Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Prinsip Kredit Konsumtif Dalam Islam

Prinsip Kredit Konsumtif Dalam Islam
Dikemukakan bahwa keuangan negara berbeda dengan keuangan swasta dalam satu hal yang sangat penting. Berbeda dengan negara, individu pribadi sedikit sekali menguasai besar kecilnya pendapatan; ia berkewajiban untuk menyesuaikan pengeluaran dengan pendapatannya, dan bukan sebaliknya. 

Tentu saja pernah dikemukakan bahwa dalam batas-batas tertentu individu pribadi dapat menyesuaikan pendapatannya dengan pengeluarannya. 

Jadi bila lebih banyak uang yang harus dibelanjakan maka lebih banyak uang dapat diperoleh dengan meminjamkan dan meminjam. Islam telah mengakui ini sebagai syarat yang diperlukan dalam transaksi manusiawi dengan satu perbedaan. 

Perbedaan ini sebagian timbul karena masuknya unsur moralitas dengan mengambil kredit konsumtif, sebagian karena mekanisme unik yang harus diterima oleh negara Islam untuk menangani jenis kredit ini.

Bila menganalisis berbagai perintah agama Islam dengan seksama maka dengan mudah kita dapat memperoleh empat prinsip yang bertalian dengan kredit konsumtif, yaitu: 
(a) prinsip kemurnian, 
(b) prinsip perjanjian, 
(e) prinsip pembayaran, dan 
(d) prinsip bantuan.

Prinsip kemurnian timbul dari kenyataan bahwa mengambil suatu kredit tanpa suatu sebab yang sahih, ditolak oleh Nabi yang diriwayatkan berusaha berlindung dari utang maupun dosa. 

Aisyah berkata, "Rasulullah SAW biasa berdoa dengan mengucapkan kata-kata, "Ya Allah aku berlindung pada-Mu dari dosa dan berutang. Seseorang bertanya padanya, "Ya Rasulullah, mengapu begitu sering engkau berlindung dari berutang?" Jawabnya, "Bila orang berutang, dia berdusta, berbohong, dan berjanji, tetapi memungkiri janjinya. (Bukhari)

Sesungguhnya Islam mengakui kredit konsumtif untuk memenuhi kebutuhan minimum yang mutlak diperlukan, yang pada dasarnya bersifat fisiologik, kredit konsumtif dan contohnya adalah Kebutuhan-kebutuhan ini timbul dari kenyataan bahwa manusia tidaklah sanggup melengkapi dirinya sendiri. Ia memerlukan sandang pangan, dan rumah untuk hidupnya, dan ini harus diperoleh dengan cara berusaha. 

Minimum fisiologik sekedarnya ini tidak sama bagi tiap-tiap orang di semua negeri dan di segala zaman. Kebutuhan makanan minimuin seseorang berbeda dengan orang lainnya. Karena perbedaan ini, orang dapat mengusahakan pinjaman untuk memenuhi keperluan pokok pribadinya. 

Tapi di zaman modern ini ada kecenderungan bagi kebutuhan fisiologik yang dikalahkan oleh faktor-faktor fisiologik, seperti sikap imitatit dan dorongan menonjolkam diri yang menentukan kebutuhan fisiologik kebanyakan manusia moder dewasa ini. Islam tidak mengakui kredit konsumtif yang diperlukan untul memenuhi kebutuhan buatan seperti itu.

Hal ini membawa kita pada pembahasan tentang prinsip kedua, yaitu prinsip perjanjian yang bersumber pada ayat suci Al Qur'an: "Apabila kam berutang piutang satu sama lain untuk waktu tertentu, hendaklah kam menuliskannya.... Hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkannya (Surah Al Baqarah, 2:282). 

Ini berarti, bahwa setiap tindakan transaksi ulang piutang harus jelas tertulis tanpa merugikan si peminjam, Sang kreditor harus mencegah jangan sampai berlaku tidak adil pada orang yang berhutang. Bila suatu pinjaman dibuat atas nama orang yang belum dewasa, atau atas nama seseorang yang kurang waras akalnya maka walinya atau mereka yang mewakili kepentingannya harus membacakan syarat-syarat perjanjian tersebut 

"Apabila kamu berutang-piutang satu sama lain... untuk waktu tertentu hendaklah kamu menuliskannya.... Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya... maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkannya." (QS. Al Baqarah, 2:282)

Maksud perjanjian tersebut adalah untuk mengenyahkan keragu-raguan, dan menghindari perselisihan. Prinsip persetujuan ini berlaku pula untuk pinjaman konsumtif, maupun pinjaman produktif. Islam juga telah membuat ketentuan untuk memberikan pinjaman dengan jaminan yang wajar. 

Demikianlah jenis kredit konsumtif yaitu menggadaikan harta milik sebagai jaminan untuk pembayaran utang diperkenankan dan si penerima gadai diperkenankan mengambil manfaat dari padanya. Demikianlah diriwayatkan dengan bersumber dari Aisyah bahwa Nabi membeli makanan dari seorang Yahudi yang akan dibayar pada suatu waktu ditentukan, dan untuk itu digadaikannya biju besi. (Bukhari)

Kemudian Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah berkata, "Binatang yang digadaikan boleh dinaiki bila ia digadaikan dengan jumlah yang dikeluarkan untuknya, dan susu seekor hewan perahan boleh diminum bila digadaikan dan pengeluarannya akan ditanggung oleh orang yang menaiki hewan itu dan meminum susunya" (Bukhari)

Hadits ini memperlihatkan bahwa bila seorang harus menggunakan uang dari benda yang digadaikan, ia memperoleh manfaat daripadanya. 

Karena itu sebuah rumah atau sebidang tanah dapat digadaikan dengan syarat balewa pemilikan penguasaan akan dialihkan kepada penerima gadai yang berluk tinggal dalam rumah itu dan menyewakannya bila in melaksanakan perbaikan dan menggarap tanah itu, dan memperoleh hasilnya bila ia mengeluarkan uang untuk itu."

Kini kita dapat beralih pada prinsip ketiga yang mengatur pinjaman yang merupakan prinsip pembayaran. Adalah membesarkan hati untuk mencatat bahwa Islam selalu mempertahankan keseimbangan antara kecenderungan yang berlawanan. 

Sekalipun kreditor telah diarahkan agar mencegah setiap ketidakadilan yang akan dilakukan terhadap orang yang berutang, orang yang berutang juga telah diarahkan untuk melakukan setiap usaha yang malakukan membayar kembali pinjamannya.

Diriwayatkan dengan bersumber pada Abu Hurairah bahwa Nabi SAW berkata: Barangsiap berhutang, dengan maksud akan membayarnya kembali, Allah akan membayarya atas namanya dan barangsiapa berutang dengan maksud hendak memboroskannya, Allah akan menghancurkan hidupnya. " (Bukhari)

Dalam Islam, membayar kembali kredit merupakan hal yang sangat penting. Selamat meriwayatkannyan jenazah dibawa pula Nabi SAW, agar Nabi menyembahyang jenazahnya tersebut. Beliau bertanya: "Adakah ia berutang?" Mereka menjawab: "Tidak." Dan beliaupun menyembahyangkannya. Suatu usungan jenazah lainnya dibawa kepada beliau, dan beliau bertanya: "Apakah ia berutang?" Jawaban mereka: 'Ya', beliau berkata: Sembahyangkanlah sahabatmu. Abu Qatadah berkata: 'Saya akan membayar utangnya, ya Rasulullah!' maka beliaupun menyembahyangkannya."

Para ahli tafsir sependapat bahwa Nabi SAW tidak melarang berdoa untuk jenazah seseorang yang berutang. Dengan menolak menyatakan dirinya sendiri, beliau hanya ingin mencegah kebiasaan untuk membuat perjanjian utang tanpa berikhtiar untuk membayarnya kembali. 

Sebenarnya Islam tidak membenarkan penundaan pembayaran utang tanpa alasan yang dapat diterima. Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah SAW berkata: "Tidaklah adil bila seseorang yang mampu, menangguhkan pembayaran utangnya" (Bukhari). 

Bahkan ada riwayat bahwa Nabi berkata: "Penundaan utang oleh seorang yang sanggup untuk membayarnya sama dengan hukuman, dan hormatan diri sendiri." (Bukhori). 

Tetapi Negara Sejahtera Islam diharapkan untuk menyantuni keluarga yang tiada terurus, maupun membayar utang yang tidak terbayar. Ini bertalian dengan riwayat yang disampaikan Abu Huairah, bahwa Nabi SAW berkata: "Barangsiapa meninggalkan harta benda, ini adalah untuk para ahli warisnya, dan barang siapa meninggalkan beban, ini akan menjadi tanggungan kita."

Prinsip keempat yang mengatur kredit terlepas dan apakah kredit produktif atau konsumtif, adalah prinsip bantuan yang berasal dari Kitab Suci Al Qur'an maupun Sunnah. 

Prinsip mengenai bantuan ini harus dipahami dalam arti yang luas. Dipandang secara positif, semua jenis kredit dalam Islam adalah bebas bunga (Allah memperkenankan jual beli dan melarang Riba) (QS. Al Baqarah, 2:275), karena Riba adalah anti sosial dan hal itu benar-benar merupakan pengisapan atas kebutuhan sesama saudara. Itulah sebabnya tercantum dalam Kitab suci Al Qur'an:

"Allah menghapus berkat Riba dan menambah berkat sedekah (QS. Al Baqarah, 2:276)

Bahkan dewasa ini pun kita dapati bagaimana mm negara kreditor memperbudak negara peminjam melalui kredit berita Masalah melunasi utang yang kian dipersulit oleh unsur bunga akan mencak hubungan in ternasional antara negeri maju dan yang terbelakang kita memiliki cantan untuk membuktikan bahwa transaksi kredit yang sangat besar antara Amenka Serikat dan Inggris dengan Persetujuan Brettonwood menyebabkan memburuknya perhubungan, penyebabnya adalah bunga yang dikenakan oleh kreditor. 

Bahkan Lord Keynes almarhum pencetus pensetujuim int, nuts a Inggris, menyatakan penyesalannya yang dalam, meng kegagalan Amonk Serikat memberikan suatu pinjaman bebas bunga kepada Inggris. Kebijakan larangan bunga tidaklah pernah begitu lantang dipertahanka seperti stalum Parlemen Inggris ketika rancangan Brettenwood mengalami serangan gencar.

Dalam Islam, kredit harus bersifat pemberian bantuan dan bukan merupakan transaksi komersial. Jabir meriwayatkan: Rasulullah SAW mengutuk periba, orang yang membayar Riba, transaksi Riba, dan orang kedua penulisnya, dan beliau berkata: "Mereka sama saja." (Muslim dan Miskat).

Dalam suatu negara Islam ada anggapan bahwa kredit konsumtif semata mata akan diambil untuk membiayai kebutuhan sesungguhnya. Karena itu bila si peminjam benar-benar dalam kesulitan, pelunasan dapat ditunda: bahkan dalam keadaan luar biasa pengurangan utang dianjurkan. Dalam Kitab Suci Al Qur'an dinyatakan:

"Dan jika orang berutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS. Al Baqarah, 2:280).

Tetapi Islam berusaha untuk menerima pembayaran yang berlebihan dari jumlah pokok pinjaman karena ini bukan bunga. Jabir berkata: "Saya datang kepada Nabi SAW ketika ia berada di masjid, dan ia berkata:" Sembahyangkanlah dua rakaat. "Dia berutang kepada saya, dan membayar utang itu lebih banyak dari yang seharusnya." (Bukhari).

Sekalipun menganjurkan pengurangan utang dalam keadaan khusus, kepentingan asli si kreditur dilindungi. Kebiasaan modern mengambil hak milik orang yang tidak membayar, dikenal dalam Islam: Demikianlah Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW berkata: "Barangsiapa yang memiliki harta benda sendiri pada seseorang yang tidak mampu membayarnya, lebih berhak atasnya dari pada orang lain." (Bukhari). 

Menurut Sunnah Nabi SAW Hadrat Usman diriwayatkan telah memutuskan " Barangsiapa mengambil haknya sebelum seorang menjadi tidak mampu membayar, itu adalah miliknya, dan barangsiapa mengakui hak milik sendiri pada seorang yang tidak mampu membayarnya, lebih berhak atasnya." (Bukhori).

Ringkasnya inilah prinsip yang mengatur kredit konsumsi dalam Islami.

Referensi berdasarkan buku Teori Dan Praktik Ekonomi Islam Tulisan Muhammad Abdul Mannan