Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Hukum Mengqadha Puasa Orang Mati

Hadits Hukum Mengqadha Puasa Orang Mati
Di antara amalan kaum Muslim berkenaan dengan puasa yang hangat diperdebatkan adalah tentang hukum Mengqadha Puasa Orang Yang Telah Mati oleh Anak atau Ahli warisnya. Banyak di antara ulama yang menganggap tidak ada qadha puasa bagu orang yang telah meninggal karena seseorang itu akan dihisap oleh oleh sesuai dengan amalan dan orang tidak bertanggung jawab kecuali terhadapa amal yang telah dikerjakannya saja. 

Sementara sebagian ulama mengatakan mengkadha puasa orang yang telah tiada itu ditanggungkan kepada Ahli Warisnya karena itu utang kepada Allah. Itu lebih berhak ditunaikan oleh Ahli Warisnya sebagaimna juga melunasi hutang orang yang telah meningggal itu kepada manusia, begitu juga hutangnya kepada Allah berupa ibadah yang belum ditunaikan.

Artikel Terkait:

Untuk lebih jelasnya tentang masalah ini, ada beberapa keterangan dari Nabi yang menjadi rujukan bagi kita tentang masalah qadha puasa untuk orang yang telah meninggal. Sebagaimana hadits dari Aisyah ra. menerangkan:

 أن رسول اللہ ﷺ قال: من مات وعليه صيام, صام عنه وليه. 

" Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa meninggal dunia sedang dia mempunyai puasa yang belum dikerjakan, hendaklah dipuasakan untuknya oleh walinya. " (Al Bukhary 30: 42; Muslim 13: 27 ) 

Ibnu Abbas ra berkata:

  جاء الى النبي ﷺ فقال: يارسول الله ! إن أمى ماتت وعليها صوم شهر أفقضيه عنه ؟  قال: نعم ، قال: فدين الله أحق أن يقضى 

" Seorang laki-laki datang kepada Nabi dan berkata: Ya Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia dan dia mempunyai hutang puasa sebulan. Apakah boleh saya mengqadhakan puasanya itu atas namanya ? Nabi menjawab: Boleh. Hutang kepada Allah, lebih berhak diselesaikan. " ( Al Bukhary 3: 42; Muslim 13: 27; Al Lulu-u wal Marjan 2: 20 ). 

Penjelasan Hadits

Setiap mukallaf yang meninggal dunia laki-laki maupun perempuan, merdeka ataupun budak yang mempunyai puasa yang ditinggalkan di masa hidupnya, maka hendaklah puasa yang ditinggalkan oleh si mati itu, dikerjakan oleh walinya sebagai ganti.

Seorang laki-laki datang bertanya kepada Nabi tentang puasa yang ditinggalkan oleh ibunya sewaktu dia masih hidup. Apakah boleh diqadha olehnya sebagai ganti qadha ibunya ataukah tidak ? 

Dalam riwayat yang lain diterangkan bahwa yang bertanya ini adalah seorang perempuan golongan Khatsamiyah. Dalam suatu riwayat pula, bukan ibunya yang mati, tapi saudara perempuannya. Dalam sebagian riwayat puasa yang ditinggalkan itu 15 hari, sedang dalam riwayat yang lain dua bulan. 

Dalam suatu riwayat Hadits menjelaskan bahwa puasa yang ditinggalkannya itu adalah dalam bentuk puasa nazar. Oleh karena hadits ini sedemikian rupa, maka sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini, mudhtharab, tidak dapat dijadikan hujjah. 

Menurut penyelidikan Al Hafizh, keadaan yang berbeda-beda ini menunjuk kepada banyak sekali pertanyaan itu dikemukakan, bukan mudhtharab.

Para ulama berselisih pendapat mengenai orang mati yang meninggalkan puasa yang wajib, baik Ramadhan, qadha, nazar, ataupun lainnya. Dapatkah diqadha oleh orang lain, atau tidak ?

Menurut pendapat Asy Syafi'y yang masyhur, puasa yang ditinggalkan oleh seorang yang telah meninggal, tidak dapat diganti oleh seseorang dan tidak sah.

Menurut pendapatnya yang lain, disukai si wali berpuasa untuk mengqadha puasa si mati dan sah puasa itu, serta melepaskan si mati dari hutangnya, tidak perlu memberikan fidyah. 

Pendapat yang kedua inilah yang dishahihkan oleh ulama Syafi'iyah yang terkemuka dalam bidang fiqh dan hadits. Hadits yang menerangkan bahwa puasa yang ditinggalkan si mati, kalaupun puasanya yang ia tinggalkan itu diganti fidyah maka puasanya tidak sah. 

Andaikata shahih, maka dapat dikumpulkan dengan hadits ini, yaitu membolehkan qadha dan membolehkan fidyah saja. Wali yang dimaksud di sini, ialah kerabat, baik ashabah, waris yang menerima pusaka, ataupun bukan. 

Dalam pada itu sebagian ulama mengkhususkan wali di sini dengan waris yang menerima pusaka. Apabila seseorang yang bukan dari kalangan keluarga berpuasa atas nama si mati dengan seizin wali, puasa itu sah. Demikian pendapat bukan wajib menurut kebanyakan ulama. Kewajiban puasa atas si wali ini, adalah tuntutan sunnat.

Di antara ulama salaf yang berpendapat demikian, ialah Thaus, Al Hasan, Qatadah dan Abu Tsaur. Adapun Al Laits, Ishak dan Abu Ubaid mengkhususkan puasa yang boleh dikerjakan oleh si wali dengan puasa nazar. 

Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada jalan untuk mensahkan puasa atas nama orang yang telah mati, baik puasa nazar, ataupun selainnya. Demikianlah pendapat Abu Hanifah dan Malik.

Ulama-ulama yang mengamalkan hadits ini, adakala memandang hadits ini sebagai pentakhsis bagi ayat: "wa an laisa lil insani illa ma sa'a" dan sungguh tidak ada bagi seorang manusia selain dari apa yang dia usahakan, adakala mengumpulkan hadits dengan ayat dengan jalan menetapkan bahwasanya wali yang dibolehkan berpuasa sebagai pengganti orang yang telah mati, hanyalah anaknya, karena anak itu dapat dimasukkan ke dalam karegori usaha si ayah. 

Pendapat inilah yang dikuatkan oleh As Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsir Al Manar Golongan Mu'tazilah menolak hadits ini karena berlawanan dengan zhahir ayat wa an laisa lil insani illa ma sa'a itu. 

Kesimpulan 

Hadits ini menyatakan bahwasanya puasa seseorang yang telah meninggal dapat diganti oleh walinya 

Berdasarkan Buku Mutiara Hadits Jilid 4 Yang ditulis Oleh Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy