Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM KHITAN DALAM ISLAM

HUKUM KHITAN DALAM ISLAM

HUKUM-HUKUM KHITAN

165) Abu Hurairah ra. berkata:

قال النَّبِيِّ اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَمَا أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُونَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُوْمِ

Rasulullah saw. bersabda: "Nabi Ibrahim berkhitan sesudah umumya genap 80 tahun, beliau berkhitan dengan beliung kecil." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 69)

166) Said Ibnu Jubair ra, berkata:

سُئِلَ ابْنُ عَباس : مِثْلُ مَنْ أَنتَ حِيْنَ قُبِصَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَالَ: أَنَا يَوْمَئِذٍ مَخْتُونٌ وَكَانُوا لا يَخْتِنُوْنَ الرَّجُلَ حَتَّى يُدْرِكَ

"Pernah ditanya kepada Ibnu Abbas ra. seperti apa keadaan dirinya ketika Rasul wafat. Ibnu Abbas menjawab: Ketika itu aku telah dikhitankan. Para sahabat pun mengkhitankan anak-anaknya sesudah sampai umur." (HR. Al-Bukhary; Al-Muntaga 1:70) 

SYARAH HADITS

Hadits (165) Muslim tidak menyebutkan tahun Ibrahim dikhitankan itu. Hadits ini menyatakan, bahwa khitan, suatu sunnah yang diharuskan kita melakukannya ketika masih kecil. 

Hadits (166) menyatakan bahwa anak-anak para sahabat dikhitankan ketika telah sampai umur, bukan ketika masih kecil.Ulama mengatakan: "Khitan diartikan memotong kulit yang menutupi ujung kemaluan atau tempat yang kelihatan sesudah hasyafah itu dipotong. Dengan makna inilah dimaknakan perkataan khitan dalam hadits: "apabila bertemu dua khitan," dalam hal mandi janabah."

Al-Mawardi mengatakan: "Mengkhitankan zakar laki-laki, ialah memotong kulit yang menutupinya. Dan disukai supaya kita memotong di pangkal hasyafah benar-benar seluruh hasyafah itu terbuka, tidak tertutup." Tetapi telah dipandang cukup jika kita sudah memotong kadar yang menutupi hasyafah itu. Mengkhitan faraj perempuan ialah memotong sedikit kulit yang terletak di puncak kelentit (clitoris) yang berupa seperti anak kurma atau seperti beriring ayam. Yang diwajib kan kita potong hanyalah kulit yang di atasnya itu sedikit, bukan menghabiskan semuanya."

An-Nawawy mengatakan: "Disukai kita mengkhitankan si anak pada hari yang ketujuh dari hari lahirnya mengingat riwayat Al-Bukhary yang menerangkan bahwa Nabi saw. mengkhitankan cucunya (Al-Hasan dan Al-Husain) di hari yang ketujuh dari hari kelahirannya."

Imam Yahya mengatakan: "Ulama Itrah, Asy-Syafi'y dan segolongan ulama menetapkan, bahwa berkhitan itu diwajibkan atas laki-laki dan atas perem-puan." Abu Hanifah, Malik dan Al-Murtadha mengatakan: "Khitan itu disunnatkan atas laki-laki dan atas perempuan." Ahmad ibn Hanbal mewajibkan khitan atas laki- laki dan memandang suatu kemuliaan atau keutamaan saja bagi perempuan.

Apabila hadits-hadits yang berpautan dengan masa khitan diperhatikan, maka kesimpulannya ialah, khitan itu boleh kita percepat, di ketika anak-anak masih kecil, dan boleh kita lambatkan hingga ana-anak itu telah sampai umur. Tegasnya, terserah kepada kemaslahatan yang dipandang baik oleh wali atau para dokter. Hadits yang menegaskan kewajiban khitan, tidak ada. Lantaran itu tetaplah khitan itu dihukum suatu sunnat.

Sahabat-sahabat Nabi berlainan pendapatnya dalam hal ini. Ibnu Abbas amat keras dalam menyuruh orang berkhitan, tetapi Al-Hasan memudahkan hal ini. Beliau berkata: "Apabila seseorang masuk ke dalam Islam, maka tidaklah perlu dipedulikan apakah ia telah berkhitan, atau belum. Bukan sedikit umat yang masuk Islam sesudah besar. Seorang pun tidak ada yang diperiksa oleh Nabi apakah mereka telah berkhitan, atau belum. Padahal sebenarnya mereka semuanya belum berkhitan."

Ulama berselisih pendapat tentang orang yang berkelamin dua. Ada ulama yang mewajibkan kita lakukan khitan terhadap kedua-dua faraj-nya, sebelum dia baligh. Ada yang mengatakan, bahwa orang itu dikhitankan sesudah nyata keadaannya. Khunsa yang mempunyai dua alat kelamin. Jika kedua alat kelamin itu berfungsi, kedua-duanya dikhitankan. Jika satu saja yang berfungsi, yang itu sajalah yang dikhitankan."

Terdapat Dalam Bab Hukum Menggosok Gigi dan Membersihkan Badan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1