Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM BERHUBUNGAN DENGAN ISTRI SEDANG HAID DAN NIFAS

HUKUM BERHUBUNGAN DENGAN ISTRI SEDANG HAID DAN NIFAS
BERSENGGAMA DENGAN ISTRI YANG SEDANG HAID DAN SEDANG NIFAS

143) Anas ibn Malik ra, menerangkan:

إِنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابَ النبي ﷺ فَأَنزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَ " وَيَسْلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ في المحيض فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ " فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ اصنعُوا كُلِّ شيء إلاَّ النكاح ( الا الجماع ) 

"Bahwasanya orang-orang Yahudi, apabila para istrinya sedang haid, mereka tidak mau makan bersama-sama lagi, tidak mau tinggal bersama-sama, mereka menyuruh istrinya tinggal di luar rumah selama haid. Maka para sahabat, menyampaikan hal tersebut kepada Nabi. Karena itu, turunlah ayat: "Mereka bertanya kepada engkau tentang hal haid (tempat haid), maka katakanlah bahwa itu adalah penyakit, karena itu hendaklah mereka menjauhkan persetubuhan dengan para istrinya yang sedang haid, sehingga mereka suci. Apabila telah suci, hendaklah mereka mendatangi isteri sebagaimana yang telah dibenarkan Allah." Sesudah ayat itu dibacakan (diturunkan), Nabi pun bersabda: "Berbuatlah segala apa yang kamu kehendaki dengan istri yang sedang haid, selain dari nikah (bersetubuh) saja." (HR. Al-Jama'ah selain Al-Bukhary; Al-Muntaqa 1: 178)

144) Ikrimah menerangkan

اِنَّ بَعْضَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ قالت: كَانَ رَسُولُ الله  إِذَا أَرَادَ مِنَ الْحَائِضِ شَيئًا أَلْقَى عَلَى فَرْجَهَا شَيْئًا 

"Sebagian dari istri-istri Nabi berkata: "Nabi saw. apabila menghendaki sesuatu dari istrinya yang sedang haid, beliau letakkan sesuatu (kain) di atas kemaluan istrinya." (HR. Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 179) 

145) Masruq ibn Ajda' ra. menerangkan:

سألت عائِشَةَ : ما للرَّجُلِ مِن امرأته إذا كَانت حالِفًا , قَالَتْ: كُلَّ شَيء إِلاَّ الْفَرْجَ 
"Saya bertanya kepada 'Aisyah tentang apakah yang boleh diperbuat seseorang suami terhadap istrinya apabila sedang haid. 'Aisyah menjawab: Semua boleh kecuali kemaluan (bersetubuh)." (HR. Al-Bukhary; Al-Muntaqa 1: 179)

146) Aisyah ra. berkata:

كانت احدانا اذا كانتْ حَائِضًا فَأَرَادَ رَسُولُ الله أن يباشرها أن تأْتزر بإزار في فور حيضتها ثُمَّ يباشرها

"Kami para istri Rasulullah saw. apabila sedang dalam haid, dan Rasul ingin bermubasyarah (bercumbu) dengan kami, niscaya menyuruh kami memakai kain sarung di waktu haid sedang banyak keluar. Kemudian Nabi me-mubasyarah-kannya." (HR. Al-Bukhary; Al-Muntaqa 1: 179)

SYARAH HADITS

Hadits (143) diriwayatkan oleh Al-Jama'ah ahli hadits selain dari Al-Bukhary, menyatakan, bahwa menyetubuhi perempuan yang sedang haid, haram hukumnya. 

Hadits (144) kata Al-Hafizh Al-Ashqalany dalam Fathul Bari; sanad-nya kuat. Hadits ini dapat dijadikan hujjah, menurut pendapat An-Nawawy.

Hadits ini menyatakan, bahwa bercumbu (bermain-main, meraba, meme- gang dan sebagainya), dengan istri yang sedang haid, dibolehkan, yang dilarang hanyalah menyetubuhinya. Dan hendaklah ketika bercumbu dengan istri yang sedang haid, kita letakkan kain di atas kemaluannya (menutup kemaluannya).

Hadits (145) menyatakan, bahwa bercumbu dengan istri yang sedang haid dan meraba seluruh bagian tubuhnya, menciuminya dan memeluknya dibolehkan, selain dari satu perkara saja, yaitu jima'.

Hadits (146) menyatakan bahwa orang perempuan yang sedang haid berkain ping- gang, apabila sang suami hendak bermubasyarah (berpeluk-pelukan) dengan dia.

An-Nawawy mengatakan: "Bermubasyarah dengan istri ada beberapa macam:

  1. Mubasyarah dengan jima' (bersenggama). Mubasyarah inilah yang diharamkan ketika istri sedang haid. Hukum ini dinashkan Al-Qur'an, dinashkan sunnah dan telah sepakat para umat. Orang yang menetapkan halalnya menyetubuhi faraj perempuan yang haid, dihukum kafir murtad. Tetapi menyetubuhinya dalam keadaan haid karena tidak mengetahui keharaman perbuatan itu atau tidak mengetahui, bahwa sang istri sedang haid, tentulah dia tidak berdosa dan tidaklah dituntut memberi kaffarat. Jika ia kerjakan dengan sengaja, ia tahu istrinya sedang haid, tahu haram hukumnya, ia kerjakan dengan kemauannya bukan dipaksa, seorang yang mengerjakan demikian dihukum dosa besar, dan wajib bertobat.
  2. Mubasyarah dengan menjamah seluruh badan, selain dari tempat-tempat yang terletak di antara pusar dan dua lutut (kemaluan), dengan zakar- nya, dengan ciuman dan dengan pelukannya. Ulama sepakat mem- bolehkan mubasyarah seperti ini.
  3. Mubasyarah di tempat-tempat yang terletak di antara pusar dan lutut selain dari qubul dan dubur (kemaluan yang sebelah muka atau kemaluan sebelah belakang). Kebanyakan ulama mengharamkan mubasyarah yang serupa ini untuk menghambat nafsu.
An-Nawawy mengatakan: "Pendapat yang kuat dalam hal ini, membolehkan yang demikian dengan dasar makruh (kurang disukai)." Di antara para fuqaha yang membolehkan mubasyarah yang serupa ini, Ikrimah, Mujahid, Al-Hasan, Asy- Syafi'y, An-Nasa'y, Ahmad, Ishaq, Muhammad ibn Al-Hasan dari golongan Hanafiyah dan Ashbagh dari golongan Malikiyah.

Ibnu Hazm mengatakan: "Para suami bercumbu, ber-istimta' dan bertaladz- dzudz dengan istrinya yang sedang haid, dibolehkan. Adapun memasukkan zakar ke dalam lubang kemaluannya saja yang tidak dibolehkan."

Perlu diketahui, bahwa apa yang dicegah terhadap perempuan yang sedang haid, dicegah juga terhadap perempuan yang sedang nifas, selain berthawaf. Thawaf, tidak dibolehkan bagi perempuan yang sedang haid, tetapi dibolehkan bagi perempuan yang sedang nifas. Ulama yang mengharamkan perempuan yang sedang haid masuk ke dalam masjid, tidak mempunyai dasar yang kuat.

Ibnu Hazm berkata pula: "Laki-laki yang menyetubuhi istrinya yang sedang haid, atau sedang nifas, dihukum durhaka, wajib bertobat dan beristighfar."

Menurut pengertian hadits di atas yang diharamkan bagi kita melakukan ter- hadap istri yang sedang haid, hanyalah menyetubuhi di faraj-nya. Segala rupa persendaan dan perangsangan yang lain dari jima', dibolehkan. Dalam pada itu bagi kita lebih baik menjauhkan diri dari bercumbu, apabila di tempat tidur untuk menghindari persetubuhan.

Tentang harus mengasingkan diri dari tempat tidur, ketika istri haid, tidaklah menjadi keharusan agama. Tegasnya segala jalan bersedap-sedap seperti mencium, memeluk badan, boleh hukumnya.

Berdasarkan Karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid1 Tentang Masalah Berkenaan Dengan Hukum tentang Darah Haid, Istihadhah dan Nifas