Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tafsir Surat Al-Mukminun Ayat 3 Menjauhi Sesuatu yang tidak Berguna

Tafsir Surat Al-Mukminun Ayat 2
Dalam Surah al-Mu'minin ( 23 ) ayat 3 menjelaskan tentang ciri orang yang mendapatkan keberuntungan atau kemenangan adalah orang yang terhindar dari perbuatan yang sia-sia. sebagaimana firman Allah:
Tafsir Surah al-Mu'minin ( 23 ) ayat 3
Artinya:
"dan mereka yang terhadap al-Laghw adalah orang-orang yang tidak acuh (mengesampingkan)."

Pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan tentang ciri orang yang beruntung adalah orang yang khusyu' dalam Shalatnya. Selanjutnya, karena shalat yang benar dan baik menjauhkan pelakunya dan hal-hal yang buruk bahkan yang mestinya ditiadakan, maka sifat selanjutnya yang disebut adalah tidak memberi perhatian kepada hal tidak bermanfaat. 

Tháhir Ibn 'Asyur berpendapat bahwa persoalan al-laghwu yang disebut setelah kekhusyu'an dalam shalat, karena kekhusyu'an bertolak belakang dengan al-laghwu. Siapa yang berbicara atau mendengar tentang khusyu' akan terlintas dalam benaknya al-laghwu, dan demikian mengabaikannya merupakan keniscayaan dari kekhusyu'an dalam shalat. 

Karena siapa yang terbiasa dengan ucapan yang baik, dia akan menjauhi ucapan yang buruk. Siapa yang terbiasa khusyu' kepada Allah tentulah dia akan meninggalkan kebohongan. Demikian Ibn 'Asyur. 

Ayat di atas menjelaskan tentang orang yang juga yang akan memperoleh kebahagiaan adalah mereka yang terhadap al-lagha yakni hal-hal yang tidak bermanfaat adalah orang-orang yang tidak acuh. Maksudnya adalah tidak memberi perhatian atau menjauhkan diri secara lahir dan batin dari hal-hal tersebut. 

Kata ( اللغو ) al-laghwu terambil dari kata ( لغى ) lagha yang berarti batal, yakni sesuatu yang seharusnya tidak ada / ditiadakan. Ini dapat berbeda antara satu waktu, hal dan situasi dengan lainnya, sehingga bisa saja satu ketika ia dinilai tidak berfaedah sehingga menjadi lagha, dan di kali lain ia berfaedah. Menegur kekeliruan adalah baik, tetapi menegur kekeliruan saat khatib Jumat menyampaikan khutbahnya dinilai oleh Rasul saw sebagai sesuatu yang laghwu Beliau bersabda: “Apabila Anda berkata kepada teman Anda pada hari Jumat saat imam berkhutbah: Diamlah (karena dia berbicara ketika khutbah), maka Anda telah melakukan laghw" ( HR. Keenam Imám Hadits ). 

Apa yang haram dan makruh, sejak semula sudah harus ditinggalkan, sehingga ia bukanlah masuk kategori laghw sebagaimana diduga sementars ulama. Laghwu pada dasarnya adalah hal-hal yang bersifat mubah, yakni sesuatu yang tidak terlarang, tetapi tidak ada kebutuhan atau manfaat yang diperoleh ketika melakukannya. Banyak aktivitas, ucapan, perhatian dan perasaan yang dapat termasuk dalam kategori lagha.

Kata ( معرضون ) ma'ridhún terambil dari kata ( العرض ) yang berarti samping, Seorang yang tidak memberi perhatian kepada sesuatu, maka dia tidak akan melihat dan menghadapkan wajah kepadanya, atau dengan kata lain dia mengenyampingkannya. Dari sini kata mu'ridhun dipahami dalam arti tidak memberi perhatian kepadanya. 

Siapa yang merasakan nikmatnya, pastilah dia tidak akan menghiraukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan alam suci itu, tidak juga menghiraukan hal-hal yang dapat mengantarnya tidak merasakan lezatnya iman. 

Namun perlu dicatat bahwa ini bukan berarti bahwa seorang mukmin harus selalu serius, tidak mengenal senyum atau canda. Hal ini perlu digarisbawahi karena terdapat kesalahpahaman, bahkan ditemukan sekian riwayat yang mengarah kepada larangan bercanda dan bergurau. Ambillah sebagai contoh ucapan yang diduga sementara orang sebagai sabda Nabi Muhammad saw yaitu: “Jangan memperbanyak tawa karena banyak tawa mematikan kalbu.” Riwayat ini dan yang semacamnya, jika dinilai shahih-harus dipahami dalam arti lelucon " yang tidak lucu ", yang menyakitkan hati dan melengahkan dari tugas-tugas pokok, karena para nabi pun tertawa mendengar ucapan atau melihat kelakuan yang lucu. Nabi Sulaimân as. yang mendengar suara / ucapan semut dinyatakan oleh al-Qur'an, " Maka dia tersenyum tertawa mendengar ucapan semut.” ( QS. an-Naml [ 27 ]: 19 ) 

Sekian banyak juga riwayat yang menginformasikan bahwa Rasulullah saw pun tertawa dan bergurau. Menurut istri beliau ' Aisyah ra., " Rasulullah saw adalah seorang yang sering tersenyum dan tertawa, bahkan tertawa sampai terlihat gigi geraham beliau-walau tidak terbahak, dan tidak mengucapkan kecuali yang haq.” 

Seorang wanita tua datang kepada Rasul minta didoakan agar masuk surga, maka Rasul bersabda: “Surga tidak dimasuki oleh wanita tua." Wanita tersebut berteriak kecewa, dan ketika itu Rasul saw. tersenyum dan membacakan kepadanya firman Allah: 

Sesungguhnya Kami jadikan mereka dengan langsung, Kami jadikan mereka gadis pada perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya, untuk kelompok kanan ( penghuni surga )" ( QS. al-Waqi'ah [ 56 ] 35-38 ) 

Di kali lain datang seseorang berkata kepada beliau: “Suami saya mengundang Anda ke rumah kami.” Nabi saw menjawab: “Apakah dia ada sesuatu yang putih ? " Sang istri tidak membenarkan, yang di matanya tetapi Nabi saw.” berkeras " dan mengulangi ucapan beliau. Bahkan satu riwayat menyatakan bahwa Rasul saw bersabda: “Bergegaslah melihat suamimu, karena di kedua matanya ada sesuatu yang putih.” Ketika sang istri menemui suaminya, sang suami menenangkannya dengan berkata, " Memang ada yang putih di mata saya, tetapi bukan penyakit. Tenanglah wahai istriku. 

Istri Nabi saw., ' Aisyah ra., berkata bahwa suatu ketika aku memasak makanan dan memberikannya kepada Rasul saw., yang ketika itu berada bersama istri beliau Saudah. 'Aisyah mengharap Saudah ra. ikut makan, tetapi ia enggan karena tidak sesuai dengan seleranya. 'Aisyah bersikeras sambil berkata, "Demi Allah, engkau harus makan, kalau tidak, akan kukotori wajahmu dengan makanan ini.” Karena Saudah bersikeras untuk tidak makan, 'Aisyah mengambil sebagian dari makanan itu dan menempelkannya ke wajah Saudah. Saudah pun melakukan hal ke wajah 'Aisyah sambil tertawa. Rasul saw. yang melihatnya pun ikut yang sama tertawa.

Seorang sahabat Nabi saw. bernama Nu'aimán Ibn Rufa'ah, pejuang yang terlibat dalam sekian banyak peperangan bersama Rasul. Ia dikenal pula sebagai seorang jenaka, sampai ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw bersabda: “Dia akan masuk surga dengan tertawa.” Sahabat ini sering ke pasar untuk mengambil makanan atau buah yang disenanginya, kemudian membawanya kepada Nabi saw. sambil berkata: “Ini hadiah dari saya untukmu.” Tetapi tidak lama berselang datang sang penjual dan menagih harganya. Nu'aimán meminta agar Nabi saw membayarnya. Beliau bersabda kepada Nu'aimin: “Bukankah engkau telah menghadiahkannya kepadaku.” Dia menjawab: “Benar, tetapi saya tidak memiliki uang dan saya ingin agar engkau ( dan saya ) memakannya. Nabi saw. pun membayar sambil tertawa. 

Seorang sahabat beliau bernama Hanzhalah dikenal yang sangat taat dan selalu terharu mendengar tuntunan Rasul saw, pada suatu hari bergurau dengan istrinya, kemudian dia sadar dan menduga gurauan itu bertentangan dengan ajaran agama, maka dia berkata: “Hanzhalah ( aku ) telah menjadi munafik " la kemudian menemui Nabi saw dan mengadukan dirinya, maka Nabi saw bersabda: “Hai Hanzhalah, seandainya kamu sekalian terus menerus dalam keadaan itu ( terharu ketika mendengar wejanganku ), maka pastilah para malaikat berjabat tangan dengan kalian di tengah jalan; tetapi hai Hanzhalah- ada waktu untuk ini, dan ada juga waktu untuk itu, yakni ada waktu di mana seseorang harus serius, dan ada juga waktunya bergurau dan santai.