Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tafsir Surat Al-Mu'minun ayat 1 dan 2 Ciri Orang Yang Beruntung

Tafsir Surat Al-Mu'minun ayat 1 dan 2
SURAH AL-MU'MINUN 

Surah al-Mu'minun adalah salah satu surah yang turun sebelum Nabi Muhammad berhijrah ke Madinah  atau disebut surah Makkiyyah. Memang ada juga segelintir kecil ulama yang menduga sebagian ayatnya turun di Madinah. Misalnya ada yang menduga bahwa ayat 75-77 surah ini adalah Madaniyyah. Tetapi pendapat tersebut dinilai serupa dengan kelemahan pendapat yang menduga ayat 4 surah ini berbicara tentang kewajiban zakat yang baru disyariatkan di Madinah. 

Nama al-Mu'minin atau al-Mu'minin dikenal sejak masa Nabi saw. Imam an-Nasa'i meriwayatkan bahwa sahabat Nabi yakni Abdullah Ibn Sa'ib menjelaskan bahwa Pada hari pembukaan kota Mekah, aku shalat bersama Rasulullah saw. Beliau shalat dengan menghadap ke Ka'bah. Setelah membuka alas kaki beliau dan meletakkannya di sebelah kiri beliau. Sewaktu itu, beliau membaca surah al-Mu'minûn, dan ketika tiba pada ayat yang berbicara tentang Můüså atau ' Îsa, beliau terbatuk-batuk, dan beliau pun ruku.” 

Ada juga yang menamai surah ini dengan surah “Qad Aflaha.” Kedua nama itu terambil dari kata-kata yang terdapat pada awal ayat surah ini. Surah ini merupakan surah yang ke-76 jika ditinjau dari perurutan turunnya surah. Ia turun sebelum surah al-Mulk / Tabárak, dan sesudah surah ath-Thúr. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 117 ayat. Ada juga yang menghitungnya sebanyak 118 atau 119: ayat. Mereka yang berpendapat 118, menghitung firman-Nya: ( ألئك هم الوارثون ) ( ayat 10 ) ( الذين يرثون الفردوس هم فيها خالدون ) ( ayat 11 ) satu ayat lagi. Berbeda dengan ulama menggabung kedua kalimat itu dan menjadikannya satu ayat saja. 

Thabathaba'i menjelaskan bahwa surah ini merupakan ajakan beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Surat ini juga menjelaskan sifat-sifat orang mukmin dan orang-orang kafir. Penjelasan Sayyid Quthub lebih jelas. Menurutnya, "Nama surah ini menunjuk dan menetapkan tujuannya. Ia dimulai dengan uraian tentang sifat orang-orang mukmin, lalu dilanjutkan dengan bukti keimanan dalam diri manusia dan alam raya, kemudian uraian tentang hakikat iman sebagaimana dipaparkan oleh rasul Allah sejak Nabi Nuh as sampai dengan Nabi dan Rasul terakhir Muhammad saw. 

Kemudian dipaparkan dalih para pengingkar dan keberatan-keberatan mereka serta pembangkangan mereka, sampai dengan kebinasaan para pengingkar dan kemenangan orang-orang mukmin.” Dengan demikian tulis Sayyid Quthub-" Surah ini adalah surah al Mu'minun atau surah al-Imán dalam seluruh aspek, dalil-dalil dan sifat sifatnya, dan itulah tema utamanya.” 

Surat Al-Mukminun ayat 1 dan 2

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ﴿١﴾ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ 
Artinya:

"Sesungguhnya telah beruntunglah orang-orang mukmin ( yaitu ) mereka yang khusyu’ dalam shalatnya" 

Ayat surah al-Hajj sebelumnya ditutup dengan ajakan kepada orang-orang yang beriman serta perintah kepada mereka untuk melaksanakan tuntunan agama, baik yang khusus maupun yang umum, yang diakhiri dengan perintah shalat dan zakat, serta berpegang teguh dengan tali Allah yang terulur dari langit. 

Dapat juga dikatakan bahwa pada akhir-akhir ayat surah yang lalu ( ayat 77 ), kaum beriman diperintahkan agar melakukan aneka ibadah dengan harapan agar mereka memperoleh keberuntungan, atau dengan redaksi ayat itu ( l ) la'allakum tuflibún. Itu sebabnya sehingga awal ayat ini menggunakan kata ( قد ) qad yang mengandung makna kepastian. 

Ayat di atas menyatakan bahwa: Sesungguhnya telah yakni pasti beruntunglah mendapat apa yang didambakannya orang-orang mukmin, yang mantap imannya dan mereka buktikan kebenarannya dengan amal-amal saleh yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya, yakni tenang, rendah hati lahir dan batin, serta yang perhatiannya terarah kepada shalat yang sedang mereka kerjakan. 

Kata ( أفلح ) terambil dari kata ( الفلح ) yang berarti membelah, dari sini petani dinamai ( الفَلَّاح ) al-fallah karena dia mencangkul untuk membelah tanah lalu menanam benih. Benih yang ditanam petani menumbuhkan buah yang diharapkannya. 

Dari sini agaknya sehingga memperoleh apa yang diharapkan dinamai falah dan hal tersebut tentu melahirkan kebahagiaan yang juga menjadi salah satu makna faläh. Selanjutnya rujuklah ke QS. al-Hajj [ 22 ]: 77 untuk memperoleh informasi tambahan. 

Kebahagiaan ada yang duniawi dan ada pula yang ukhrawi. Kebahagiaan duniawi-menurut ar-Raghib al-Ashfaháni adalah memperoleh hal-hal yang menjadikan hidup duniawi nyaman antara lain berupa kelanggengan hidup, kekayaan dan kemuliaan. 

Sedang yang ukhrawi terdiri dari empat hal, yaitu wujud yang langgeng tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan ilmu tanpa ketidaktahuan. 

Iman dari segi bahasa adalah pembenaran hati menyangkut apa yang didengar. Menurut Thabáthabi'i, iman adalah kepatuhan dan pembenaran yang disertai dengan pemenuhan konsekuensinya. Dengan demikian keimanan kepada Allah dalam pengertian al-Qur'an adalah pembenaran tentang keesaan-Nya, para rasul-Nya, hari

Kemudian, serta apa yang disampaikan oleh para rasul-Nya disertai dengan al-ittiba' yakni mengikuti dan melaksanakannya secara umum. Karena itu -tulis Thabathaba'i-setiap al-Qur'an menyebut kaum mukminin dengan sifat yang indah, atau ganjaran yang melimpah-kita temukan pula ia digandengkan dengan menyebut amal saleh, seperti firman Allah dalam QS. an-Nahl [ 16 ] ayat 97.

Sekadar kepercayaan menyangkut sesuatu, belum dapat dinamai iman. Iman menghasilkan ketenangan. Karena itu pula dia berbeda dengan ilmu, walau salah satu yang mengukuhkan iman adalah ilmu. 

Kata ( صلاتهم ) menisbahkan shalat itu kepada pelakunya, bukan kepada Allah, walaupun pada hakikatnya shalat tersebut ditujukan kepada-Nya. Hal ini disebabkan karena ayat ini bermaksud menggarisbawahi aktivitas pelaku, apalagi mereka itulah yang akan memperoleh manfaat shalatnya, bukan Allah swt. 

Kata ( خاشعون ) terambil dari kata ( خشع ) yang dari segi bahasa berarti diam dan tenang. Ia adalah kesan khusus dalam hati siapa yang khusyu’ terhadap siapa yang dia khusyu’ kepadanya, sehingga yang bersangkutan mengarah sepenuh hati kepada siapa yang dia khusyu’ kepadanya sambil mengabaikan selainnya. Patron kata yang digunakan ayat ini menunjuk kepada pelaku yang mantap melakukan kekhusyu'an itu. 

Sementara ulama menyatakan bahwa khusyu’ yang dimaksud ayat ini adalah rasa takut jangan sampai shalat yang dilakukannya tertolak. Rasa takut ini antara lain ditandai dengan ketundukan mata ke tempat sujud. Rasa takut itu bercampur dengan kesigapan dan kerendahan hati. 

Ulama-ulama fiqh berbeda pendapat tentang khusyu’ dalam shalat. Apakah dia fardhu / wajib atau sunnah. Mayoritas ulama tidak mewajibkannya, namun ulama-ulama tasawuf mewajibkannya. 

Para ulama fiqh tidak memasukkan kekhusyu'an pada bahasan rukun, atau syarat shalat, karena mereka menyadari bahwa khusyu’ lebih banyak berkaitan dengan kalbu, sedang mereka pada dasarnya hanya mengarahkan pandangan ke sisi lahiriah manusia. ( kami hanya menetapkan hukum berdasar yang lahir dan Allah yang menangani yang batin ). Khusyu’ adalah kondisi kejiwaan yang tidak dapat terjangkau hakikatnya oleh pandangan manusia termasuk para ahli fiqh itu. 

Sebenarnya para ulama fiqh pun secara tidak langsung telah menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengarah kepada keharusan khusyu’ dalam shalat, tetapi dalam bahasa fiqh dan keterbatasannya pada hal-hal yang bersifat lahiriah. Hal ini antara lain dapat terlihat dalam penekanan para fuqaha' tentang perlunya memelihara gerak di luar gerak shalat, sehingga tidak melampaui batas tertentu, misalnya tiga kali gerak yang besar. Mereka juga menekankan bahwa khusyu’ tergambar pada sikap antara lain tidak menoleh, menguap, atau membunyikan jari-jari tangan, tidak juga memandang ke atas, tetapi ke depan atau ke tempat sujud. 

Apalagi, sementara ulama berkata, bahwa Nabi saw sebelum turunnya ayat ini sering mengarahkan pandangan ke langit-saat shalat- dan sejak turunnya beliau tidak melakukannya lagi tetapi selalu memandang ke arah tempat sujud beliau. 

Demikian antara lain ulama fiqh menetapkan makna khusyu’ dalam disiplin ilmu mereka. Memang Nabi Muhammad saw menjadikan gerakan anggota badan, di luar gerak shalat, sebagai pertanda lahiriah dari ketiadaan khusyu’. Suatu ketika beliau berkomentar ketika melihat seorang yang shalat sambil memegang-megang jenggotnya bahwa: " Seandainya hatinya khusyu’, niscaya tangannya pun khusyu’ ( tidak bergerak-gerak )" ( HR. an-Nasa'i dan Ibn Majah melalui Abu Sa'id al-Khudhri. 

Banyak orang menduga bahwa khusyu’ dalam shalat menjadikan seseorang larut dalam rasa dan ingatan kepada Allah swt., tidak mengingat selain-Nya dan tidak merasakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan Nya. Dalam konteks ini, sering kali contoh yang dikemukakan adalah kasus Sayyidina 'Ali Zainal Abidin, yang digelar dengan as-Sajjad, cucu Sayyidina 'Ali Ibn Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra' ra. ( putri Rasul saw. ). 

Dalam riwayat dikemukakan bahwa as-Sajjad menderita penyakit di kakinya yang mengharuskan pembedahan. Maka kepada para dokter disarankan agar melakukan pembedahan itu pada saat beliau shalat, karena pada saat itu ingatan dan perasaan beliau terpaku pada kebesaran Allah swt., tidak kepada sesuatu lainnya. Beliau tidak akan merasakan sakit pembedahan itu, karena sedang berada dalam puncak kenikmatan menghadap Allah swt. 

Contoh ini banyak dikemukakan oleh para sufi tetapi ulama fiqh mengetengahkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi saw. sendiri pun dalam shalatnya tidak selalu larut dalam kebesaran Allah. Bukankah beliau dalam shalat mendengar tangisan bayi sehingga mempercepat shalatnya ? ( HR. Bukhari melalui Abû Qatadah ). 

Bukankah suatu ketika beliau sujud sedemikian lama sehingga para sahabat yang mengikuti beliau menduga ada perubahan dalam tata cara shalat, tetapi ternyata beliau menjelaskan bahwa "Cucu saya sedang menunggang punggung saya dan saya enggan mengangkat kepala sebelum dia puas.” 

Bukankah kedua kasus ini menunjukkan bahwa paling tidak sekali-sekali ketika shalat-Rasul saw. pun tidak sepenuhnya larut dalam ingatan kepada Allah swt. ? Kewajiban shalat dan khusyu’ yang ditetapkan Allah dapat diibaratkan dengan kehadiran pada pameran lukisan. Banyak yang diundang hadir untuk menikmati keindahan lukisan, dan bermacam-macam sikap mereka. Ada tanpa mengerti sedikit pun-apalagi menikmati lukisan; ada hadir yang juga yang tidak mengerti tetapi berusaha mempelajari dan bertanya; ada lagi yang mengerti dan menikmatinya; dan ada pula yang demikian paham dan menikmati, sehingga terpukau dan terpaku, tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya. 

Dia tidak mendengar sapaan orang kepadanya, bahkan tidak merasakan senggolan orang sekitarnya. Dia benar-benar larut dalam kenikmatan. Pengundang akan bergembira jika Anda datang walau tidak mengerti tentang lukisannya, dia bergembira karena Anda menghormati undangannya. Tetapi tentu pengundang akan lebih bergembira jika Anda mau belajar dan bertanya, apalagi jika Anda menikmati bahkan larut dalam menikmati lukisannya. Yang perlu diingat adalah jangan tidak menghadiri undangan itu dengan alasan apapun, karena itu berarti Anda melecehkan si pengundang. 

Begitulah lebih kurang ihwal shalat dan khusyu dalam pandangan ulama fiqh. Tentu saja kekhusyu'an yang disebut ayat ini bukanlah kekhusyu'an pada peringkatnya yang rendah, karena yang dibicarakan oleh ayat ini adalah al-Mu'minûn, yakni orang-orang yang telah mantap imannya, bukan ( الذين ءامنوا ) al-ladzina amanu / orang-orang beriman walau masih belum mantap. Rujuklah ke QS. al-Anfal [ 8 ]: 2 untuk mengetahui lebih banyak tentang mereka. 

Selanjutnya>>>>>>>