Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU'

yang membatalkan wudhu menurut al- quran

BATAL WUDHU KARENA KELUAR SESUATU DARI DUBUR ATAU QUBUL

239) Abu Hurairah ra. berkata:

قال النبي : لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَتَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Nabi saw. bersabda: "Allah tidak menerima shalat seseorang dari karnu apabila berhadats, hingga kamu berwudhu lagi." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaga 1: 113)

SYARAH HADITS

Hadits (239), lengkapnya: ketika Abu Hurairah menerangkan hadits ini, se- orang yang berasal dari Hadramaut bertanya: Apakah yang dinamai hadats itu Abu Hurairah? Abu Hurairah menjawab: "Kentut." 

Hadits ini menyatakan, bahwa keluar sesuatu dari qubul atau dubur membatalkan wudhu, dan wudhu itu tidak diwajibkan untuk setiap akan shalat.

Tidak ada perselisihan di antara para ulama, tentang batalnya wudhu, apabila keluar hadats. Dalam pada itu mereka berselisih tentang menentukan hadats-hadats itu. Kata Ibnu Daqiqil Id: "Diterimanya sesuatu adalah apabila dikerjakan secara sahnya. Maka tiap-tiap yang tidak diterima, berarti tidak sah." Hadats mempunyai tiga pengertian:

Pertama, sesuatu yang keluar dari salah satu dubur atau qubul. Kedua, keluarnya yang keluar itu. Ketiga, halangan yang disebabkan oleh keluarnya yang keluar itu. Maka arti "saya ber-hadats", ialah "saya mempunyai halangan yang meng- halangi saya shalat."

Para fuqaha mempergunakan kata hadats ini, untuk segala yang mewajibkan thaharah. Karena itu, kalimat "apabila ia ber-hadats" berarti "apabila ia melakukan sesuatu yang mewajibkan thaharah."

An-Nawawy mengatakan: "Kebanyakan sahabat kami berpendapat bahwa yang menggugurkan wudhu ada lima perkara:
a. Keluarnya sesuatu dari qubul dari dubur
b. Tidur
c. Hilang kesadaran karena gila, ayan dan lain-lain 
d. Menyentuh perempuan, yang bukan muhrim
e. Memegang kemaluan dengan telapak tangan. 

An-Nawawy berkata pula: "Ada tiga hal yang menggugurkan wudhu. Satu hal yang disepakati, dua yang diperselisihkan. Hal yang disepakati, ialah berhenti hadats yang telah lama seperti istihadhah. Seorang perempuan musthahadhah yang mengambil air wudhu, sah wudhunya. 

Apabila berhenti istihadhah-nya, sembuh dari penyakit, batallah wudhunya yang telah diambil sebelum istihadhahnya itu ber- henti dan ia wajib mengambil wudhu yang lain. Yang diperselisihkan: pertama, mem- buka sepatu, pendapat yang sah apabila sepatu dibuka, kembalilah hadats-nya. Juga ada yang mengatakan: kembali hadats kepada seluruh anggota dengan arti wajib berwudhu dengan sepenuhnya dan ada yang mengatakan, kembali hadats kepada kaki saja dengan arti: wajib membasuh kaki saja. Kedua, irtidad (menjadi murtad). Menurut madzhab kami segala yang keluar itu membatalkan wudhu baik yang keluar itu barang yang nadir, maupun yang biasa, demikian pendapat para jumhur ulama."

Ibnu Mundzir mengatakan: "Para ulama bermufakat menetapkan bahwa ke- luar tahi, kencing, kentut dan madzi, membatalkan wudhu. Adapun keluar darah istihadhah, kebanyakan ulama sepakat membatalkan wudhu. Hanya Rabi' Abu'ah ra. sajalah yang tidak membatalkannya."

Para ulama berselisih paham tentang keluar cacing. Atha', Al-Hasan Al-Bishry, Hammad ibn Abi Sulaiman, Sufyan, Al-Auza'y, Ibnul Mubarak, Asy-Syafi'y, Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa cacing yang keluar itu membatalkan wudhu. Qatadah dan Malik berpendapat hal tersebut tidak membatalkan wudhu. Diriwayatkan dari Ibnu Mundzir, bahwa Malik berpendapat, wudhu tidak batal karena keluar darah dari dubur.

Ulama yang tidak membatalkan wudhu lantaran keluar sesuatu yang najis (sesuatu yang sering terjadi) seperti darah, berdalih dengan "tidak batal wudhu, terkecuali karena suara dan angin."

Ibnu Qudamah mengatakan: "Wudhu menjadi batal karena keluar tahi atau kencing, walaupun bukan dari jalannya yang biasa."

Para ulama telah membahas dan memperkatakan masalah ini dengan panjang lebar. Masing-masing mengemukakan ijtihadnya. Menurut zhahir hadits: "batal wudhu karena ber-hadats." Keluar tahi, kencing dan angin dari lubang kemaluan. Tahi dan kencing telah ditunjuki oleh ayat sendiri. Mengenai keluar angin ditunjuki oleh hadits Abu Hurairah. Abu Hurairah menafsirkan hadats dengan ke- luar angin, karena keluar angin itu, tidak jelas dalam kandungan ayat itu. Tegasnya, keluar tahi dan kencing, atau angin dari bukan jalannya yang biasa, tidaklah membatalkan wudhu.

Hadits ini menerangkan bahwa yang menyebabkan shalat tidak sah, ialah hadats. Dengan demikian selama belum berhadats, tetap sah mengerjakan shalat walaupun telah berlalu beberapa waktu. Juga hadits ini menyatakan, bahwa wu- dhu batal, apabila berhadats, baik hadats itu keluar dengan sengaja atau terpaksa.'

BERWUDHU KARENA KELUAR MADZI

240) Ali ibn Abi Thalib berkata:

كُنتُ رَجُلاً مَنَّاءً فَأَمَرْتُ المِقْدَادَ أَنْ يَسْئَلَ النَّبِيُّ ، فَسَأَلَ فَقَالَ: فِيهِ الْوُضُوء

"Saya seorang yang sering keluar madzi. Maka saya menyuruh Al-Miqdad bertanya kepada Nabi. Pertanyaan Al-Miqdad itu dijawab Nabi: "Padanya ada wudhu." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Bulughul Maram: 16).

SYARAH HADITS

Hadits (240), menyatakan, bahwa madzi menggugurkan wudhu dan mengharuskan kita berwudhu lagi untuk shalat.

Seluruh fuqaha berpendapat, bahwa wudhu batal karena madzi yang keluar dari penis, karena syahwat. Adapun madzi yang keluar bukan karena syahwat, maka Malik berpendapat: tidak wajib wudhu karena tidak membatalkan wudhu. Ibnu Hazm mengatakan: "Wudhu batal karena keluar madzi, walaupun keluarnya dari mulut."

Kami condong kepada paham Malik dalam masalah ini, mengingat bahwa yang keluar dengan tidak disertai rasa nikmat, sama hukumnya dengan madzi mani yang keluar karena penyakit. Dalam pada itu kalau kita berpegang kepada zhahir hadits, sebaiknya kita berwudhhu untuk shalat lantaran madzi keluar walaupun tidak disertai rasa nikmat.

BERWUDHU SESUDAH TIDUR LAMA

241) Shafwan ibn Assal ra, berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لَانَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِهِنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطِ وَبَوْلِ وَنَوْمٍ

"Rasulullah saw. memerintahkan kami apabila kami dalam safar, tidak membuka sepatu-sepatu kami selama tiga hari tiga malam, terkecuali lantaran janabah, beliau tidak menyuruh membukanya karena membuang air (besar ataupun kecil) dan karena tidur." (HR. Ahmad, An-Nasa'y, dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 115)

242) Anas ibn Malik ra. berkata:

َكَانَ أَصْحَابُ رَسُول الله يَنْتَظِرُوْنَ الْعِشَاءَ الأَخِيْرَةَ حَتَّى تَخْفِق رُؤُسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّؤُنَ

"Para sahabat Rasul saw. menantikan shalat Isya' sambil duduk di dalam masjid, sehingga dipenuhi rasa kantuk, kemudian setelah Nabi datang, mereka bangun bershalat dengan tidak mengambil wudhu." (HR. Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 117)

SYARAH HADITS

Hadits (241), At-Turmudzy dan Ibnu Khuzaimah menyatakan shahih. Hadits ini menyatakan, bahwa buang air besar atau kecil, demikian juga tidur, membatalkan wudhu.

Hadits (242) asalnya terdapat dalam Shahih Muslim. Ad-Daraquthny mengata- kan hadits ini shahih. Hadits ini menyatakan bahwa tertidur, tidak membatalkan wudhu. Para sahabat tertidur dalam menantikan shalat, kemudian terus shalat dengan tidak berwudhu lagi.

Para fuqaha mempunyai delapan pendapat dalam masalah tidur. 

  • Abu Musa Al-Asy'ary, Sa'id ibnul Musayyab dan Amr ibn Dinar berpendapat, bahwa tidur atau kantuk tidak membatalkan wudhu. 
  • Al-Hasan, Al-Muzani, Abu Ubaid, Al-Qasim ibn Salam, Ishaq ibn Rahawaih dan Ibnu Mundzir, bahwa tidur itu membatalkan wudhu. Demikian keterangan An-Nawawy 
  • Az-Zuhry, Rabi', Al-Auza'y, Malik dan Ahmad dalam suatu riwayatnya bahwa tidur yang lama membatalkan wudhu, tidur yang sebentar tidak. 
  • Abu Hanifah dan Dawud berpendapat, bahwa apabila tertidur itu terjadi dalam pelaksanaan shalat, umpamanya tertidur dalam rukuk atau duduk, maka tidur itu membatalkan wudhu, demikian juga di luarnya.
  • Ahmad menurut satu riwayat darinya berpendapat, bahwa tidur yang membatalkan wudhu hanyalah tidur dalam keadaan rukuk ataupun sujud. 
  • Ahmad dalam riwayat lain berpendapat bahwa tidur yang membatalkan wudhu hanyalah tidur dalam keadaan sujud. Zaid ibn 'Ali berpendapat, bahwa tidur yang membatalkan wudhu hanya tidur dalam shalat, sedang tidur di luar shalat tidak.
  • Asy-Syafi'y berpendapat, bahwa apabila seseorang tidur dalam keadaan punggungnya tetap di tanah, atau di lantai, maka tidurya itu tidak membatalkan wudhu sebentar atau lama, di dalam shalat ataupun di luarnya.

Mengapa para ulama berlainan pendapat dalam masalah ini, adalah karena hadits yang mereka peroleh dalam masalah ini berlainan. Maka pendapat yang lebih mendekati kebenaran menurut pendapat kami, ialah bahwa tidur itu membatalkan wudhu mengingat hadits Shafwan. 

Akan tetapi oleh karena hadits Anas menyatakan, bahwa para sahabat tidur sambil duduk, atau sambil ber- baring menurut riwayat Yahya Al-Qaththan tidak berwudhu lagi, perlulah kita kumpulkan hal ini. Yaitu menetapkan tidur yang membatalkan wudhu, hanyalah tidur yang nyenyak, yang menghilangkan kesadaran. Sebenarnya, bukanlah tidur itu sendirinya yang membatalkan wudhu, tetapi hanya apabila ada kemungkinan berhadats dalam tidur. Semua ulama menetapkan, bahwa hilang kesadaran, ayan dan mabuk, menggugurkan wudhu, disamakam dengan tidur.

BERWUDHU KARENA MENYENTUH PEREMPUAN

243) Aisyah ra. menerangkan

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّى وَلَا يَوَضَّأَ

"Nabi saw. pernah mencium seorang istrinya. Kemudian terus bershalat dengan tidak berwudhu." (HR. Ahmad; Al-Muntaqa 1: 119)

244) 'Aisyah ra. berkata:

اإِنْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ لَيُصَلَّى وَإِِنِّيْ لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتَرَاضَ الْجَنَازَةِ حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِى بِرْجْلِهِ

"Pada suatu waktu Rasulullah saw. mengerjakan shalat, sedang aku tidur di hadapannya seperti janazah. Apabila Rasul hendak mengerjakan witir, beliau menyentuh aku dengan kakinya." (HR. An-Nasa'y; Al-Muntaga 1: 120)

245) 'Aisyah ra. berkata:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنَ الفَرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَضَعْتُ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي المَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُبِكَ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُبِكَ مِنكَ لَأُحْصِى ثَنَاءَ عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
"Pada suatu malam, ketika aku terbangun dari tidur, aku melihat Rasul tidak ada di tempat tidur. Maka aku pun mencarinya. Di saat aku mencarinya itu, terabalah oleh tanganku telapak kakinya (beliau ketika itu sedang bersujud) di dalam masjid. Kaki Rasul pada ketika itu ditegakkan. Aku mendengar secara terang beliau membaca dalam sujudnya: "Allahumma inni a'udzu bika bi ridhaka min sakhathika wa bimu'afatika min 'uqubatika wa a'udzu bika minka, la uh-shi tsana'an alaika anta kama atsnaita 'ala nafsika." (HR. Muslim dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 120)

SYARAH HADITS

Hadits (243) diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang dipandang shahih oleh Al-Bukhary dan Muslim. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad-nya yang dipandang baik oleh Az-Zaila'y dari Aisyah, dan diriwayatkan juga oleh Ishaq ibn Rahawaih dan Al-Bazzar dengan sanad yang baik.

Abdul Haq mengatakan: "Aku tidak mengetahui apa sebabnya sebagian fuqaha tidak mengamalkan hadits ini, padahal aku tidak mengetahui dan tidak menemui cacatnya." Al-Sindi mengatakan: "Hadits ini menjadi hujjah dengan ittifaq (kesepakatan) ahli-ahli hadits." Al-Hafizh mengatakan: "Hadits ini telah diriwayat- kan dari sepuluh jalan. Hadits ini telah di-shahih-kan juga oleh Ibnu Abdil Barr."

Hadits (244) Ibnu Hajar Al-Hafizh mengatakan isnad-nya shahih. Al-Zaila'y di dalam Nashbur Rajah mengatakan isnad-nya terkenal menurut syarat hadits shahih. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dengan lafazh yang lain. Hadits (245) At-Turmudzy menyatakan shahih. Hadits ini menyatakan, bahwa menyentuh badan perempuan tidak membatalkan wudhu.

An-Nawawy mengatakan: "Menurut madzhab jadid Asy-Syafi'y, batal wudhu dengan menyentuh kulit badan perempuan, walupun mahram (tidak boleh di- kawini). Menurut madzhab qadim-nya, tidak batal dengan menyentuh kulit per- empuan yang mahram, baik menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak."

Ibnu Qudamah mengatakan: "Mazhab Ahmad, membatalkan wudhu dengan menyentuh perempuan, jika sentuhan itu dengan syahwat. Demikian pula madzhab Malik, Asy-Sya'bi dan Ats-Tsaury. Dalam pada itu diriwayatkan juga dari Ahmad, bahwa beliau tidak membatalkan wudhu lantaran menyentuh per- empuan, walaupun dengan syahwat."

Abu Hanifah mengatakan: "Tidak batal, terkecuali kalau ia memeluk istrinya lalu kemaluannya menjadi tegang."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Tidak ada suatu hadits yang sha- hih yang mewajibkan wudhu lantaran menyentuh perempuan. Menyentuh badan perempuan adalah suatu hal yang umum, karena itu menyentuh perempuan tidak menggugurkan wudhu. Segala hukum-hukum yang perlu diketahui umat Rasul menerangkan dengan penerangan yang umum, dan tentulah dinukilkan oleh umat. 

Maka oleh karena itu tidak ada keterangan yang umum dan tidak ada nukil yang umum, diyakinilah dengan pasti, bahwa menyentuh perempuan tidak menggugurkan wudhu. Demikian pula halnya mani, yakni tidak najis. Tidak ada suatu nukilan dengan sanad yang shahih yang dapat dijadikan hujjah yang menegaskan, bahwa Nabi menyuruh umatnya, membasuh badan dan kain dari mani."

Dapat pula diketahui bahwa Nabi saw. tidak mewajibkan wudhu karena menyentuh perempuan dan keluar najis bukan dari dua jalan. Tidak ada suatu hadits yang menyuruh kita membasuh diri dari najis-najis yang keluar bukan dari dua jalan. Kita mengetahui, bahwa para sahabat sering berbekam, sering muntah, sering mendapat luka dalam peperangan dan lain-lain, padahal tidak ada seorang muslim juga yang menukilkan bahwa Nabi menyuruh para sahabat untuk ber- wudhu karena hal tersebut. Juga para sahabat terus-menerus menyentuh istri- istrinya baik dengan syahwat ataupun tidak dengan syahwat.

Nabi tidak pernah menyuruh mereka berwudhu karena hal tersebut. Al-Qur'an juga tidak menunjukkan hal yang demikian. Al-Qur'an menghendaki dari mula masalah sentuh menyentuh adalah dengan jima.' Nabi pernah menyuruh ber- wudhu karena menyentuh kemaluan. Hal ini sebenarnya, suatu sunnat. Lantaran itu, disukai bagi orang yang menyentuh perempuan dengan syahwat supaya berwudhu.

Tafsir yang sangat patut dipegangi dalam hal ini, ialah tafsir Ibnu Abbas, yang disetujui oleh 'Ali dan oleh segolongan sahabat-sahabat lain. Men-dha'if-kan hadits yang pertama (243) oleh Al-Bukhary tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak hadits yang lain. Kita mengetahui bahwa hadits ini diriwayatkan dari sepuluh jalan. Maka apabila terdapat ke-dha'if-an dalam salah satu jalan, tidaklah hadits itu dapat ditolak. Karena masih ada sembilan jalan yang men-shahih-kannya. Apalagi apabila diingat bahwa suatu hadits apabila banyak jalan periwayatnya, naiklah ia ke derajat hasan. 

Di dalam perselisihan ini, tidak dapat didahulukan cerca atas puji. Apa lagi yang dicerca itu bukan yang dipuji. Karena itu menurut penyelidikan kami, bahwa paham yang shahih ialah paham yang tidak membatalkan wudhu lantaran menyentuh kulit perempuan. Kalau sentuhan itu disertai syahwat, maka sebaiknya kita bewudhu.

Dan kita maknakan sentuhan dengan sentuhan kulit, maka hasilnya ialah menyentuh perempuan, baik mahram ataupun bukan, membatalkan wudhu. Kalau perempuan di dalam ayat adalah umum. Nash yang mengecualikan mahram, tidak ada. Karena itu nyatalah, bahwa pendapat ulama-ulama Syafi'iyah dalam masalah ini (tidak konsisten)."

BERWUDHU KARENA MENYENTUH KEMALUAN SENDIRI

246) Busrah ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Nabi saw. bersabda: "Barangsiapa menyentuh kemaluannya, janganlah ia shalat sebelum ia berwudhu." (HR. Ahmad, An-Nasa'y, dan At-Turmudzy; Al- Muntaga 1: 121)

247) Ummu Habibah ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Nabi saw. bersabda: "Barangsiapa menyentuh faraj-nya, hendaklah ia berwudhu." (HR. Ibnu Majah dan Al-Atsram; Al-Muntaqa 1: 121)

248) Thalaq ibn 'Ali ra, berkata:

قَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِى أَوْ قَالَ: الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ أَعَلَيْهِ الْوُضُوهُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ: لَا إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ

Seseorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. ujarnya; "Saya pernah me- nyentuh kemaluan saya, atau ujarnya: "Seseorang yang menyentuh kemaluannya dalam shalat, apakah ia wajib berwudhu?" Rasulullah saw. menjawab: "Tidak, karena kemaluan itu sebagian anggota tubuh." (HR. Ahmad dan Abu Dawud; Bulughul Maram: 17)

SYARAH HADITS

Hadits (246) Al-Bukhary mengatakan: "Inilah hadits yang paling shahih dalam masalah menyentuh kemaluan." Hadits ini menyatakan, bahwa menyentuh ke- maluan membatalkan wudhu.

Hadits (247), Ahmad dan Abu Zar'ah ra menyatakan shahih. Hadits ini menyatakan bahwa menyentuh faraj membatalkan wudhu. 

(248), Amr ibn 'Ali Al-Falas mengatakan: "Hadits ini pada hadits Busrah." Ibnu Madini menyatakan hadits ini shahih. Ath-Thabrany, Ibnu Hibban dan Ibnu Hazm men-shahih-kannya juga. Hadits ini menyatakan, bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu.

Umar, Abdullah ibn 'Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Sa'ad ibn Abi Waq- qash, Atha', Az-Zuhry, Ibnu Musayyab, Mujahid, Aban ibn Utsman, Sulaiman ibn Yasar, Malik, Asy-Syafi'y, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.

Ali ibn Abi Thalib, Amer ibn Yasir, 'Abdullah ibn Mas'ud, Huzaifah, Imran ibn Hushain, Abu Darda', Said ibn Jubair, Ibrahim An-Nakha'y mengatakan bahwa menyentuh kemaluan, tidak membatalkan wudhu.

Malik menurut riwayat yang lain, berpendapat bahwa mengambil wudhu sesudah tersentuh kemaluan, hanya disunnatkan saja tidak diwajibkan. Juga diriwayatkan dari Ahmad dalam salah satu riwayat yang lain bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu.

Ibnu Qudamah mengatakan: "Jika kita berpegang kepada hadits yang membatalkan wudhu, maka tidak ada perbedaan antara yang disengaja dengan yang tidak. Demikian pendapat Al-Auza'y, Asy-Syafi'y dan Ishaq." Ahmad me- ngatakan: "Tidak batal wudhu karena memegang kemaluan, terkecuali dengan sengaja memegangnya." Menurut pendapat Malik, Al-Laits, Asy-Syafi'y dan Ishaq, sentuhan yang membatalkan wudhu ialah sentuhan dengan telapak tangan. Dan tidak ada perbedaan antara kemaluan sendiri dengan kemaluan orang lain. Dawud mengatakan: "Menyentuh kemaluan orang lain, tidak membatalkan wudhu." Ibnu Qudamah berpendapat tidak ada perbedaan antara kemaluan anak kecil dengan kemaluan orang dewasa. Demikian paham Asy-Syafi'y.

Az-Zuhry dan Al-Auza'y mengatakan: "Tidak batal wudhu lantaran menye- ntuh kemaluan anak kecil."

Asy-Syafi'y mengatakan: "Hukum menyentuh lubang dubur disamakan de- ngan hukum menyentuh kemaluan juga." Malik mengatakan: "Menyentuh lubang dubur, tidak membatalkan wudhu."

Karena hadits Busrah berlawanan dengan hadits Thalaq, maka para fuqaha berselisih paham. Golongan yang membatalkan air wudhu lantaran menyentuh kemaluan, memandang hadits Busrah tidak me-nasakh-kan hadits Thalaq. Golong- an yang membatalkan air wudhu, dengan menyentuh kemaluan, berpendapat sebaliknya, yakni memandang hadits Busrah itulah yang mansukh.

Menurut pemeriksaan kami, menetapkan sesuatu hadits mansukh adalah jika tidak dapat dikompromikan. Kedua-dua hadits ini dapat dikompromikan, yaitu memandang bahwa perintah mengambil wudhu yang dimaksud oleh hadits Busrah, perintah sunnat, bukan wajib atau memandang bahwa sentuhan yang menggugurkan wudhu ialah sentuhan yang disertai syahwat. Sentuhan yang tidak disertai syahwat, tidak membatalkan wudhu. Mengingat yang tersebut ini, maka semata-mata menyentuh atau tersentuh kemaluan itu, tidak membatalkan wudhu. Apabila seseorang menyentuh kemaluannya dan tergerak syahwatnya, sebaiknya ia berwudhu.

Ulama yang membatalkan wudhu lantaran menyentuh kemaluan, mensyaratkan sentuhan dengan tidak berlapik. Menurut hemat kita, walaupun berlapik kalau kepalan-kepalan itu menggerakkan syahwat sebaiknya tetap ia berwudhu.

BERWUDHU KARENA RAGU-RAGU DALAM BERHADATS

249) Ibnu Abbas ra. berkata:

قَالَ رَسُولُ اللهِ : يَأْتِي أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فِي صَلَاتِهِ فَيَنْفُخُ فِي مَقْعَدَتِهِ فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ أَحْدَثَ ولَمْ يُحْدِتْ، فَإِذَا وَجَدَ ذَلِكَ فَلَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا

Rasulullah saw. bersabda: "Setan itu datang kepada seseorang di antara kamu yang sedang bershalat. Maka dia tiupkan di punggung orang itu dan lalu orang itu pun merasa ber-hadats, padahal sebenarnya belum berhadats. Karena itu apabila seseorang berperasaan sedemikian, janganlah ia merusakkan shalatnya, sehingga ia mendengar bunyi (kentutnya) atau mencium baunya." (HR. Al-Bazar; Bulughul Maram:18)

250) Abu Hurairah ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ : إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٍ أَوَلَا، فَلَا يَخْرُجْ مِنَ المَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْيَجِدَ رِيْحًا

Nabi saw. bersabda: "Apabila salah seorang merasakan sesuatu di perutnya, apakah ia keluar angin (kentut, ataukah tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid hingga ia dengar bunyi (kentutnya) atau ia mencium baunya." (HR. Muslim dan At-Turmudzy; Al-Muntaga 1: 125)

251) Abu Said Al-Khudry ra. berkata:

قالَ النَّبِيُّ : إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِي اَحَدَكُمْ وَهُوَ فَى الصَّلَاةِ فَيَأْخُذُ شَعْرَةً مِنْ دُبُرِهِ فَيَمُدُّهَا فَيَرَى أَنَّهُ قَدْ أَحْدَثَ فَلَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يُجِدَ رِيْحًا.

Nabi saw. bersabda: "Setan datang kepada seorang di antara kamu yang sedang shalat dan menariknya. Karena itu terasalah oleh orang itu, bahwa ia telah ber- hadats. Lantaran itu, janganlah orang itu berpaling dari shalatnya, hingga ia mendengar suara atau mencium baunya (kentut)." (HR. Abu Dawud; Al- Muntaqa 1: 125)

SYARAH HADITS

Hadits (249), pokoknya terdapat dalam Shahihain.

Ketiga hadits tersebut menunjukkan pada suatu pokok dan kaidah penting, bahwa segala rupa pekerjaan dihukumkan kepada hukumnya yang semula, hingga diyakini benar telah datang yang membatalkannya. Hukum asal (yang sudah ada) itu tidak dapat dihilangkan oleh keraguan. Tegasnya, apabila kita ragu, apakah sudah kentut ataukah belum, belumlah kita dihukumkan telah ber-hadats, sebab hukum asalnya kita belum kentut.

An-Nawawy mengatakan: "Apabila seseorang telah yakin berwudhu tetapi ragu apakah ia telah ber-hadats ataukah belum, hendaklah ia memandang dirinya masih suci (belum ber-hadats). Sebaliknya, jika yakin bahwa dia ber-hadats, dan ke- mudian ragu apakah ia telah berwudhu ataukah belum, hendaklah ia memandang dirinya masih ber-hadats." Demikian pendapat ulama Iraq, Asy-Syafi'y dan segala ahli ilmu yang lain, terkecuali Hasan dan Malik.

Al-Hasan mengatakan: "Jika ia ragu tentang hadats itu di dalam shalat, hendaklah ia meneruskan shalatnya. Tetapi, jika ia ragu sebelum shalat, hendaklah ia berwudhu kembali."

Malik mengatakan: "Apabila seseorang ragu tentang hadats, maka jika hal itu sering menimpanya, hendaklah dia memandang dirinya dalam berwudhu. Dan kalau sesekali saja hendaklah ia berwudhu kembali."

Ibnul Mubarak mengatakan: "Apabila seseorang ragu di dalam shalatnya tentang keluar hadats, maka tidaklah wajib ia pergi mengambil wudhu, sehingga ia meyakini, bahwa ia telah ber-hadats dan ia berani bersumpah."

Hadits ini menyatakan, bahwa syak yang datang sesudah timbul sesuatu kenyataan, tidaklah dapat merusakkan keyakinan. Karena itu, tidaklah perlu kita pergi mengambil wudhu, lantaran was-was yang mengganggu. Dan hadits ini menun- jukkan bahwa setan itu terus-menerus berusaha merusakkan ibadah umat, terutama shalar, dan senantiasa memperdayakan anak-anak Adam dari segala pintu keraguan.

Para ulama Syafi'y menghubungkan dengan masalah ini, masalah ragu-ragu tentang menthalaq istri, atau memerdekakan budak; atau kenajisan yang suci atau kesucian najis, atau kenajisan kain atau apakah ia telah shalat tiga rakaat atau empat. Segala keraguan ini tidak memberikan dampak (implikasi).

Referensi Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid 1 Bab Hal-hal yang Membatalkan Wudhu dan Yang Menghendaki Wudhu'