Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tata Cara Tayammum Sesuai Sunnah

Tata Cara Tayammum Sesuai Sunnah

CARA BERTAYAMMUM

275) Ammar ibn Yasir ra, berkata:

قَالَ النَّبِيُّ أَتَّيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ

"Tayammum itu, satu kali kali tepuk untuk muka dan dua tangan." (HR. Ahmad dan Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 166)

276) Ammar ibn Yasir ra, berkata:

أحبت قلم أصب الماء فَمَعَكُتُ في الصعيد وصبتُ فَذَكَرْتُ ذلك الشي المَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا وَضَرَبَ الي بكليهِ الْأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَليم

"Saya telah berjunub dan tidak mempunyai air. Maka saya pun berguling-guling di tanah kemudian saya shalat. Hal ini saya sampaikan kepada Nabi, beliau bersabda: "Sesungguhnya cukuplah untuk kamu mengerjakan begini. Nabi me- nepuk tanah dengan kedua telapak tangannya, sesudah itu beliau tiup, sesudah itu beliau menyapu mukanya dengan telapak tangannya dan dua tangannya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaga 1: 166)

SYARAH HADITS

Hadits (275), lafazh ini menurut nukilan dari Nailul Authar, cetakan Muniriyah. Menurut riwayat Ad-Daraquthny: "..... dan dua telapak tangan" (bukan dua tangan). Demikian juga menurut riwayat Abu Dawud. Syamsul Haq dalam At-Ta'liqul Mugly mengatakan, sanad-nya shahih. Hadits ini menyatakan, bahwa tayammum adalah dengan sekali tepuk untuk muka dan telapak-telapak tangan.

Hadits (276), menyatakan bahwa tayammum itu ialah menyapu muka dan dua tangan hingga pergelangan saja, bukan hingga siku. Ibnu Abdil Barr mengatakan: "Kebanyakan atsar yang marfu' dari Ammar menerangkan, bahwa tepuk itu hanya sekali saja, riwayat-riwayat yang menerang kan dua kali tepuk, semuanya mudhtharab."

Asy-Syaukany mengatakan: "Di antara dalil yang menguatkan bahwa yang disapu itu muka dan telapak tangan ialah terus-menerus." Amr berfatwa sesudah Nabi memberi contoh yang demikian. Yakni, menyapu muka dan dua telapak tangan dengan sekali tepuk saja.

Al-Hafizh dalam Al-Fatah mengatakan: "Selain dari hadits Amr ini dan hadits Abu Juhain, semuanya dha'if."

Al-Khaththaby dalam Ma'alimus Sunnan mengatakan: "Segolongan para ulama berpendapat, bahwa tayammum itu sekali tepuk saja untuk muka dan telapak tangan." Demikianlah pendapat Atha' ibn Abi Rabah dan Makhul, Malik, Al- Auza'y, Ahmad ibn Hanbal, Ishaq, Ibnu Mundzir dan semua ahli-ahli hadits. Al- Khaththaby berkata: "Inilah madzhab yang lebih sah menurut riwayatnya."

Asy-Syafi'y mengatakan: "Tidak sah tayammum itu, melainkan dengan dua kali tepuk; sekali untuk muka dan sekali lagi untuk dua tangan hingga dua siku. Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya pendapatnya sama dengan pendapat Asy-Syafi'y." Disebut dalam Az-Zad, tidak sah datangnya dari Nabi, bahwa beliau menepuk dua kali dan menyapu hingga dua siku. Ahmad mengatakan: "Barangsiapa mengatakan, bahwa bertayammum itu hingga dua siku, berarti ia telah mengada-adakan satu tambahan."

Pengarang Az-Zad berkata pula: "Cara-cara membawa tangan di ketika menyapu tangan, yaitu meletakkan telapak tangan kiri atas punggung tangan kanan, kemudian menariknya ke siku, kemudian memutar telapak tangan atas perut hasta dan menegakkan ibu jari kiri hingga sampai kepada ibu jari kanan, adalah suatu cara yang tidak pernah diperbuat Nabi dan tidak pernah diajarkan seseorang sahabatnya."

Hadits-hadits yang menyatakan, bahwa tepuk itu dua kali, satu pun tidak ada yang shahih ataupun hasan; karena itu mewajibkan dengan dua kali tepuk, tertolak. Juga tidak ada alasan menyapu tangan hingga siku. Meng-qiyas-kan pekerjaan ini kepada wudhu, adalah qiyas yang batal.

Al-Bukhary dengan kata pasti menyebut dalam Shahih-nya: "Nabi bertayammum untuk muka dan telapak tangan dan tidak wajib menertibkan menyapu dalam pelaksanaannya, boleh muka dahulu sebelum tangan dan boleh tangan dahulu sebelum muka." Lebih tegas perhatikanlah bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Ismail, bahwa Nabi berkata: "Ammar hanya cukup untuk kamu menepuk tanah dengan dua tangan kamu, kemudian dengan kamu memercikkannya. Sesudah itu kamu sapu tangan kanan dengan tangan kirimu dan tangan kirimu dengan tangan kananmu. Sesudah itu, kamu menyapu muka."

Jelasnya hadits ini menyatakan, bahwa menyapu tangan, lebih dahulu dari menyapu muka.

Menyapu Bagian Atas Pembalut Luka Pada Saat tayammum

277) Jabir ibn Abdullah ra. menerangkan:

أنَّهُ كَانَ رَجُلٌ شُجَّ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ، فَقَالَ النَّبِيُّ : إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبُ عَلَى  جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَهُ عَلَيْهَا ويَغْسِلُ سَائِرِ جَسَدِهِ

"Bahwasanya ada seseorang laki-laki retak kepalanya, dan ia mandi; tidak lama kemudian ia pun mati. Sewaktu berita itu sampai kepada Nabi, beliau berkata: Sebenarnya cukup baginya bertayammum dan membalut lukanya, kemudian menyapu atas balutan itu, dan membasuh segala anggota yang lain." (HR. Abu Dawud; Bulughul Maram 1:28)

SYARAH HADITS

Hadits (277), sanad-nya dhay. Ad-Daraquthny mengatakan: "Hadits ini tidak kuat." Hadits ini menyatakan, menyapu atas perban atau pembalut luka dimestikan.

Sebagian fuqaha mewajibkan kita menyapu atas kain perban, sebagian lagi, tidak Kebanyakan ulama Syafiyah mewajibkan kita menyapu bagian atas perban. Pengarang As-Sumah wal Mubtada'at mengatakan: "Kitab-kitab fuqaha muta'akhkhirin banyak sekali menyuruh dia membalut lukanya, selain dari bertayammum, menyapu atas pembalut lukanya itu, seraya berwudhu di anggota yang lain. Sebenarnya sah dari Nabi, walaupun dalam satu hadits, yang menyuruh kita menyapu atas pembalut luka. Oleh karena itu, janganlah kita terpedaya oleh penerangan-penerangan kitab-kitab muta'akhkhirin ini."

Hadits ini dan hadits 'Ali yang menerangkan bahwa Nabi menyuruh 'Ali menyapu di atas perban luka yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah lemah sekali sanadnya. An-Nawawy sendiri mengakui kelemahan hadits itu, demikian juga Al- Baihaqy. Lantaran itu, tidak ada alasan untuk mewajibkan menyapu pembalut luka. Maka apabila seseorang luka dan membalut lukanya, hendaklah ia berwudhu pada anggota-anggota yang dapat dibasuh, dan sesudah itu bertayammum sebagai pengganti basuhan tempat yang kena luka itu. Dan jika luka itu dimasuk- kan ke dalam pengertian sakit, bolehlah kita mencukupi dengan tayammum saja. Inilah yang ditunjukkan oleh ayat?

HUKUM SATU TAYAMMUM UNTUK LEBIH DARI SATU SHALAT

278) Ibnu Abbas berkata:

مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لَا يُصَلِّى الرَّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ إِِلَّا صَلَاةً وَاحِدَةً ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِلصَّلَاةِ الْأُخْرَى

"Menurut sunnah, tidaklah boleh seseorang shalat dengan satu tayammum, selain dari satu shalat saja. Kemudian ia bertayammum lagi untuk shalat lain." (HR. Ad-Daraquthny; Bulughul Maram: 28)

SYARAH HADITS

Hadits (278), sanad-nya sangat lemah, karena di dalamnya terdapat seorang perawi, Hasan ibn Umrah. Hadits ini menyatakan, bahwa satu tayammum hanya untuk satu shalat. Malik dan Asy-Syafi'y mengatakan: "Tidak boleh shalat dua fardhu dengan satu tayammum."

Ibnu Qudamah mengatakan: "Menurut madzhab Ahmad, satu tayammum itu tidak boleh dipergunakan untuk dua shalat di dua waktu. Satu tayammum, untuk satu fardhu, shalat yang diqadha dan shalat sunnat hingga masuk waktu shalat yang lain. Dan boleh juga untuk menjamakkan dua shalat dalam satu waktu."

Al-Mawardi mengatakan: "Tidak boleh mengumpulkan dua shalat dengan satu tayammum."

Pengarang Az-Zad mengatakan: "Tidak ada keterangan yang sah dari Nabi yang menyatakan bahwa beliau itu bertayammum untuk tiap-tiap shalat, dan tidak ada pula beliau menyuruh yang demikian. Beliau hanya menyuruh bertayammum dan menyamakan hukumnya dengan wudhu."

Dasar hukum dalam masalah ini ialah tanah itu mengganti fungsi air. Apabila seseorang berwudhu, maka boleh shalat seberapa yang dikehendakinya. Maka demikianlah pula halnya dengan tayammum sebelum datangnya hadats.

Pendapat yang tersebut ini diamalkan oleh sebagian ahli-ahli hadits. Inilah yang lebih kuat menurut dalil; dan beginilah madzhab Abu Hanifah, Sufyan, Al- Laits dan Dawud.

MEMPEROLEH SEDIKIT AIR, TIDAK CUKUP UNTUK BERWUDHU

279) Abu Hurairah ra menerangkan:

قَالَ رَسُولُ اللهِ : إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Rasulullah bersabda: "Apabila aku memerintahkan kamu sesuatu urusan, maka kerjakanlah seberapa yang kamu sanggupi." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al- Muntaga 1: 165)

SYARAH HADITS

Hadits (279) menyatakan bahwa kita hanya wajib melaksanakan perintah seberapa yang kita sanggupi, dan menyatakan bahwa apabila kita tidak dapat melaksanakan semuanya, tidaklah gugur semuanya. Juga menyatakan kewajiban memakai air seberapa yang ada, ataupun hanya mencukupi sebagian wudhu. Jumhur fuqaha berpendapat demikian.

Ulama Hanafiyah, Zaid ibn 'Ali dan An-Nashir, berpendapat, apabila air yang ada itu tidak mencukupi satu wudhu, bolehlah kita terus bertayammum saja dengan tidak usah memakai air yang sedikit itu.

Umum hadits ini menguatkan paham jumhur, karena itu hendaklah kita berwudhu dengan air yang ada; dan untuk selainnya itu kita bertayammum.

Hadits ini juga dapat dijadikan dalil, bahwa segala apa yang tidak dapat kita kerjakan, dimaafkan, dan apa yang dapat dikerjakan wajib ditunaikan. Jika sanggup kita kerjakan sebagian saja umpamanya, hendaklah terus kita kerjakan seberapa yang sanggup.

Para ulama Hanafiyah mendasarkan pahamnya kepada kaidah: "Apabila yang diganti itu rusak (hilang) sebagiannya, boleh terus kita menggantikannya." Kaidah ini logis menurut akal. Apabila seseorang mempunyai air, perlu untuk diminum, maka boleh dia simpan air itu untuk diminumnya, dan dia boleh bertayammum saja."

Berdasarkan Buku Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Tentang Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Berkenaan dengan Hukum-hukum tentang Tayammum