Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits 1 Arba'in An-Nawawi Tentang Niat

Hadits 1 Arba'in An-Nawawi Tentang Niat
Hadits Arba'in ke-1 Ini menjelaskan tentang pentingnya niat dan keikhlasan dalam beramal dalam Islam. Ini sebagaimana keterangan dari Nabi Muhammad berdasarkan hadits dari Umar bin Khattab menjelaskan Bahwa, rasulullah bersabda:

 وَعَن أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِي حَفْضٍ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ  رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: سَمِعْت رَسُوْل الله يَقُولُ :» إِنَّماَ الْأَعِْمَالُ بِاالنِّيـَّاتِ, وَإِنَّمَا لِكُلَّ امْرِئٍ مَانَوَى, فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله وَرَسُوْلهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلهِ, وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْـيَا يُصِيبُهَا, أَوْ إِمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَاهَاجَرَ إِلَيْه ( مُتَّفَقٌ عَلى صِحَّتِه )

"Dari Amirul Mukminin, Abu Hafs, Umar bin Khathaba yang berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, amalan-amalan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang diniatkannya. Maka, barangsiapa niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya diterima oleh Allah dan Rasul-Nya; barangsiapa yang niat hijrahnya untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu pun akan sampai kepada apa yang diniatkannya.” HR. dua imam ahli hadits: Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husain Muslim bin Hajaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam kitab Shahih mereka yang merupakan dua kitab tulisan manusia yang paling sahih.)

BIOGRAFI UMAR BIN KHATHAB 

Beliau adalah khalifah pertama yang digelari "Amirul Mukminin". Yang menyebutnya dengan kun-yah Abu Hafs adalah Nabi lantaran beliau melihat keberaniannya. Hafs secara bahasa berarti " singa ". Ia juga dijuluki dengan " Al Faruq ", karena ia merupakan pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Ia adalah sahabat yang pertama kali menyatakan keislaman dengan terang-terangan. 

Dengannya Allah mengokohkan dakwah Nabi as-shadiqul mashduq ( yang jujur dan dipercaya ) ini. Itu terjadi saat Nabi berdoa kepada Allah: “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah satu dari dua lelaki ini yang lebih Engkau cintai: Umar bin Khathab atau Amru bin Hisyam ( Abu Jahal ).” 

Sebab keislamannya adalah: ketika mendengar Fatimah, adik perempuannya, bersama suaminya, Saad bin Zaid, masuk Islam, ia bergegas menemui keduanya untuk memberikan hukuman. Maka, adiknya membacakan beberapa ayat Al Qur'an kepadanya. 

Kaum muslimin saat itu bertakbir lantaran gembira oleh keislamannya. Nabi memberinya kabar gembira dengan surga, memberitahunya bahwa Allah Ta'ala telah meletakkan kebenaran di lidah dan hatinya serta bahwa setan lari karena takut kepadanya. 

Ia adalah sahabat yang paling utama setelah Abu Bakar. Mereka juga mengakui keilmuannya, kecerdasannya, kezuhudannya, kerendahan hatinya, kasih sayangnya kepada kaum muslimin, dan perhatiannya kepada kepentingan kaum muslimin. Banyak kisah yang menceritakan sejarah hidupnya. Ada 539 hadits dari Rasulullah yang diriwayatkan melaluinya. Ia hidup selama 63 tahun, gugur sebagai syahid disebabkan oleh tikaman Abu Lu'lu'ah. Ia dikuburkan di kamar Aisyah, di sisi Nabi.

Kekhalifahannya berlangsung selama sepuluh tahun, enam bulan, lima hari. 

PENGANTAR 

Hadits ini sahih dan masyhur, kesahihannya disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Para imam yang enam dan lainnya mengluarkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka, dari Umar bin Khathab. Hadits ini merupakan poros Islam dan salah satu simpul hukum Nabi. 

Telah dikutip secara mutawatir dari para ulama bahwa mereka mengakui keluasan manfaat dan keagungan pengaruh hadits ini. Mereka juga memulai kitab kitab mereka dengan hadits ini lantaran luasnya kebutuhan kepadanya. 

Abu Ubaidah berkata: “Tidak ada kandungan hadits-hadits Nabi yang faedahnya lebih luas dan lebih banyak daripada hadits ini.” Imam Syafii, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mahdi, Ibnul Madini, Abu Daud, Ad-Daruqutni, dan lain-lain bersepakat bahwa hadits ini merupakan sepertiga ilmu. Ada pula yang mengatakan seperempatnya. 

Al-Baihaqi menjelaskan alasan penilaiannya sebagai sepertiga ilmu: Bahwa amalan hamba itu dilakukan oleh hati, lidah, dan anggota badannya. Maka, niat merupakan salah satu dari ketiga kategori itu dan merupakan kategori amalan yang paling utama, karena ia merupakan ibadah yang berdiri sendiri sedangkan amalan lain memerlukannya. Karena itu, dikatakan: “Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya.” 

Ibnu Mahdi berkata: “Hadits tentang niat, termasuk dalam tiga puluh bab keilmuan.” Asy-Syafi'i berkata: “Termasuk dalam tujuh puluh bab.” Ada pula ulama yang mengatakan: “Andaikata aku menulis seratus kitab, tentu aku mengawali masing-masing kitab dengan hadits ini.” 

Ketika Rasulullah tiba di Madinah bersama beberapa sahabatnya, datanglah seseorang yang menikahi wanita muhajirah. Maka Rasulullah duduk di atas mimbar, lantas bersabda: “Wahai manusia ! Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung kepada niat, " tiga kali.” Maka, siapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Adapun siapa yang niat hijrahnya untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya akan sampai kepada apa yang diniatkannya.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangan seraya berdoa: “Jauhkan kami dari bencana ", tiga kali. Pada pagi harinya, beliau bersabda:

 اتيت هذه الليلة بالحمي ، فإذا بعحوز سوداء ملبية في يدي الذي جاء بها ، فقال: هـذه الحمى فما ترى فيها ؟ فقلت اجعلوها تحم 

Al-Hafizh As-Suyuthi mensinyalir bahwa kisah Muhajir Ummi Qais diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam Sunahnya, yang menurut beliau periwayatannya memenuhi syarat Syaikhain, dari Ibnu Mas'ud. Ia berkata: “Seseorang yang berhijrah untuk mencari sesuatu, maka yang didapatkannya adalah yang dicarinya itu.” 

BAHASA

( النيات ) jamak dari ( النية ), artinya tujuan. Dengan ungkapan yang lebih luas: Niat adalah tergeraknya hati menuju apa yang dianggapnya sesuai dengan tujuan baik berupa perolehan manfaat atau pencegahan mudarat. Menurut pengertian syara ' niat adalah: kehendak kepada perbuatan dalam rangka mencari ridha Allah dan melaksanakan hukum-Nya. 

( إنما )kata yang berfungsi sebagai penegas sekaligus pembatas. 

( الهجرة ) Meninggalkan satu tempat menuju tempat lain. Ia diambil dari asal kata (الهجر )

Pengertiannya secara syara' adalah: Meninggalkan daerah yang tidak aman menuju daerah yang aman, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin ketika meninggalkan Mekah menuju Habasyah pada masa awal dakwah. 

Juga meninggalkan daerah kekafiran menuju daerah Islam dalam rangka menyelamatkan agama, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musilmin ketika meninggalkan Mekah menuju Medinah, sehingga Islam tersebar luas di sana. 

Kata hijrah digunakan pula untuk menyebut tindakan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. adalah kata muanats, berasal dari kata yang artinya dekat. Kata ini digunakan untuk menyebut kehidupan pertama manusia. 

PENJELASAN 

Hadits ini menunjukkan bahwa niat merupakan barom eter untuk meluruskan amal perbuatan. Apabila niat baik, maka amalan menjadi baik. Sebaliknya, bila niat rusak, amalan juga akan rusak. 

Amalan yang dilaksanakan disertai dengan niat, keadaannya diklasifikasi menjadi tiga: 

Pertama: seseorang yang melaksanakan amalan karena takut kepada Allah Ta'ala, maka ini merupakan ibadah para budak. 

Kedua: seseorang melaksanakannya untuk mencari surga dan pahala, maka ini merupakan ibadah para pedagang. 

Ketiga: seseorang yang melaksanakannya karena malu kepada Allah Ta'ala dan dalam rangka menunaikan kewajiban beribadah dan bersyukur, seraya tetap memandang bahwa dirinya belum menunaikannya secara penuh, hatinya juga merasa takut karena tidak tahu apakah amalannya diterima atau tidak; inilah ibadah orang-orang yang merdeka. 

Mengenai keadaan ketiga inilah Rasulullah mengisyaratkan saat beliau melakukan qiyamul lail hingga kedua telapak kaki beliau bengkak, lantas ditanya oleh Aisyah " Ya Rasulullah, mengapa Anda memberatkan diri seperti ini, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang telah lalu maupun yang akan datang ? " Beliau menjawab: “Tidakkah selayaknya aku menjadi hamba yang bersyukur ?"

Bila ditanyakan: “Yang lebih utama beribadah diiringi rasa takut ataukah rasa berharap ?" Dikatakan, Al-Ghazali berkata mengenai hal ini: “Ibadah yang diiringi rasa berharap lebih utama, karena harapan itu membuahkan kecintaan, sedangkan rasa takut mengakibatkan keputusasaan. 

Ketiga keadaan ini harus ada pada diri orang-orang yang ikhlas. Ketahuilah bahwa keikhlasan itu bisa dikotori oleh penyakit bangga diri. Barangsiapa yang membanggakan amalnya, maka musnahlah pahala amal itu. Demikian pula, siapa yang takabur, pahala amalnya akan musnah.” 

Keadaan kedua: Seorang hamba melaksanakan amalnya untuk mencari dunia dan akhirat bersama-sama. Sebagian ulama berpendapat bahwa amalnya tertolak. Ia beralasan dengan sabda Nabi dalam sebuah hadits qudsi:

 يقول الله تعالى: أنا أغنى الشركاء فمـن عمل عملا أشرك فيه غيري فأنا بريء منه 

" Allah Ta'ala berfirman: ' Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yang melaksanakan amalan yang di dalamnya ia mempersekutukan-Ku dengan selain Ku, maka aku berlepas diri darinya.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Baihaqi. Para perawi Ibnu Majah tsiqat).

Yang berpendapat demikian di antaranya adalah Al-Haritsi Al-Muhasibi dalam kitab Ar-Ri'ayah. Ia mengatakan: “Ikhlas ialah, hendaklah Anda bertujuan mencari ridha-Nya saja dalam melaksanakan amal ketaatan, tidak menginginkan selain itu. Riya ' ada dua macam. Pertama: seseorang tidak menghendaki dari amalnya kecuali pujian manusia. Kedua: seseorang menghendaki pujian manusia sekaligus ridha dari Tuhan manusia. Kedua macam riya ' ini bisa memusnahkan pahala amal.” 

Abu Nu'aim juga mengutip pendapat ini dalam Al-Hilyah dari sebagian Salaf. Sebagian ulama juga berpendapat demikian berdasarkan firman Allah Ta'ala: 
الجبار المتكبر سبحان الله عما يشركون
“Yang Maha Pemaksa dan Maha Sombong, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” 

Sebagaimana Allah " Sombong " dari kebutuhan kepada istri, anak, dan sekutu, Dia juga tidak menerima amalan yang di dalamnya Dia dipersekutukan dengan selain-Nya. 

As-Samarqandia berkata: “Yang dilaksanakan karena Allah, akan diterima, sedangkan yang dilaksanakan untuk manusia, ditolak.Contohnya: seseorang melaksanakan shalat dengan tujuan melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala kepadanya, tetapi ia memanjangkan rukun-rukun dan bacaan-bacaan shalat serta memperbagus cara pelaksanaannya agar dipuji oleh manusia, maka pada dasarnya shalat tersebut diterima, akan tetapi panjang dan baiknya tata cara pelaksanaan yang ditujukan untuk manusia itu tidak diterima, karena itu dilakukannya untuk manusia.” 

Syaikh 'Izzudin bin Abdus Salam pernah ditanya tentang orang yang memanjangkan shalatnya dengan tujuan agar dilihat oleh manusia. Beliau menjawab, " Saya berharap, amalnya tidak musnah. Semua ini bila penyekutuan terletak pada sifat perbuatan. Akan tetapi bila itu terletak pada pangkal perbuatan, misalnya ia melaksanakan shalat dengan niat karena Allah sekaligus untuk manusia, maka shalatnya tidak diterima lantaran terjadi penyekutuan pada pangkal perbuatan.”

Di samping bisa terjadi ketika melakukan amal, riya' juga bisa terjadi ketika meninggalkan amal. Fudhail bin 'Iyadh berkata: “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya', melakukan amal karena manusia juga riya'. Ikhlas adalah bila Allah menghindarkanmu dari keduanya." 

Maksud ucapan beliau adalah bahwa siapa yang berniat melaksanakan ibadah, lantas meninggalkannya karena takut dilihat oleh orang lain, maka ia telah riya' karena ia meninggalkan amal karena manusia . 

Adapun bila ia meninggalkan shalat dengan tujuan melaksanakannya di tempat yang sepi, maka tindakan ini dianjurkan, kecuali bila yang dilakukan adalah shalat fardhu, zakat yang wajib, atau ia adalah seorang ulama yang diikuti, maka menampakkan ibadah dalam keadaan tersebut lebih utama. 

Sebagaimana riya' bisa menghapuskan amal, demikian halnya tasmi' ( memperdengarkan ), yaitu seseorang melaksanakan suatu amal di tempat yang sunyi, kemudian menceritakan amal yang dilakukannya itu kepada orang lain. Nabi bersabda: 

 من سمّع سمّع اللهُ به ومن راءى راءي الله به

"Barangsiapa menyiarkan amal baiknya, Allah pasti menyiarkan aibnya dan barangsiapa melakukan riya', niscaya Allah memperlihatkan keburukannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama mengatakan, bila yang melakukannya seorang ulama, di mana ia menceritakan amalnya dalam rangka memotivasi pendengar supaya melaksanakannya, maka tidak mengapa. Al - Mirzabani mengatakan: "Pelaku shalat membutuhkan empat sifat supaya shalatnya diterima. Yaitu, kehadiran hati, kesadaran akal, terpenuhinya rukun, dan kekhusyukan anggota badan. 

Siapa melaksanakan shalat tanpa kehadiran hati, maka ia adalah pelaku shalat yang lalai; siapa yang melaksanakan shalat tanpa kesadaran akal, maka ia adalah pelaku shalat yang lupa; dan siapa yang shalat tanpa kekhusyukan anggota badan, maka ia adalah pelaku shalat yang melakukan kesalahan; dan siapa yang melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun-rukun ini, maka ia pelaku shalat yang sempurna.” 

Sabda Nabi: 

إنما الأعمال بالنيات

“Sesungguhnya, amalan-amalan itu hanyalah tergantung kepada niat"

Yang dimaksudkan adalah amal ketaatan, tidak termasuk amalan-amalan mubah. 

Al-Haritsi Al-Muhasibi berkata: “Ikhlas tidak berlaku dalam amalan mubah, karena ia tidak mengandung pendekatan diri kepada Allah dan tidak membawa kepada kedekatan kepada Allah, misalnya meninggikan bangunan tanpa tujuan apapun kecuali sekedar karena kebodohan. Adapun bila untuk tujuan baik seperti mendirikan masjid, jembatan, dan benteng penjagaan, maka ia merupakan hal yang mustahab ( dianjurkan ).” 

Ia berkata: “Keikhlasan juga tidak berlaku dalam perbuatan haram atau makruh. Misalnya seseorang memandang sesuatu yang haram dipandang dengan anggapan bahwa itu dilakukannya untuk bertafakur tentang ciptaan Allah Ta'ala, contohnya seseorang memandang kepada amrad ( anak laki-laki ABG ). Dalam hal ini tidak berlaku keikhlasan sama sekali, bahkan tidak ada nilai pendekatan kepada Allah.” 

Dia berkata: “Indikasi sifat kejujuran dan ketulusan pada seorang hamba adalah adanya kesamaan antara kondisi yang tersembunyi dan yang terlihat serta antara keadaan batin dan lahir. Sifat shidiq ( jujur, tulus ) terwujud dengan terpenuhinya semua sikap dan sifat baik lainnya. Bahkan, keikhlasan masih membutuhkan adanya kejujuran dan ketulusan, akan tetapi sifat shidiq tidak membutuhkan kepada apapun. Sebab, hakekat ikhlas adalah menghendaki ridha Allah Ta'ala dengan melaksanakan amal ketaatan. 

Kadang seseorang menginginkan ridha Allah dengan melaksanakan shalat, akan tetapi ia lalai, tidak mewujudkan kehadiran hati dalam melaksanakannya. Adapun yang dimaksud shidiq ialah menghendaki ridha Allah Ta'ala dengan melaksanakan ibadah, dibarengi kehadiran hati kepada-Nya. Setiap yang shidiq pasti ikhlas, tetapi tidak setiap pasti shidiq. Shidiq juga mengandung makna ikhlas yang menjalin dan melepas, karena ia melepaskan diri dari selain Allah dan menjalin hubungan dengan kehadiran hati kepada Allah. Ia juga mengandung makna pengosongan dari selain Al lah dan pengisian dengan kehadiran di hadapan Allah. 

Sabda beliau: “Sesungguhnya amalan-amalan itu hanyalah...” mengandung indikasi pembatasan mengenai sah, benar, diterima, atau sempurnanya semua amal, dengan niat. Pendapat ini yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Ada amalan-amalan yang dikecualikan, yaitu yang termasuk dalam kategori turuk, misalnya: menghilangkan najis, mengembalikan barang rampasan dan pinjaman, memberikan hadiah, dan sebagainya. Sahnya amalan amalan ini tidak tergantung kepada benarnya niat, tetapi pemberian pahala di dalamnya tergantung kepada niat ibadah. 

Contohnya, seseorang memberi makan binatang tunggangannya; jika ia berniat dengan itu ia melaksanakan perintah Allah Ta'ala, maka ia diberi pahala, tetapi jika ia berniat dengan itu ia hendak melindungi hartanya, maka ia tidak diberi pahala. 

Pendapat Imam Abu Hanifah itu disebutkan oleh Al-Qarafi. Kecuali kuda milik seorang mujahid. Jika ia telah mewakafkan kuda itu di jalan Allah, maka bila si kuda minum tanpa dikehendaki olehnya, ia tetap diberi pahala lantaran itu, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari. 

Demikian halnya perlakuan kepada isteri, tindakan seseorang menutup pintu dan mematikan lampu pada saat tidur, jika dengan itu ia bermaksud melaksanakan perintah Allah, maka ia diberi pahala; tetapi jika bermaksud lain, ia tidak diberi pahala. Ketahuilah bahwa secara bahasa niat berarti kehendak. 

Dikatakan: نواك الله بخير artinya: “Allah menghendakimu baik.” Adapun pengertian niat secara syara' adalah menghendaki sesuatu dibarengi dengan tindakan. Jika sekedar menghendaki tanpa bertindak, maka dinamakan ' azm. Niat disyariatkan untuk membedakan mana yang sekedar kebiasaan dan mana yang ibadah, atau membedakan ibadah yang satu dari ibadah lainnya. 

Contoh untuk yang pertama adalah: Duduk di masjid kadang dimaksudkan untuk istirahat, sebagai suatu kebiasaan, tetapi bisa dimaksudkan sebagai ibadah dengan niat beri'tikaf. Yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat. 

Demikian halnya mandi, merupakan suatu kebiasaan yang dimaksudkan untuk membersihkan badan, tetapi bisa pula dimaksudkan sebagai ibadah. Yang membedakan adalah niat. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika ditanya tentang orang yang berperang lantaran ingin dilihat manusia, orang yang berperang lantaran gengsi, dan orang yang berperang lantaran keberanian; yang manakah di antara ketiganya yang di jalan Allah Ta'ala. Maka beliau bersabda: 

 من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله تعالى 
“Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka dia berada di jalan Allah Ta'ala.” 

Contoh untuk yang kedua, yaitu yang membedakan antara bermacam-macam ibadah: misalnya seseorang melaksanakan shalat empat reka'at, mungkin ia meniatkannya sebagai pelaksanaan shalat Zhuhur, tetapi bisa jadi ia meniatkannya sebagai pelaksanaan shalat sunah. Yang membedakan adalah niat. 

 و إنما لكل امرئ ما نوى

"Dan setiap orang hanya akan memperoleh berdasarkan niatnya.” 

Di sini terkandung dalil bahwa tidak boleh mewakilkan ibadah kepada orang lain berdasarkan pertimbangan niat ini. Dalam hal ini ada pengecualian, yaitu dalam membagikan zakat dan menyembelih hewan qurban. Ibadah ini boleh diwakilkan sejak meniatkan, menyembelih, hingga membagikannya, sekalipun ada kemampuan untuk melakukannya. 

Adapun dalam ibadah haji, hal itu tidak dibolehkan jika mampu dilakukan sendiri. Adapun dalam membayar utang; apabila diarahkan hanya untuk satu hal, maka tidak memerlukan niat. Tetapi jika ditujukan untuk dua hal, misalnya seseorang berutang dua ribu, yang seribu berupa barang gadai, lantas ia membayar yang seribu dengan mengatakan: “Ini saya niatkan untuk membayar barang yang digadaikan itu ", maka sudah benar. Jika ketika membayar ia tidak meniatkan sama sekali, maka ia bisa meniatkannya setelah membayar untuk yang mana saja yang dikehendakinya. Kita tidak bisa meniatkan sesuatu setelah beramal, tetapi tetap sah, kecuali dalam kasus ini. 

Sabda Nabi:

 و فمن كانت هجرته إلى الله و رسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه 

" Maka barangsiapa hijrahnya ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan diterima oleh Allah dan Rasul Nya. Dan barangsiapa hijrahnya ditujukan untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu akan sampai kepada apa yang diniatkannya saat berhijrah ". 

Asalnya, arti berhijrah adalah meninggalkan. Istilah hijrah bisa digunakan untuk menyebut beberapa hal: 

Pertama, hijrah sahabat dari Mekah ke Habasyah ketika kaum musyrik menyakiti Rasulullah sehingga mereka meninggalkan beliau untuk menjumpai Najasyi. Hijrah ini terjadi lima tahun setelah diutusnya Rasul Demikian dikatakan oleh Baihaqi. 

Kedua, hijrah dari Mekah ke Madinah. Ini terjadi tiga belas tahun setelah diutusnya Rasulullah. Saat itu, setiap muslim Mekah wajib melaksanakan hijrah untuk bergabung bersama Rasulullah di Madinah. Sejumlah ulama menyatakan bahwa hijrah dari Mekah ke Madinah mutlak wajib. Tetapi, yang benar tidaklah mutlak demikian. Yang wajib tidak lain adalah berhijrah untuk bergabung kepada Rasulullah Ibnul 'Arabi berkata: “Para ulama mengklasifikasi hijrah menjadi yang bertujuan menghindarkan diri dan yang bertujuan mencari. Yang pertama dibagi lagi menjadi enam: 

Pertama: Meninggalkan Darul Harb menuju Darul Islam. Ini tetap berlaku hingga hari kiamat dan berakhir dengan terjadinya penaklukan. Ini tersebut dalam hadits:

 لا هجرة بعد الفتح 

“Tidak ada hijrah setelah penaklukan.” 

Hijrah di sini adalah untuk bergabung dengan Rasul di manapun beliau berada. 

Kedua: Meninggalkan pelaku bid'ah. Ibnul Qasim berkata: Saya pernah mendengar Malik berkata: “Tidak halal bagi seseorang tinggal di suatu wilayah yang di dalamnya kaum Salaf dicela.”

Ketiga: Meninggalkan negeri yang di dalamnya hal-hal yang diharamkan mendominasi. Sebab, mencari yang halal merupakan kewajiban setiap muslim. 

Keempat: Menghindari tekanan fisik. Ini merupakan karunia dari Allah Ta'ala yang telah memberikan keringanan dalam masalah ini. Bila seseorang khawatir akan keselamatan dirinya di suatu tempat, maka Allah Ta'ala mengizinkannya pergi meninggalkan tempat tersebut dan menyelamatkan dirinya dari bahaya tersebut. Orang pertama yang melakukan hijrah semacam ini adalah Ibrahim ketika ia khawatir akan gangguan kaumnya. Ia berkata: “Sesungguhnya aku berhijrah ke ( tempat yang diperintahkan ) Tuhanku.” (QS. Al-' Ankabut ( 29 ): 26). Allah Ta'ala berfirman menceritakan kisah Musa: Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut dan menunggu-nunggu.” (QS. Al-Qashash ( 28 ): 21)

Kelima: Pergi meninggalkan suatu negeri yang membahayakan kesehatan untuk menghindari penyakit, menuju negeri yang nyaman. Rasulullah pernah mengizinkan orang orang Aran untuk keluar dari Madinah menuju Maraj. 

Keenam: Keluar dari suatu wilayah karena takut gangguan terhadap harta benda. Harta seorang muslim suci seperti kesucian darahnya. 

Adapun hijrah yang bertujuan mencari, ini dibagi menjadi sepuluh. Ia meliputi hijrah untuk mencara agama dan dunia. Hijrah untuk mencari agama dibagi menjadi sembilan: 

Pertama: Bepergian untuk pengamatan agar mendapatkan pelajaran. Dzulkarnain pernah mengadakan perjalanan keliling dunia untuk melihat keajaiban-keajaibannya. 

Kedua: Perjalanan ibadah haji. 
Ketiga: Perjalanan jihad. 
Keempat: Perjalanan mencari penghidupan. 
Kelima: Perjalanan untuk berdagang dan bekerja guna mendapatkan penghasilan yang lebih dari sekedar kebutuhan pokok. Ini dibolehkan berdasaran firman Allah Ta'ala: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia ( rezeki hasil perniagaan ) dari Tuhanmu. ' 
Keenam: Mencari ilmu. 
Ketujuh: Mencari lingkungan yang baik. Rasulullah bersabda:
لأنشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد
 "Tidak dianjurkan bepergian kecuali menuju tiga masjid...."
Kedelapan: Perjalanan ke daerah perbatasan untuk berjaga jaga. Kesembilan: Berkunjung menjumpai ikhwan fillah ( saudara-saudara seiman ). Nabi bersabda: ' Seseorang berkunjung kepada saudaranya yang tinggal di suatu desa. Maka Allah mengutus seorang malaikat untuk menemuinya di tengah perjalanan, lantas bertanya: “Hendak ke mana ? " Orang itu menjawab: “Hendak menjumpai saudaraku di desa ini.” Malaikat bertanya: “Adakah kamu berutang budi kepadanya sehingga kamu hendak membalas utang budimu itu ? " Orang itu menjawab: “Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah Ta'ala.” Malaikat berkata: “Sesungguhnya aku diutus Allah menjumpaimu guna memberitahumu bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya.” ( HR. Muslim dan lain-lain )

Hijrah ketiga: Hijrahnya kabilah-kabilah kepada Rasulullah untuk belajar syariat. 

Hijrah keempat: Hijrahnya penduduk Mekah yang masuk Islam untuk menjumpai Nabi kemudian kembali kepada kaumnya. 

Hijrah kelima: Hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam. Orang muslim tidak dihalalkan tinggal di negeri kafir. Al Mawardi berkata: “Tapi jika di sana ia telah beristri dan berkeluarga, sedangkan ia bisa menampakkan agamanya, ia tidak boleh berhijrah. Karena tempat yang didiaminya telah menjadi Darul Islam.” 

Hijrah keenam: Tindakan seorang muslim menghindar dari saudaranya lebih dari tiga hari tanpa sebab yang dibenarkan syara '. Menghindarnya selama tiga hari hukumnya makruh, dan selebihnya haram kecuali karena suatu sebab darurat. Dikisahkan, seseorang pernah menghindar dari saudaranya lebih dari tiga hari. Maka saudaranya itu menulis bait-bait syair di bawah ini dan mengirimkan kepadanya. 
Tuanku, Engkau telah melakukan kezhaliman kepadaku 
Tanyakan masalah itu kepada Ibnu Abi Khaitsamah 
Sebab ia meriwayatkan dari kakeknya 
Apa yang telah diriwayatkan Dhahak dari Ikrimah 
Dari Ibnu Abas, dari Al-Musthafa 
Nabi kita yang diutus dengan kasih sayang 
"Sesungguhnya memutuskan tali persahabatan 
Lebih dari tiga hari, diharamkan Tuhan" 

Hijrah ketujuh: Suami yang melakukan pisah ranjang dengan isterinya yang nyata-nyata melakukan nusyuz. Allah Ta'ala berfirman: “Dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka ( isteri-isterimu yang melakukan nusyuz ).” Sejenis dengan ini adalah menghindarkan diri dari pelaku kemaksiatan, baik dengan cara menghindari tempatnya, menghindari bicara dengannya, serta tidak menjawab salam atau memulainya. 

Hijrah kedelapan: Meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah. Ini merupakan hijrah yang paling luas. Sabda Nabi: 

فمن كانت هجرته إلى الله و رسوله
“Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Maksudnya, barangsiapa niat hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya  maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya:

ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها الخ

” Dan barangsiapa hijrahnya untuk dunia yang akan diperolehnya... dst. 

Mereka meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang berhijrah dari Mekah ke Madinah padahal ia tidak bermaksud untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Ia berhijrah hanyalah untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais, sehingga ia disebut sebagai Muhajir Ummi Qais. 

Jika dikatakan: Menikah adalah amalan yang dikehendaki oleh agama, mengapa di sini disebut sebagai keinginan duniawi ? Maka, sebagai jawabannya dikatakan: Secara lahir, ia pergi dari Mekah bukan untuk menikahi wanita itu, melainkan untuk berhijrah. Karena ia menyembunyikan sesuatu yang berbeda dari apa yang ditampakkannya, maka ia berhak untuk dicela. 

Dengan itu bisa diqiyaskan orang yang secara lahir meninggalkan negerinya untuk berhaji, padahal yang diinginkannya adalah berdagang. Begitu pula bepergian untuk mencari ilmu, padahal yang diinginkan adalah memperoleh kepemimpinan dan jabatan. 

Sabda Nabi:

فهجرته إلى ما هاجر إليه

 “Maka hijrahnya akan sampai kepada apa yang diniatkannya dalam berhijrah. 

Sabda beliau ini mengandung pengertian bahwa tidak ada pahala bagi orang yang berhaji dengan niat berdagang atau bertamasya. Seyogyanya, hadits tersebut dibawa kepada pengertian: bila motivasi dan dorongan seseorang dalam melaksanakan haji semata-mata berdagang. 

Akan tetapi bila motivasinya adalah menjalankan ibadah haji, maka ia tetap memperoleh pahala, sedangkan perdagangan sekedar mengikutinya, akan tetapi pahalanya lebih sedikit dibandingkan orang yang bepergian untuk berhaji semata. 

Adapun orang yang bermaksud melakukan kedua-duanya, maka tidak bis a dikatakan bahwa ia pergi untuk tujuan dunia semata. Wallahu ' Azza wa Jalla A'lam. 

MUATAN HADITS 

  1. Semua amalan tidak sah kecuali bila disertai niat. 
  2. Orang mukmin memperoleh pahala berdasarkan niatnya. 
  3. Barangsiapa amalannya ikhlas karena Allah, diterima. 
  4. Barangsiapa amalannya lantaran riya', ingin dilihat orang lain, maka tidak diterima. 
KESIMPULAN HADITS 
  • Segala urusan itu dinilai berdasarkan maksudnya. 
  • Manusia dengan niatnya bisa memperoleh apa yang tidak diperolehnya dengan amalannya. 
  • Semua amalan terikat kepada niat. 
  • Yang membedakan ibadah dan adat adalah niat. 
  • Niat seorang mukmin bisa mencapai batas manapun yang bisa dicapai oleh amalan.