Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HAL YANG DIMAKRUHKAN DALAM BERPUASA

HAL YANG DIMAKRUHKAN DALAM BERPUASA

HAL-HAL YANG DIMAKRUHKAN DAN YANG DIMUBAH- KAN DALAM BERPUASA

HAL-HAL YANG DIMAKRUHKAN DALAM BERPUASA 

Sebahagian ulama memakruhkan hal-hal yang tersebut di bawah ini

  • mencium bunga,
  • memandang kepada bunga,
  • berbekam/menyedotkan darah,
  • merasa makanan dengan lidah, dan
  • mengunyah-ngunyah benda keras yang tidak hancur, seperti karet dan sebagainya. Akan tetapi, meskipun demikian dibolehkan juga mengunyahkan makanan untuk orang lain dan merasakan makanan oleh tukang masak.
HAL-HAL YANG DIMUDAHKAN DALAM BERPUASA

1.  Menyelam ke dalam air, mandi dan membasahkan kepala dengan syarat tidak sampai air ke dalam perut, tapi kalau air sampai masuk ke dalam perut, puasanya jadi batal. 

2. Bercelak dan meneteskan sesuatu ke dalam mata, baik menimbulkan rasa ke dalam kerongkongan, ataupun tidak, karena mata itu bukan lobang ke dalam perut. (Mengingat Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, bahwa Rasulullah pernah menuang air atas kepalanya karena panas). Diriwayatkan dari Anas bahwasanya beliau bercelak sedang berpuasa. Pendapat ini, yang dipegang oleh ulama-ulama Syafi'iyah. Di- hikayatkan yang demikian, oleh Ibn Mundzir dari 'Atha', Al- Hasan, An Nakha'i, Al Auza'i, Abu Hanifah dan Abu Tsaur. Dan diriwayatkan pula dari Ibn Umar, Ibn Abi Aufa, dan itulah pendapat As Syafi'i dalam mazhab barunya. 

3.  Mencium isteri bagi orang yang sanggup mengekang dirinya. Diriwayatkan oleh Al-Jama'ah selain dari An Nasa-i bahwa 'Aisyah RA. berkata :

ْكاَنَ النَّبِيُّ صلعم يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ ويُبَاشِرُوَهُوَ صَائِمٌ,  وكَانَ أَمْلَكَكُم لإِرْبِهِ 

"Adalah Nabi SAW. mencium sedang beliau lagi berpuasa dan memeluk sedang beliau lagi berpuasa. Beliau seorang yang paling dapat menahan diri."

Kata Ibn Mundzir: "Mencium isteri itu dibolehkan oleh Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, 'Aisyah, 'Atha', Asy Sya'bi, Al Hasan, Ahmad dan Ishaq."

Ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah memakruhkan ciuman bagi orang yang bergerak syahwatnya; tidak dimakruhkan bagi orang yang tidak bergerak syahwatnya. Tetapi lebih utama ditinggalkan. Tak ada perbedaan antara orang tua dengan orang muda. Yang dii'tibarkan, bergerak tidaknya syahwat dan takut keluar mani.

Disamakan dengan mencium, memegang dengan tangan, dan memeluk. 

d. Injeksi/suntikan, baik suntikan yang dapat mengenyangkan, maupun tidak, baik suntikan di bawah kulit, ataupun suntikan pada urat. Meskipun suntikan itu sampai ke dalam perut, namun sampainya itu tidak melalui saluran biasa.

e. Berbekam. Rasulullah SAW. sebagai yang diriwayatkan Al Bukhari pernah berbekam sedang berpuasa. Akan tetapi jika melemahkan badan, jadi makruh.

Kata Tsabit Al Banani sebagai yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan lain-lain, bahwa pernah ditanyakan kepada Anas Apakah tuan-tuan tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa di masa Rasulullah? Berkata Anas: "Kami menyukai terkecuali kalau melemahkan." Mematikan darah, sama dengan berbekam. 

f. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung. Hanya dimakruhkan mubalaghah saja (terlalu mendalamkan kumur-kumurannya).

Ahli ilmu tidak menyukai menghirup obat ke hidung. Kata Ibn Qudamah: "Apabila seseorang berkumur-kumur atau menghirup air ke hidung dalam berwudlu' lalu masuklah air ke dalam kerongkongan dengan tidak disengaja, maka tak ada apa-apa atasnya." Demikian pendapat Al Auza'i, Ishaq dan Asy Syafi'iy dalam salah satu pendapatnya, dan begitu pulalah pendapat Ibn Abbas.

Kata Abu Hanifah dan Malik: "Batal puasanya, karena ia telah menyampaikan air ke dalam perutnya sedang ia sadar lagi berpuasa, sama dengan sengaja minum."

Kata Ibn Qudamah, untuk menguatkan pendapat pertama "Air sampai ke dalam kerongkongan bukan dengan disengaja, sama dengan masuk lalat ke mulut."

g. Dibolehkan kita menelan barang yang sukar kita memelihara diri dari padanya, seperti menelan air liur, debu, tepung dan dahak, juga debu di jalanan yang beterbangan.

Kata Ibn Abbas: "Boleh kita merasa makanan yang masam dan barang yang mau dibeli."

Al Hasan pernah mengunyah buah jauz yang akan dibeli untuk cucu sedangkan beliau lagi berpuasa. Ibrahim juga membolehkannya.

Dalam pada itu mengunyahkan sesuatu yang tidak hancur, seperti karet dimakruhkan. Di antara yang memakruhkannya, ialah Asy Sya'bi, An Nakha'i, ulama Hanafiyah, Asy Syafi'iy dan ulama Hambaliyah. Akan tetapi 'Aisyah dan Atha' membolehkannya.

Tetapi apabila benda tersebut itu hancur, lalu turun ke dalam perut, maka batallah puasa. Kata Ibn Taimiyah: "Mencium wangi-wangian dibolehkan bagi orang yang sedang berpuasa." Adapun celak dan suntikan dan meneteskan obat ke dalam kemaluan, mengobati luka yang tembus ke dalam perut, luka yang tembus ke otak, maka hal ini diperselisihkan para ulama.

Adapun yang berpendapat tidak membatalkan puasa dengan karenanya. Ada yang membatalkan puasa dengan yang tersebut itu, tidak dengan celak. Ada yang membatalkan dengan semua itu, tidak dengan meneteskan obat. Ada yang tidak membatalkan dengan celak dan meneteskan obat, membatalkan dengan yang lain.

Menurut pendapat yang lebih nyata semua itu tidak memba- talkan. Sekiranya hal-hal itu membatalkan, tentulah Rasulullah SAW. menerangkannya. Sekiranya Rasulullah ada menerangkan tentulah para Shahabat mengetahuinya dan menyampaikannya kepada ummat. Oleh karena tak ada suatu Haditspun dalam hal ini yang dinukilkan daripada Nabi, diyakinilah bahwa Nabi tidak menyebut apa-apa dalam hal itu.

Oleh karena Nabi tidak menerangkan bahwa meminyaki badan, mandi, memakai dupa dan bau-bauan membatalkan puasa, nyatalah bahwa kesemuanya itu tidak membatalkan puasa. Banyak di masa Nabi, orang yang luka kepala dan luka perut. Nabi tidak menerangkan apa-apa. Celak sekali-sekali tidak mengenyangkan dan tidak masuk ke dalam perut, tidak dari hidung, tidak dari mu- lut. Obat yang sampai ke dalam maidah dalam mengobati orang yang luka perut, tidak serupa dengan sampai makanan ke dalamnya. Demikian pula suntikan.

h. Dibolehkan bagi orang yang berpuasa, makan, minum, dan ijma' sebelum terbit fajar. Apabila terbit fajar sedang dalam mulutnya ada makanan, hendaklah diludahkannya, atau bila sedang berjima', wajiblah ia cabut. Jika ia terus membuang atau mencabut, sahlah puasanya, tetapi jika ia telan dan terus berjima', maka batallah puasanya.

i. Dibolehkan bagi orang yang berpuasa memasuki waktu shubuh dalam keadaan berjunub

j. Orang yang berhaidl dan yang bernifas, apabila berhenti darahnya di malam hari, boleh ia mentakhirkan mandi hingga shubuh, kemudian ia mandi untuk shalat.

Berdasarkan buku Pedoman Puasa Tulisan Hasbi Ash-Shiddieqy