Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Bersuci Dengan Air Bekas Wudhu'

Hukum Bersuci Dengan Air Bekas Wudhu'
Di antara masalah penting tentang thaharah adalah tentang kesucian air yang telah dipakai untuk berwudhu atau disebut juga dengan air musta'mal. Menyangkut dengan persoalan tentang ini ada hadits dari Jabir ibn 'Abdullah ra. berkata:

جاء رسول اللہ ﷺ يعودني وأنا مريض لا أعقل فتوضاء وصب وضوئه علي 

 “Pada suatu hari Rasulullah saw. datang menjengukku yang sedang sakit dan tidak sadarkan diri, maka Rasulullah mengambil air shalat dan menuangkan air shalat ke atas diriku." ( HR. Al-Bukhari dan Muslim ) 

Hadits di atas menyatakan bahwa air yang telah dipakai untuk berwudhu itu adalah suci. 

Hadits ini menyatakan pula bahwa mengambil bekas air shalat Nabi saw. menghasilkan berkat. 

Sebagian ulama berpendapat, bahwa air yang telah dipakai untuk wudhu adalah suci, akan tetapi tidak menyucikan lagi. Inilah pendapat mayoritas pengikut Asy Syafi'y Sebagian ahli tahqiq menegaskan, bahwa air yang telah dipakai untuk ber wudhu, suci menyucikan, selama air itu tidak berubah. 

Mereka berpendapat demikian, karena mereka mengambil segala hadits yang berpautan dengan masalah ini, bukan mengambil sebagiannya saja. 

Ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa air yang telah dipakai untuk berwudhu ialah air yang disiram ke atas anggota tubuh untuk berwudhu, sedang yang tinggal dalam ember, dinamai air sisa. 

Pendapat yang menyebutkan bahwa air yang telah dipakai untuk berwudhu maka air tersebut tidak menyucikan lagi itu tidak didukung oleh dalil yang kuat baik dari Hadits atupun keterangan langsung dari shahabat. Semua dalil yang dipegang oleh ulama dalam masalah ini adalah lemah. 

Tujuan dalil yang kuat dalam masalah ini, membenarkan pendapat ahli tahqiq itu, yakni: tetap menyucikan selama tidak berubah. Adapun kita jijik me makainya itu perkara lain. 

Hadits ini memperjelas hukum air musta'mal dan menjadi pegangan Al-Hasan Al-Bishry, An-Nakha'y, Atha ' ibn Rabah, Sufyan Ats-Tsaury, Abu Tsaur dan Dawud. 

Hadits ini menjadi pembantah paham ulama-ulama Hanafiyah yang me najiskan air musta'mal. Memakai atau tidak memakai air yang telah dipakai berwudhu hanyalah berdasarkan kepada perasaan dan kesehatan. 

Apabila kita memakai air musta'mal, berpengaruh terhadap rohani, ataupun jasmani, tentulah tidak boleh kita memakai nya lagi. Maka hukum menggunakan air bekas yang dipakai dari berwudhu' itu adalah satu persoalan tersendiri. Memakai air Musta'mal itu seharusnya dipisahkan dari hukum memakai air yang membahayakan kesehatan tubuh. Sisa air shalat Nabi saja, bukan alasan yang dapat dijadikan pegangan. 

Berdasarkan Buku Hadits Hukum karangan TM. Hasbi Ash-Shiddieqy