Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERWUDHU UNTUK SHALAT DAN THAWAF

BERWUDHU UNTUK SHALAT DAN THAWAF
BERWUDHU UNTUK SHALAT DAN THAWAF

252) Ibnu Umar ra, berkata:

قَالَ النَّبِيُّ : لاَيَقْبَلُ اُللَّه صَلَاةً بِغَيْرِ طَهُورٍِ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ 

Nabi saw. bersabda: "Allah tidak menerima shalat yang dilakukan dengan tidak suci, dan Allah tidak menerima sesuatu sedekah yang dilakukan dengan uang yang diperoleh karena berkhianat dalam rampasan perang." (HR. Al-Jama'ah; Al- Muntaga 1: 126)

253) Ibnu Abbas ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ : إِنَّمَا الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ فَإِذَا طَفْتُمْ قَاَقِلُّوا الكَلَامَ

Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya thawaf (mengelilingi Ka'bah) itu sama seerti shalat. Maka apabila kamu ber-thawaf, hendaklah kamu mengurangi pembicaraan." (HR. Ahmad dan An-Nasa'y; Al-Muntaqa 1: 127) Hadits (252) diriwayatkan oleh Al-Jama'ah (selain Al-Bukhary), menyatakan bahwa suci dari hadats adalah syarat sah shalat.

SYARAH HADITS

Hadits (253) di-shahih-kan oleh Ibnu Sakan, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hib- ban. Hadits ini menyatakan, bahwa thawaf dikerjakan dengan berwudhu seperti berwudhu untuk shalat.

Al-Qadhi lyadh mengatakan: "Para ulama berselisih paham tentang kapan mulai wudhu itu, difardhukan. Menurut pendapat Ibnu Al-Jaham Al-Maliki: wudhu di permulaan Islam dipandang suatu sunnat saja. Kemudian di ketika diturunkan ayat tayammum, barulah wudhu itu difardhukan."

Al-Hafizh dalam Rathad Bari mengatakan: "Sebagian ulama mengatakan bahwa wudhu itu difardhukan di Madinah." Menurut penyelidikan Ibnu Abdil Barr, bahwa mandi janabah telah difardhukan terhadap Nabi sewaktu beliau masih di Mekkah, sebagaimana difardhukan shalat dan Nabi tidak pernah shalat tanpa wudhu.

Para ulama juga berselisih paham, apakah wudhu itu difardhukan atas tiap- tiap orang yang hendak shalat, walaupun tidak ber-hadats, ataukah hanya di- fardhukan atas orang-orang ber-hadats saja? Segolongan salaf berpendapat, bahwa wudhu itu difardhukan atas tiap-tiap orang yang hendak shalat. Kata segolongan lain: "Di permulaan Islam memang demikian, kemudian di-mansukh-kan." Sego- longan yang lain mengatakan: "Perintah wudhu; untuk tiap-tiap shalat adalah perintah sunnat." Segolongan ulama lain mengatakan: "Wudhu hanya disyariatkan untuk orang- orang yang ber-hadats. Hanya disukai kita memperbaruinya untuk tiap-tiap shalat.

An-Nawawy mengatakan: "Menurut hikayat Al-Qadhi, pendapat yang terakhir difatwakan oleh segenap ahli-ahli fatwa dan tidak ada perselisihan lagi di antara mereka." Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fatah, juga berpendapat demikian. Para ulama berselisih paham tentang wudhu untuk thawaf. Malik, Asy-Syafi'y dan Ahmad mengatakan: "Suci dari hadats syarat sah thawaf."

Namun ada juga diriwayatkan dari Ahmad yang menyatakan bahwa suci dari hadats bukan syarat. Maka apabila seorang ber-thawaf, thawaf ziarah dengan tidak suci, hendaklah ia mengulangi thawaf-nya selama ia masih berada di Mekkah. Jika ia telah kembali ke kampungnya hendaklah ia ganti dengan sembelihan.

Abu Hanifah mengatakan: "Suci dari hadats dan najasah itu, bukan syarat sah thawaf."

Para pengikutnya ada yang mewajibkan dan ada yang hanya menyunnatkan.

Ibnu Hazm mengatakan: "Men-thawaf-i Ka'bah boleh dengan tidak suci.

Thawaf itu hanya dilarang atas orang yang sedang haid saja." Menurut zhahir beberapa hadits, memanglah wudhu itu difardhukan atas orang yang ber-hadats yang hendak shalat. Hal ini ditegaskan pula oleh perbuatan Nabi sendiri.

Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Buraidah, bahwa Nabi saw. berwudhu untuk tiap-tiap shalat. Pada Fathu Mekkah, beliau shalat beberapa shalat dengan satu wudhu. Karena itu, 'Umar bertanya: "Ya Rasulullah, saya lihat Anda kerjakan pekerjaan yang belum pernah Anda kerjakan selama ini. Nabi menjawab: "Saya sengaja lakukan yang demikian."

Hal ini menyatakan bahwa kita boleh mengerjakan beberapa shalat dengan satu wudhu.

Dapat pula diperhatikan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darimy dalam Musnad-nya, bahwa Nabi saw. bersabda: "Wudhu itu hanya karena datang hadats." Maka tegaslah bahwa suci itu, bukan syarat sah thawaf, khususnya dalam sanad ha- dits thawaf di atas ini, terdapat seorang yang dha'if menurut pendapat Ibnu Mu'in, yaitu Atha' ibn Saib."

BERWUDHU UNTUK MEMEGANG AL-QUR'AN

254) Amr ibn Hazm ra. menerangkan:

اِنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كَتَابًا وَكَانَ فيهِ: لَا يَمَسُ الْقُرْآنَ إِِلا طَاهِر
"Bahwasanya Nabi saw. mengirim surat kepada penduduk Yaman. Di dalam suratnya terdapat perkataan: "Al-Qur'an tidak boleh disentuh selain oleh orang suci." (HR. Al-Atsram, Abu Dawud, Ad-Daraquthny; Al-Muntaqa 1: 126)

SYARAH HADITS

Hadits (254), diriwayatkan oleh Al-Atsram dan Ad-Daraquthny dari Amr ibn Hazm dari ayahnya dari kakeknya. Hadits ini diperselisihkan oleh para muhadditsin. Abu Dawud mengatakan: "Saya tidak akan meriwayatkan hadits ini." Ibnu Hazm mengatakan: "Surat yang terdapat pada Amir ibn Hazm itu tidak bisa di- jadikan hujjah." Demikian pula dari Ahmad, beliau berkata: "Saya harap hadits ini shahih." Segolongan ahli hadits men-shahih-kan hadits ini melihat kemasyhu- rannya, bukan mengingat sanadnya. Abdul Asybal dalam Syarah At-Tahqiq menegaskan ke-shahih-an sanad hadits ini. Hadits ini menyatakan bahwasanya mushaf, hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang tidak berhadats.

Ibnu Qudamah mengatakan: "Mushaf tidak boleh disentuh atau dipegang selain oleh orang-orang yang suci dari dua hadats." Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Al-Hasan, Atha', Thaus, Asy-Sya'bi dan Al-Qasim ibn Muhammad. Dan ini pulalah pendapat Malik, Asy-Syafi'y dan pengikut-pengikut Abu Hanifah. Dawud membolehkannya. Ibnu Abbas, Adh-Dhahhak, Zaid ibn 'Ali dan Dawud berpendapat bahwa orang-orang yang berhadats kecil boleh menyentuh mushaf

An-Nawawy mengatakan: "Menurut madzhab kami, mushaf haram disentuh dan dibawa oleh orang yang ber-hadats." Demikian pendapat Abu Hanifah, Malik dan jumhur ulama.

Diriwayatkan oleh Al-Hakam dari Hammad dan Dawud: "Boleh menyentuh dan membawanya."

An-Nawawy mengatakan: "Orang yang ber-hadats atau berjunub, boleh me- nulis mushaf, asal saja yang ditulis itu tidak dipegang dan tidak dibawanya. Dan apabila menulis Al-Qur'an (mushaf) di sesuatu kepingan papan, keping itu hukumnya sama dengan mushaf (Al-Qur'an)."

Al-Qadhi Husain mengatakan: "Di-makruh-kan bagi orang yang ber-hadats, melekatkan jimat, di bagian badannya (maksudnya ayat Al-Qur'an yang ditulis dan diikat di badannya)."

Walaupun hadits di atas yang melarang dipandang shahih, namun tidak dapat juga kita jadikan alasan untuk melarang orang-orang yang ber-hadats menyentuh Al-Qur'an (mushafnya), karena:

Pertama, perkataan "yang suci" di sini, adalah kata yang mempunyai beberapa arti, antara lain: 

1) yang suci dari syirik; 
2) yang suci dari hadats besar, 
3) yang suci dari hadats kecil; dan 
4) yang suci dari najasah (najis).

Di sini kita tidak dapat menunjuk kepada suatu makna tersebut, sebelum ada keterangan yang ditunjukkan baginya. Menurut kaidah ushul: tiap-tiap lafazh musytarak (yang banyak maknanya), tidak boleh dimaknakan dengan seluruh maknanya. Untuk menentukan makna yang dipakai, haruslah mempunyai dalil. Maka menentukan yang suci di sini dengan yang suci dari hadats, perlu kepada dalil.

Kedua, orang yang mukmin walaupun ia sedang ber-hadats, atau berjanabah, zatnya tetap tidak najis. Dan jika yang dimaksudkan: tidak boleh dipegang oleh orang yang musyrik, maka berita shahih dari Nabi saw. seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim bahwa beliau mengirim surat kepada Heraclius, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat Al-Qur'an.

Ketiga, sebagaimana pengertian hadits ini, demikian pulalah pengertian ayat: "La yamassuhu illal muththahharun = tidaklah disentuh melainkan oleh orang-orang yang disucikan." Orang-orang yang disucikan itu, boleh diartikan: malaikat, boleh pula orang yang telah bersih dari hadats, najasah dan syirik. Tidak ada keterangan untuk menunjuk kepada sesuatu makna.

Lantaran itu, kita berpaham bahwa dimaksud dengan "tidak disentuh melainkan oleh orang-orang yang disucikan" bahwa Al-Qur'an ini tidak dipaham- kan isinya selain oleh orang-orang yang telah suci, bersih jiwanya. Demikianlah kami memaknakan ayat ini.

Tegasnya, menurut pendapat kami, tidaklah dipahamkan dari ayat maupun hadits ini, bahwa orang-orang yang ber-hadats tidak boleh menyetuh Al-Qur'an. Demikianlah pendapat kami, sekiranya hadits ini dipandang shahih, padahal telah nyata, bahwa hadits ini diperselisihkan.?

BERWUDHU SESUDAH MAKAN DAGING UNTA

255) Jabir ibn Samurah ra. menerangkan:

اِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ ﷺ اَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الغَنَمِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ تَوَضَّأَ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأَ. قَالَ: أَتَوَضَأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ؟ قَالَ: نَعَمْ، تَوَضَّأَ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ. قَالَ: أُصَلِّى فِي مَرَابِضِ الغَنَمِ؟ قال: نعم قَالَ: أصلي في مبارك الابل؟ قَالَ: لا

"Seseorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. ujarnya: "Apakah kami berwudhu karena makan daging kambing?" Rasulullah saw. menjawab: "Jika kamu suka, boleh, jika tidak juga boleh." Orang itu bertanya lagi: "Apakah kami mengambil wudhu karena memakan daging unta?" Rasulullah saw. menjawab: "Berwudhulah karena memakan daging unta. Orang itu bertanya: Bolehkah kami shalat di kandang-kandang kambing? Rasulullah menjawab: Boleh. Kemudian orang itu bertanya lagi: Bolehkah saya shalat di kandang-kandang unta? Rasulullah menjawab: "Tidak." (HR. Ahmad dam Muslim; Al-Muntaga 1: 123) 

Hadits (255) menyatakan bahwa kita disuruh berwudhu lagi sesudah makan daging unta, dan tidak disuruh berwudhu lagi sesudah makan daging kambing dan lain-lain.

An-Nawawy mengatakan: "Pendapat ulama tentang makan daging unta, beragam. Kebanyakan mereka menetapkan, bahwa makan daging unta tidak membatalkan wudhu. Di antara yang berpendapat demikian, ialah Khulafa' Ra- syidin, Ibnu Mas'ud, Ubay ibn Ka'ab, Ibnu 'Abbas, Abu Darda', Abu Thalhah, Amir ibn Rabi'ah, Abu Umamah dan sebagian besar para tabi'in." Di antara muj- tahidin yang berpendapat demikian, ialah Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi'y.

Ahmad, Ishaq ibn Rawaih, Yahya ibn Yahya, Ibnu Mundzir dan Ibnu Khu- zaimah menetapkan bahwa makan daging unta, membatalkan wudhu. Pendapat ini dipilih oleh Al-Baihaqy dari ulama Syafi'iyah. Al-Baihaqy mengatakan: "Semua ahli-ahli hadits setuju dengan pendapat Ahmad dalam masalah ini."

An-Nawawy berkata pula: "Menurut dalil, madzhab Ahmad-lah yang terkuat dalam masalah ini, walaupun Jumhur menyalahinya."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Oleh karena binatang unta mempunyai setan yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya, diperingatkan kita berwudhu sesudah memakan dagingnya."

Mengingat bahwa para khulafa tidak mewajibkan wudhu sesudah makan daging unta, maka kami berpendapat bahwa perintah yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah perintah sunnat. Yakni, sebaiknya kita berwudhu sesudah makan daging unta. Dalam pada itu zhahir hadits terang mewajibkannya. Maka untuk ihtiyath (kehati-hatian) janganlah diabaikan."

BERWUDHU SESUDAH MAKAN MAKANAN YANG KENA API

256) Aisyah ra. menerangkan:

 قَالَ النَّبِيُّ : تَوَضَّئؤُا مِمَّا مَسَّتِ النَّارَ. 

Nabi saw., bersabda: "Berwudhulah kamu karena makan makanan yang disentuh api (dipanggang)." (HR. Ahmad, Muslim dan An-Nasa'y; Al-Muntaqa 1: 128)

257) Maimunah Rasulullah saw berkata:

أَكَلَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ كَتِفِ شَاةٍ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأَ

"Nabi saw. pada suatu hari makan daging paha depan kambing, sesudah itu beliau pun bangun untuk shalat dengan tidak berwudhu lagi." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 128)

SYARAH HADITS

Hadits (256) menyatakan bahwa kita disuruh berwudhu sesudah makanan makanan yang disentuh api (daging yang dimasak atau dipanggang). Sebagian para ulama berpendapat, bahwa berwudhu sesudah makan ma- kanan (daging) yang telah disentuh api itu wajib. Di antara yang berpendapat de- mikian, ialah Ibnu Umar, Zaid ibn Tsabit, 'Umar ibn 'Abdil Aziz, Al-Hasan dan Az-Zuhry. Mereka ini berpegang kepada hadits 'Aisyah. Jumhur ulama tidak me- wajibkan wudhu.

Mempertemukan arti kedua hadits ini, lebih utama daripada memansukhkan salah satunya. Maka apabila hadits ini dipertemukan natijah-nya adalah, berwudhu sesudah makan makanan yang disentuh api (daging yang dimasak atau dipang- gang) sunnat hukumnya: bukan wajib.

Mempertemukan arti kedua hadits dengan cara demikian ini, diakui baiknya oleh An-Nasa'y dalam Al-Majmu' dan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

KEUTAMAAN BERWUDHU UNTUK TIAP-TIAP SHALAT

258) Abu Hurairah ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ : لَوْلَا أَنْ أَشقَّ عَلَى أُمِّتِي لَأَمَرْتُهُمْ عِندَ كُلِّ صَلَاةٍ بِوُضُوءٍ  وَمَعَ كُلِّ وَضَوء بسواك

Nabi saw, bersabda: "Sekiranya tidak menyukarkan umatku, tentulah saya memerintahkan mereka mengambil wudhu untuk tiap-tiap shalat dan bersugi di tiap-tiap wudhu." (HR. Ahmad; Al-Muntaqa 1: 129) 259) Anas ibn Malik ra. berkata:

كَانَ رَسُولُ الله ﷺ تَوَضّأُ عندَ كُلِّ صَلَاةٍ، قِيْلَ لَهُ: فَأَنْتُمْ كَيْفَ 

تَسنَعُونَ؟ قَالَ: كُنَّا نُصَلِّى الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ واحدٍ مًا لَمْ نُحْدِث

"Rasulullah saw. berwudhu di tiap-tiap shalat. Seorang bertanya kepada Anas: "Anda para sahabat bagaimana melakukannya?" Anas menjawab: "Kami shalat beberapa shalat dengan satu wudhu, selama kami belum berhadats." (HR. Al- Jama'ah selain Muslim; Al-Muntaqa 1: 129)

SYARAH HADITS

Hadits (258) menyatakan bahwa wudhu untuk tiap-tiap shalat tidak wajib. Hadits (259) menyatakan bahwa mengambil wudhu untuk tiap-tiap shalat adalah suatu amal yang di-sunat-kan, bukan wajib.

Kebanyakan ulama menetapkan, bahwa berwudhu untuk tiap-tiap shalat, tidak wajib.

Asy-Syaukany mengatakan: "Dimaksud dengan tiap-tiap shalat, dalam hadits ini, ialah shalat fardhu, tidak masuk shalat sunat." Al-Thahawy mengatakan: "Mungkin berwudhu untuk tiap-tiap shalat wajib atas Rasulullah saja, sehingga sampai hari pengalahan Mekkah dan mungkin pula Nabi tidak berwudhu untuk tiap-tiap shalat untuk menyatakan kebolehannya."

Perbedaan pendapat ulama tentang wajib wudhu untuk tiap-tiap shalat, telah kami jelaskan. Dan kedua hadits ini memberi paham, bahwa berwudhu untuk tiap-tiap shalat fardhu, walaupun tidak ber-hadats, disukai.

MENYEBUT NAMA ALLAH DALAM KEADAAN TIDAK SUCI

260) Hushain ibn Mundzir ra. menerangkan:

اِنَّ المُهَاجِرِيْنَ قُنْفُذٍ سَلَّمَ على النَّبِيِّ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَلَمْ يُرَدُّ عَلَيْهِ حَتَّى فَرَغَ مَشَن وُضُوْئِهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ وَقَالَ: إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَوْ أَرُدَّ عَلَيْكَ إِلَّا أَنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ إِلَّا عَلَى طَهَارَةِ

"Muhajir ibn Qunfudz memberi salam kepada Nabi saw. ketika Nabi sedang mengambil wudhu. Nabi tidak menjawab salam itu, sehingga selesai Nabi berwudhu. Sesudah Nabi berwudhu barulah beliau menjawab salamnya, seraya ber- kata: "Tidak ada yang menghalangi aku menjawab salammu, selain karena kesukaanku menyebut nama Allah dalam keadaan aku suci." (HR. Ahmad, Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 130)

261) Juhaim ra. menerangkan:

اَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنْ نَحْوِ بِئْرٍ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الجِدارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ
"Pada suatu hari Rasulullah saw. datang dari sumur Jamal, suatu tempat dekat kota Madinah. Beliau dijumpai oleh seorang laki-laki dan memberi salam kepadanya. Salamnya itu tidak dijawab Rasul, kemudian beliau terus menuju ke satu dinding tembok, lalu menyapu muka dengan dua tangannya (bertayammum). Sesudah itu, barulah beliau menjawab salamnya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 131)

262) Aisyah ra. berkata:

ِكانَ النَّبِيُّ ﷺ يَذْكُرُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِه

"Nabi saw. menyebut Allah dalam segala keadaannya." (HR. Muslim, Abu Dawud dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 132)

SYARAH HADITS

Hadits (260) ini menyatakan bahwa menyebut nama Allah, lebih utama da- lam keadaan suci. Ada hadits yang semakna diriwayatkan pula oleh: Muslim, At-Turmudzy dan An-Nasa'yز

Hadits (261) menyatakan bahwa keutamaan menyebut nama Allah dalam keadaan suci, dan menyatakan pula, bahwa bertayammum boleh bukan dengan tanah atau debu, bahkan menyatakan, bahwa bertayammum bagus juga dilakukan untuk mengerjakan amalan sunnat sebagaimana menyatakan bahwa orang yang memberi salam kepada orang yang sedang melepaskan hajat, tidak memperoleh jawaban salamnya itu, sebelum selesai dari hajatnya.

Hadits (262) menyatakan bahwa Nabi membaca dzikir dalam segala keadaan- nya, baik berjunub atau tidak. An-Nawawy mengatakan: "Seorang yang tidak mendapatkan air di waktu perlu berwudhu boleh terus saja ia bertayammum, baik waktu sudah sempit ataupun masih lapang. Dan tidak ada perbedaan antara shalat jenazah dengan shalat 'Id, apabila ditakuti luput waktu. Demikianlah madzhab kami dan madzhab jumhur." Abu Hanifah mengatakan: "Boleh bertayammum untuk shalat jenazah dan 'Id, apabila ditakuti luput waktu."

An-Nawawy mengatakan: "Di-malruh-kan untuk orang-orang yang sedang melepaskan hajat, menyebut nama Allah baik dengan bertasbih, bertahlil, menjawab salam, bertahmid, mentasmitkan orang yang bersin, maupun menjawab azan. Demikian pula, tidak dibolehkan berdzikir dalam keadaan sedang ber-jima'. Apabila seseorang bersin dalam suatu keadaan ini, hendaklah ia memuji Allah dalam hatinya, janganlah ia gerakkan lisannya. Ke-makruh-an yang dimaksud di sini, adalah makruh tanzih, bukan tahrim. Dan tidak ada perselisihan pendapat, bahwa seseorang yang tidak melepaskan hajatnya boleh berdzikir apabila merasa perlu umpamanya untuk memberi ingat kepada orang buta, semua ulama membolehkannya." Ibrahim An-Nakha'y dan Ibnu Sirin mengatakan: "Boleh menyebut nama Allah di ketika melepaskan hajat."

An-Nawawy mengatakan: "Hadits Aisyah yang di atas ini, menjadi sumber bagi kebolehan bertakbir, bertahlil, bertahmid, dan sepertinya, dalam keadaan tidak suci. Semua ulama memperselisihkan tentang kebolehan membaca Al-Qur'an bagi orang junub dan haid." Asy-Syaukany mengatakan: "Di-makruh-kan berdzikir dalam keadaan buang air dan jima, bukan dalam keadaan tidak suci."

Ke-makruh-an membaca nama Allah dalam keadaan buang air disepakati oleh semua ulama. Hal ini dipahamkan dari Nabi saw. tidak menjawab salam ketika sedang melepaskan hajat. Adapun dalam keadaan ber-hadats, maka hadits 'Aisyah ini, telah menunjukkan kepada kebolehan menyebut nama Allah dalam keadaan berhadats."

DISUKAI BERWUDHU BAGI ORANG JUNUB YANG HENDAK TIDUR

263) Aisyah ra berkata:

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَاءَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرَجَهُ وَتَوَضَّأَ وَضَوْءَهُ لِلصَّلاة
"Nabi apabila mau tidur sedang beliau dalam keadaan junub, maka beliau membasuh kemaluannya, lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat." (HR. Al-Jama'ah; Al-Muntaqa 1: 133)

264) Abu Said Al-Khudry ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ : إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ

Nabi saw. bersabda: "Apabila sesorang telah menyetubuhi istrinya, kemudian mau mengulangi, hendaklah ia berwudhu." (HR. Al-Jama'ah selain dari Al- Bukhary; Al-Muntaqa 1: 133)

SYARAH HADITS

Hadits (263) menyatakan sangatlah disukai orang yang berjunub, supaya berwudhu apabila hendak tidur.

Hadits (264) menyatakan bahwa orang yang berjunub, apabila hendak mengulangi persetubuhan, hendaklah berwudhu.

Ulama Zhahiriyah dan Ibnu Habib dari golongan Malikiyah mewajibkan wudhu atas orang-orang junub yang hendak tidur. Jumhur ulama menyunnatkan saja. At-Thahawy mengatakan: "Dimaksudkan dengan berwudhu di sini, ialah membersihkan kemaluan, bukan berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat." Para ulama juga berselisih paham tentang hukum wudhu atas orang junub yang hendak mengulangi persetubuhan. 

Ulama Zhahiriyah dan Habib, mewajibkan wudhu atas orang yang hendak mengulangi persetubuhan. Jumhur ulama tidak mewajibkannya.

Kumpulan hadits-hadits ini memberikan pengertian, bahwa berwudhu oleh orang yang berjunub untuk tidur sunnat hukumnya, karena di dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban ada perkataan: "Fa innahu ansyathu lil 'audi= berwudhu (sesudah membersihkan kemaluan) me- nambahkan kesegaran untuk mengulangi persetubuhan."

Demikian pendapat Sufyan, Ibnul Mubarak, Asy-Syafi'y, Ahmad, dan Ishaq. Mereka berkata: "Apabila orang-orang yang berjunub mau tidur, hendaklah ia berwudhu."

ORANG JUNUB BERWUDHU UNTUK MAKAN DAN MINUM

265) Amar ibn Yasir ra. menerangkan:

اِنَّ النَّبِيَّ رَخَّصَ لِلْجُنُبِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَا كُلَ أَوْ يَشْرَبَ أَويَنامَ أَنْ يَتَوَََّأَ وَضَوْءَهُ لِلصَّلاة

"Bahwasanya Nabi saw. membolehkan bagi orang berjunub berwudhu saja, apa- bila mau makan minum atau tidur, dengan wudhu seperti wudhu untuk shalat." (HR. Ahmad dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 133)

266) 'Aisyah ra berkata:

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَشْرَبَ أَوَيَنَامَ وَهُوَ حُنُبٌ يَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ

"Nabi saw. apabila hendak makan, minum atau tidur sedang beliau dalam keadaan berjunub, beliau membasuh kedua tangannya, sesudah itu beliau makan dan minum." (HR. Ahmad dan An-Nasa'y; Al-Muntaqa 1: 133)

SYARAH HADITS

Hadits (265) kata At-Turmudzy: "Hadits ini shahih." Hadits ini menyatakan keutamaan mandi sebelum tidur, dan membolehkan kita mencukupi dengan berwudhu saja.

Hadits (266) diterima baik oleh Al-Hafizh dan Ibnu Sayyidin Nas. Hadits ini menyatakan, bahwa orang yang berjunub, boleh terus tidur dengan tidak berwudhu.

Asy-Syaukany mengatakan: "Seluruh ulama sepakat, tidak mewajibkan wudhu atas orang junub yang hendak makan dan minum walaupun ada di- riwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau mewajibkannya."

An-Nawawy mengatakan: "Kesimpulan yang diperoleh dari hadits-hadits ini, ialah bahwa orang junub boleh makan, minum, tidur dan bersetubuh kembali sebelum mandi. Ketetapan ini disepakati oleh seluruh ulama. Dan mereka bersepakat menetapkan, bahwa badan orang yang berjunub dan peluhnya, adalah suci. Hadits tersebut berkenaan dengan masalah ini, terutama apabila mau meng- ulangi persetubuhan."

Kompromi dari hadits-hadits ini memberikan natijah, bahwa orang yang berjunub itu, boleh terus tidur dengan tidak mengambil air wudhu. Berwudhu untuk tidur itu sangat disukai.

Perlu ditegaskan, bahwa menyangka orang yang berjunub apabila bekerja di ladangnya, atau di perniagaannya sebelum mandi mendatangkan kemudaratan pada usahanya itu, adalah suatu persangkaan yang berdasarkan kebodohan semata-mata. Juga mengatakan bahwa orang yang berjunub, tidak boleh mencukur rambutnya, tidak boleh mengerat kuku-kukunya, tidak boleh berbekam dan sepertinya, adalah pendapat yang tidak beralasan sedikit juga.

Al-Bukhary dalam Shahih-nya mengatakan: "Atha' berkatalah bahwa orang yang berjunub boleh berbekam, boleh mengerat kuku, boleh memotong atau mencukur rambut, walaupun ia tidak berwudhu untuk keperluan-keperluan itu. Dan tidak ada halangan sedikitpun, orang yang berjunub pergi ke mana ia ke- hendaki, sebelum ia mandi."

BERWUDHU UNTUK TIDUR

267) Al-Bara' ibn Azib ra, berkata:

قَالَ النَّبِيُّ : إِذَا أَتَيْتَ مَضْجِعَكَ فَتَوَضَأَ وَضُوْءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِكَ الْأَيْمَنِ، ثم قُلْ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَوَجَّهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِى إِلَيْكَ، وَاَلْجَأْتُ ظَهْرِى اِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً اِلَيْك لاَمَلْجَأَ وَلَا مَنْجَى مِنْكَ اِلاَّ اِلَيْكَ الَّلهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى أَنْزَلْتَ، وَنَبِيِّكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ , فَإنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِك فَأَنْت عَلىَ الفِطْرَةِ، وَاجْعَلُهُنَّ مِنْ أَخِرِ مَاتَتَكَلَّمَ بِهِ، قَالَ: فَرَدَدْتُهَا عَلَى النَّبِيِّ فَلَمَّا بَلَغْتُ الَّلهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي اَنْزَلْتَ. قُلْتُ: وَرَسُولِكَ. قَالَ: لَا، وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ

Nabi saw. bersabda: "Apabila kamu mau masuk ke tempat tidur mau berbaring, berwudhulah kamu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian untuk ber- baringlah atas lambung sebelah kanan. Sesudah itu bacalah: Allahuma aslamtu nafsi ilaika wa wajjahtu waj-hi ilaika, wa fawwadh-tu amri ilaika wa alja'tu zhahri ilaika raghbatan wa rahbatan ilaika. La malja-a wa la manja minka illa ilaika. Allahumma amantu bi kitabikal ladzi anzalta, wa nabiyyikal ladzi arsalta (Wahai Tuhanku, aku serahkan diriku kepada-Mu aku hadapkan diriku kepada-Mu, aku pulangkan segala urusanku kepada-Mu, dan aku sandarkan diriku kepada-Mu, karena cintaku dan takutku kepada-Mu. Tidak ada tempat bernaung dan melepaskan diri dari pada-Mu, melainkan kepada-Mu wahai Tuhanku. Aku telah imani kitab-Mu yang telah Engkau turunkan kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utuskan). Maka jika kamu mati di malam itu kamu mati di dalam kesucian. Jadikanlah doa itu, akhir pembicaraan. Al-Bara' mengatakan: "Maka saya pun mengulangi ucapan itu ketika sampai : "Wa nabiyyika (dan akan Nabi-Mu)", aku ganti dengan: "Wa rasulika", ketika itu Nabi terus berkata: Jangan ganti bacaan: "Wa nabiyyika." (HR. Ahmad, Al-Bukhary dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 132)

SYARAH HADITS

Hadits (267) menyatakan bahwa apabila kita hendak tidur, hendaklah kita berwudhu (hendaklah tidur dengan ada wudhu di badan), dan menjaharkan dzikir yang harus kita ucapkan di waktu hendak tidur, dan jangan berbicara apa-apa lagi setelah berdzikir itu.

Segenap fuqaha menyunnatkan kita berwudhu sebelum pergi tidur. Al-Hafizh dalam Fathul Bari mengatakan: "Hikmahnya Nabi meminta Al- Bara, tidak mengganti kata nabi dengan rasul ialah mengingat bahwa lafazh-lafazh dzikir harus diucapkan persis seperti yang diterima dari Nabi, lantaran lafazh- lafazh itu mempunyai khasiat-khasiat dan rahasia yang tidak dapat dibanding- bandingkan. Tegasnya, wajib dijaga benar lafazh-lafazh yang diterima. Apalagi bo- leh jadi, lafazh-lafazh itu, diwahyukan. Karena itu, perlulah kita sebut sebagai- mana yang Nabi bacakan itu."

An-Nawawy mengatakan: "Hadits ini mengandung tiga sunnah yang penting pertama, berwudhu ketika hendak tidur. Tetapi kalau sudah ada wudhu cukuplah itu saja, karena yang dimaksud adalah, tidur dalam keadaan suci. Kedua, menutup pembicaraan dengan dzikir. Ketiga, tidur atas lambung kanan."

Al-Kinnani mengatakan: "Hadits ini-dzikir-dzikir dalam hadits ini-me- liputi dasar-dasar iman; iman kepada kitab, iman kepada Rasul, bahwa Allah ber- sifat dengan segala sifat kesempurnaan, dan meridhai qadha."

Hadits ini, selain memberi pelajaran-pelajaran kepada orang-orang yang hendak tidur, juga menjadi kritikan keras kepada ahli bid'ah. Kita pahamkan dari larangan mengganti lafazh nabi dengan rasul, bahwa mengadakan wirid-wirid, hizib-hizib dan bermacam-macam dzikir yang tidak dikerjakan Rasul dan tidak pula oleh sahabat-sahabatnya, tidak dibenarkan agama. Berpegang kepada mimpi- mimpi, tidak dibenarkan dalam urusan dzikir. Karena itu kita peringatkan supaya kembalilah umat kepada mengutamakan dzikir-dzikir yang diucapkan Nabi. Janganlah mengutamakan dzikir-dzikir yang dibuat-untuk seseorang umat, walau- pun sudah betapa megah dan keramatnya."

Referensi Dari Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Bab Hal-hal yang Membatalkan Wudhu Dari Buku Koleksi hadits-Hadits Hukum Jilid 1