hadits ini hasan shahih. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ad-Daraquthni dan Al- Hakim.

Hadits ini menyatakan, bahwa yang difardhukan bagi orang yang jauh dari Ka'bah ialah menghadap arahnya, bukan fisiknya. Jika orang yang jauh disuruh menghadap fisiknya, tentu suruhan tersebut adalah suruhan yang tidak mungkin dikerjakan. Menghadap fisik Ka'bah hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berdekatan saja.

An-Nawawy mengatakan, "Wajib bagi orang yang berdekatan dengan Ka'bah berhadapan benar ke Ka'bah tersebut. Dalam pada itu, tidak diharuskan berhadapan benar persis tengahnya, boleh juga dari arah sudut atau seginya. Orang yang shalat di dalam Masjidil Haram dengan menghadap ke hijir Ismail, tidak tepat menghadap Ka'bah, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak sah shalatnya."

Asy-Syafi'y dalam salah satu riwayatnya, mewajibkan juga atas orang yang jauh menghadap fisiknya Ka'bah, walaupun dengan perkiraan saja." Al-Muzani meriwayatkan, bahwa Asy-Syafi'y menetapkan bahwa yang difardhukan bagi orang yang jauh ialah menghadap arahnya saja, bukan fisiknya. Abu Hanifah, Malik dan Ahmad mewajibkan menghadap arah saja bagi orang yang jauh.

At-Turmudzy mengatakan, "Kebanyakan sahabat Nabi saw. berpendapat se bagaimana yang telah ditetapkan oleh Ahmad, bahwa kiblat terletak antara masyriq dan Maghrib. Orang Timur menghadap ke Barat, orang Barat menghadap ke Timur, orang Utara menghadap ke Selatan dan orang Selatan menghadap ke Utara. Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah 'Umar, Ali dan Ibnu Abbas."

Asy-Syirazi mengatakan, orang yang jauh dari Ka'bah, dan mengetahui tentang arah kiblat, wajib baginya menghadap ke tentang itu. Demikian juga bagi yang mengikuti pendapat orang yang mengetahui urusan kiblat, janganlah ia berijtihad sendiri, sebagaimana hakim tidak berijtihad sendiri (memakai pendapat sendiri). Hanya menerima keterangan yang diberikan oleh orang yang dipercaya (saksi adil). Umpamanya, jika dia masuk ke suatu masjid atau langgar, dan dia melihat mihrabnya, hendaklah ia menghadap ke arah itu, jangan berijtihad, karena letak mihrab menunjukkan ke arah Ka'bah.

An-Nawawy mengatakan, "Seseorang yang shalat di masjid Madinah, maka mihrab Rasulullah saw. (tempat Rasul saw. berdiri dahulu) menjadi kiblat baginya." Pengarang Al-Muhadzdzab mengatakan, "Bila jauh dari Ka'bah dan tidak ada yang me ngetahui kiblat, hendaklah ia berijtihad untuk mengetahui di arah mana Ka'bah tersebut, seperti dengan melihat matahari, bulan, gunung dan angin. Allah sendiri menerangkan, bahwa bintang dapat menjadi petunjuk arah dan kiblat."

Kemudian An-Nawawy mengatakan, "Seseorang yang jauh dari Mekkah tidak memperhatikan tanda-tanda kiblat, seperti mihrab, tidak pula ada orang untuk bertanya, maka orang tersebut wajib berijtihad dan hendaklah ia konsisten dengan ijtihadnya tersebut. Tidak sah ijtihad seseorang, melainkan jika didukung dengan alat ijtihad, yaitu mengetahui tanda-tanda kiblat, seperti posisi bintang. Arah kiblat yang palin tepat ialah bintang kutub, suatu bintang yang kecil. Apabila ia telah memperoleh hasil ijtihadnya, dia shalat ke arah yang ditunjukkan oleh ijtihadnya, dan hendaklah ijtihadnya didasarkan pada suatu tanda. Orang yang tidak mengetahui tanda-tanda kiblat, wajib baginya untuk mempelajari. Sesudah itu dia berijtihad. Dia tidak diperbolehkan bertaklid. 

Tetapi jika dia tidak sanggup mempelajarinya, karena dia buta, atau karena dia orang yang dungu, wajib baginya untuk meneladani orang. Jika dia mengetahui dalil-dalil kiblat, tetapi dia tidak dapat melihatnya karena gelap, terhadap orang tersebut terdpat dua pendapat. 

Pertama, orang tersebut harus ijtihad. Kemana itjihadnya tersebut menunjukkan, menghadaplah dia ke sana. 

Kedua, boleh bertaklid, atau boleh mengikuti pendapat orang saja.

Imamul Haramain mengatakan, "Tidak boleh dia taklid, melainkan jika telah sangat sempit waktunya." An-Nawawy mengatakan, "Hukum mempelajari tanda- tanda kiblat diperdebatkan ulama. Ada yang mengatakan fardhu kifayah, ada yang mengatakan fardhu ain, dan ada yang mengatakan fardhu ain bagi orang yang hendak berlayar. 

Pendapat ketiga itulah yang sangat shahih dalam masalah ini, karena tidak ada keterangan, bahwa Nabi saw. pernah menyuruh sahabat mempelajari tanda-tanda kiblat (geografi), ketika mereka tetap tinggal di kampungnya. Adapun ketika mereka berlayar, mereka baru wajib mempelajari (geografi), karena menyangkut arah kiblat, sebagai syarat sah shalat, tidak dapat dengan tidak mengetahui posisi dan dalil-dalilnya."

Secara jelas, hadits ini menyatakan bahwa orang yang jatuh dari Ka'bah, tidak diwajibkan menghadap fisiknya Ka'bah, hanya diwajibkan menghadap arahnya saja Karena itu, tertolaklah pendapat ulama yang menyuruh kita menghadap fisik Ka'bah. Di antara pengertian yang dapat dipahami dari pendapat-pendapat ulama dalam masalah ijtihad kiblat, ialah orang yang sanggup berijtihad, tidak boleh sekali-kali bertaklid. Karena tanda-tanda kiblat ada yang menghasilkan yakin, seperti kutub dan pedoman, maka menerima keterangannya bukan berarti menerima kabarnya, seperti riwayat seorang yang dapat dipercaya. Demikian juga menerima perkataan orang yang mempunyai jam.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Hukum Kiblat dalam Shalat Dalam Buku Koleksi Hadits-Hadits Hukum Jilid 1 Masalah Mengahadap Qiblat , Apakah Yang Dihadapi, Fisik Atau Arah (Jihat) Kiblat