Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM BERSETUBUH DENGAN PEREMPUAN MUSTAHADHAH

 HUKUM BERSETUBUH DENGAN PEREMPUAN MUSTAHADHAH
BERSETUBUH DENGAN PEREMPUAN MUSTAHADHAH

148) Ikrimah menerangkan

ان حمنة بنت حجش كانت تُسْتَحاض وَكَانَ زَوْجُهَا يُجَامِعُهَا

"Hamnah menderita penyakit istihadhah dan suaminya pernah menyetubuhinya dalam keadaan itu." (HR. Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 183)

149) Ikrimah berkata:

كانت أم حبيبة تُستَحاض وَكَانَ زَوْجُهَا يَغْشَاهَا

"Ummu Habibah (Istri 'Abdurrahman ibn Auf) menderita penyakit istihadhah dan suaminya menyetubuhinya." (HR. Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 183)

SYARAH HADITS

Hadits (148) dan (149) diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ikrimah yang me nerimanya dari Hamnah dan Ummu Habibah. Hadits pertama diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqy. Menurut An-Nawawy, isnad-nya baik. Hadits yang kedua diantara ulama hadits ada yang tidak mau menerimanya. Kedua hadits ini menyatakan bahwa menyetubuhi istri yang sedang mendapat istihadhah dibolehkan.

Jumhur ulama membolehkan kita menyetubuhi istri yang sedang ber-istihadhah, walaupun ketika darah sedang mengalir. Ibnu Mundzir mengatakan: "Demikian pendapat Ibnu 'Abbas, Ibnu Musayyab, Al-Hasan Al-Bishry, Atha', Said ibn Jubair, Qatadah, Hammad ibn Sulaiman, Al-Auza'y, Ats-Tsaury, Malik, Ishaq, Asy-Syafi'y dan Abu Tsaur." 

An-Nakha'y dan Al-Hakim mengatakan: "Suami tidak diperbolehkan menye- tubuhi istri yang sedang ber-istihadhah. Pendapat ini disetujui Ahmad, menurut suatu riwayat darinya." Ibnu Sirin mengatakan: "Di-makruh-kan menyetubuhi istri yang sedang beristihadhah, kecuali jika dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinaan."

Berhujjah dengan kedua dalil tersebut, masih dapat ditolak oleh golongan yang mengharamkannya, karena kedua dalil ini hanya menyatakan perbuatan sahabat, tidak tegas Nabi yang membenarkan lebih-lebih ada riwayat dari 'Aisyah, bahwa Nabi berfatwa: "Istri yang menderita istihadhah, tidak boleh disetubuhi." Maka pendapat suami Hamnah dan Ummu Habibah disanggah oleh pendapat 'Aisyah.

Golongan pertama menegaskan, bahwa sekiranya menyetubuhi istri yang sedang istihadhah tidak dibolehkan, tentulah pernah turun wahyu kepada Nabi untuk melarang perbuatan itu, karena perbuatan itu terjadi di zaman wahyu masih diturunkan.

Golongan yang kedua berkata: "Tuhan melarang kita menyetubuhi perempuan yang sedang haid, karena haid itu kotor, mendatangkan penyakit. Kalau demikian maka hal itu dapat juga berlaku pada istihadhah."

Sesungguhnya menetapkan keharaman sesuatu, hendaklah dengan dalil gathy. Padahal dalil qath'y yang mengharamkannya tidak diperoleh. Di samping itu dapat juga dipahamkan bahwa kebolehan bersetubuh tersebut dari Nabi saw. setelah diwajibkannya shalat. Kesimpulannya, bersetubuh dengan istri yang beristihadhah, dibolehkan.

Akan tetapi, perlu diingat soal kesehatan. Jika menganggu kedua belah pihak atau salah satu pihak, hendaklah dasar keharaman ini diutamakan, dalam hal ini ada baiknya ditanyakan advis dokter."

Berdasarkan Karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid1 Tentang Masalah Berkenaan Dengan Hukum tentang Darah Haid, Istihadhah dan Nifas