Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Bersuci Dengan Air Terkena Bangkai Binatang

Hukum Bersuci Dengan Air Terkena Bangkai Binatang
Berkenaan dengan kesucian air apabila terkena bangkai bintang kecil seperti lalat, nyamuk dan lainnya adalah terdapat dalil dari Nabi berdasarkan riwayat Abu Hurairah ra. berkata:

 قال النبي ﷺ: إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فليغمسه ثم لينزعه فإن في أحد جناحيه داء وفي الآخر شفاء 

Rasul saw. bersabda: “Apabila lalat jatuh ke dalam minuman, hendaklah lalat dibenamkan; sesudah dibenamkan dikeluarkan ( dibuang ); karena pada sebelah sayapnya ada penyakit dan pada sayap sebelah lagi ada penawar." ( HR. Al Bukhari dan Abu Dawud ) 

Juga berdasarkan hadits dari Salman Al-Farisy. Beliau menerangkan bahwa Rasulullah bersabda: 

إن النبي ﷺ قال: يا سلمان أيما طعام أو شراب ماتت فيه دابة ليست فيه نفس سائلة فهو الحلال أكله وشربه ووضوءه 

Nabi saw. bersabda: “Hai Salman, setiap makanan atau minuman yang di dalamnya ada binatang yang tidak mempunyai darah yang mengalir telah mati, maka makanan atau minuman itu halal dimakan dan diminum atau boleh untuk mengambil wudhu ( air shalat )." ( HR. At-Turmudzy dan Ad-Daraquthny; Al-Mughniy l: 29 ) 

Artikel Terkait:

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Ahmad. Ulama-ulama hadits meriwayat kannya dengan lafazh lain. Sanad-nya dipandang shahih oleh semua muhadditsin. 

Hadits ini menyatakan bahwa air sedikit, tidak menjadi najis lantaran ke masukan binatang mati yang tidak mengalir darah di dalamnya, karena binatang binatang yang demikian, mati / hidupnya, sama saja.

Dan juga menyatakan, bahwa apabila lalat jatuh ke dalam makanan ( yang basah ) dan minuman, hendaklah dibenamkan lalat itu. Sesudah dibenamkan barulah dibuang. Juga menyatakan kebolehan kita mematikan binatang untuk menolak kemudaratan yang dibawanya, dan bahwa memakan lalat dan yang sepertinya, adalah haram. 

Hadits yang kedua maka pengarang Al-Mughniy tidak mencelanya. Hadits ini menyatakan, bahwa makanan dan minuman yang telah masuk ke dalamnya binatang yang tidak berdarah, seperti lalat dan sebagainya, halal dimakan dan air itu sah dipakai untuk mengambil wudhu. 

Tidak ada perselisihan para fuqaha dalam masalah ini. Semua mereka mene tapkan, apabila lalat jatuh ke dalam makanan yang basah dan minuman, maka minuman / makanan itu boleh untuk diminum dan dimakan. 

Hukum tentang Air Al-Amir Ash-Shan'any mengatakan: “Asal hukum, hanya lalat saja yang kita perlakukan demikian. Akan tetapi, karena mengingatkan kaidah: hukum berputar sekitar illar-nya. Maka persamaan motif menimbulkan persamaan hukum. Hukum yang ditentukan untuk lalat ini, ditetapkan juga kepada segala binatang yang lain yang darahnya tidak mengalir, yakni tidak menajiskan makanan dan minuman. 

Sebab yang menajiskan adalah darah yang ada pada binatang itu, dan hal ini tidak terdapat pada lalat. Perintah membenamkan lalat yang masuk kedalam minuman adalah untuk menghilangkan racun yang terdapat pada sayap lalat yang jatuh tersebut. Para tabib mengakui, bahwa salah satu sayapnya mengandung racun; sayap ini dipergunakan untuk senjatanya. 

Oleh karena kita sukar menjaga bahaya lalat, Allah meletakkan di salah satu sayap nya, penawar yang mematikan racunnya itu. Banyak para ahli kedokteran menjelaskan bahwa apabila kita disengat tawon maka obatnya adalah lalat. Caranya adalah dengan menggosokkan tempat yang kena sengatan itu dengan lalat, hilang lah racun dari tawon tersebut." 

Ibnu Qudamah mengatakan: “Tiap-tiap binatang yang darahnya tidak meng alir, baik binatang darat maupun binatang laut, tidak najis bangkainya dan tidak menajiskan air apabila binatang itu mati di dalamnya." 

Kebanyakan ahli fiqh berpendapat demikian. Sehingga Ibnu Mundzir menjelaskan bahawa tidak ada perselisihan paham dalam masalah tersebut." 

Ibnu Hazm mengatakan: “Apabila sesuatu najasah, atau sesuatu yang haram, atau sesuatu bangkai jatuh ke dalam benda yang cair ( air, minyak, minyak sapi, susu, kuah dan sebagainya ), maka jika yang jatuh itu dapat mengubah rasa, warna atau bau air yang seumpamanya, rusaklah air itu dan tidak boleh lagi kita memakainya, bahkan tidak boleh lagi kita menjualnya. 

Jika tidak mengubah salah satu dari wama, rasa dan bau, maka benda yang cair itu, halal dimakan, halal diminum, sah dijual dan boleh dipakai berwudhu. 

Dalam hal ini dikecualikan air jilatan anjing ( air jilatan anjing wajib dibuang walaupun tidak berubah ), begitu juga minyak sapi yang kejatuhan bangkai tikus ke dalamnya. Apabila ada suatu benda cair yang kejatuhan tikus dan mati di dalam benda tersebut maka hukumnya adalah najis dan benda tersebut hendaknya dibuang, walaupun banyak. Dan jika benda itu keras, maka yang ada di sekitar bangkai tikus itu dibuang." 

Di antara para ulama yang membolehkan kita menjual benda yang telah kejatuhan najis ke dalamnya dan mengambil manfaatnya ialah: Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa Al-Asy'ary, Abu Said Al-Khudry, Al-Qasim, Salim, Atha ', Al-Laits, Abu Hanifah dan Sufyan. 

Abu Hanifah mengatakan: “Apabila seekor burung, atau seekor tikus jatuh ke dalam sumur dan mati di dalamnya, maka sumur itu menjadi najis dan hendaklah ditimba airnya sebanyak dua puluh timba. Jika yang mati itu, ayam atau kucing. maka hendaklah ditimba empat puluh timba. Akan tetapi apabila yang mati itu, kambing atau kucing yang sudah membusuk hendaklah dibuang bangkai tersebut dan airnya dibuang hingga sehingga kering dan hilang bekas dan bau bangkai. Dan kalau binatang tersebut dikeluarkan dalam keadaan hidup, maka air itu tetap sudi menyu cikan. Apabila yang jatuh itu anjing, maka hendaklah dibuang seluruh airnya karena air liur anjing adalah najis, walaupun anjing itu tidak mati di air tersebut.

Barangsiapa berwudhu dengan air sumur yang kedapatan di dalamriya bangkai tikus, atau bangkai ayam, hendaklah ia ulangi shalat sehari semalam. Kalau kedapatan sesudah membusuk, hendaklah diulangi shalat tiga hari tiga malam. Tetapi kalau bangkai burung yang terdapat itu dikeluar kan sesudah membusuk, diulangi shalatnya tiga hari tiga malam." 

Malik mengatakan: “Sumur yang ditemukan ada bangkai ayam di dalamnya, ditimba aimya sehingga kering, terkecuali jika airnya banyak sekali. Tidak boleh di makan makanan dari tepung yang diremas dengan air itu. Hendaklah dibasuh kembali pakaian yang telah dibasuh dengan air itu. hendaklah diulangi wudhu dan telah dilakukan dengan air itu. Tetapi shalat tidaklah diulangi, jika mandi yang yang kedapatan dalam air yang dipakai wudhu tersebut bangkai binatang kecil seperti tawon, lalat, katak dan sebagainya." Seluruh ulama mutaqaddimin menghukuminya demikian. 

Dalam pada itu ada beberapa ulama yang meninjau masalah lalat dari sudut ilmu kesehatan, menolak hadits ini; karena kata mereka, berlawanan dengan ketetapan ilmu kesehatan, ilmu kedokteran. 

Di antara para ahli yang menolak hadits ini, dengan arti tidak mengakui, bahwa Nabi telah menyabdakan hadits ini ialah Dr. Taufiq Shidqy. Dalam kitabnya Sunanul Ka-inat, beliau menerangkan: “Demam tiga hari, demam tujuh hari, adalah disebabkan lalat. Satu lalat itu sangat banyak telornya berdasarkan penelitian lalat itu bertelur 900 ekor dan hidup paling lama tiga minggu.

Berkenaan dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhary dari Abu Hurairah, walaupun sanad-nya shahih, masuk ke dalam golongan hadits yang musykil. Bukan tidak mungkin perawinya telah salah meriwayatkannya karena lupa atau lalai. 

Terdapatnya hadits itu di dalam Shahih Al-Bukhary, tidak menjadi dalil yang kuat ( gathy ) bahwa Nabi benar-benar bersabda demikian. Karena kandungan hadits ini adalah berlawanan dengan hadits yang diberitakan Abu Hurairah dan Maimunah, yaitu apabila minyak sapi yang telah kejatuhan tikus ke dalamnya dalam keadaan beku, buanglah tikus itu dan minyak sapi yang di sekitamya; yang lain boleh dimakan. Tetapi, apabila minyak sapi itu cair, buanglah semua; jangan kamu sentuh lagi." 

Natijah dari memegang hadits Abu Hurairah dan Maimunah ini, ialah ke harusan membuang air yang kejatuhan lalat, karena bahaya yang diakibatkan lalat dan tikus sangat besar. Dr. Taufiq mengatakan: “Masalah yang diterangkan ini, adalah masalah keduniaan, masalah keduniaan yang tidak masuk ke dalam tasyri, tidak wajib diambil oleh umat. Tidak bersalah umat yang mengabaikannya." 

Tegasnya, menurut pendapat doktor ini, perintah Nabi membenamkan lalat adalah untuk memberi suatu petunjuk, bukan untuk menekankan kita berlaku demikian. 

Dalam soal-soal keduniaan, hendaknya petunjuk-petunjuk itu didasar kan kepada ilmu dan pengalaman. Jika dibenarkan ilmu dan pengalaman, kita ambil, dan jika tidak boleh kita kesampingkan pendapat Nabi yang tidak berdasar kan wahyu. Nabi saw sendiri bersabda: 

“Aku ini hanya seorang manusia. Karena itu, apa yang aku terangkan kepadamu membawa nama Allah, terimalah dia, hak dan benar. Tetapi, sesuatu yang aku terangkan, berdasarkan pendapatku, maka mungkin bisa salah. Aku ini hanya seorang manusia."

Demikian pentahqiqan Dr. Taufiq. Karena itu haruslah kita mendalami ilmu pengetahuan. Kami tidak menyalahkan Dr. Taufiq, yang tidak mengamalkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhary dari Abu Hurairah, walaupun sanad-nya shahih, lan taran beliau menolak hadits itu, dengan dasar ta'wil ( interpretasi ). 

Perlu diperingatkan, bahwa hadits ini shahih sanad-nya. Maka jika kita mengamalkan suatu hadits berdasarkan ke-shahih-an sanad-nya saja, wajiblah hadits ini diamalkan. 

Tetapi, jika kita pandang hadits ini berlawanan dengan pengetahuan dan pengalaman, maka hendaklah ditakwilkan, seperti memandang bahwa dalam hadits ini ada terjadi kesalahan perawi, ada kekhilafan perawinya atau dengan metode yang dilakukan Dr. Taufiq.

Menetapkan bahwa hadits ini pernah diucapkan Nabi dan menolaknya tanpa mentakwilkannya, adalah suatu kesalahan dalam beragama. Menurut pentahqiqan Ibnu Taimiyah, perkataan: “Jangan kamu sentuh lagi" terdapat dalam riwayat yang lemah dalam pandangan ulama-ulama salaf dan khalaf. 

Tegasnya, tidak menetapkan bahwa minyak sapi dan yang sepertinya, sama dengan air, yakni dilihat kepada berubah tidaknya. Inilah pendapat Imam Al-Ghazaly dari mazhab Syafi'i, Hanabilah dan ahli hadits, seperti Ibnu Taimiyah. Dengan inilah kami patuhi ( ibadahi ) Allah swt.

Berdasarkan Tulisan TM Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits Hukum