Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HADITS PERINTAH MELAKSANAKAN AMANAT

HADITS PERINTAH MELAKSANAKAN AMANAT
Dalam menjelaskan Hadits Tentang menyampaikan amanat, Imam Nawawi memulai dengan Firman Allah:

قَالَ الله تَعَالَى :{إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلىَ أَهْلِهَا} [النساء : 58]

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat yang berhak menerimanya. (Qs. An Nisaa (5): 58)

Beliau juga mengutip ayat tentang amanah dan tanggung jawab:

وقَالَ تَعَالَى :{إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً}[الأحزاب : 72].

Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya kami mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan unuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu zalim dan amat bodoh.” (Qs. Al Ahzab (33): 72)

Selanjutnya Imam Nawawi melanjutkan dengan dalil tentang wajibnya menyampaikan amanah berdasarkan Hadits Dari Abu Hurairah Yang Bunyinya:

204- وَ عَن أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أّنَّ رَسُوْل الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : ((آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ)) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَ فِى رِوَايَةٍ : ((وَ إِنْ صَامَ وَ صَلَّى وَ زَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ)).
203. Dari Abu Hurairah RA., ia berkata: Rasulullah SAW.. bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga. yaitu: Apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari dan bila dipercaya ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain dikatakan : “Walaupun ia berpuasa dan mengerjakan salat serta mengkau bahwa dirinya muslim.”

Selanjutnya Imam Nawawi menjelaskan tentang hadits tentang amanah dalam pekerjaan sebagaimana berikut ini:

205-وَعَنْ حُذَيْفَةِ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حدِيثَيْنِ قَدْ رأيْتُ أَحَدَهُمَا وَ أَنَا أَنْتَظِرُ الآَخَرَ: حَدَّثَنَا ((أَنَّ الْأَمَانَةَ نَزَلَتْ فِي جَذْرِ قُلُوْبِ الرِّجَالِ ثُمَّ نَزَلَ الْقُرْآنُ فَعَلِمُوْا مِنَ الْقُرْآنِ وَ عَلِمُوْا مِنَ السُّنَّةِ)) ثُمَّ حَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِ اْلأَمَانَةِ فقَالَ: ((يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ اْلأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ، فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلُ الْوَكْتِ، ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ اْلأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ، فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ أَثَرِ الْمَجْلِ، كَجَمْرٍ دَحْرَجْتَهُ عَلَى رِجْلِكَ فَنَفِطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًا وَ لَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ)) ثُمَّ أَخَذَ حَصَاةً فَدَحْرَجَهُ عَلَي رِجْلِهِ ((فَيُصْبِحَ النَّاسُ يَتَبَايَعُوْنَ، فَلاَ يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّى اْلأَمَانَةَ حَتَّى يُقَالَ : إِنَّ فِي بْنِي فُلَانٍ رَجُلاً أَمِيْنًا، حَتىَّ يُقَالَ لِلرَّجُلِ : مَا أَجْلَدَهُ مَا أظْرَفَهُ مَا أعْقَلَهُ، وَ مَا فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِن خَرْدَل مِنْ إيمَان. وَ لَقَدْ أتَى عَلَيَّ زَمَانٌ وَ مَا أُبَاليِ أيُّكُمْ بَايَعْتُ : لَئِنْ كَانَ مُسْلِمُا لَيَرُدَّنَّهُ عَلَيَّ دِينُهُ وَ إِنْ كَانَ نَصْرانِيًّا أوْ يَهُودِيًّا لَيَرُدَّنَّهُ عَلَيَّ سَاعِيهِ، وَ أَمَّا الْيَوْمَ فَمَا كُنْتُ أُبَايِعُ مِنْكُمْ إلاّ فُلانًا وَ فُلانًا)) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

204. Dari Hudzaifah bin Al-Yaman RA., ia berkata: “Rasulullah SAW. bercerita tentang dua peristiwa. Yang pertama aku sudah mengetahui kejadiannya, sedangkan yang kedua aku sedang menunggunya.
Pertama, beliau bercerita bahwa amanat itu datang ke lubuk hati manusia, kemudian turunlah Al-Qur’an maka mereka mau mempelajari Al-Qur’an dan As-sunnah.
Kedua, beliau menceritakan tentang dicabutnya amanat, yaitu: “Ada seorang laki-laki yang sedang tidur kemudian dicabutlah amanat itu dari hatinya, sehingga sisa sedikit saja; kemudian ia tidur lagi maka tercabutlah pula sisa amanat itu, dan yang ada hanya bekasnya seperti bara api yang terinjak telapak kaki dan menimbulkan bengkak, sedangkan kamu melihat bahwa disitu tidak ada apa-apa.” Sambil memberi contoh, beliau lalu mengambil batu kecil dan diinjak dengan kakinya. “Setelah itu orang-orang kembali saling mengikat (janji), tetapi tidak terdapat seorangpun yang menjalankan amanat. Sehingga kalau ada seseorang yang dapat dipercaya di satu kabilah, dikatakan kepadanya: Alangkah sabarnya, alangkah cerdiknya dan alangkah pandainya, padahal di dalam hatinya tidak sedikitpun terselip keimanan walau sebesar biji sawi.” (Hudzaifah berkata): “Dahulu, aku tidak memperdulikan siapa yang aku ba’iat: apabila ia seorang muslim, ia akan mengembalikan (ba’aitnya) karena kepatuhan terhadap agamanya. Apabila ia seorang Nasrani atau Yahudi ia akan mengembalikan (ba’aitnya) karena kejujurannya. Adapun kini, aku tidak bisa berbai’at kecuali pada si fulan dan si fulan.” (HR. bukhari dan Muslim)

206- وَ عَنْ حُذَيْفَةَ وَ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَا : قَالَ رَسُوْل الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((يَجْمَعُ اللهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى النَّاسَ فَيَقُوْمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَتىَّ تُزْلَفَ لَهُمُ الْجَنَّةُ فَيَأْتُوْنَ آدَمَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِ فَيَقُوْلُوْنَ : يَا أَبَانَا اسْتَفْتِحْ لَنَا الْجَنَّةَ فَيَقُوْلُ : وَهَلْ أخْرَجَكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ إِلاَّ خَطيئَةُ أَبِيكُمْ، لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ، اذْهَبُوا إلَى ابْنِي إبْراهِيمَ خَلِيلِ اللهِ. قَالَ : فَيَأْتُونَ إبْرَاهِيمَ فَيَقُوْلُ : لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ، إِنَّمَا كُنْتُ خَلِيلاً مِنْ وَرَاءَ وَرَاءَ، اعْمَدُوا إِلَى مُوْسَى الَّذِي كَلَّمَهُ الله تَكْليمًا. فَيَأْتُونَ مُوْسَى فَيَقُوْلُ : لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ، اذْهَبُوْا إِلىَ عِيْسَى كَلِمَةِ اللهِ و رُوْحِهِ فيَقُوْلُ عِيْسَى : لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ، فَيَأْتُونَ مُحَمَّدًا صَلَّي الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَيَقُومُ فَيُأْذَنُ لَهُ، وَ تُرْسَلُ اْلأَمَانَةُ وَ الرَّحِمُ فَتَقُومانِ جَنْبَتَيْ الصِّرَاطِ يَمِينًا وَ شِمَالاً فَيَمُرَّ أَوَّلُكُمْ كَالْبَرْقِ)) قُلْتُ : بِأَبِي وَ أُمِّي أيُّ شَيْءٍ كَمَرِّ الْبَرْقِ ؟ قَالَ : ((ألَمْ تَرَوْا كَيْفَ يمُرُّ وَ يَرْجِعُ في طَرْفَةِ عَيْن، ثُمَّ كَمَرّ الرِّيحِ، ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ، وَأَشَدِّ الرِّجَالَ تَجْرِي بهمْ أعْمَالُهُمْ، وَ نَبِيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصِّرَاطِ يَقُوْلُ : رَبِّ سَلِّمْ سَلِّمْ، حَتَّى تَعْجِزَ أعْمَالُ الْعِبَادِ، حَتَّى يَجِيء الرَّجُلُ لا يَسْتَطِيْعُ السَّيْرَ إلاّ زَحْفًا، وَ في حَافَتيِ الصِّرَاطِ كَلاَلِيبُ مَعَلَّقَةٌ مَأْمُوْرَةٌ بِأخْذِ مَنْ أُمِرَتْ بِهِ، فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ، وَمُكَرْدَسٌ في النَّارِ)) وَ الَّذِي نَفْسُ أَبِي هُرَيْرَةَ بِيَدِهِ إنَّ قَعْرَ جَهَنَّمَ لَسَبْعُونَ خَرِيفًا. رَوَاهُ مُسْلِمُ.

205. Dari Hudzaifah dan Abu Hurairah RA., ia berkata: Rasulullah SAW., bersabda, “Allah Yang memberi Berkah lagi maha tinggi, kelak akan mengumpulkan manusia, kemudian orang-orang mukmin berdiri di dekat surga. Mereka lalu mendatangi Nabi Adam as. Dan berkata: “Wahai Bapak kami, bukakan pintu surga ini untuk kami.” Beliau menjawab: “Bukankah yang mengeluarkan kalian dari surga adalah dosa bapakmu? Datanglah kepada Ibrahim khalilullah.” Merekapun mendatanginya, tetapi beliau menjawab: “Itu bukan hakku, aku hanyalah khalilullah (kekasih Allah) dan berada di belakang sekali, datanglah kepada Musa! Karena Allah telah berbicara langsung kepadanya: “Merekapun mendatanginya, tetapi beliau menjawab: “Itu bukan hak-ku.” Datanglah kepada nabi Isa Kalimah dan Ruuhullah!” Maka Isapun menjawab: “Itu bukan bagianku.”’ Kemudian mereka mendatangi Muhammad SAW. dan meminta beliau untuk membuka pintu surga. Muhammad berdiri dan telah mendapatkan ijin (dari Allah SWT.) untuk membukanya, kemudian dilepaskanlah amanat dan kasih akung dan keduanya berdiri di kanan dan kiri sirath atau titian menuju ke surga. Lalu, Orang pertama yang melewatinya (siraath) berjalan (diatasnya) secepat kilat.” Hudzaifah bertanya: “Apakah ada yang berjalan secepat kilat?” Beliau menjawab: “Bukankah kalian melihat bagaimana kilat muncul dalam sekejap, lalu menghilang dalam sekejap?. “kemudian ada seseorang yang melewatinya sebagaimana terbangnya burung dan ada pula yang melintasinya sebagaimana orang yang berlari kencang sekali. Semua itu, tergantung amal perbuatan mereka. Di kala itu, Nabi kalian berdiri di atas shiraat (titian) seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, selamatkanlah-selamatkanlah! sehingga sampai giliran orang-orang yang tidak bisa melewatinya kecuali dengan merangkak. Dan diantara kedua tepi shiraat (titian), tergantung alat-alat yang dibuat dari besi, dan bertugas mengambil orang-orang yang harus diambilnya. Diantaranya ada orang yang terluka tetapi selamat dan ada pula orang-orang yang dikaitnya lalu dilemparkan ke dalam api neraka.” “Demi Tuhan yang jiwa Abu Hurairah berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnyaa dasar neraka jahanam itu sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.”

Kemudian  Beliau juga menyebutkan hadits riwayat bukhari tentang amanah sebagaimana berikut ini:

207- وَ عَنْ أَبِي خُبَيْبٍ ((بِضَمِّ الْخَاِءِ الْمُعْجَمَةِ)) عَبْدُ الله بْنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ : لَمَّا وَقَفَ الزُّبَيْرِ يَوْمَ الْجَمَلَ دَعَانِي فَقُمْتُ إِلىَ جَنْبِهِ فَقَالَ : يَا بُنَيَّ إنَّهُ لاَ يُقْتَلُ الْيَوْمَ إلاّ ظَالِمٌ أوْ مَظْلُومٌ، وَ إنِّي لاَ أُرَانِي إِلَاّ سَأُقْتَلُ مَظْلُوْمًا وَ إَنَّ مِنْ أَكْبَرِ هَمِّي لَدَيْنِي، أَفَتَرَى دَيْنَنَا يُبْقِي مِنْ مَالِنَا شَيْئًا ؟ ثُمَّ قَالَ : يَا بُنَيَّ بِعْ مَا لَنَا وَ اقْضِ دَيْنِي، وَ أوْصَى بالثُّلُثِ وَ ثُلُثِهِ لِبْنِيهِ، يعَني بْنِي عَبْدُ الله بْنِ الزُّبَيْرِ ثُلُثُ الثُّلُثُ. قَالَ : فَإنْ فَضَلَ مِنْ مَالِنَا بَعْدَ قَضَاءِ الدَّيْنِ شَيْء فَثُلُثُه لِبْنِيكَ قَالَ هِشَام : وَكَانَ بَعْضُ وَلَدِ عَبْدُ الله قَدْ وَازَى بَعْضَ بْنِي الزُّبَيْرِ خُبيبٍ وَ عَبَّادٍ، وَ لَهُ يَوْمَئِذٍ تِسْعَةُ بَنِينَ وَ تِسْعُ بَنِات. قَالَ عَبْدُ الله : فَجَعَلَ يُوصِينِي بدَيْنِهِ وَ يَقُوْلُ : يَا بُنَيَّ إنْ عَجَزْتَ عَن شَيْءٍ مِنْهُ فَاسْتَعَن عَلَيْهِ بِمَوْلاَيَ. قَالَ : فَوَاللهِ مَا دَرَيْتُ مَا أرَادَ حَتَّى قُلْتُ : يَا أبَتِ مَنْ مَوْلاَكَ ؟ قَالَ : الله. قَالَ : فَوَاللهِ مَا وَقَعْتُ في كُرْبةٍ مِنْ دَيْنِهِ إلاّ قُلْتُ : يَا مَوْلىَ الزُّبَيْرِ اقْضِ عَنهُ دَيْنَهُ فَيَقْضِيَهُ. قَالَ فَقُتِلَ الزُّبَيْرِ وَ لَم يَدَعْ دِينَارًا وَ لاَ دِرْهمًا إلاّ أرَضِينَ، مِنْهَا الْغَابَةُ وَ إحْدَى عَشَرَة دَارًا بالْمَدِينَةِ، وَدَارَيْنِ بالْبَصْرَةِ، وَدَارًا بالْكُوْفَةِ، وَدَارًا بمِصْرَ. قَالَ : وَإِنَّمَا كَانَ دَيْنُهُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ أنَّ الرَّجُلَ كَانَ يَأْتِيهِ بِالْمَالِ فَيَسْتَوْدِعُهُ إيَّاهُ فَيَقُوْلُ الزُّبَيْرِ : لا،وَلَكِنْ هُوَ سَلَفٌ إنِّي أخْشَى عَلَيْهِ الضَّيْعَةُ. وَمَا وَلىَ إمَارَةً قَطُّ وَلا جِبَايَةً وَلاَ شَيْئًا إلاّ أنْ يَكُونَ في غَزْوٍ مَعَ رَسُوْل الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أوْ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثُمَّانَ رَضِيَ الله عَنْهُم، قَالَ عَبْدُ الله : فَحَسَبْتُ مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الدَّيْنِ فَوَجَدْتُهُ ألْفَيْ ألْفٍ وَمائَتَيْ ألْفٍ! فَلَقِيَ حَكِيمُ بْنِ حِزَامَ عَبْدُ الله بْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ : يا ابْنِ أخِي كَمْ عَلَى أخي مِنَ الدَّيْنِ ؟ فَكَتَمْتُهُ وَقُلْتُ : مِائَةُ ألْف. فَقَالَ حَكيمٌ : وَاللهِ مَا أرَى أمْوَالَكُمْ تَسَعُ هَذِهِ. فَقَالَ عَبْدُ الله : أرَأيْتُكَ إنْ كَانَتْ ألْفَيْ ألْف؟ وَمائَتَيْ ألْف؟ قَالَ : مَا أرَاكُمْ تُطيقُونَ هَذا، فَإنْ عَجَزْتُمْ عَن شَيْئٍ مِنْهُ فَاسْتَعِينُوا بي، قَالَ : وَكَانَ الزُّبَيْرِ قَدْ اشْتَرَى الْغَابَةَ بِسَبْعِينَ وَمائَة ألْف، فَبَاعَهَا عَبْدُ الله بِألْفِ ألْف وَسِتّمِائَةِ ألْف، ثُمَّ قَامَ فَقَالَ : مَنْ كَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ شَيْء فَلْيُوافِنَا بِالْغَابَةِ، فَأَتَاهُ عَبْدُ الله بْنِ جَعْفَرَ، وَكَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ أرْبَعَمائَةِ ألْف، فَقَالَ لعَبْدُ الله : إنْ شِئْتُمْ تَرَكْتُهَا لَكُمْ ؟ قَالَ عَبْدُ الله : لا، قَالَ : فَإنْ شِئْتُمْ جَعَلْتُمُوهَا فِيمَا تُؤَخِّرُونَ إنْ إخَّرْتُمْ، فقَالَ عَبْدُ الله : لا، قَالَ : فَاقْطَعُوا لِي قطْعَةً، قَالَ عَبْدُ الله : لَكَ مِنْ هَهُنَا إِلىَ هَهُنَا. فَبَاعَ عَبْدُ الله مِنْهَا فَقَضَى عَنهُ دَينَهُ وَأوْفَاهُ، وَبَقِيَ مِنْهَا أرْبَعَةُ أسْهُم وَنِصْفٌ، فَقَدِمَ عَلَى مُعَاوِيَة وَعِنْدَهُ عَمْرُو بْنِ عُثُمَّانَ، وَ الْمُنْذِرُ بْنِ الزُّبَيْرِ، وَابْنِ زَمْعَةَ فقَالَ لَهُ مُعَاوِيَةُ : كَمْ قُوِّمَتِ الْغَابَةُ ؟ قَالَ : كُلُّ سَهْم بمائَة ألْف، قَالَ : كَمْ بَقِيَ مِنْهَا ؟ قَالَ : أرْبَعَةُ أسْهُم وَنصْفٌ، فقَالَ الْمُنْذِرُ بْنِ الزُّبَيْرِ : قَدْ أَخَذْتُ منْهَا سَهْمًا بِمائَةِ ألْف، قَالَ عَمْرُو بْنِ عُثُمَّانَ : قَدْ أَخَذْتُ منْهَا سَهْمًا بِمائَةِ ألْف. وقَالَ ابْنِ زَمْعَةَ : قَدْ أَخَذْتُ سَهْمًا بِمائَةِ ألْف، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ : كَمْ بَقِيَ مِنْهَا ؟ قَالَ : سَهْمٌ ونصْفُ سَهْم، قَالَ : قَدْ أَخَذْتُهُ بخَمْسِينَ وَ مائَةِ ألْف. قَالَ : وَبَاعَ عَبْدُ الله بْنِ جَعْفَر نَصيبَهُ مِنْ مُعَاوِيَةَ بستِّمِائَةِ ألْف، فَلَمَّا فَرَغَ ابْنِ الزُّبَيْرِ مِنْ قَضَاءِ دَيْنِهِ، قَالَ بَنُو الزُّبَيْرِ : اقْسمْ بَيْنَنَا ميراثَنَا، قَالَ : وَاللهِ لا أقْسِمُ بَيْنَكُمْ حَتَّى أنَادِى بالْمَوْسم أرْبَعَ سنينَ : ألا مَنْ كَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فَلْنَقْضِهِ. فَجَعَلَ كُلّ سَنَةٍ يُنَادِي في الْمَوْسِمِ، فَلَمَّا مَضَى أرْبَعُ سنينَ قَسَمَ بَيْنَهُمْ وَدَفَعَ الثُّلُثَ. وَكَانَ للزُّبَيْرِ أرْبَعُ نِسْوَةٍ، فَأصَابَ كُلَّ امْرَأةٍ ألْفُ ألف وَمِائَتَا ألْف, فَجَميعُ مَالِه خَمْسُونَ ألْف ألْف وَمِائَتَا ألْف. رَوَاهُ الْبُخَارِي.

207. Dari Abu Khubaib Abdullah bin Al Zubair bin Al Awwam Al Quraisy RA, ia berkata : “Tatkala Zubair (ayahku) terlibat pada perang Jamal[1], Ia memanggilku maka aku pun berdiri di sampingnya. Ia berkata: “Hai anakku, sesungguhnya hari ini tidak ada yang terbunuh kecuali orang yang menganiaya (Dhaalim) atau teraniaya[2] (Madhluum). Aku merasa hari ini akan terbunuh sebagai orang yang teraniaya, dan tidak ada yang paling aku takuti kecuali hutangku, apakah kamu mengetahui, kalau hutang itu akan meninggalkan sisa dari harta kekayaanku?” Kemudian ia berkata: “Hai anakku, juallah semua harta benda yang aku miliki dan lunasilah hutangku itu!” Ayahku pun berwasiat, sepertiga dari hartanya agar disedekahkan, sedang sepertiganya dibagikan untuk untuk anak-cucunya yakni anak-anak Abdullah bin Al Zubair. Ayahku berkata: “Apabila hartaku bersisa, maka sepertiganya bagi anak-anakmu (Abdullah bin Zubair). Hisyam berkata: “Anak-anak Abdullah waktu itu ada delapan belas orang, sembilan laki-laki dan sembilan perempuan.”
Abdullah bin Zubair berkata: “Ayahku selalu berwasiat untuk melunasi hutangnya. Ia berkata: “Hai anakku, seandainya kamu tidak mampu melunasinya, maka hendaklah memohon pertolongan kepada pelindungku.” Abdullah berkata: Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang dimaksud olehnya, sehingga aku berkata: “Wahai ayahku, siapakah pelindungmu?” Ia menjawab: “Allah.” Abdullah berkata: “Maka demi Allah, seandainya aku mengalami kesulitan dalam melunasi hutangnya aku berdo’a: “Wahai pelindung Zubair, lunaskanlah hutangnya.” Abdullah mengatakan : “Setelah itu terbunuhlah Zubair, dan ia tidak meninggalkan sepeserpun dinar ataupun dirham, kecuali beberapa bidang tanah di Ghobah[3], sebelas buah rumah di Madinah, dua buah rumah di Bashrah, satu buah di Kufah dan sebuah rumah di Mesir.
Abdullah berkata: “Hutang itu disebabkan seseorang yang datang kepadanya dengan membawa harta dan bermaksud untuk menitipkannya kepada Zubair. Lalu Zubair berkata: “Tidak, aku tidak senang dititipi, karena aku khawatir kalau barangmu hilang, (dan kalau mau) aku akan menganggap barangmu sebagai hutang (saja).” Selama hidupnya, Zubair tidak pernah menjadi wali, petugas penarik pajak atau apapun, melainkan ia senantiasa ikut berperang bersama Rasulullah SAW., Abu Bakar, Umar dan Usman RA. Abdullah melanjutkan perkataannya: “setelah aku hitung jumlah hutanya, ternyata aku dapatkan hutang ayahku sebesar dua juta dua ratus ribu.”
Suatu hari, Hakim bin Hizam bertemu dengan Abdullah bin Zubair dan berkata: “Wahai keponakanku, berapakah hutang saudaraku?” Aku pun menyembunyikan jumlah sebenarnya dan aku katakan saja: “seratus ribu.” Hakim berkata: “Demi Allah, aku tidak tahu apakah engkau dapat melunasinya?” Abdullah berkata: “Bagaimana menurutmu, apabila hutangnya mencapai dua juta dua ratus ribu?” Ia menjawab: “menurutku, kalian tidak akan sanggup melunasinya. Dan jika demikian, mintalah bantuan kepadaku.”
Abdullah berkata: “Zubair dulu membeli tanah Al Ghobah seharga seratus tujuh puluh ribu.” Kemudian oleh dirinya, tanah itu akan dijualnya seharga satu juta enam ratus ribu. Kemudian ia berdiri dan berkata: “Siapa saja yang menghutangi Al Zubair, maka aku akan melunasinya, dan datanglah kepada kami di Ghobah.” Maka datanglah Abdullah bin Ja’far, ia menghutangi Zubair sebanyak empat ratus ribu, dan ia berkata pada Abdullah: “Kalau kamu mau aku tidak akan menagihnya kepadamu.” Abdullah bin Zubair berkata: “Jangan”. “Atau kalau kamu suka, lunasilah hutangku belakangan.” Abdullah bin Zubair berkata: “Jangan.” Abdullah bin Ja’far menjawab: “Abdullah bin Ja’far berkata: “Kalau begitu berilah aku sebagian tanah di Ghobah ini.” Abdullah bin Zubair berkata: “Kalau begitu, kamu mendapat bagian dari sini sampai sini.”
Abdullah kemudian menjual sisa hutan itu untuk melunasi hutang ayahnya dan masih tersisa empat setengah bagian. Kemudian ia datang ke tempat Mu’awiyah. Waktu itu di tempat Mu’awiyyah ada beberapa orang, diantaranya ‘Amru bin Utsman, Al Mundzir bin Zubair dan Ibnu Zam’ah. Mu’awiyah pun bertanya kepada Abdullah : “Hutan itu dijual berapa?” Abdullah menjawab: “setiap bagian seratus ribu.” Muawiyah bertanya: Masih tersisa berapa? Abdullah menjawab: “Masih tersisa empat setengah bagian.” Al Mundzir bin Zubair berkata: “Kalau begitu aku mengambil sebagian dengan harga seratus ribu.” ‘Amru bin Utsman berkata: “aku mengambil sebagian dengan harga seratus ribu.” Demikian pula dengan Ibnu Zam’ah: “aku mengambil sebagian dengan harga seratus ribu.” Kemudian Mu’awiyyah bertanya: “Masih sisa berapa?” Abdullah menjawab: “Masih tersisa satu setengah bagian.” Mu’waiyah berkata: “aku yang mengambilnya dengan harga seratus lima puluh ribu.” Abdullah bin Zubair berkata: “Kemudian Abdullah bin Ja’far menjual bagiannya kepada Mu’waiyah dengan harga enam ratus ribu.”
Setelah Abdullah bin Zubair selesai melunasi hutang ayahnya, maka anak-anaknya Zubair berkata: “Bagilah warisan kami.” Abdullah menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan membagikannya untuk kalian sebelum empat musim haji selama empat tahun berlalu. Pada setiap musim, aku akan menyiarkan siapa saja yang menghutangi Zubair hendaknya datang kepada kami, dan kami pasti akan melunasinya. Demikianlah, pada setiap tahunnya Abdullah menyiarkannya. Sesudah melewati empat tahun maka Abdullah membagi harta warisan itu dan mengambil sepertiga yang diwasiatkan. Dan Zubair meninggalkan empat istri, masing-masing mendapat bagian satu juta dua ratus ribu. Jadi semua harta kekayaan Zubair berjumlah lima puluh juta dua ratus ribu.” (HR. Bukhari)

[1] Peristiwa bentrokan antara pasukan Ali dan Siti Aisyah RA.
[2] Menurut Ibnu Tiin: Orang yang disebut menganiaya (Dhaalim) adalah seseorang yang tidak termasuk golongan sahabat dan turut berperang karena kepentingan duniawi. Sedangkan orang yang disebut teraniaya (madhluum) adalah para sahabat yang turut berperang sesuai interpretasi mereka terhadapa perang tersebut.
[3] Nama tempat yang terletak dekat Madinah dari arah Syam, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Mu’jamul Buldaan

Referensi: Kitab Riadhus Shalihin Karangan Imam An-Nawawi