Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penduan Cara Memulai puasa Ramadhan

Penduan Cara Memulai puasa Ramadhan

PENTAHKIKAN DAN PENTARJIHAN TENTANG MEMULAI PUASA RAMADHAN

Berkatalah Asy-Syaukany dalam Nailul Authar ketika mentahqikkan masalah ini:

Semua pendapat yang di atas ini, berhujjah kepada hadits Kuraib. Mereka berkata: "Ibnu Abbas tak menghargai rukyah penduduk Syam dan di akhir pembicaraan Ibnu Abbas berkata : "Beginilah kami diperintah Rasulullah." Mereka fahami dari perkataan Ibnu Abbas bahwasanya Ibnu Abbas ada menerima dari Rasul SAW. ketentuan yang mereka fahamkan itu. Sebenarnya yang menjadi hujjah, hanyalah hadits marfu' yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bukan ijtihad Ibnu Abbas yang difahamkan oleh segolongan ilama itu, yang diisyaratkan oleh perkataan: "Beginilah kami diperintah Rasul, yakni mencukup- kan 30 hari."

Perintah Rasul, ialah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan lain-lain, yaitu:

 لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوْا حَتَى تَرَوُهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلاَثِيْنَ

"Janganlah kamu berpuasa, sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihat bulan. Maka jika mendung, tak dapat melihat bulan, cukupkanlah bilangan bulan 30 hari."

Perintah Nabi ini tidak khusus bagi penduduk suatu daerah. Dia adalah khitab yang dihadapkan kepada seluruh umat Islam. Maka karenanya yang harus kita pegangi dalam masalah ini: Apabila dilihat hilal oleh penduduk sesuatu negeri, wajiblah diikuti rukyah itu oleh penduduk negeri-negeri lain. Dan sekali-kali pendapat ini tidak berlawanan dengan ijma', karena tak ada ijma' yang mengharuskan masing-masing daerah (negeri) berpegang pada matla' sendiri.

Tegasnya, wajiblah atas orang yang di Malaysia umpamanya berpuasa dengan rukyah Jakarta dan sebaliknya. ") Dan berkatalah Asy-Syaikh Abdur-Rahman Taj:

"Jumhur ulama berpendapat, bahwa perbedaan tidak mengharuskan kita berlainan hari pada memulai puasa dan menyudahinya." Pendapat Jumhurlah yang paling Shahih dalam hal ini. Maka apabila penduduk sesuatu negeri melihat bulan, wa- jiblah puasa atas seluruh negeri-negeri Islam yang lain, meng- ingat Hadits:

صُوْمُوْا لرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُ والرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا 

"Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesu- dah melihat bulan. Jika mendung (kabut), maka sempurnakan Sya'ban 30 hari."

Hadits ini dihadapkan kepada semua ummat. Maka siapa saja di antara mereka melihat bulan di negeri mana saja, Hijaz, Iran, Palestina, Malaysia, atau Indonesia wajiblah puasa atas semua ummat Islam, tidak ada perbedaan antara yang dekat dengan yang jauh, bila sampai kepada mereka berita rukyah di malam hari sebelum fajar. Dan mereka dapat berniat dan bersahur."

Kami menguatkan pendapat ini dan memandang wajib dituruti, adalah karena dengan jalan menghilangkan perbedaan mathla', ummat Islam seluruhnya dapat bersatu dalam memulai puasa dan berhari raya. Hal ini membawa persatuan keseluruhannya.

Allah telah mensyari'atkan ibadat untuk mewujudkan kesa- tuan barisan, kesatuan maksud dan kesatuan tujuan. Amat bu ruk sekali berlain-lainan kita dalam memulai puasa dan berhari raya padahal Al Qur'an menetapkan dengan Firmannya:

"Inilah ummatku, ummat yang bersatu-padu." (Q.A. 129: S. 21: Al Anbiya).

Jika dahulu ada hal-hal yang membolehkan kita berbeda hari berpuasa dan hari berbuka, karena jauh masafah antara negara- negara Islam dan lemahnya alat perhubungan, maka hal ini sekarang telah diatasi, tidak lagi ada kesulitan komunikasi antara negara-negara di dunia ini. Maka prinsip menyatukan hari puasa dan hari raya, itulah yang wajib diamalkan oleh seluruh um- mat Islam. Karenanya kami menguatkan pendapat Asy-Syaikh Abdur-Rahman Taj yang menyeru ummat Islam di seluruh negara Islam bersatu dalam memulai puasa dan bersatu hari dalam berbuka (berhari raya).

Kami cenderung kepada pendapat yang pertama (pendapat Jumhur) dan kami berpendapat, bahwa pendapat Ibnu Abbas, yaitu tidak menerima rukyah Mu'awiyah adalah disebabkan perbedaan politik antara pusat dan daerah.

Andaikata pendukung-pendukung pendapat kedua menginsafi bagaimana keadaan ummat Islam dewasa ini, pecah belah, hancur barisannya, tidak ada persatuan antara mereka, tentulah pendukung-pendukung pendapat kedua itu menfatwakan bahwa perbedaan mathla' tidak menjadi sebab kita berpuasa pada hari yang berbeda, ber Hari Raya pada hari yang berlainan dan berwuquf pada hari yang berselisihan.

Syaikh Abdur Rahman berkata pula Ada suatu urusan yang wajib kita perhatikan dan kita berikan putusan dengan suatu putusan yang menghilangkan perbedaan yang banyak terjadi, di antara penduduk tentang hari dimulainya puasa. Hal itu ialah sebagian benua dapat melihat bulan sedang di benua lain tidak dapat melihatnya, karena letak negeri-negeri itu di bola bumi berbeda-beda, timur dan barat, utara dan selatan. Perbedaan tempat ini menurut garis lurus bagi bumi mengharuskan terjadi perbedaan tentang waktu. Kadang-kadang matahari sudah terbit di satu negeri, sebelum terbit di negeri yang lain, menurut jarak jauh negeri itu. Karena itu tidak mungkin kita menyatakan waktu shalat, waktu-waktu imsak, waktu berbuka dalam bulan Ramadlan. 

Namun demikian perbedaan mathla' tidaklah sedimikian pengaruhnya terhadap penentuan hilal, karena tidak terdapat di antara negeri-negeri Islam, timur dan barat, perbedaan yang menyulitkan kita mewujudkan cita-cita menjatuhkan hari berpuasa sesudah negara-negara Islam sependapat berpegang kepada rukyatul hilal, bila telah pasti adanya. Tidak dapat diragukan bahwa hilal itu adalah hilal baru untuk seluruh benua, hanya sebahagian mereka mendahului sebahagian yang lain beberapa jam saja.

Abdur Rahman Taj berkata: "Kebanyakan Imam Fiqh dalam Mazhab 4 tidak berpegang kepada perbedaan mathla' dalam menetapkan ujud hilal. Inilah pendapat yang kuat dan jalan fikiran yang benar.

Hal ini dikuatkan pula, karena menjatuhkan permulaan puasa adalah dari sekuat-kuat faktor yang meneguhkan hubungan dan ikatan bangsa-bangsa di seluruh pelosok bumi.

Pendapat yang kuat ini tidak berlawanan dengan Hadits:

صُوْمُوْا لرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُ والرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا 

"Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan. Dan berbukalah kamu sesudah melihat bulan. Jika hari mendung, sempurnakanlah Sya'ban 30 hari."

Hadits ini dihadapkan kepada ummat Islam yang kompak menegakkan Syari'at Islam dan mewajibkan puasa atas segala mukallaf, bila telah nyata rukyah hilal. Karenya cukuplah sudah untuk wajib memulai puasa oleh penduduk sesuatu negara dengan adanya rukyah, walaupun di benua lain. Apabila berujud rukyah hilal di suatu negara Islam, maka dapatlah kita mengatakan bahwa puasa telah wajib dilakukan oleh semua ummat Islam yang negara-negara mereka berserikat dengan negara rukyah pada suatu suku dari malam baru.

Mengenai negara-negara yang tidak bersekutu pada suatu suku dari malam baru, maka berarti mereka masih berada di siang yang terakhir dari bulan Sya'ban.

Karenanya mereka harus berpuasa pada siang yang datang sesudah malam barunya itu. Natijahnya seluruh penduduk bumi yang berpuasa sesu- dah berujud rukyah pada sesuatu benua, berpuasa pada hari baru pada bulan baru. 

Dzikir dikala melihat bulan baru 

Disukai bagi orang-orang yang melihat bulan membaca apa yang diriwayatkan Ibnu Umar, ujarnya Adalah Rasulullah apabila melihat bulan membaca: 

ِاللهُ أَكْبَرُ . الَّلهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالَْأمْنِ وَالإِيْمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالِْإسْلَام وَالتَّوْفِيْقِ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى رَبِّي وَرَبُّكَ اللهُ

"Allah adalah Yang Lebih Besar dari Yang Besar. Wahai Tuhanku, jadikanlah dia untuk kami bulan yang membawa keamanan dan keimanan, kesejahteraan dan keislaman dan taufiq kepada apa yang Engkau sukai dan ridlai. Tuhanku dan Tuhan engkau hai hilal, ialah Allah."

Lajnah rukyah

Mengingat sebab-sebab memulai puasa, maka perlulah kita ummat Islam di tiap-tiap tempat mengadakan "badan rukya" untuk menyelidiki bulan. Apalagi soal ini sangat banyak sang kut pautnya dengan keagamaan.

Lantaran itu mengintai bulan, untuk mengetahui tanggal satu dan tanggal 30 atau tanggal 29, adalah salah satu dari fardlu kifayah, yang sangat perlu ditegakkan oleh kepala-kepala Agama dan ketua-ketua kaum Muslimin.

Tegasnya, di tiap-tiap ibu kota perlu diadakan "lajnah rukya", guna menyelidiki dan melihat keadaan bulan. Badan ini harus tetap bekerja tiap-tiap bulan.

Puasa di hari syak

Hari syak, ialah hari ketiga puluh, bulan Sya'ban yang pada malam bulan tidak kelihatan. Berpuasa pada hari syak itu, tidak dibenarkan Jumhur ulama, terlarang, dilarang Rasulullah SAW. sendiri. Jumhur berpegang kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda

صُوْمُوْا لرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُ والرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا 

"Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan, dan berbukalah kamu sesudah melihat bulan. Jika tak dapat melihat bulan karena mendung, maka sempumakanlah bilangan Sya'ban 30 hari."

Hadits ini menunjukkan bahwa wajib atas orang yang tiada melihat bulan dan tiada di khabarkan kepadanya oleh yang me- lihatnya, mencukupkan Sya'ban 30 hari, kemudian ia berpuasa tidak boleh berpuasa pada hari yang ke 30 dari pada bulan Sya'ban."

Sungguhpun demikian, sebahagian ulama mengatakan, bahwa hari syak, ialah hari 30 yang tak kelihatan bulan pada malamnya, sedangkan udara cerah, tiada redup atau mendung.

Berpuasa sebelum hari syak

Tidak boleh berpuasa di hari syak di akhir Sya'ban, sebagaimana tidak dibolehkan berpuasa sehari sebelum hari syak itu, terkecuali bagi yang menemui hari yang biasa ia berpuasa pa- danya. Maka orang tersebut boleh berpuasa, karena ia mendapat hari yang menjadi adat berpuasa baginya, bukan karena hari syak. Ini adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

 لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمٍ يَومٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْ 
"Jangan kamu mendahului Ramadlan dengan berpuasa sehari atau berpuasa dua hari, melainkan seseorang yang berpuasa sesuatu puasa yang telah terbiasa olehnya, maka hendaklah ia puasa."

Berkata At Turmudzi: Kebanyakan ahli Ilmu tidak menyukai seseorang bersegera berpuasa sebelum Ramadlan, untuk menanggapi Ramadlan.

Tetapi jika seseorang berpuasa sunat berselang hari dan jatuh harinya pada hari syak, maka yang demikian itu tidak dimakruhkan.

SEBAB WAJIB MENYUDAHI PUASA

Memulai puasa dengan salah satu empat sebab yang telah kita maklumi, maka menyudahinya (berhari raya) dengan salah satu dari empat sebab juga:

1. Dengan karena melihat bulan Syawal

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah RA. bahwasanya Nabi SAW bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ تَصُومُوْا وَإذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا 

"Apabila kamu telah melihat bulan, maka berpuasalah kamu, dan apa- bila kamu telah melihatnya pula, maka berbukalah. Jika mendung tak dapat melihat bulan, maka berpuasalah tiga puluh hari."

2. Dengan telah ada orang yang menyaksikan, bahwa ia telah melihat hilal Syawal. 

3. Dengan karena telah cukup (penuh Ramadlan) 30 hari.

4. Dengan karena berpegang kepada ahli hisab.

Pensaksian melihat hilal Syawal

Kata Ibn Mubarak, Ahmad dan Asy Syafi'i dalam salah sa- tu dari riwayatnya: "Boleh kita beramal dengan pensaksian orang seorang dikala memulai dan dikala menyudahi puasa."

Kata Malik, Al Laits, Al Auza'i dan Ats Tsauri: "Pensaksian yang diterima, hanyalah pensaksian dua orang."

Ada juga yang mengatakan, bahwa pensaksian-pensaksian itu berlainan. Jika untuk memulai puasa dibolehkan pensaksian seorang dan jika untuk menyudahinya, disyaratkan pensaksian dua orang."

Kata An Nawawi dalam Syarah Muslim: "Tidak sah pensaksian orang seorang untuk memasuki Syawal di sisi kebanyakan ulama, terkecuali dalam pendapat Abu Tsaur. Beliau mensahkan pensaksian orang seorang untuk memasuki Syawal."

Kata pentahqiq: "Sah pensaksian orang seorang untuk memasuki Ramadlan dan Syawal; karena hadits-hadits yang dipegang Jumhur yang menidak sahkan pensaksian orang seorang, dlaif semuanya."

Kata Ibn Rusyd "Mazhab Abu Bakar Ibn Mundzir, itulah Madzhab Abu Tsaur dan menurut pendapatku, itulah madzhab ahlu Dhahir. Abu Bakar Ibn Mundzir berhujjah bahwa ijma' telah terjadi atas wajib berbuka dan menahan diri dengan pendapat seorang saksi. Kalau demikian wajiblah kita terima orang seorang itu pada masuk bulan dan keluarnya karena kedua-duanya tanda yang memisahkan berbuka dari berpuasa."

Kata Asy Syaukani: "Tak ada dalil yang menunjukkan kepada perlunya dua orang dalam pensaksian membuka puasa. Menurut dlahir, cukup dalam barhari raya orang seorang, diqiyaskan kepada cukup berpegang kepada orang seorang dalam berpuasa. Lagi pula beribadat dengan menerima khabar orang seorang, menunjukkan kepada keharusan kita menerimanya pada segala tempat, terkecuali pada tempat-tempat yang telah ada dalil tidak boleh kita beribadat padanya dengan khabar orang seorang, seperti pensaksian terhadap harta dan sepertinya. Maka pendapat yang dhahir, ialah, pendapat Abu Tsaur.

Berdasarkan Buku Pedoman Puasa Karangan Hasbi Ash-Shiddieqy