Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Ketentuan Shalat Hari Raya

Hadits Ketentuan Shalat Hari Raya
Rasulullah bersabda berkenaan dengan ketentuan shalta hari raya berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas ra berkata:

 شهدت الفطر مع النبي وأبي بكر وعمر وعثمان رضيا مر وعثمان رضي الله عنهم يصلونها قبل الخطبة, ثم يخطب بعد خرج النبي كأني انظر اليه حين يجلس بيده ثم اقبل يشقهم حتى جاء النساء معه بلال فقال: يأيها النبي اذا جاءك المؤمنات يبايعنك الآية ، ثم قال حين فرغ منها: أنتن على ذلك ؟، فقالت امرأة وحدة منهن , لم يجبه غيرها: نعم ! قال: فصدقن , فبسط بلال ثوبه ثم قال : هلم ! لكن فداء ابى وامى فيلقين الفتح والخواتيم في ثوب بلال. 

Saya telah menyaksikan shalat Idul Fitri Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman Mereka mengerjakan shalat Idul Fitri sebelum khutbah. Sesudah itu barulah membaca khutbah. Nabi pergi ke tempat shalat seolah-olah aku melihat di ketika beliau menyuruh manusia duduk dengan isyarat tangannya. Kemudian beliau pergi membelah barisan, sehingga sampailah beliau ke jamaah perempuan. Beliau disertai Bilal Maka beliau membaca firman Allah: Ya ayyuhan Nabiyu idza ja-akal mukminatu yubayi'naka, Wahai Nabi, apabila datang kepada engkau para mukminat membai'at engkau... hingga akhir ayat. Kemudian Nabi berkata, setelah selesai dari membaca ayat itu: Apakah kamu tetap dalam keadaan itu ? Maka seorang perempuan di antara mereka menjawab, sedang lainnya tidak ada yang menjawab; Kalau demikian, bersedekahlah kamu. Bilal menghamparkan kainnya. Bilal berkata Matilah kamu, untuk tebusanmu, ayahku, ibuku. Maka perempuan-perempuan memasukkan cincin dan cincin yang bermata ke dalam kain Bilal. "

Baca juga:
Juga berdasarkan hadits dari Jabir ibn Abdullah ra berkata:

 قام النبي يوم الفطر فصلى فبدا بالصلاة ثم خطب فلما فرغ نزل فات النساء فذكرهن وهو يتوكأ على يد بلال ، وبلال باسط ثوبه يلقى فيه النساء الصدقة. 

" Pada hari raya Idul Fitri Nabi berdiri lalu bershalat, mula-mula Nabi bershalat, kemudian berkhutbah, Selesai khutbah, beliau berpindah tempat, mendatangi kaum perempuan lalu memberi pelajaran sambil memegang tangan Bilal, Bilal menghamparkan kainnya, sedang kaum perempuan meletakkan berbagai sedekah mereka ( Al Bukury 13: 7, Muslim 8, Al Lulu-u wal Marjan 1: 191 ) 

Ibnu Abbas dan Jabbar ibn Abdullah ra berkata " Tidak ada azan pada hari raya berbuka dan tidak pula pada hari raya qurban. " Al Bukhary 13: 7; Muslim 8; Al Lu'l-u wal Marjan 1: 191 ). 

Juga berdasarkan hadits dari Atha ' ra. menerangkan: "Bahwasanya Ibnu Abbas mengirimkan utusan kepada Ibnu Zubair di permulaan masa Ibnu Zubair dibaiat menjadi khalifah untuk menerangkan sesungguhnya tidak diadakan azan untuk shalat hari raya berbuka. Khutbah dilakukan sesudah shalat ( Al Bukhary 13: 7; Muslim 8, Al Lulu-u wal Marjan 1: 191 ). 510 ) 

Ibnu Umar ra. juga berkata bahwasanya Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, mengerjakan shalat hari raya sebelum khutbah ( Al Bukhary 13 8, Muslim )

Begitu juga berdasarkan hadits dari Abu Said Al Khodry ra berkata: "Pada hari raya idul Fitri dan idul Adha Rasulullah pergi ke mushala ( tanah lapang tempat mengerjakan shalat ). Yang mula-mula beliau kerjakan, ialah bershalat. Kemudian beliau berpaling lalu berdiri menghadap jamaah, yang duduk dalam shaf shafnya masing-masing. Beliau memberikan nasihat anjuran-anjuran dan perintah Kemudian jika beliau bermaksud untuk mengerahkan sesuatu pasukan tentara, beliau pun melaksanakannya. Dan jika beliau bermaksud menyuruh sesuatu, beliau memerintahkannya. Sesudah itu beliau pulang Abu Said berkata: Umat Islam terus menerus mengerjakan seperti itu hingga pala suatu kali pada hari raya Adha atau Fitri saya pergi ke tanah lapang bersama Marwan yang menjadi Gubernur Madinah. Tatkala kami sampai di mushala, tiba-tiba saya lihat ada mimbar yang dibuat oleh Katsir ibnu Shalty dan Marwan hendak menaikinya sebelum shalat. Karenanya aku menarik lainnya, dan dia pun menarik saya. Marwan terus naik ke mimbar dan berkhuthah sebelum shalat. Aku mengatakan Engkau telah mengubah agama, demi Allah Marwan menjawab Hai Abu Said, tidak ada lagi apa yang engkau katahui, Aku menjawab: Apa yang aku ketahui, demi Allah, lebih baik dari apa yang tidak aku ketahui, Maka Marwan berkata Para hadirin tidak lagi mau duduk untuk mendengarkan khutbah sesudah shalat, Sehingga aku jadikan khutbah sebelum shalat ( Al Budhary 13. 6, Muslim 8, Al Luhu-u wal Marjan 1: 191-192 ) 

Ibnu Abbas menerangkan: "Saya telah mengerjakan shalat Idul Fitri bersama Nabi saw., Abu Bakar, Umar dan Utsman. Beliau semua itu mengerjakan shalat Idul Fitri sebelum khutbah. Sesudah shalat, barulah mereka itu berkhutbah; tidak sebelum shalat

" Sesudah Nabi meninggalkan tempat khutbah seakan-akan aku melihat beliau memberi isyarat menyuruh para hadirin tetap duduk dan beliau membelah shaf menuju ke tempat kaum perempuan yang duduk di belakang Beliau ditemani oleh Bilal Ada yang mengatakan bahwa perempuan yang menjawab pertanyaan Nabi, adalah Asma ' binti Yazid." 

Jawaban perempuan ini, memberi pengertian bahwa di dalam menjawab sesuatu cukup dengan mengatakan na'am saja. Kata tersebut dipandang sebagai ikrar Jawaban orang seorang dapat dipandang sebagai jawaban jamaah, apabila tidak dibantah oleh jamaah dan tidak ada pula alasan untuk membantahnya.

An Nawawy berkata: “Hadits ini menjadi dalil bagi mazhab seluruh ulama untuk menetapkan bahwa khutbah led, dilakukan sesudah shalat. 

Kata Al Qadhi Iyadh: “Inilah yang disepakati oleh segenap ulama. Dan demikian pula perbuatan Nabi dan Khulafa Rasyidin. Dalam pada itu ada diriwayatkan, bahwa Utsman di penghujung masa khalifahnya, mendahulukan khutbah, melihat banyak orang yang tidak dapat shalat. Tetapi menurut riwayat yang lain, bahwa yang mula-mula mendahulukan khutbah ialah Muawiyah. Dan ada pula yang mengatakan Marwan di Madinah di masa pemerintahan Muawiyah Dan ada pula yang mengatakan Ziyad di Bashra, di masa pemerintahan Muawiyah. 

Sesudah selesai berkhutbah, Nabi berpindah dari tempat berdirinya ke tempat yang lain, Apabila kita artikan nazala dengan turun, maka memberi pengertian bahwa Nabi berkhutbah di tempat yang tinggi. Menurut riwayat, Nabi berkhutbah di mushala di atas tanah. Karenanya kita artikan nazala dengan berpindah tempat. Sesudah berpindah dari tempat berkhutbah, Nabi mendatangi jamaah perempuan yang duduk di belakang, Nabi memegang tangan Bilal. 

Menurut pendapat Al Qadhi lyadh, bahwa Nabi pergi memberi pelajaran kepada kaum perempuan itu, di pertengahan khutbah. Peristiwa ini terjadi di permulaan Islam, dan merupakan khususiyah Nabi. 

Riwayat yang tegas menerangkan bahwa Nabi mendatangi jamaah perempuan, sesudah khutbah, menolak pendapat Al Qadhi lyadh Kata Al Hafizh Ibnu Hajar: “Hadits ini mengandung beberapa faedah Diantaranya, disukai kita memberi pelajaran kepada jamaah perempuan, mumerangkan hukum-hukum Islam serta menganjurkan mereka memberikan sodekah, dan dilakukan sesudah selesai khutbah.

Dan hadits ini menerangkan bahwa kaum perempuan, apabila menghadiri jamaah bersama kaum laki-laki, hendaklah mereka duduk tersendiri, tidak bercampur dengan barisan laki-laki Dan memberi pengertian pula bahwa nedekah tathawwu tidak memerlukan ijab dan qabul, walaupun sebagian ulama Irak mewajibkan ijab dan qabul itu. 

Nabi mengerjakan shalat led pada hari raya puasa dan pada hari raya haji tanpa didahului oleh azan Atau pada masa Nabi azan tidak dibacakan sebelum shalat Idul Fitri dan Idul Adha. 

Ibnu Abbas mengirimkan surat kepada Ibnu Zubair yang menjadi khalifah pada tahun 64 H, sesudah Yazid ibn Muawiyah meninggal Dalam suratnya Ibnu Abbas menerangkan kepada Ibnu Zubair bahwa di masa Rasulullah tidak ada azan untuk shalat hari raya puasa. 

Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir:

 لا أذان للصلاة يوم العيد ولا إقامة ولا نداء ولاشيء 

"Tidak ala azan untuk shalat hari raya, tidak ada iqamah dan tidak ada sesuatu seruan dan tidak ada sesuatu yang lain." 

Golongan Malikiyah berdalil dengan hadits ini, demikian pula jumhur, untuk menetapkan bahwa syara' tidak mensyariatkan kita berazan, beriqamah, membaca ash shalatu jami'ah atau ash shalah, atau mengumandangkan sesuatu, untuk memanggil manusia bershalat led. 

Rasulullah saw pada hari raya puasa dan pada hari raya haji pergi ke mushala ( tanah lapang tempat mengerjakan shalat led ). Al Mushalla, adalah suatu tanah lapang di luar pintu kota Madinah. Jaraknya dari masjid kira-kira 300 meter. 

Demikianlah pendapat Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya Akhbarul Madinah. Para ulama berdalil dengan hadits ini untuk menyunnatkan kita pergi bershalat lod ke tanah lapang karena lebih afdhal ( utama ) daripada di masjid, Nabi saw terus menerus bershalat led di tanah lapang. 

Demikianlah mazhab Abu Hanifah Kata Malikiyah dan Hanbaliyah "Disukai kita bershalat led di tan ah lapang, terkecuali di Mekkah. Untuk di Mekkah disukai di Al Masjidil Haram. Kata segolongan Syafi'iyah, "Mengerjakan di dalam Masjidil Haram di Baitul Maqdis, adalah lebih utama daripada di tanah lapang. Demikian juga di masjid-masjid lain, terkecuali kalau masjid itu sempit."

Apabila penguasa pergi ke tanah lapang bershalat bersama-sama rakyat ramai, hendaklah ditunjuk seorang imam yang memimpin shalat di masjid bersama-sama orang tua yang uzur Ali pemah menyuruh Abu Mas'ud Al Anshary, menjadi imam di masjid, bagi orang-orang yang uzur.

Menurut riwayat Ibnu Khazammah, Rasulullah saw berkhutbah hari raya dalam keadaan berdiri tanpa memakai mimbar, atau sesuatu yang lain Beliau berdin di tempat beliau bershalat. Selesai berkhutbah Nabi kembali ke rumah. 

Abu Said menerangkan bahwa pelaksanaan shalat hari raya seperti yang dilakukan Nabi itu terus menerus berlaku sehingga pada suatu hari raya puasa atau hari raya haji yang tidak diingatnya lagi, pergi ke tanah lapang, bersama Marwan yang pada ketika itu menjadi Gubernur Madinah Setiba di tanah lapang ( mushala ) Abu Said melihat sebuah mimbar yang dibuat oleh tukang yaitu Katsir Ibnu Shalty telah diletakkan di sana.

Marwan berpendapat bahwa para hadirin mau memperhatikan isi khutbah bila didahulukan dari shalat, sehingga lebih utama daripada berkhutbah sesudah shalat yang tidak banyak lagi didengar orang.

Menurut mazhab Asy Syafi'y khutbah yang diucapkan sebelum shalat tidak sah. Pendapat Marwan telah dibantah oleh Abu Said Al Khudry. 

Kata An Nawawy: “Perbuatan Abu Said yang bershalat bersama-sama Marwan sesudah khutbah, menunjukkan bahwa perbuatan itu sah. "Seluruh ulama Syafi'iyah sependapat mensahkan shalat hari raya yang didahului oleh khutbah, walaupun dipandang tidak sesuai dengan sunnah dan tidak menghasilkan keutamaannya. Beda dengan khutbah Jum'at, yang wajib didahulukan atas shalat dan menjadi syarat shalat Tidak ada hadits yang shahih yang menetapkan, bahwa khutbah hari raya itu, dua. Seluruh hadits yang menerangkan bahwa khutbah, han raya itu dua, dipisah oleh duduk sejenak di antara keduanya, adalah dhaif.

Kata An Nawawy: “Tidak ada satupun hadits yang dapat dipegang yang menerangkan bahwa khutbah hari raya itu dua." 

Kata Ibnul Qayyim " Pada setiap khutbah, Nabi memulainya dengan Alhamdulillah, tidak ada satu hadits pun yang dapat dipegang yang menyatakan bahwa khutbah led dimulai dengan takbir Pendapat kebanyakan fuqaha bahwa khutbah istisqa' dimulai dengan istighfar, khutbah led dengan takbir, tidak berdasarkan sunnah." 

Hadits ini menyatakan bahwa para perempuan boleh bersedekah dengan harta miliknya, dengan tidak perlu mendapat izin dari suaminya, dan boleh memberikan lebih dari sepertiga kekayaannya.

Demikianlah mazhab jumhur Malik berpendapat bahwa jika lebih dari sepertiga kekayaan, hendaklah mendapat izin suami lebih dahulu.

Dan menyatakan bahwa disukai kepala negara ( khatib ) mengkhususkan pengajaran dan nasihat kepada kaum perempuan apabila mereka tidak dapat mendengar khutbah. 

Kesimpulan 

Hadits pertama, menyatakan bahwa shalat led dikerjakan sebelum khutbah.

Hadits kedua, menyatakan bahwa shalat Ied didahulukan atas khutbah, sebagaimana menunjukkan bahwa Nabi mendatangi jamaah perempuan untuk memberikan nasihat-nasihat kepada mereka.

Hadits ketiga, keempat, kelima dan keenam, menyatakan bahwa tidak ada azan untuk shalat hari raya dan khutbahnya disampaikan sesudah shalat. Dan menyatakan bahwa tugas menyuruh makruf dan menegah mungkar harus dilakukan, walaupun orang yang ditegur itu, adalah seorang penguasa.

Berdasarkan Buku Mutiara Hadits Jilid Ke Tiga Tulisan Hasbi Ash-Shiddieqy